Aina menatap kos-kosan di depannya. Kondisi di sana terbilang begitu ramai, bahkan sangat sempit.
Setelah berhasil menggadaikan kalung peninggalan ibunya, Aina langsung berusaha mencari kos-an murah. Hingga kini kondisi menjelang magrib, hari sudah mulai gelap, akhirnya Aina mendapatkan kos-an murah.
Harga sewa kos-an sesuai dengan kondisi kos-an tersebut. Kamar yang kecil, dan kamar mandi di ujung, setiap harinya tentu harus berebut atau antri.
Meski begitu, Aina sudah tenang dan senang, karena malam ini ia tak harus tidur di jalanan karena diusir mendadak dari rumah mantan suaminya. Meski secara hukum negara Aina dan Yuda masih suami istri, tetapi dalam agama mereka sudah resmi bercerai, sebab Yuda sudah menalaknya dalam keadaan sadar.
“Haah, akhirnya usahaku dari tadi siang membuahkan hasil juga.” Aina menarik napas lega.
“Nak Aina, ini tikarnya.”
Aina menoleh, ia tersenyum melihat ibu pemilik kos itu kembali sembari membawa tikar kecil. “Makasih banget, Buk. Maaf malah ngerepotin. Saya sewa juga tikarnya, Buk. Untuk satu bulan ini.”
“Gak usah, pake aja. Lagian itu juga gak digunain di rumah, kok. Gak usah disewa segala, pake aja.”
Beruntung pemilik kos itu baik, ia bersedia meminjamkan Aina tikar, karena Aina tak memiliki kasur. Hampir saja malam ini Aina tidur di lantai tanpa alas, sebab kos-an itu memang tidak menyediakan kasur atau isi lainnya, hanya kamar kosong.
“Makasih banget, Buk.” Aina tersenyum tulus.
“Sama-sama, gak usah sungkan begitu. Kalau ada apa-apa, tanya aja, mana tau saya bisa bantu.”
Aina mengangguk sembari tersenyum. “Iya, Buk. Nanti kalo bingung-bingung, saya cari Ibuk. Saya izin pake tikernya ya, Buk.”
“Iya-iya, ini udah mau magrib, saya pulang dulu, ya. Jangan lupa kunci pintunya kalo udah masuk, ya.”
“Iya, Buk. Makasih sekali lagi, Buk.”
“Iya, Nak, sama-sama.” Tiyem pun pergi dari sana.
Aina tersenyum melihat kepergian Tiyem—pemilik kos-an tersebut. “Untung masih ada orang baik kayak Buk Tiyem. Dia tau aku masih mau cari kerjaan, jadi bersedia potong harga kos-annya meski potong dikit, tapi udah nambah ringan. Ini juga dipinjemin tiker buat tidur, seenggaknya aku gak tidur di lantai tanpa alas.”
Selepas magrib, Aina mengusap perutnya yang keroncongan. Sedari tadi siang, semenjak diusir dari rumah, Aina belum mengisi perutnya. Tak heran jika cacing dalam perutnya berdemo minta diisi.
“Aku mau keluar bentar, kalo gak salah inget, gak jauh dari sini ada warung. Moga-moga aja di sana ada jual mie rebus, makan pake mie aja dulu, besok pagi baru beli nasi.”
Aina sangat ingin berhemat, supaya uang yang ada di tangannya sekarang cukup untuk bertahan sampai mendapat pekerjaan. Saat nanti ia mendapatkan pekerjaan pun, Aina tetap harus sabar hingga menerima gaji.
***
“Yuda, apa kamu gak pa-pa tidur di luar gini? Nanti kalo kamu sakit, masuk angin gimana?” Moja menatap Yuda yang sedang merapikan tempat di luar ruangan, untuk tempatnya tidur.
Yuda mendongak, lalu tersenyum. “Enggak, aku ‘kan cowok, jadi aku gak masalah tidur di luar. Kamu tidur nyenyak aja di dalem, gak usah khawatirin aku.”
“Tapi itu ....” Moja menggantung kalimatnya, seakan enggan mengucapkan. Namun, itu semua hanya sebuah akting sok polos belaka.
“Apa? Kamu gak suka sama kamarnya? Kamarnya emang gak terlalu besar, tapi itu lebih besar dari pada kamar Ibuk.”
“Bukan itu.” Moja mengembuskan napas pelan. “Itu seprainya belum diganti. Aku rasanya agak aneh mau tidur di sana, karna itu ‘kan bekas seprai kamu sama istri kamu.”
Yuda berdiri. “Dia udah bukan istri aku, Sayang. Aku udah talak dia, aku cuma harus sabar nunggu 3 bulanan buat resmi cerai di mata hukum negara. Besok kita ‘kan mau nikah siri dulu, jadi mulai besok, kamu udah jadi istri aku. Jangan bahas Aina lagi. Masalah seprainya, aku mau tanya Ibuk dulu, mana tau ada seprai baru. Maaf, aku lupa itu, malah gak peka sama seprai bekas Aina. Kamu pasti jijik, ya? Tunggu bentar.”
