“Mbak, tas aku di mana?”
Kala menghirup udara sebanyak-banyaknya.
“Mbak, aduh… jangan lama. Aku butuh tas aku. Sepatu aku aja belum dipakein. Nanti aku telat, Mbak!!!”
Tidak ada yang bisa dilakukan Kala selain mempercepat langkahnya menaiki tangga menuju kamar Sheryl, “Sebentar, Mbak ambil.”
Begitu menemukan tas berwarna pink dengan motif Unicorn, Kala langsung mengambilnya. Hari ini, hari pertama Sheryl masuk sekolah setelah libur semester genap. Ia mengecek sekali lagi kesiapan anak majikannya. Semalam, dirinya sudah mengingatkan dan membantu Sheryl untuk memasukkan buku tulis dan perlengkapan sekolah yang dibutuhkan. Dirasa cukup, Kala segera turun daripada harus mendengar anak itu berteriak lagi.
“Sepatunya yang mana?” tanya Kala yang sudah menggendong tas pink itu.
“Yang hitam ada di pojok.”
“Lho, Sheryl… kenapa enggak ambil dan pakai sendiri sepatunya?” Anna menghela napas frustrasi. Cucunya ini sudah sangat di ambang batas kemanjaannya.
“Aku mau sarapan, Eyang. Nanti enggak sempat. Bekal aku juga belum. Ya, ampun Mbak Kala. Salah sepatunya.”
“Maaf, ya. Mbak masih bingung. Sepatu Non Sheryl banyak banget.” Sebenarnya Kala cukup lelah pagi ini. Tapi senyum tetap harus ia tampilkan karena baginya. Ia masih terus beradaptasi dengan bocah tujuh tahun ini. Dia harus berusaha lebih keras lagi karena mengimbangi Sheryl sudah menjadi bagian dari pekerjaannya.
Sudah seminggu ia tinggal di sini. Masalah yang terbesar bagi dirinya bukan mengenai adaptasi di rumah dua lantai yang besar ini. Tapi anak yang menjadi tanggung jawabnya.
Keras kepala. Manja. Susah diatur. Egois. Lengkap sudah perangai seorang Sheryl. Ia sudah bisa menduga hal itu sejak awal bicara dengan sang nona muda. Sekali lagi, ia mengembuskan napas pelan. Bersabar.
“Yang ini, Mbak Kala.” Anna mendekat ke arah cucu dan juga pengasuh barunya itu. Ada rasa tak enak hati ketika menoleh ke arah Kala yang justru tersenyum tenang sembari menerima sepatu yang dimaksud sang cucu.
“Lain kali, Mbak akan ingat-ingat sepatu Non Sheryl untuk sekolah, ya.”
Tadinya Sheryl cemberut karena bangun sedikit terlambat. Dia merasa harus tiba di sekolah tiga puluh menit sebelum bel. Mendapati pengasuh barunya menarik pelan kaki dan mengenakan sepatu untuknya dengan lembut, hatinya sedikit melunak.
”Iya.”
Kala tersenyum lega saat akhirnya setelah drama panjang di pagi hari, Sheryl mau tersenyum kecil padanya.
“Bekal dan minumnya sudah Mbak taruh di tas bekal, ya, Non Sheryl.”
Anak itu mengangguk. Rambut panjang gadis kecil itu sekali lagi Kala rapikan. Jepit kecil disemat Kala pada kedua sisi kepalanya. Juga sedikit merapikan seragam sekolahnya. Dirasa semuanya sudah siap, mereka berpamitan pada Anna.
Sebuah sedan sudah menunggu mereka di depan gerbang. Seorang supir yang Kala tahu namanya, Ahmad, bertugas mengantar ke mana pun nona mudanya pergi. Sedikit banyak Kala sudah dibagitahu Anna terkait semua jadwal dan juga keseharian Sheryl. Pun nomor ponsel yang bisa Kala hubungi jika ada sesuatu yang mendesak mengenai Sheryl.
Sepanjang jalan ke sekolah, Sheryl sibuk dengan dunianya. Kala hanya memperhatikan dalam diam. Gadis ini tak banyak bicara. Ada batas yang dibangun sosok cantik ini pada orang di sekitarnya. Kebanyakan Sheryl lebih sering sibuk sendiri tanpa ingin diganggu. Interaksinya terbatas hanya pada Anna, neneknya.
Anna menambahkan pesan agar Kala menunggu Sheryl di sekolahnya hingga pulang nanti. Pihak sekolah juga sudah diberitahu mengenai dirinya sebagai pengasuh Sheryl. Dugaan Kala, gadis ini bersekolah bukan di tempat biasa. Mengingat banyaknya fasilitas yang diberikan pada diri sang anak, maka tak heran ketika mobil yang Ahmad berhenti di depan gerbang, Kala disuguhi pemandangan gedung sekolah yang megah.
Gadis kecil itu turun dengan segera. tanpa menoleh atau sekadar pamit. I a melangkah memasuki gerbang sekolah setelah memastikan tas sekolahnya tersampir di punggung. Kala yang menyaksikan hal itu, hanya melepas nona mudanya hingga sosoknya tertelan di ujung koridor.
