Rastanti tertawa sinis. “Prank? Masih aja gak sadar diri! Udah dikasih tau, gak percaya. Kamu kira, kalau bukan karna kasian sama kamu, siapa yang bakal suka sama kamu? Kalau bukan Yuda, gak ada lagi pria yang mau menikahi perempuan kayak kamu gini. Tapi Yuda berhak dapat wanita yang jauh lebih baik, bukan beban dan parasit sepertimu.”
“Udah ‘lah, Buk.” Yuda mengembuskan napas pelan, lalu menatap Aina. “Aku sudah mengurus semua surat-surat untuk perceraian kita. Aku akan kasih kamu 1 juta, kamu bisa cari kontrakan atau kost murah buat pindah dari sini.”
“Apa-apaan kamu, Yuda? Gak ada, kenapa juga kamu harus kasih dia 1 juta? Kalau dia gak punya uang, itu urusannya sendiri. Derita dia sendiri, keluar dari sini gak punya duit, biar dia jadi gelandangan, bukan urusan kita lagi!” celoteh Rastanti.
“Anggap saja sebagai nafkah terakhir dariku, atau sebagai uang perpisahan. Aku tahu kamu tidak punya tabungan, jadi setidaknya 1 juta ini bisa kamu gunakan untuk mencari tempat tinggal murah dan sebagai uang bertahan sampai kamu dapat kerja.” Yuda mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya.
Rastanti segera menyambar uang yang disodorkan oleh Yuda kepada Aina. “Ck, kamu ini gimana, sih? Kamu lupa kalau sebentar lagi akan menikahi Moja? Kamu lebih butuh banyak uang untuk itu, Yuda! Kenapa malah harus menyumbang kepada perempuan ini, dia kesenengan jadinya. Kalau mau kasih, tidak harus 1 juta, lima puluh ribu saja sudah cukup. Ini, ambil!”
Aina memejamkan matanya ketika Rastanti melemparkan selembar uang lima puluh ribu ke wajahnya. Ia mencoba tenang, meski hatinya begitu sakit, dan otaknya masih sulit menerima hal mengejutkan ini.
“Apa sebenarnya ini, Mas? Apa maksud semua ini? Bukannya selama ini kita baik-baik saja? Kenapa sekarang malah tiba-tiba kamu pulang membawa dia, dan ingin menceraikan aku? Apa yang salah? Perasaan kita tidak ada masalah apa-apa. Kenapa tiba-tiba, Mas?” tanya Aina dengan ekspresi bingung serta tak percaya.
“Ini bukan tiba-tiba, dari awal sebenarnya memang udah begini,” jawab Yuda.
Aina terdiam, keningnya berkerut. “Dari awal begini? Maksud kamu?”
Rastanti berdecak kesal. “Bisa-bisanya lulusan terbaik malah sebodoh kamu! Padahal udah dijelasin dari tadi! Kamu itu dari awal gak dicintai karna kamu itu cuma pengantin pengganti, tau! Kamu itu cadangan! Pelarian! Apa lagi yang mau kamu dengar, udah dari tadi aku jelaskan!”
Dada Aina berdenyut mendengar itu. Tentu rasa sakitnya sudah tak bisa diungkapkan lagi. Ia mendongak, menatap Yuda dengan sorot tanpa makna. “Apa semua itu benar?”
Yuda mengembuskan napas kasar. “Lagi pula, kamu juga untung karena selama ini bisa tinggal dengan tenang di rumahku. Anggap saja 2 tahun ini aku membantumu supaya tidak kesulitan di luar sana. Kamu tidak punya keluarga, tidak punya orang tua lagi, jadi kita sama-sama untung dalam hal ini. Kamu senang bisa tinggal di sini, makan di sini.”
Aina tersenyum pahit. Ia menunduk dengan rasa sakit begitu dalam. “Jadi selama ini apa, Mas? Sedari awal kamu mendekatiku di kampus, bersikap baik padaku di kampus, sampai akhirnya kamu ngajak aku nikah, sekarang pernikahan kita udah 2 tahun, kamu cuma anggap aku pengganti? Apa kamu ini lucu?”
“Udah ‘lah, Ai. Aku capek debat sama kamu, hampir tiap hari harus ngomong sama kamu, belum lagi jadi hakim buat debat kamu sama Ibuk-ku. Aku gak bakal terlalu desak kamu buat beres-beres. Kamu bisa ke kamar ambil barang sekarang, buat pindah dari sini. Aku juga mau bantu Moja buat beberes kamarnya, dia bakal tinggal di sini mulai sekarang. Makanya kamu harus pindah dari sini sekarang juga.”
Aina tertawa miris. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia segera menunduk untuk tak memperlihatkan rasa sakitnya di depan pelaku yang membuatnya terluka begitu dalam.
