“Sheryl, sarapannya jangan buru-buru gitu, Nak.” Anna mengusap lembut puncak kepala sang cucu.
Gadis kecil itu sedikit menegang dalam duduknya namun, mencoba bersikap biasa saja. Ia yakin banyak pertanyaan yang akan dilontarkan dari Eyang serta ayahnya. Makanya kenapa, ia buru-buru menyantap sereal berkuah manis itu. Sesekali, netranya melirik diam-diam ke arah pengasuhnya dengan gusar. Namun sepertinya, sang pengasuh asyik menyiapkan bekal di meja dapur.
“Kemarin, Eyang diberitahu Miss Rina tentang kejadian di sekolah.”
“Oh,” jawab Sheryl tanpa berani melihat ke arah Eyangnya. Persis seperti ketakutannya. Pasti nanti dirinya yang banyak mendapat ceramah. Seperti yang sudah-sudah.
“Memang kamu ngapain di sekolah, Princess?”
“Anka rebut pensil aku, Pa.” Sheryl mulai memelankan kunyahan pada serealnya.
“Terus?” tanya Daru tanpa mengalihkan matanya dari sang putri. Pagi ini, sosok kecil yang menjadi sumber semangatnya, sangat cantik dengan kepang dua pada rambutnya.
Dengan lugas, gadis kecil itu menjawab, “Aku tarik rambut Anka. Dia aja berlebihan, nangis terus.” Diletakkannya sendok yang sedari tadi menemaninya makan. Sebuah tisu yang ada di tengah meja makan, ia raih. Perlahan, Sheryl pun mengusap sisa susu yang menempel di bibirnya. “Sheryl mau berangkat sekarang.”
“Papa belum selesai bicara, Princess.”
Gadis kecil itu merengut.
“Kalau Sheryl ditarik rambutnya, pasti Sheryl kesakitan, kan? Pasti nangis.” Anna mencoba bicara mengenai sebab akibat yang cucunya perbuat. Entah sudah berapa puluh kali ia menasihati sang cucu mengenai perilakunya ini namun, semuanya dirasa sia-sia.
“Itu pensil kesukaan aku, Eyang.” Sheryl menatap eyangnya dengan sorot mata berkaca-kaca. “Aku enggak mau jahat, tapi Anka lebih jahat.”
Daru menghela napas panjang.”Memang Princess enggak bisa minta baik-baik?”
Dengkus tak suka diberikan Sheryl untuk Daru. “Sudah. Tapi Anka malah bilang ke teman-teman, kalau Sheryl yang ngambil pensil dia. Itu, kan, bohong.”
“Tapi bukan berarti kamu bisa melukai Anka seperti itu, Nak.” Anna kembali mengusap puncak kepala Sheryl dengan lembut.
Sheryl memilih beranjak dari kursinya. “Mbak, sudah belum? Ayo berangkat. Nanti aku telat.”
Sejak tadi, Kala bukan tidak memperhatikan interaksi ketiga orang ini di meja makan. Indera pendengarannya masih sangat jelas merekam segala percakapan tadi. Dirinya memang yang memberitahu Anna mengenai apa yang terjadi di sekolah. Bagi Kala, ini bukan masalah sepele. Harus ada penyelesaiannya namun, bukan seperti ini yang Kala harapkan. Ah, memang Kala siapa?
“Princess harus minta maaf sama Anka. Princess salah.” Ini kata-kata Daru. Mutlak.
Untuk pertama kali sejak beberapa minggu Kala di sini, sorot mata seindah boneka itu terluka. Dengan hentakan kaki, ia melangkah pergi keluar tanpa pamit. Tak ada yang bisa dilakukan Kala selain segera menyusul nona mudanya, setelah ia berpamitan secara singkat pada majikannya itu.
Daru menghela napas frustrasi. Saat Daru pulang sore kemarin, hal pertama yang ia lakukan adalah bertanya pada sang ibu mengenai Sheryl. Apa yang ia dapatkan pun sebenarnya bukan kali ini saja. Entah sudah berapa kali, Sheryl dan Anka ini bersiteru. Masalahnya sepele. Tapi Sheryl selalu mengakhirinya dengan kekerasan.
“Jangan buat ini berlarut-larut, Aria.” Anna menepuk bahu sang putra pelan. “Enggak baik untuk Sheryl nantinya. Dia masih kelas dua, lho.”
Daru hanya bisa mengangguk pasrah.
***
“Mbak bicara apa sama Papa dan Eyang?”