***
Kala tidak tahu harus bersikap seperti apa ketika mendapati Sheryl yang masuk ke mobil dengan tertunduk. Bajunya basah dengan bercak merah di bagian dada. Wajahnya masam dan tidak ingin diganggu. Saat Kala menegurnya, Sheryl memberi tatapan sinis. Wanita yang minim pengalaman dalam menangani anak yang merajuk, kebingungan sendiri.
Apa yang mesti ia lakukan sekarang?
“Ada yang ganggu Non Sheryl di sekolah?” tanya Kala hati-hati. Mobil mereka sudah melaju membelah jalan Jakarta yang cukup lenggang siang ini. Seharian menunggu Sheryl di sekolah cukup membuat Kala jenuh sebenarnya. Karena belum mengenal suasana dan lingkungan sekolah empat lantai ini, Kala hanya duduk menunggu di sudut ruangan yang disediakan.
“Aku enggak mau diganggu!”
Kala sedikit terkejut dengan nada tinggi yang anak itu keluarkan. Menghela napas, dirinya memilih menyandarkan diri ke belakang. Mencari akal agar anak itu mau bicara padanya. Dirinya merasa ada yang tak beres dengan Sheryl. Tidak mungkin anak itu mengguyur dirinya sendiri hingga cukup membuat rambut panjang itu lepek terkena air.
“Dulu… waktu Mbak sekolah, Mbak sering diganggu.” Kala bernarasi sendiri, sesekali ia melirik dari sudut matanya bagaimana reaksi seorang Sheryl mendengar kata-katanya.
“Mbak sering nangis di sudut sekolah, mana ruangan gelap dan pengap. Enggak seperti sekolah Non Sheryl yang bagus itu.” Kala kembali memancing perhatian Sheryl namun pandangannya tetap lurus ke depan.
Merasa belum jua mendapat atensi, ia kembali melanjutkan kata-katanya. “Mbak enggak mau cerita sama siapa-siapa karena Mbak malu. Lebih ke arah takut, sih.” Kala membuat suara cukup dramatis di akhir kalimatnya. “Mbak takut waktu itu. Takut kalau bercerita sama ayah Mbak kalau Mbak dijahatin sama teman sekelas. Mbak yakin banget, kalau Mbak ngadu... pasti Mbak bakalan tambah diganggu.”
Ada jeda sejenak setelah Kala memastikan caranya cukup berhasil. Buktinya, Sheryl menatap ke arah Kala dengan pandangan tidak sesinis tadi.
“Tapi Mbak salah.”
“Kenapa salah?” tanya Sheryl penasaran. Matanya sekarang menatap jelas pengasuh barunya.
“Janji sama Mbak mau?”
Sheryl bersedekap. “Janji apa?” tanyanya antipati. Kala berhadapan dengan anak tujuh tahun yang tingkat kecerdasannya patut diacungi jempol.
“Janji sama Mbak untuk bercerita, ada apa hari ini.”
Mereka diam cukup lama. Kala sudah melempar umpannya, tinggal menunggu respon dari gadis kecil yang nampak menimang sesuatu.
“Tapi aku dengar cerita Mbak dulu baru giliran aku.”
Kala tersenyum, “Deal.”
Hari berganti, bulan bergulir, tahun juga semakin bertambah angkanya. Namun satu hal yang tak lekang oleh waktu yang ada. Kebersamaan di rumah dua lantai yang kini tak pernah sepi lagi. Kadang suara Anna memenuhi sudut ruang di mana Nika yang terlalu aktif bergerak. Bocah tujuh tahun itu seperti kancil. Tak bisa diam. Entah dari mana asal energinya.Anna bukan takut ada sesuatu yang pecah atau terjatuh karena Nika. Tapi ia khawatir sang cucu terluka karena geraknya yang terlalu lincah ini. Berlarian ke sana ke sini, terkadang juga loncat tak keruan sembari tertawa riang. Untunglah Levant bisa menemani aktifitas Nika meski sang putri bungsu harus menunggu sampai kakak tengahnya pulang sekolah.Sementara Sheryl benar-benar disibukkan dengan kuliahnya. Levant juga mulai banyak kegiatan di sekolah. Kendati begitu, Sheryl tak pernah menyia-nyiakan waktu bersama keluarganya. Pun Levant. Tiap kali ada kesempatan kumpul bersama, pasti mereka lakukan dengan
Kala menatap Nika yang sudah terpejam tidur penuh dengan sayang. Masih lekat dalam ingatannya bagaimana ia melahirkan putri bungsunya ini. Meski ada banyak drama, tapi rasa syukurnya tak pernah mereda. “Selamat tidur, Sayang. Mimpi indah.” Dikecupnya lembut kening Nika seraya berdoa, “Ya Allah, lindungi selalu anak-anakku dari mimpi buruk. Dari orang-orang yang berniat jahat. Dari orang munafik di sekitar mereka. Jadikan mereka anak-anak soleh dan solehah.”Membenahi ujung selimut Nika terpasang dengan benar, merapikan buku-buku yang sempat diberantaki Nika, pun memastikan suhu ruang kamar ini nyaman, Kala pun keluar kamar. Yang mana ternyata sudah ditunggu oleh Daru.“Belum tidur?” tanya Kala yang berhati-hati menutup pintu kamar Nika.“Mana bisa tidur kalau Ibu enggak ada.” Daru merajuk persis seperti Levant. Makanya sering sekali Kala berseloroh, kalau suaminya menjelma menjadi sang
