Hari berganti, bulan bergulir, tahun juga semakin bertambah angkanya. Namun satu hal yang tak lekang oleh waktu yang ada. Kebersamaan di rumah dua lantai yang kini tak pernah sepi lagi. Kadang suara Anna memenuhi sudut ruang di mana Nika yang terlalu aktif bergerak. Bocah tujuh tahun itu seperti kancil. Tak bisa diam. Entah dari mana asal energinya.Anna bukan takut ada sesuatu yang pecah atau terjatuh karena Nika. Tapi ia khawatir sang cucu terluka karena geraknya yang terlalu lincah ini. Berlarian ke sana ke sini, terkadang juga loncat tak keruan sembari tertawa riang. Untunglah Levant bisa menemani aktifitas Nika meski sang putri bungsu harus menunggu sampai kakak tengahnya pulang sekolah.Sementara Sheryl benar-benar disibukkan dengan kuliahnya. Levant juga mulai banyak kegiatan di sekolah. Kendati begitu, Sheryl tak pernah menyia-nyiakan waktu bersama keluarganya. Pun Levant. Tiap kali ada kesempatan kumpul bersama, pasti mereka lakukan dengan
Sunyi terus menyelimuti ruang yang dihadiri empat orang itu. Satu di antaranya, seorang perempuan berambut lurus sebahu hanya menatap lurus ke depan, tanpa ekspresi. Sementara dua lainnya, menatap si perempuan itu dengan pandangan nelangsa seolah ikut merasakan segala sakit yang ia derita. Ah, masih ada seorang lagi yang sepertinya dia bahagia.Buktinya, wajah tampan itu bisa menyungging senyum walau sedikit.“Ini surat dari pengadilan. Saya ambil segera, biar semua urusan cepat beres," kata si pria.Si perempuan tanpa ekspresi itu hanya mengangguk pelan. Melirik sekilas amplop putih berlogo Pengadilan Agama di salah satu wilayah tempat ia tinggal. Surabaya."Saya pamit kalau begitu. Masalah yang dibicarakan di pengadilan sebelumnya, sudah saya urus. Dua atau tiga hari lagi, akan ada yang datang untuk minta tanda tangan kamu."Lagi-lagi si perempuan itu mengangguk."Bu, Pak, Janu pamit. Mohon maaf atas segala salah dan khilaf Janu selama ini. Saya pulangkan Tari ke rumah kalian kembal
Sengaja ia memilih menempuh jarak puluhan kilo di malam ini. Doanya terperanjat penuh sembunyi. Besar harapnya pada sang waktu, agar keping sakitnya perlahan lepas satu per satu. Cukup baginya, dua tahun dibuang penuh sia-sia. Berkubang pedih dan meredupkan cahaya dirinya sendiri.Masa lalu memang demikian hebat menggerus tingkat kewarasannya. Untuk itu lah, di sini ia sekarang. Mengambil satu keputusan besar bernama damai. Butuh tekad kuat, keinginan gigih, serta keyakinan penuh, kalau jalan yang ia pilih adalah yang terbaik.Menurut versinya.Lagu lawas era delapan puluhan mengiring sepanjang perjalanan darat yang dia jalani. Sengaja ia memilih menggunakan bus travel ketimbang kereta atau pesawat. Ia ingin menikmati setiap meter jarak yang dibentang oleh Sang Pencipta. Menaruh keping demi keping sakit yang dimiliki pada setiap pemberhentian bus yang dia tumpangi. Siapa tahu, keping itu dibawa oleh angin ke pusat badai lalu diremukkan hingga tak bersisa. Lalu ia terlahir kembali, mu
“Kamu yakin, Tari?”Wanita yang dipanggil Tari membentuk lengkungan pada bibirnya. Jemarinya ia gunakan untuk menyentuh lembut punggung tangan sang lawan bicara. Ada nada khawatir yang terdengar, ia bisa merasakan itu.“Yakin. Aku enggak mau merepotkan keluarga kalian lebih lama lagi. Toh, itu pekerjaan halal.” Ucapannya penuh keyakinan. Matanya menyiratkan sedikit permohonan.“Tapi janji satu hal sama aku, Tari. Kalau enggak betah, kamu langsung pulang ke sini. Ngurus anak itu susah, lho.”Kala Mantari, hanya beberapa yang dekat dengannya memanggil dengan nama Tari, terkekeh kecil. “Iya, aku tahu.” Tekadnya bulat.Sejak lulus, Risa Andita—sahabat Kala, merantau ke Jakarta. Berbekal ijazah universitas kenamaan di Surabaya, membuat seorang Risa kini bisa dikatakan sukses dalam karir. Jabatannya sebagai Manager HRD di sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja, cukup mumpuni jika menjadi pembicaraan di kampung halaman mereka.Agak terkejut Risa mendapati tekad Kala yang ingin merantau di J
