Kala duduk dengan mencoba tenang. Ada gelisah yang menyusup namun coba dihalau dengan senyum kecil yang ia punya. Di depannya duduk pria yang mengenakan Polo shirt hijau pupus, tampak membolak balik berkas yang ia kenali sebagai data dirinya.
“Kamu enggak sayang ijazah kamu?” tanya pria itu dengan sedikit bertopang dagu. Berkas itu sudah diletakkan kembali di meja.
Satu dari banyak hal yang membuat Kala bingung harus merespon seperti apa.
“Pengalaman kerja kamu apa?”
Terutama bagian ini, paling membuat Kala ketar ketir sebenarnya.
“Tidak ada.”
“Tidak punya pengalaman, tapi lulusan sarjana.” Daru bergumam pelan, mengusap ujung dagunya penuh pertimbangan. “Apa yang membuat kamu mau bekerja seperti ini? I mean, baby sitter?Oh, sorry. Maksudnya... jadi pengasuh.”
“Saya butuh pekerjaan.” Kala menjawab dengan lugas.
Ia dengan jelas mendengar sang lawan bicara menghela napas panjang. “Butuh, ya.”
Walau hanya melihat dari sudut matanya, Kala yakin dengan sangat, kening pria itu berkerut. Mungkin pikirnya, tanpa pengalaman mana bisa dirinya diserahi anak untuk dijaga.
“Suka anak-anak?” tanya pria itu lagi.
Ada jeda beberapa detik sebelum Kala menjawab, “Suka.”
“Dalam skala 100, suka anak-anak nilainya berapa?” tanya Daru cepat.
“85, Pak.” Kala tak kalah cepat dalam menjawab.
“Bisa imbangi anak-anak kalau marah, emosional, egois, banyak mau, tidak bisa diatur?” Daru menatap lekat-lekat calon pengasuh anaknya ini.
Wanita berambut sebahu itu hanya mengangguk. Kala tidak tahu apa ini sebuah jawaban yang salah atau dirinya dalam screening tanpa kata.
“Jujur, Mbak... Kala atau Ta—”
“Kala,” potong Kala segera.
“Oke, Mbak Kala. Jujur saja, anak saya ini sangat pemilih. Tingkat adaptasinya terhadap orang lain, rendah. Agak pemarah, egois, dan gampang merajuk. Tapi saya butuh bantuan untuk menjaga selama saya bekerja.” Pria itu, yang tadi memperkenalkan diri sebagai seorang Andaru Aria, masih belum menurunkan tatapan menelisik pada wanita yang ada di depannya itu.
Hening menemani mereka.
“Kamu kenalan sama anak saya dulu, deh. Biar saya bisa menilai kamu lebih jauh.”
Kala mengangguk pelan, bangkit dengan segera ketika pria itu berdiri. Melangkah meninggalkan ruangan yang memang disediakan untuk proses interview antara calon klien dengan mitra.
Saat keluar ruangan, sosok yang mungkin dimaksud sang pria itu duduk di sana. Memainkan gadgetnya dalam diam. Sesekali rambutnya diusap lembut oleh wanita paruh baya yang Kala menduga, nenek sang gadis kecil.
“Princess,” panggil Daru. Mereka berdua pun menoleh ke arah sumber suara. “Ini calon Mbak baru kamu. What do you think?’
Untuk pertama kalinya, mata mereka berdua mengudara. Bola mata secantik boneka itu memenuhi netra Kala dengan sempurna. Definisi cantik sedari kecil layak disemat pada gadis berponi itu. Kala yakin, dewasa kelak gadis kecil itu akan menjelma menjadi sosok yang demikian mengagumkan.
“Good,” katanya. Kala mengerjap pelan. Tatapan itu langsung dialihkan kembali dengan sempurna pada benda pipih yang dibawa sang gadis.
“Siapa nama kamu, Nak?” Kali ini wanita paruh baya yang menemani sang gadis yang bicara.
“Kala, Bu.”
“Ehm... beliau ibu saya.”
Kala mana berani menoleh. Ia hanya menjawab dengan anggukan sopan.
“Silakan kamu coba berkenalan dengan anak saya. Saya beri ruang.”
Sejenak mata Kala memejam. Ia merasa dalam test yang dibuat oleh Daru cukup berat. Pengalaman Kala di belakang meja kantor saja, nol besar. Apalagi berhadapan dengan anak kecil. Namun, ia harap bisa melaluinya. Ia merapal satu kata, bismillah, sebelum melangkah. Merasa sudah diberi jarak oleh ayah sang anak, Kala berjalan mendekat dengan ragu yang besar. Ini pilihannya, tak boleh ada kata menyerah, kan?
