Share

Bukan Salahku

Aku tak menyangka Ningsih bakal membahas semua itu di depan keluargaku. Aku benar-benar malu, apalagi di depan Nella.

"Ningsih! Sudah kewajiban seorang istri untuk membantu usaha suaminya, apapun caranya! Apa maksudmu membicarakan semua itu lagi?" Mama seketika berdiri sambil menatap ke arah Ningsih.

"Aku cuma ingin mengingatkan Mas Dicki, kalau selama ini aku tidak pernah berbuat apa-apa untuk pernikahan kami, Ma," jawab Ningsih. "Aku juga banyak berkorban untuk keluarga kami."

"Jadi maksudmu, kamu tidak ikhlas melakukan itu semua?" tanya Mama lagi.

Ningsih terlihat membuang napas. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan, seperti berharap aku akan membelanya.

Aku membuang muka, karena kesal dengan ucapannya. Mungkin memang benar dulu Ningsih yang membantuku membangun usaha kami dari nol. Tapi jika aku tidak bekerja keras siang malam selama ini, tentu usaha kami tidak akan pernah membuahkan hasil.

Akhirnya Ningsih menyerah. Sepertinya dia sudah tidak ingin berdebat lagi. Dia membalikkan badan, masuk ke dalam kamarnya.

"Apa yang terjadi dengan istrimu belakangan ini, Dicki?" tanya Mama sambil menatapku.

Aku hanya mengangkat bahu sedikit. Aku juga tidak mengerti apa yang terjadi padanya belakangan ini. Apa dia marah karena aku memaksanya untuk diet? Seharusnya dia tidak perlu seperti itu, karena itu demi kebaikannya juga.

"Maaf ya, Nella, kamu jadi melihat masalah keluarga kami seperti ini," ucap Mama kemudian pada Nella.

"Tidak masalah kok, Tante. Mungkin Mbak Ningsih sedang sensitif, jadi tidak bisa diajak bercanda," jawab Nella.

"Dia itu memang tidak bisa membedakan mana yang serius, mana yang bercanda. Tante juga heran," ucap Mama lagi.

Nella hanya tersenyum mendengar ucapan Mama. Beberapa saat kemudian Ningsih terlihat keluar lagi dari dalam, sambil menggendong Vian dan membawa tas pakaiannya.

"Mau ke mana kamu, Dek?" tanyaku sambil sedikit membulatkan netra.

Ningsih menatapku sesaat, lalu meneruskan langkah.

"Aku mau pulang, Mas," jawabnya.

"Memangnya kamu sudah sehat? Kan Mas sudah bilang kita di sini dulu sampai kamu pulih kembali," ucapku lagi sambil mengejarnya.

Ningsih menghentikan langkah, lalu menatapku dengan pandangan dingin.

"Bukankah sejak awal Mas tidak percaya kalau aku sakit?" ucapnya.

Aku terdiam. Aku memang sempat emosi padanya beberapa waktu yang lalu, tapi sebenarnya aku juga khawatir terjadi sesuatu padanya, mengingat perkataan Dokter Reza waktu itu.

"Lagipula, berada di sini tidak membuatku lebih baik, Mas. Justru semakin buruk," ucapnya lagi, lalu kembali meneruskan langkah.

"Ningsih!"

"Sudah jangan dikejar, Dicki! Biarkan saja dia pulang! Nanti dia juga pasti bakal mengemis perhatian kamu lagi!" cegah Mama.

"Sepertinya istrimu itu mulai suka membantah. Kamu harus memberi dia sedikit pelajaran biar gak jadi kebiasaan," lanjutnya.

Ningsih terus berjalan keluar sambil menggendong Vian dan membawa tas pakaiannya. Aku membuang napas. Sebenarnya tidak tega melihatnya pulang sendirian. Tapi benar kata Mama, Ningsih sepertinya memang harus diberi sedikit pelajaran, biar dia sadar kalau sikapnya semakin menjadi saja belakangan ini.

Aku berjalan ke arah belakang, dan duduk bersandar di kursi panjang yang ada di taman kecil depan dapur. Kepalaku rasanya mau pecah. Entah sejak kapan aku mulai lelah dengan pernikahan ini.

"Mas ...."