Kala duduk dengan mencoba tenang. Ada gelisah yang menyusup namun coba dihalau dengan senyum kecil yang ia punya. Di depannya duduk pria yang mengenakan Polo shirt hijau pupus, tampak membolak balik berkas yang ia kenali sebagai data dirinya.“Kamu enggak sayang ijazah kamu?” tanya pria itu dengan sedikit bertopang dagu. Berkas itu sudah diletakkan kembali di meja.Satu dari banyak hal yang membuat Kala bingung harus merespon seperti apa.“Pengalaman kerja kamu apa?”Terutama bagian ini, paling membuat Kala ketar ketir sebenarnya.“Tidak ada.”“Tidak punya pengalaman, tapi lulusan sarjana.” Daru bergumam pelan, mengusap ujung dagunya penuh pertimbangan. “Apa yang membuat kamu mau bekerja seperti ini? I mean, baby sitter?Oh, sorry. Maksudnya... jadi pengasuh.”“Saya butuh pekerjaan.” Kala menjawab dengan lugas.Ia dengan jelas mendengar sang lawan bicara menghela napas panjang. “Butuh, ya.”Walau hanya melihat dari sudut matanya, Kala yakin dengan sangat, kening pria itu berkerut. Mung
“Mbak, tas aku di mana?”Kala menghirup udara sebanyak-banyaknya.“Mbak, aduh… jangan lama. Aku butuh tas aku. Sepatu aku aja belum dipakein. Nanti aku telat, Mbak!!!”Tidak ada yang bisa dilakukan Kala selain mempercepat langkahnya menaiki tangga menuju kamar Sheryl, “Sebentar, Mbak ambil.”Begitu menemukan tas berwarna pink dengan motif Unicorn, Kala langsung mengambilnya. Hari ini, hari pertama Sheryl masuk sekolah setelah libur semester genap. Ia mengecek sekali lagi kesiapan anak majikannya. Semalam, dirinya sudah mengingatkan dan membantu Sheryl untuk memasukkan buku tulis dan perlengkapan sekolah yang dibutuhkan. Dirasa cukup, Kala segera turun daripada harus mendengar anak itu berteriak lagi.“Sepatunya yang mana?” tanya Kala yang sudah menggendong tas pink itu.“Yang hitam ada di pojok.”“Lho, Sheryl… kenapa enggak ambil dan pakai sendiri sepatunya?” Anna menghela napas frustrasi. Cucunya ini sudah sangat di ambang batas kemanjaannya.“Aku mau sarapan, Eyang. Nanti enggak sem
Kala mengembuskan napas pelan. Saat ini dirinya mulai melangkah keluar ruangan yang cukup besar itu. Dilirik jam perak yang masih setia menemaninya, sebentar lagi waktunya Sheryl keluar kelas. Ia harus kembali ke ruang tunggu yang sudah biasa disambangi setiap hari. Berjalan sedikit cepat menuruni tangga agar dirinya segera tiba di sana. Ketika tiba di ruang tunggu, sudah banyak yang menunggu kepulangan putra dan putri mereka. Sebagian. Sebagian besar lagi, sama sepertinya. Menunggu anak majikannya pulang sekolah.Sebagian kecil Kala mengenal mereka. Dua minggu sudah rutinitas Kala mengantar dan menunggu Sheryl sekolah. Sebenarnya anak itu protes besar pada Eyangnya. Katanya, gadis itu sudah besar. Sudah tidak butuh Mbak menemani di sekolah. Akan tetapi, Anna hanya menanggapi protes itu dengan senyuman. Tidak menggubris sama sekali keinginan sang cucu yang ingin diantar dan dijemput saja, tanpa harus ditunggui seperti yang Kala lakukan sekarang.“Mbak Kala dipanggil Miss Rina, ya?”Wa
“Sheryl, sarapannya jangan buru-buru gitu, Nak.” Anna mengusap lembut puncak kepala sang cucu. Gadis kecil itu sedikit menegang dalam duduknya namun, mencoba bersikap biasa saja. Ia yakin banyak pertanyaan yang akan dilontarkan dari Eyang serta ayahnya. Makanya kenapa, ia buru-buru menyantap sereal berkuah manis itu. Sesekali, netranya melirik diam-diam ke arah pengasuhnya dengan gusar. Namun sepertinya, sang pengasuh asyik menyiapkan bekal di meja dapur. “Kemarin, Eyang diberitahu Miss Rina tentang kejadian di sekolah.” “Oh,” jawab Sheryl tanpa berani melihat ke arah Eyangnya. Persis seperti ketakutannya. Pasti nanti dirinya yang banyak mendapat ceramah. Seperti yang sudah-sudah. “Memang kamu ngapain di sekolah, Princess?” “Anka rebut pensil aku, Pa.” Sheryl mulai memelankan kunyahan pada serealnya. “Terus?” tanya Daru tanpa mengalihkan matanya dari sang putri. Pagi ini, sosok kecil yang menjadi sumber semangatnya, sangat cantik dengan kepang dua pada rambutnya. Dengan lugas, g