“Hai,” sapa Kala ramah.
Gadis kecil itu hanya mendongak sesaat. Lalu mata seelok boneka langsung menatap layar tabletnya lagi. Tanpa respon apa-apa. Bahkan seringai kecil pun tak ada.
“Mbak mau kenalan, boleh?”
“Bukannya Mbak sudah kenal nama aku, ya? Kenapa harus kenalan lagi?”
Helaan kecil terembus sudah. “Nama Mbak, Kala. Nama Non?”
Atensinya mulai teralih, hanya sebuah tarikan kecil di sudut bibirnya yang Kala bisa lihat. “Kala? Nama Mbak aneh.”
“Kalau begitu, nama Non berarti bagus. Benar?”
“Iya. Nama aku Sheryl. Sheryl Amanta Versha.”
***
Dalam kesepakatan yang ada, Kala diharuskan untuk tinggal di rumah calon majikannya. Tak bisa ditolak oleh Kala. Jadi, dua hari sejak kedatangan mereka, Kala berakhir di sini. Di depan gerbang hitam rumah tingkat dua yang tampak asri dari luar.
Tadi pagi, Kala berpamitan pada keluarga Risa. Diiringi mata yang berkaca-kaca dari Risa, juga beberapa petuah dari ibunda Risa, pun peluk hangat dari anak sahabatnya yang berusia lima tahun. Abyan namanya.
Kala masih ingat bagaimana Risa memperingatinya, kalau-kalau di sana ada yang berbuat buruk, maka ia akan menjemput Kala secara paksa. Tak peduli kalau harus ia harus menanggung akibatnya. Kala terkekeh mendengar hal itu. Katanya, Risa terlalu mengada-ada. Walau sebenarnya, hati Kala mendadak ciut juga.
Belum lagi cerita Risa mengenai klien yang memutuskan memberi kesempatan pada Kala, betapa menyebalkan ketika klien itu menginginkan kriteria pengasuh untuk anaknya itu. Nyaris mendekati sempurna, kata Risa malam sebelum keberangkatan Kala. Wanita berambut sebahu itu hanya mengulum senyum, “Aku coba dulu, Sa. Enggak ada salahnya, kan? Toh, aku diberi kesempatan.”
Decak kesal diterima Kala dari Risa. “Aku kayak enggak rela aja gitu.”
“Ini cuma sekadar batu loncatan, kok. Aku bakalan apply pekerjaan yang sesuai juga.”
Semoga pilihannya tak salah. Semoga. Hanya itu yang bisa Kala gelung dalam hatinya, agar langkahnya tak lagi ragu. Biarpun ia harus menghadapi majikan yang sepertinya memang merepotkan. Bagaimana tidak. Sepanjang perjalanan Kala hingga tiba di sini, berulang kali Daru mengirimkannya pesan. Mulai dari; nomor plat taksi online, nama drivernya, alamat kediaman Daru dalam ejaan yang benar jangan sampai keliru, hingga pertanyaan sepele, “Sudah sampai di mana, Mbak? Tanya sama pak supirnya.”
Kala hanya mampu menghela napas panjang dengan rentetan pesan tersebut. Perjalanan hidupnya di Jakarta akan dimulai. Bel di ujung gerbang sudah Kala perhatikan sejak sekian menit lalu. Bismillah. Tak butuh waktu lama baginya, agar gerbang itu terbuka. Menampilkan sosok yang lebih muda darinya, tersenyum kelewat ramah menurut Kala.
“Pasti Mbak Kala, ya?
Wanita berambut sebahu itu hanya mengangguk canggung.
“Saya Nina, Mbak.” Gadis bernama Nina itu mengulurkan tangannya. “Semoga Mbak kerasan, ya, di sini.”
Disambutnya uluran tangan itu dengan hangat. Semoga, pilihannya kali ini tepat.
“Mari, Mbak. Sudah ditunggu Ibu.”
Kala mengimitasi langkah Nina. Beruntung baginya barang bawaannya hanya satu koper berukuran sedang dan tas yang bisa ia tenteng. Mulai memasuki rumah yang menurut Kala cukup mewah. Ketika pintu ukir kayu itu didorong pelan oleh Nina, aroma citrus menyapa Kala dengan lembut. Matanya disuguhkan dengan aneka furniture yang apik juga elegan.