Meski di dalam SUV mewah sang ayah suasana ribut dan berisik, tapi masih ada relung senyap yang Sheryl punya. Walau sesekali mulutnya meminta Levant untuk tak meledek adik bungsunya, yang entah dari mana tingkah usil Levant ini makin jadi, tetap saja relung itu terkadang minta perhatian.Kekosongan itu sengaja ia adakan di hati untuk memenjarakan sosok Keana di sana.Sosok yang seharusnya ada saat ia sedih, khawatir, kesepian, bacakan dongeng, siapkan sarapan, serta segala macam aktifitasnya kala kecil dulu. Seperti sosok wanita yang duduk di samping ayahnya; yang tak pernah terlambat menemaninya melakukan apa pun meski kedatangannya saat ia berseragam merah putih. Bukan dengan seragam TK atau malah waktu di mana ingatannya belum terlalu sempurna.Perjalanan menuju salah satu mall di wilayah Jakarta Pusat tak butuh terlalu lama ditempuh. Begitu di area parkir, Daru meminta Levant dan pengasuh Nika untuk masuk terlebih dahulu ke
Dulu demi memancing agar Sheryl bicara, Kala butuh banyak usaha. Kali ini, Sheryl dengan mudahnya mengatakan apa pun terutama apa yang terjadi padanya pada Kala. Mulai dari kegiatannya di sekolah sampai temannya yang menurut gadis beranjak remaja ini menyebalkan. Ada saja bahan cerita yang Sheryl bawa untuk Kala. Baginya bicara dengan sang ibu menyenangkan. Tak seperti sang ayah yang lebih sering meledeknya.Terutama hubungan dengan lawan jenis.“Papa kenapa, sih, Bu?” Sheryl melipat tangannya di dada. Wajahnya cemberut. Sorot matanya menyimpan kejengkelan.“Kenapa lagi sama Papa?” Kala melipat senyumnya. Diulurkan tangannya demi untuk merapikan rambut panjang sang putri yang agak berantakan.“Aku ditanya tentang Noah. Memangnya aku ini temannya? Sejak kapan aku menjadi teman Noah Narendra?”“Susunya diminum dulu, ya?”“Aku bukan
Kehamilan kedua saat itu memang agak riskan bagi Kala. Usianya yang tak lagi muda membuat ia memiliki rasa khawatir meski tak sebesar bahagia yang menyelimutinya. Dokter bilang, “Selama Ibu jaga kandungan, kondisi, dan asupan makanan, insyaAllah akan baik-baik saja.”Bagi Kala, segala hal yang tercurah dalam hidupnya sekarang lebih dari sekadar anugerah. Apa yang ia harap selama ini, jutaan do’a yang ia hatur dalam tiap sujudnya terjadi dengan begitu mudah. Seolah tanpa beban Tuhan beri keinginan itu saat Kala melepas segalanya. Di saat ia merelakan dirinya sebagai seorang wanita yang tidak memiliki anak. Cukuplah Sheryl baginya sebagai ajang pamer.Persis saran Risa padanya kala itu.Maka saat kehamilan pertamanya terjadi, bahagia itu bukan hanya miliknya. Tapi seluruh keluarganya. Nita dan Rianto sering berkunjung ke Jakarta demi melihat pertumbuhan cucu pertama mereka. Selayaknya nama yang Kala beri pada an
Pria itu masih mematung di depan setir mobil. Ada sebongkah ragu sebelum ia memutuskan untuk benar-benar turun dan berjalan menuju tempat diadakannya fare wall party seorang Andaru Aria. Hari ini, rekan kerjanya mengundurkan diri. ia memilih meneruskan usaha yang memang sudah ia rintis ketimbang berjibaku di bawah komando orang lain.Ada segunung penasaran yang mendera hati pria itu. terutama kata-kata yang sangat menggangunya sejak tadi pagi."Saya pasti kehilangan Pak Daru dalam pekerjaan." Ia mengatakan kejujuran. Rekan kerjanya kali ini, sangat berdedikasi dalam pekerjaan."Pak Janu bisa saja. Saya memang sudah berniat mengundurkan diri sejak lama tapi waktunya selalu benturan. Kebetulan istri manjanya enggak ketulungan minta ditemani terus di rumah.""Hormon ibu hamil beda, Bos," celetuk Denny, asisten seorang Andaru Aria. "Mbak Kala segitu independent-nya pas manja tuh lucu banget enggak, sih.""Ja