“Padahal aku mencintaimu dengan tulus, Mas. Aku gak nyangka, ternyata aku emang sebodoh itu dari dulu, ya? Aku kira kamu juga cinta, ternyata semua kebaikan kamu selama ini palsu.” Aina mendongak, ia menatap Yuda dengan sorot dingin. “Aku tau sekarang, selama ini kamu baik sama aku di kampus, apa cuma demi tugas kampus?”
Yuda diam sejenak, lalu berdecak. “Baik ‘lah, aku akan jujur saja, karna kamu begitu keras kepala. Aku ingin semuanya segera selesai, biar kamu juga gak banyak ngomong lagi. Moja udah capek dari tadi berdiri, kamu malah ngajak debat kayak gini.” Ia malah mencemaskan Moja di saat hati istrinya tengah hancur berkeping-keping. “Iya! Aku emang deketin kamu karna tugas, karna di kampus kamu mahasiswi yang paling pintar dan rajin. Aku memanfaatkanmu yang tidak punya teman. Lalu, kamu juga ingin tau kenapa aku menikahimu? Selain karna ingin membuat Moja kesal dan menjadikan kamu sebagai pengganti Moja, aku juga ingin terus memanfaatkan kepintaranmu itu. Berkat kamu, aku bisa terus naik jabatan, dan sekarang aku akan segera menjadi manager. Puas sekarang?”
Napas Aina tercekat, ia membatu di tempat dengan hati hancur sehancur-hancurnya. Tangannya terkepal, semua kalimat Yuda sukses membuatnya jatuh ke jurang terdalam.
“Ternyata hingga akhir aku emang gak pantes buat bahagia, ya?” Aina bergumam dengan bibir bergetar. “Ternyata kamu emang sebodoh itu, Aina. Bodoh sampai menganggap pria di depanmu ini menjadi harapan satu-satumu untuk hidup selama ini. Bodoh karna kamu sangat mencintainya, sedangkan dia sama sekali tidak pernah mencintaimu, hanya memanfaatkanmu. Jadi ... sebenarnya aku ini pintar atau bodoh?” batinnya ingin sekali meraung.
“Apa lagi yang kau tunggu? Cepat keluar dari rumah ini! Jangan kira kamu bisa memohon-mohon di sini, mau pura-pura menangis darah pun gak peduli! Cepat keluar dari sini! Tidak usah lagi beberes barang, karna semua barang yang kamu punya adalah pembelian Yuda. Cepat keluar!” Rastanti mendorong Aina hingga terjatuh ke lantai.
Aina menarik napas dalam, menguatkan dirinya sendiri. “Jangan menangis, Aina. Jangan perlihatkan lemahnya kamu, atau mereka akan semakin senang dan bahagia atas penderitaan serta rasa sakit ini,” batinnya.
“Kasian, Tante. Seenggaknya kasih aja satu baju, biar bisa diganti-ganti di jalan. Masa cuma satu baju di badannya doang? Nanti jadi gembel, dong? Kasian dia.” Moja yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara sok baik.
Aina mendongak, menatap dingin ke arah Moja yang tersenyum miring ke arahnya. Tanpa ekspresi, Aina pun berdiri.
“Kamu emang terlalu baik, Moja. Kamu emang menantu idaman Tante.” Rastanti begitu lembut kepada Moja, sebelum ia mendelik sinis ke arah Aina. “Padahal dia udah rebut Yuda dari kamu. Masih aja kamu kasian sama dia. Udah, biarin aja, dari awal dia ini emang gembel yang dipungut Yuda dan dibawa pulang ke rumah ini. Jadi gak ada hak dia buat bawa apa pun dari rumah ini.”