“Bu, Mbak Kala sudah sampai,” kata Nina.
Wanita paruh baya yang dua hari lalu berkenalan dengannya, menyambut Kala dengan senyuman. “Ibu sudah khawatir takut kamu kesasar, Nak.”
Bibir Kala mengurva separuh, “Alhamdulillah enggak, Bu.”
“Ibu tunjukkan kamar kamu dulu, ya. Nanti Ibu ajak keliling rumah. Enggak keberatan, kan?”
Sekali lagi, Kala tersenyum menanggapi. “Enggak, Bu.” Kini langkah Kala mengikuti arah yang ditunjukkan oleh sang tuan rumah. Kala masih ingat namanya, Anna Susetyo. Ibu dari majikannya sekarang.
Mereka menyusuri lorong yang mengarah ke belakang rumah. Sepanjang mengikuti langkah seorang Anna, Kala memperhatikan sekeliling. Rumah ini besar, terkesan mewah tapi dibuat dengan nuansa asri. Banyak jendela besar yang terbuka, membuat siklus udara di setiap ruangan terasa nyaman.
“Nah, ini kamar kamu. Di sebelahnya, kamar Sari. Nanti kamu kenalan, ya. Kebetulan Sari lagi belanja.” Anna membuka satu pintu, mendorongnya pelan, lalu mempersilakan Kala untuk masuk.
Ruang yang akan menjadi kamar Kala cukup besar. Semua fasilitas di dalamnya tersedia; TV, kipas angin, single bad, juga satu meja yang sepertinya diperuntukkan untuk meja rias.
“Nak Kala beresin barangnya dulu. Nanti temui Ibu di ruang makan, ya. Sheryl belum makan. Akhir-akhir ini anak itu sulit sekali makan,” keluh Anna namun kembali tersenyum saat matanya menatap Kala. Besar harapnya agar nanti Kala mampu mengimbangi Sheryl.
“Iya, Bu. Nanti Kala segera ke sana.”
Dalam hati Kala berdoa, semoga segala sambut ramah ini akan terus terjaga. Semoga ia bisa bekerja dengan penuh tanggung jawab. Dan semoga, apa yang menjadi misinya, terlaksana.
Hari berganti, bulan bergulir, tahun juga semakin bertambah angkanya. Namun satu hal yang tak lekang oleh waktu yang ada. Kebersamaan di rumah dua lantai yang kini tak pernah sepi lagi. Kadang suara Anna memenuhi sudut ruang di mana Nika yang terlalu aktif bergerak. Bocah tujuh tahun itu seperti kancil. Tak bisa diam. Entah dari mana asal energinya.Anna bukan takut ada sesuatu yang pecah atau terjatuh karena Nika. Tapi ia khawatir sang cucu terluka karena geraknya yang terlalu lincah ini. Berlarian ke sana ke sini, terkadang juga loncat tak keruan sembari tertawa riang. Untunglah Levant bisa menemani aktifitas Nika meski sang putri bungsu harus menunggu sampai kakak tengahnya pulang sekolah.Sementara Sheryl benar-benar disibukkan dengan kuliahnya. Levant juga mulai banyak kegiatan di sekolah. Kendati begitu, Sheryl tak pernah menyia-nyiakan waktu bersama keluarganya. Pun Levant. Tiap kali ada kesempatan kumpul bersama, pasti mereka lakukan dengan
Kala menatap Nika yang sudah terpejam tidur penuh dengan sayang. Masih lekat dalam ingatannya bagaimana ia melahirkan putri bungsunya ini. Meski ada banyak drama, tapi rasa syukurnya tak pernah mereda. “Selamat tidur, Sayang. Mimpi indah.” Dikecupnya lembut kening Nika seraya berdoa, “Ya Allah, lindungi selalu anak-anakku dari mimpi buruk. Dari orang-orang yang berniat jahat. Dari orang munafik di sekitar mereka. Jadikan mereka anak-anak soleh dan solehah.”Membenahi ujung selimut Nika terpasang dengan benar, merapikan buku-buku yang sempat diberantaki Nika, pun memastikan suhu ruang kamar ini nyaman, Kala pun keluar kamar. Yang mana ternyata sudah ditunggu oleh Daru.“Belum tidur?” tanya Kala yang berhati-hati menutup pintu kamar Nika.“Mana bisa tidur kalau Ibu enggak ada.” Daru merajuk persis seperti Levant. Makanya sering sekali Kala berseloroh, kalau suaminya menjelma menjadi sang