Aku menoleh. Nella berdiri di sana sambil tersenyum. Aku langsung menegakkan dudukku.

"Boleh aku duduk juga di sini?" tanyanya.

"Tentu saja," jawabku.

Nella tersenyum lagi, lalu duduk di sampingku. Selama beberapa saat kami terdiam, tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Maaf karena aku sempat kecewa setelah tahu Mas Dicki sudah menikah." Nella akhirnya membuka percakapan kami.

"Tapi setelah melihat pernikahan kalian sepertinya tidak bahagia, aku merasa masih punya kesempatan," lanjutnya pelan.

Aku sedikit tersentak mendengar ucapannya. Entah kenapa jantungku berdegup kencang saat itu. Apa maksud perkataannya itu?

"Apa ... maksudmu, Nella?" tanyaku, dengan perasaan tak karuan.

Nella membuang napas, lalu menatapku dengan serius.

"Mas, kalau memang Mbak Ningsih tidak bisa membuat Mas bahagia, untuk apa mempertahankan pernikahan kalian?" ucapnya.

Lagi-lagi aku dibuat kaget dengan ucapannya.

"Aku bisa kok, lebih baik dari Mbak Ningsih dalam segala hal. Aku juga akan menjaga badanku agar tetap menarik di mata Mas Dicki. Aku bisa membantu usaha Mas Dicki agar bisa lebih maju lagi. Jadi kalau Mbak Ningsih tidak lagi membuat Mas bahagia, lepaskan saja dia."

"Nella!" Aku hampir saja memekik mendengar ucapan gadis di depanku itu. Aku tak menyangka dia akan mengucapkan hal seberani itu.

Tiba-tiba saja dia menangis ketika aku setengah membentaknya. Aku seketika panik dibuatnya.

"Maaf, bukan maksudku membentakmu, Nella. Aku cuma takut kamu tidak sadar dengan apa yang baru kamu ucapkan," ucapku kemudian, sambil menepuk lembut pundaknya.

"Maafkan aku, Mas. Seharusnya aku sadar diri kalau Mas Dicki sudah punya anak dan istri. Padahal sudah kucoba untuk menjauh, tapi tidak bisa," ucap Nella lagi sambil menutup mukanya dengan kedua tangannya.

Aku menelan saliva, tak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Memang belakangan ini, Nella selalu ada di saat aku butuh seseorang untuk menenangkan pikiran. Kami sangat cocok dalam segala hal. Setiap Ningsih membuatku kesal, Nella juga yang mampu membuatku lupa pada setiap masalah yang ada.

Tapi untuk meninggalkan Ningsih ...

Aku rasa tidak semudah membalikkan telapak tangan.

"Ada apa ini, Dicki? Kenapa Nella menangis?"

Aku menoleh, dan Mama berdiri di sana dengan tatapan heran. Nella cepat-cepat mengusap air matanya, lalu pura-pura tidak terjadi apa-apa.

"Tidak apa-apa kok, Tante. Tadi mata Nella kemasukan debu," jawabnya seraya berdiri.

"Kalau begitu Nella pulang dulu ya, Mas, Tante," ucapnya kemudian.

"Loh, kenapa buru-buru? Tidak makan siang bersama kami dulu?" tanya Mama.

"Lain kali saja, Tante," jawab Nella lagi, sambil sungkem pada Mama.

"Ya sudah, hati-hati."

Nella akhirnya pamit dan meninggalkan aku dan Mama yang masih tetap di tempat kami. Setelah Nella sudah tak terlihat, Mama langsung menatapku.

"Benar kan, ucapan Mama dulu, Dicki? Sekarang kamu menyesal dengan keputusanmu, kan?"

Aku tak menjawab ucapan Mama, tapi dalam hati aku membenarkan ucapannya. Seandainya saja dulu aku menuruti Mama untuk tidak buru-buru menikah, mungkin nasibku akan berbeda lagi saat ini. Mungkin memang dalam segi materi aku berkecukupan, tapi dalam pernikahan semakin hari semakin hambar.

Jika sikap Ningsih terus menerus seperti itu, bukan salahku jika aku mempertimbangkan ucapan Nella. Dia benar, untuk apa mempertahankan seseorang yang tidak bisa membuatku bahagia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status