Kala yang baru saja menaruh bokongnya di kursi penumpang berjengit kaget dengan pertanyaan yang baru saja lolos dari bibir Sheryl.
“Mbak, aku tanya beneran. Mbak ngadu ke Papa dan Eyang tentang cerita aku kemarin?” Sheryl sudah menunjukkan sikap antipatinya. Tangannya bersidekap dan matanya menuntut untuk segera Kala jawab.
“Enggak, Non.”
“Aku pernah dengar dari Eyang kalau janji itu hutang. Mbak sudah janji ke aku enggak akan cerita artinya Mbak punya hutang ke aku.”
Kala mengangguk. “Kalau Mbak yang ngadu ke Papa dan Eyang, seharusnya tadi Eyang bilang bukan dari Miss Rina, kan?” Wanita itu memilih menatap lekat-lekat anak asuhnya. “Dan pasti, Eyang akan bertanya sama Non siapa yang bikin Non basah kuyup pas pertama masuk sekolah.”
Merasa yang dikatakan pengasuhnya itu benar, kening Sheryl berkerut seolah sedang berpikir keras. Perlahan ia menurunkan tingkat waspadanya.
“Awas aja ngadu,” katanya.
Sisa perjalanan mereka ke sekolah diisi dengan hening. Kala sibuk berpikir mengenai semua yang terjadi pada Sheryl, pun respon yang anak itu dapat dari orang tuanya. Terutama Daru. Akan berat rasanya untuk Sheryl meminta maaf pada Anka. Kala bisa pastikan itu.
“Jadi, Non enggak tahu siapa yang siram Non di kamar mandi?” tanya Kala memastikan sekali lagi. Getar suara Sheryl berbeda. Ada nada kebohongan di sana, Kala bisa merasakan hal itu. Pun kedua bola matanya yang sibuk mencari pengalih. Bukan terfokus pada satu titik.
“Tahu, sih. Tapi udah, lah.” Sheryl mengibaskan tangan. Rambutnya yang basah sudah cukup mengering. Seragamnya juga sudah diganti dengan kaus biasa yang selalu ada di mobil.
Kala pun memilih tak melanjutkan sesi interogasinya. Kepalanya masih jelas mengingat semua kejadian itu, dua minggu lalu. Entah kenapa ia merasa, semua yang terjadi pada Sheryl memiliki benang yang tertahut meski samar. Apa perbuatan Sheryl pada Anka, buah dari keadaan sang anak yang pulang dalam keadaan basah di hari pertama sekolah? Kala masih belum bisa merangkai benang merah yang mendadak kusut di depan matanya.
“Non masih marah?” tanya Kala sembari melirik ke arah nona muda yang kini asyik melihat channel kesayangannya. Disney Channel.
“Marah sama siapa?”
“Anka, mungkin.”
Kala dengan jelas mendengar suara musik itu terhenti, yang artinya Sheryl mem-pause apa yang sedang ia tonton. “Aku benci dia, Mbak.”
Saat Kala melirik ke arah Sheryl, gadis itu hanya menatap lurus ke depan. Tak terpengaruh oleh hal apa pun. Sorot matanya terlihat kecewa dan tak suka secara bersamaan. Kala yakin, pasti terjadi sesuatu antara gadis kecil ini dengan temannya; Anka.
“Dan aku juga enggak akan mau minta maaf ke Anka. Jangan paksa aku seperti Papa atau Eyang, Mbak.”
Mata mereka bersitatap. Kecewa, sedih, kalut, marah, dan benci ada di sana. Kuat sekali. Hingga besar rasa ingin Kala untuk menarik sang nona muda dalam peluknya. Sekadar berbagi, semua yang dirasa jangan ditanggung sendiri. Dirinya masih terlalu dini untuk merasakan hal itu.
“Iya. Mbak enggak akan minta Non untuk minta maaf.”
Tiba di gerbang sekolah, lagi-lagi Sheryl langsung berlalu begitu saja tanpa pamit. Kala sudah tak heran lagi. Ia hanya memperhatikan betul-betul, anak majikannya hingga menghilang di balik ujung koridor.
Wanita itu memilih duduk di salah satu sudut yang cukup jauh dari kerumunan banyak orang. Selama menunggu Sheryl di sekolah, Kala manfaatkan masa tersebut untuk mencari pekerjaan di laman pencarian kerja yang tersedia secara online. Berkas-berkasnya pun sudah disimpan dalam memori ponselnya. Ia hanya tinggal upload sesuai dengan kriteria yang diminta.
