Part 17"Ehm ... Teteh lagi ngapain?" Spontanitas kami menoleh, aku terkesiap begitu juga dengan Tuan Putra, ia menurunkan tangannya saat melihat Arga yang sudah siap dan rapi memakai seragam putih merahnya. Seketika suasana menjadi canggung."Jadi ini majikan teteh ya? Yang teteh ceritain itu?" tanyanya lagi.Aku tersenyum. "Iya, sini Arga, salim dulu sama majikan kakak, ini namanya Tuan Putra, ayahnya Dek Alvaro."Adik laki-lakiku itu datang mendekat. Lalu menatap Tuan Putra dengan lekat dan menyalami tangannya."Sudah, ayo kita sarapan bareng. Teh Husna panggil juga ya, Dek Alvaro belum bangun kan?""Iya, belum, Teh."Arga mengangguk kemudian berlalu menuju kamarku."Maaf Tuan, tadi Tuan mau bilang apa?""Tidak jadi.""Ya sudah, kita makan dulu ya, Tuan. Maaf menunya sangat sederhana gak ada ikan maupun daging-dagingan.""Hmmm ..."Dia mengekor di belakangku lalu duduk di kursi kayu. Tak lama kedua adikku datang mendekat.Aku menyiapkan makanan untuknya dan kedua adikku. Mengambi
Part 18Setelah Pak RT pergi, aku beranikan diri menatap manik mata Tuan Putra yang kecoklatan penuh pesona."Maaf Tuan, kenapa jawabnya seperti tadi? Apa maksudnya? Bikin orang jadi salah paham aja!" gerutuku. Dia tampak santai, tapi tak kunjung menjawab perkataanku."Tuan?" panggilku dengan nada pelan."Ya?""Tuan tahu gak maksud ucapannya Pak RT tadi? Tuan kan majikan saya bukan calon suami saya. Saya tidak enak sama omongan orang-orang kampung yang kadang suka dilebih-lebihkan.""Kalau begitu sesuai ucapan Pak RT, saya akan menghalalkanmu," jawabnya terkesan mantap."Hah?" Aku terperanjat kaget dengan ucapannya. Sungguh tak habis pikir dengan ucapan pria tampan di sebelahku ini. Kok bisa? Apa yang dia suka dariku?"Kenapa terkejut? Saya merasa nyaman sama kamu. Terlebih Alvaro, dia sudah sangat cocok denganmu," jawabnya lagi. Jantungku makin bertalu dibuatnya."Hah? Tapi itu--"Jantungku berpacu dua kali lebih cepat dari biasanya. Apa ini artinya dia sedang melamarku? Rasanya ti
Part 19Tuan Putra sudah berada di belakang kemudi. Bapak dan ibupun sudah berada di jok belakang. Tadi dibantu oleh perawat yang bertugas. Perihal pembayaran Rumah Sakit tadi, akan saya tanyakan di rumah saja ketika sudah sampai."Sudah siap?" tanya Tuan Putra."Sudah, Tuan," sahut ibu sambil tersenyum.Mobil melaju dengan pelan. Sesekali Alvaro berceloteh riang. Dia menunjuk sesuatu yang dinilainya takjub. "Mommy, itu apa?""Mommy, itu apa?""Mommy, itu apa?"Dan pertanyaan lain yang serupa. Aku tersenyum.dan menjelaskan semua yang dia tanyakan. Meski memakan waktu lebih lama, akhirnya sampai juga di rumah. "Makasih ya, Nak," ujar bapak pada Tuan Putra saat ia membantunya masuk ke dalam rumah."Iya, bapak istirahat biar cepat sembuh," sahutnya.Ibu tersenyum, raut wajahnya pun terlihat sangat lelah. Ia masih menemani bapak agar bisa beristirahat.Gegas aku ke dapur, membuatkan teh manis hangat untuk mereka. Bapak, ibu dan Tuan Putra, agar badan mereka segar.Aku segera ke warung
Part 20Tetiba Alvaro mendorong wajah sang ayah dengan tangan mungilnya. "Daddy, jangan mayahin mommy! Kasihan Mommy," pungkasnya."Kamu belain mommy-mu ini?" tanya Tuan Putra, kini ia menatap sang anaknya yang lucu menggemaskan."Iya. Aku sayang mommy!" ungkap Alvaro lagi seraya menyandarkan kepalanya di bahuku."Jangan mayahin mommy, Vayo yang salah," ungkapnya lirih. Sepertinya dia sudah hampir menangis, karena gerak bibirnya yang cemberut dengan mata yang berkaca-kaca. Aku langsung mengecup pipinya dengan lembut. "Enggak sayang, daddymu gak marah kok. Tadi dia hanya bercanda saja," sahutku menenangkan Alvaro yang rupanya salah paham.Tuan Putra tampak menahan senyumannya lalu membelai kepala anaknya. "Maafin daddy ya!"Alvaro justru makin menyembunyikan wajahnya. "Mommy, ayo pulang!""Iya, ayo pulang," sahutku."Ayo sama daddy, Varo!" ujar Tuan Putra."Gak mau! Daddy mayah-mayah teyus! Nanti cepat tua loh!" tukas Alvaro, membuatku tertawa lirih karena kepolosan anak kecil ini.