Meski di dalam SUV mewah sang ayah suasana ribut dan berisik, tapi masih ada relung senyap yang Sheryl punya. Walau sesekali mulutnya meminta Levant untuk tak meledek adik bungsunya, yang entah dari mana tingkah usil Levant ini makin jadi, tetap saja relung itu terkadang minta perhatian.Kekosongan itu sengaja ia adakan di hati untuk memenjarakan sosok Keana di sana.Sosok yang seharusnya ada saat ia sedih, khawatir, kesepian, bacakan dongeng, siapkan sarapan, serta segala macam aktifitasnya kala kecil dulu. Seperti sosok wanita yang duduk di samping ayahnya; yang tak pernah terlambat menemaninya melakukan apa pun meski kedatangannya saat ia berseragam merah putih. Bukan dengan seragam TK atau malah waktu di mana ingatannya belum terlalu sempurna.Perjalanan menuju salah satu mall di wilayah Jakarta Pusat tak butuh terlalu lama ditempuh. Begitu di area parkir, Daru meminta Levant dan pengasuh Nika untuk masuk terlebih dahulu ke
Dulu demi memancing agar Sheryl bicara, Kala butuh banyak usaha. Kali ini, Sheryl dengan mudahnya mengatakan apa pun terutama apa yang terjadi padanya pada Kala. Mulai dari kegiatannya di sekolah sampai temannya yang menurut gadis beranjak remaja ini menyebalkan. Ada saja bahan cerita yang Sheryl bawa untuk Kala. Baginya bicara dengan sang ibu menyenangkan. Tak seperti sang ayah yang lebih sering meledeknya.Terutama hubungan dengan lawan jenis.“Papa kenapa, sih, Bu?” Sheryl melipat tangannya di dada. Wajahnya cemberut. Sorot matanya menyimpan kejengkelan.“Kenapa lagi sama Papa?” Kala melipat senyumnya. Diulurkan tangannya demi untuk merapikan rambut panjang sang putri yang agak berantakan.“Aku ditanya tentang Noah. Memangnya aku ini temannya? Sejak kapan aku menjadi teman Noah Narendra?”“Susunya diminum dulu, ya?”“Aku bukan
Kehamilan kedua saat itu memang agak riskan bagi Kala. Usianya yang tak lagi muda membuat ia memiliki rasa khawatir meski tak sebesar bahagia yang menyelimutinya. Dokter bilang, “Selama Ibu jaga kandungan, kondisi, dan asupan makanan, insyaAllah akan baik-baik saja.”Bagi Kala, segala hal yang tercurah dalam hidupnya sekarang lebih dari sekadar anugerah. Apa yang ia harap selama ini, jutaan do’a yang ia hatur dalam tiap sujudnya terjadi dengan begitu mudah. Seolah tanpa beban Tuhan beri keinginan itu saat Kala melepas segalanya. Di saat ia merelakan dirinya sebagai seorang wanita yang tidak memiliki anak. Cukuplah Sheryl baginya sebagai ajang pamer.Persis saran Risa padanya kala itu.Maka saat kehamilan pertamanya terjadi, bahagia itu bukan hanya miliknya. Tapi seluruh keluarganya. Nita dan Rianto sering berkunjung ke Jakarta demi melihat pertumbuhan cucu pertama mereka. Selayaknya nama yang Kala beri pada an
Pria itu masih mematung di depan setir mobil. Ada sebongkah ragu sebelum ia memutuskan untuk benar-benar turun dan berjalan menuju tempat diadakannya fare wall party seorang Andaru Aria. Hari ini, rekan kerjanya mengundurkan diri. ia memilih meneruskan usaha yang memang sudah ia rintis ketimbang berjibaku di bawah komando orang lain.Ada segunung penasaran yang mendera hati pria itu. terutama kata-kata yang sangat menggangunya sejak tadi pagi."Saya pasti kehilangan Pak Daru dalam pekerjaan." Ia mengatakan kejujuran. Rekan kerjanya kali ini, sangat berdedikasi dalam pekerjaan."Pak Janu bisa saja. Saya memang sudah berniat mengundurkan diri sejak lama tapi waktunya selalu benturan. Kebetulan istri manjanya enggak ketulungan minta ditemani terus di rumah.""Hormon ibu hamil beda, Bos," celetuk Denny, asisten seorang Andaru Aria. "Mbak Kala segitu independent-nya pas manja tuh lucu banget enggak, sih.""Ja