Ini hari Rabu, hari intra Sheryl berenang di sekolah. Yang artinya, jam kepulangannya lebih lambat dari hari biasa. Kala jadi teringat mengenai selembaran yang semalam Daru beri. Ada-ada saja memang majikannya ini. Padahal Kala sudah mulai terbiasa dengan do's and dont's seorang Sheryl dalam keseharian. Beberapa yang krusial ia buat notes tersendiri di ponselnya. Terutama dalam hal makanan.
Tanpa ia sadari, jam pulang Sheryl tiba. Baru akan menunggunya di depan pintu runag tunggu, anak itu sudah ada di sana. Wajahnya tertekuk. Kepang rambutnya sudah tak lagi beraturan, mencuat sana sini.
“Non Sheryl,” panggil Kala hati-hati.
“Temani aku beli baju renang, Mbak.”
Tanpa banyak kata, Kala segera mengambil tas dan juga tote bag kecil berisi bekal yang tadi ia siapkan. Sebelah tangannya yang bebas ia gunakan untuk menggenggam gadis kecil itu. Tangan mungilnya begitu dingin dan gemetar.
Di mobil, Kala segera mengoleskan minyak kayu putih pada tangan yang hanya memenuhi genggaman Kala separuhnya. Mengusapnya pelan agar dingin yang tadi sempat menyapa, bisa segera mereda. Dirasa cukup, Kala menghentikan kegiatannya. Matanya penasaran atas apa yang dialami gadis yang kini duduk diam dengan wajah yang menatap jalan di depan.
“Non Sheryl ada apa?”
“Aku cuma mau beli baju renang.”
“Iya, Mbak tahu. Bukannya semalam Mbak sudah siapkan di tas, ya?”
“Mbak, aku cuma mau beli baru renang baru. Bisa, kan, enggak tanya terus. Sheryl enggak suka!”
Hallo semuanya, aku kembali di Goodnovel. semoga rumah baru Kala Mantari aman dan bisa buat aku kembali menulis lagi. Muahahahhaha. Aniwey, follow akun aku ya. Tengkyu Cinta.
Hari berganti, bulan bergulir, tahun juga semakin bertambah angkanya. Namun satu hal yang tak lekang oleh waktu yang ada. Kebersamaan di rumah dua lantai yang kini tak pernah sepi lagi. Kadang suara Anna memenuhi sudut ruang di mana Nika yang terlalu aktif bergerak. Bocah tujuh tahun itu seperti kancil. Tak bisa diam. Entah dari mana asal energinya.Anna bukan takut ada sesuatu yang pecah atau terjatuh karena Nika. Tapi ia khawatir sang cucu terluka karena geraknya yang terlalu lincah ini. Berlarian ke sana ke sini, terkadang juga loncat tak keruan sembari tertawa riang. Untunglah Levant bisa menemani aktifitas Nika meski sang putri bungsu harus menunggu sampai kakak tengahnya pulang sekolah.Sementara Sheryl benar-benar disibukkan dengan kuliahnya. Levant juga mulai banyak kegiatan di sekolah. Kendati begitu, Sheryl tak pernah menyia-nyiakan waktu bersama keluarganya. Pun Levant. Tiap kali ada kesempatan kumpul bersama, pasti mereka lakukan dengan
Kala menatap Nika yang sudah terpejam tidur penuh dengan sayang. Masih lekat dalam ingatannya bagaimana ia melahirkan putri bungsunya ini. Meski ada banyak drama, tapi rasa syukurnya tak pernah mereda. “Selamat tidur, Sayang. Mimpi indah.” Dikecupnya lembut kening Nika seraya berdoa, “Ya Allah, lindungi selalu anak-anakku dari mimpi buruk. Dari orang-orang yang berniat jahat. Dari orang munafik di sekitar mereka. Jadikan mereka anak-anak soleh dan solehah.”Membenahi ujung selimut Nika terpasang dengan benar, merapikan buku-buku yang sempat diberantaki Nika, pun memastikan suhu ruang kamar ini nyaman, Kala pun keluar kamar. Yang mana ternyata sudah ditunggu oleh Daru.“Belum tidur?” tanya Kala yang berhati-hati menutup pintu kamar Nika.“Mana bisa tidur kalau Ibu enggak ada.” Daru merajuk persis seperti Levant. Makanya sering sekali Kala berseloroh, kalau suaminya menjelma menjadi sang