Part 21"Neng ...!" panggil ibu.Aku menoleh ke arahnya begitu pula dengan Tuan Putra. "Neng, jadi selama ini Tuan Putra tidur di luar?""Iya, Bu.""Ya Allah, kasihan banget atuh, Neng. Kenapa gak disuruh tidur aja di--""Gak apa-apa, Bu. Saya malah menikmatinya, karena tak perlu pakai pendingin ruangan," jawab Tuan Putra."Jangan atuh ah, nanti sakit, masuk angin kalau tidur di teras terus. Kasihan Tuan, Neng.""Tapi itu atas kemauan Tuan sendi--""Sudah, mulai malam ini biar Tuan Putra tidur sama Alvaro di kamar kamu. Terus kamu tidur sama Husna. Jangan begini, kasihan. Angin malam itu gak baik untuk kesehatan."Aku mengangguk mengiyakan ucapan ibu. "Jangan begini lagi atuh, Neng. Tuan adalah tamu di rumah kita, harusnya kita menyambutnya dengan baik.""Sudah, Bu, jangan salahkan Hana. Saya tidur di luar karena saya cuma ingin menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, Bu.""Sudah, sekarang ada ibu. Ibu percaya Tuan teh gak akan melakukan sesuatu yang buruk. Maafin kami ya, Tuan.
Part 22"Kamu sudah terlanjur masuk dalam kehidupan saya, jadi saya tidak akan pernah melepaskanmu.""Ma-af, Tuan. Apa Tuan benar-benar mencintai saya? Atau hanya merasa kasihan pada saya saja? Karena semua itu akan sangat berbeda bila--""Jujur saja awalnya semua karena Alvaro. Tapi akhir-akhir ini saya memang jatuh hati padamu.""Ke-napa?""Saya mencintaimu, dan tak ada alasan mengenai hal itu," ungkap Tuan Putra menegaskan.Setelah mengatakan hal itu, Tuan Putra justru pergi meninggalkanku dalam perasaan yang semrawut tak menentu. Antara senang, terharu tapi juga takut. Terlebih Tuan Putra adalah orang yang sangat kaya, mana mungkin bisa jatuh cinta pada wanita miskin seperti aku ini. Apalagi pasti banyak wanita berkelas yang ada di sekelilingnya dan pasti mereka akan selalu menarik perhatiannya.Kulihat penampilanku sendiri yang alakadarnya. Baju kusam dan murahan, juga semua yang serba apa adanya. Tak ada yang istimewa dalam diri ini. Rasanya mustahil bila Tuan jatuh hati padaku
Part 23"Tuan, tolong jangan bercanda. Pernikahan adalah hal yang sakral. Kalaupun saya ingin menikah, tolong nikahi saya secara resmi," sahutku lagi.Ya, tentu saja aku tidak ingin menikah secara siri. Selain diakui agama, tentu harus diakui juga oleh negara. Tuan Putra tersenyum. "Ya, saya akan mengurus berkas-berkasnya."Ibu dan bapak hanya tertawa melihat kami berdebat. “Ya sudah, bapak dan ibu sudah paham dengan keinginan kalian. Kami memang memberi restu. Tapi Nak Putra, bolehkah kami minta satu persyaratan?”“Iya, Pak, katakan saja, kalau bisa, saya akan menyanggupi persyaratannya.”“Begini, Nak, alangkah baiknya kamu mengabari maksud baikmu ini pada keluarga. Kami tidak mau kejadian yang dulu terulang lagi pada Hana.”“Maksud bapak?”“Ya, keluarga mantan mertua Hana sebenarnya tidak menyetujui pernikahan mereka. Tapi mereka bersikeras tetap menikah karena saling cinta. Tapi akhirnya jadi seperti ini. Suami Hana tiba-tiba menceraikannya. Kami tidak ingin Hana kembali terluka.
"Tidak, Sayang. Kami masih belum resmi, jadi panggilannya masih seperti biasa," jawabku.Kendaraan roda empat yang kami tumpangi sudah hampir sampai di pusat kota. Mobil berhenti di sebuah apotik dan toko alat kesehatan yang cukup besar. “Kita berhenti di sini, Tuan?” tanya Arga. Adik kecilku memang terlihat antusias.“Iya, turun dulu yuk. Kita perlu cari alat bantu jalan buat bapak,” sahut Tuan Putra yang membuatku tertegun.Kami langsung turun dari mobil. Tuan Putra masuk ke dalam apotek sementara kami menunggu di luar saja. Lelaki itu benar-benar membeli alat bantu jalan untuk lansia atau walker.Setelah itu kami pun pergi menuju ke toko alat tulis dan perlengkapan sekolah. “Kok kesini, Tuan?” tanya Arga lagi. Adik laki-lakiku ini memang-benar-benar kritis. Banyak tanya dan rasa ingin tahunya begitu tinggi.“Iya, sekarang kamu pilih saja apa yang ingin kamu beli," jawab Tuan Putra.“Beneran, Tuan?” tanyanya dengan mata berbinar. “Iya, silakan pilih saja. Tas, sepatu, buku atau a