“Bener ‘kan dugaanku, Mas Darya ini pasti punya bisnis yang bagus. Karyawan biasa mana yang bisa punya rumah semewah ini? Atau bisa jadi juga warisan keluarga dia yang emang udah kaya. Jangan-jangan, sebenernya Mas Darya juga punya perusahaan sendiri kayak Pak Rey Jabio yang turun dari keluarga. Dia kerja sebagai karyawan biasa di perusahaan lain, karna gabut aja. Banyak ‘kan orang kaya yang gitu?” batin Aina sibuk menerka-nerka.“Aina.” Darya mengerutkan kening melihat Aina bengong di samping mobil, bahkan tak sadar saat ia memanggil. Darya pun mendekat, lalu menepuk pelan bahu Aina. “Ai.”“Eh?” Aina terkejut, ia mendongak menatap Darya yang mengerutkan kening heran memperhatikannya. “Ah, maaf, Mas.”Darya menggeleng. “Kamu beneran gak ngantuk? Kalo gitu, tidur aja dulu. Ayo kita masuk, kamu bersih-bersih, abis itu makan bakso, terus tidur ben
“Bentar, ya. Aku beli makanan dulu.” Darya menepikan mobilnya di tepian jalanan di mana banyak penjual kaki lima. “Kamu mau cemilan apa? Atau ada sesuatu yang mau kamu beli?”“Ah? Enggak ada, Mas,” jawab Aina.“Aku turun bentar, ya. Gak lama, kok.”Aina tersenyum lalu mengangguk. “Iya, Mas. Gak pa-pa.”Aina memperhatikan Darya tengah membeli beberapa makanan. Entah itu martabak manis, gorengan, dan makanan lainnya.“Belinya agak banyak, ya. Berarti di rumah Mas Darya ada orang, ya? Keluarganya? Kalo buat sendiri, kayaknya gak mungkin sebanyak itu,” gumam Aina.Darya benar-benar tak menghabiskan banyak waktu untuk membeli berbagai makanan. Ia kembali ke mobil, lalu melanjutkan perjalanan menuju rumahnya.Hingga beberapa menit kemudia, pergerakan mobil Darya mulai memel
“Ayo, Mas, kita pergi.”Darya yang sempat melongo, lalu mengangguk kaku. “O-oh, iya, ayo kita pergi sekarang.” Ia melirik Rey sekilas, lalu segera mengajak Aina ke arah mobilnya. “Kita ke langsung ke rumahku.”“Beraninya kau sok menasehatiku? Wanita breng-sek! Urus saja hidupmu yang kacau itu, jelas-jelas kehidupanmu lebih buruk dari padaku, tapi sok-sokan menasehatiku! Wanita breng-sek!” teriak Tita kesal dan marah karena dinasehati oleh Aina.Aina tak menghiraukan celoteh Tita. Ia masuk ke dalam mobil ketika Darya membukakan pintu mobil mewah itu untuknya.Semua orang yang melihat itu terdiam serta terkejut melihat mobil Darya, terkecuali Rey. Bahkan Yuda dan Moja sudah melotot memastikan merek mobil yang dinaiki Aina.“Itu—bukannya mobil mewah itu yang kemarin aku lihat? Waktu itu aku mengira salah lihat, berarti wani
“Ayo kita pulang sekarang.” Darya mengajak Aina segera pergi dari sana.“Ini udah kelar, Mas?” tanya Aina ragu. Ia melirik Jotan dan Rey bergantian.“Sudah selesai, Aina. Tita dipecat,” jawab Jotan.“Saya hanya salah paham, Pak. Kenapa saya dipecat?” protes Tita masih tak tahu diri.“Diam ‘lah, Tita. Jangan sampai Om pun ikut diseret karena kasus kamu ini. Om akan carikan kerjaan di tempat lain, jangan membuat semuanya makin kacau,” bisik Sahril ketar-ketir, karena Rey masih ada di sana.“Tapi, Om, aku ‘kan—”“Bahkan kamu masih belum merasa bersalah, ya? Kamu masih ngerasa benar?” tukas Jotan tak habis pikir.“Ini hasil didikanmu, Sahril? Sepertinya keponakanmu ini sudah terlalu merasa aman di perusahaan ini. Apa dia mengira perusah
Aina menoleh, ia melihat Darya datang. Aina tersenyum tipis ke arah Darya. Sedari tadi Aina merasa sangat tertekan, karena merasa dirinya sendirian di sana, tak ada sokongan. Namun, ketika melihat Darya, beban Aina seakan berkurang, tekanannya pun seakan ikut menguap perlahan.Darya mendekat ke arah Aina, lalu tersenyum menenangkan wanita itu. Sedari tadi ia sudah coba sabar, akhirnya sekarang tak tahan untuk tidak keluar dari mobil, menemani Aina yang terlihat begitu jelas tengah tertekan serta tak nyaman.Darya menepuk pelan bahu Aina sembari terus tersenyum. “Gak usah takut, kamu gak salah,” bisiknya meyakinkan Aina.Rey melongo melihat tindakan lembut Darya kepada Aina. Ia menaikkan sebelah alisnya, lalu melirik ekspresi wajah Darya. “Cih, ternyata pria kaku ini juga bisa lembut, dan manis sama orang, ya?” ejeknya dalam hati.Darya mengangkat kepalanya, lalu menat
“Anda atasan di perusahaan ini, ya?” Tiba-tiba Moja bersuara dengan nada sok imut, bahkan tersenyum ke arah Rey. “Saya cuma mau kasih saran, sih. Karna kebetulan saya juga kenal sama Aina waktu kuliah. Kayak yang dibilang sama Yuda, Aina ini gak cocok sama sekali loh kerja di sini. Dia ini—”“Kau siapa lagi?” tukas Rey malas, “sudah ‘lah, orang-orang yang tidak berkepentingan kayak kalian, silakan pergi dari sini, atau ingin saya panggil satpam untuk mengusir kalian?”“Kami cuma pengen kasih masukan, kok. Kok Anda marah begitu, sih?” cetus Moja sedikit ketus.“Atasan kami ‘kan udah bilang, kalian gak diperlu ikut campur. Beliau bukan cuma atasan, beliau ini adalah Rey Jabio—CEO perusahaan ini sekaligus orang yang paling berwewenang di perusahaan ini. Jadi tolong lebih sopan ‘lah,” tegur Jotan ikut muak dengan Moja