Meski di dalam SUV mewah sang ayah suasana ribut dan berisik, tapi masih ada relung senyap yang Sheryl punya. Walau sesekali mulutnya meminta Levant untuk tak meledek adik bungsunya, yang entah dari mana tingkah usil Levant ini makin jadi, tetap saja relung itu terkadang minta perhatian.Kekosongan itu sengaja ia adakan di hati untuk memenjarakan sosok Keana di sana.Sosok yang seharusnya ada saat ia sedih, khawatir, kesepian, bacakan dongeng, siapkan sarapan, serta segala macam aktifitasnya kala kecil dulu. Seperti sosok wanita yang duduk di samping ayahnya; yang tak pernah terlambat menemaninya melakukan apa pun meski kedatangannya saat ia berseragam merah putih. Bukan dengan seragam TK atau malah waktu di mana ingatannya belum terlalu sempurna.Perjalanan menuju salah satu mall di wilayah Jakarta Pusat tak butuh terlalu lama ditempuh. Begitu di area parkir, Daru meminta Levant dan pengasuh Nika untuk masuk terlebih dahulu ke
Dulu demi memancing agar Sheryl bicara, Kala butuh banyak usaha. Kali ini, Sheryl dengan mudahnya mengatakan apa pun terutama apa yang terjadi padanya pada Kala. Mulai dari kegiatannya di sekolah sampai temannya yang menurut gadis beranjak remaja ini menyebalkan. Ada saja bahan cerita yang Sheryl bawa untuk Kala. Baginya bicara dengan sang ibu menyenangkan. Tak seperti sang ayah yang lebih sering meledeknya.Terutama hubungan dengan lawan jenis.“Papa kenapa, sih, Bu?” Sheryl melipat tangannya di dada. Wajahnya cemberut. Sorot matanya menyimpan kejengkelan.“Kenapa lagi sama Papa?” Kala melipat senyumnya. Diulurkan tangannya demi untuk merapikan rambut panjang sang putri yang agak berantakan.“Aku ditanya tentang Noah. Memangnya aku ini temannya? Sejak kapan aku menjadi teman Noah Narendra?”“Susunya diminum dulu, ya?”“Aku bukan
Kehamilan kedua saat itu memang agak riskan bagi Kala. Usianya yang tak lagi muda membuat ia memiliki rasa khawatir meski tak sebesar bahagia yang menyelimutinya. Dokter bilang, “Selama Ibu jaga kandungan, kondisi, dan asupan makanan, insyaAllah akan baik-baik saja.”Bagi Kala, segala hal yang tercurah dalam hidupnya sekarang lebih dari sekadar anugerah. Apa yang ia harap selama ini, jutaan do’a yang ia hatur dalam tiap sujudnya terjadi dengan begitu mudah. Seolah tanpa beban Tuhan beri keinginan itu saat Kala melepas segalanya. Di saat ia merelakan dirinya sebagai seorang wanita yang tidak memiliki anak. Cukuplah Sheryl baginya sebagai ajang pamer.Persis saran Risa padanya kala itu.Maka saat kehamilan pertamanya terjadi, bahagia itu bukan hanya miliknya. Tapi seluruh keluarganya. Nita dan Rianto sering berkunjung ke Jakarta demi melihat pertumbuhan cucu pertama mereka. Selayaknya nama yang Kala beri pada an
Pria itu masih mematung di depan setir mobil. Ada sebongkah ragu sebelum ia memutuskan untuk benar-benar turun dan berjalan menuju tempat diadakannya fare wall party seorang Andaru Aria. Hari ini, rekan kerjanya mengundurkan diri. ia memilih meneruskan usaha yang memang sudah ia rintis ketimbang berjibaku di bawah komando orang lain.Ada segunung penasaran yang mendera hati pria itu. terutama kata-kata yang sangat menggangunya sejak tadi pagi."Saya pasti kehilangan Pak Daru dalam pekerjaan." Ia mengatakan kejujuran. Rekan kerjanya kali ini, sangat berdedikasi dalam pekerjaan."Pak Janu bisa saja. Saya memang sudah berniat mengundurkan diri sejak lama tapi waktunya selalu benturan. Kebetulan istri manjanya enggak ketulungan minta ditemani terus di rumah.""Hormon ibu hamil beda, Bos," celetuk Denny, asisten seorang Andaru Aria. "Mbak Kala segitu independent-nya pas manja tuh lucu banget enggak, sih.""Ja