Moja tersenyum miring melihat Yuda bergegas ke arah belakang untuk mencari Rastanti—ibunya. “Iya, aku jijik banget malah. Kalo bukan karna gak ada pilihan lain, mana mungkin aku mungut sampah yang udah pernah aku buang dan tinggalin? Malah udah jadi bekas orang lain juga, bikin jijik banget, untung kamu patuh dan bodoh. Masih aja BUCIN padaku meski udah ditinggalin.”
Yuda memang bodoh. Ia tega mencampakkan dan mengusir Aina yang menyayanginya dengan tulus dan sudah berjasa selama ini, hanya demi Moja—si licik sok polos.
“Buk, di mana?” Yuda memanggil Rastanti dengan ekspresi sedikit tak sabaran.
“Di belakang! Ini lagi bakar baju-bajunya si gembel itu. Gak sudi Ibuk, masih ada baju-baju sialnya ini di rumah kita.”
“Tadi juga kenapa Ibuk larang dia bawa barang-barangnya? Ini baju harusnya biarin aja dibawa.”
“Gak bisa gitu, dong! Kalo gitu dia keenakan. Semua baju ini ‘kan kamu yang beliin. Jadi dia gak ada hak buat bawa baju-baju ini. Dari pada kasih dia, mending Ibuk bakar. Syukur dia gak bawa baju, sekalian jadi gembel beneran di luar sana.” Rastanti tersenyum sinis melihat kobaran api hasil membakar baju daster Aina yang tak seberapa.
“Ck, terserah ‘lah. Sekarang gantiin seprai di kamar aku. Moja gak mungkin tidur di seprai bekas dipake Aina, dia jijik, dan aku pun jijik. Besok aku juga udah bakal tinggal di kamar itu sama Moja, aku juga gak mau masih pake seprai bekas Aina.”
“Iya juga, Ibuk lupa.” Rastanti menjauh dari kobaran api itu. “Tapi seprai gak ada, harus beli dulu.”
“Ck, ini beli dulu aja. Beli yang bagus, Buk, biar Moja tidurnya nyenyak, gak yang panas.”
“Ibuk yang beli, nih? Ini udah malem, jalan jauh ke depan buat nyari taksi atau ojek.”
“Masih jam sembilan, Buk. Udah ‘lah, aku mau temenin Moja dulu. Sekalian, beli bahan makanan aja, Moja pasti udah laper banget. Abis pulang beli seprai, ganti dulu seprainya, abis itu Ibuk masak.”
Rastanti menganga melihat Yuda meninggalkannya setelah memberikan uang 100 ribu. “Ibuk yang masak?!”
“Ya, iya. Terus siapa lagi? Gak mungkin Moja ‘kan?” sahut Yuda di sela langkahnya hampir mencapai pintu dapur.
Rastanti terbengong sejenak, lalu ia menunduk menatap selembar uang berwarna merah di tangannya. “Hah, aku lupa, ternyata babu itu udah gak ada di sini. Ck, gak pa-pa, deh, masak buat mantu kesayangan juga. Lagi pula, tangan Moja pasti halus banget, dia gak bisa urus masalah dapur. Dia ‘kan seorang perawat, kalo nanti dia gajian, pasti bakal kasih aku sebagai mertua kesayangannya. Makanya harus manjain dia, hi-hi. Ayo kita belanja sekarang.”
***
“Nak Aina.”
Aina menoleh ke belakang dengan raut lesu. Ia tersenyum tipis melihat Tiyem berjalan cepat menyusul langkahnya.
“Sore, Buk,” sapa Aina sopan.
Tiyem mengangguk singkat sembari tersenyum. “Sore juga, Nak Aina. Baru balik ngantar lamaran, ya?”
“Iya, Buk. Ada yang bisa aku bantu, Buk? Kok, buru-buru banget kayaknya.”
“Kamu udah dapet kerjaan? Ini udah satu minggu, masih belum ada yang diterima?”
Aina terdiam sejenak mendengar pertanyaan pemilik kos-nya tersebut. Ini sudah satu minggu semenjak ia diusir oleh Yuda, dan hingga saat ini semua lamaran yang ia masukkan ke beberapa perusahaan tak mendapatkan respon.
“Belum, Buk. Lamaran yang aku masukin dari seminggu yang lalu belum dapet panggilan. Gak tau, entah karna gak lolos atau emang perusahaannya belum terima karyawan baru. Belum rejeki kayaknya, Buk. Yang penting tiap hari usaha, deh.” Aina tersenyum tipis.
“Bener ‘kan dugaanku, Mas Darya ini pasti punya bisnis yang bagus. Karyawan biasa mana yang bisa punya rumah semewah ini? Atau bisa jadi juga warisan keluarga dia yang emang udah kaya. Jangan-jangan, sebenernya Mas Darya juga punya perusahaan sendiri kayak Pak Rey Jabio yang turun dari keluarga. Dia kerja sebagai karyawan biasa di perusahaan lain, karna gabut aja. Banyak ‘kan orang kaya yang gitu?” batin Aina sibuk menerka-nerka.“Aina.” Darya mengerutkan kening melihat Aina bengong di samping mobil, bahkan tak sadar saat ia memanggil. Darya pun mendekat, lalu menepuk pelan bahu Aina. “Ai.”“Eh?” Aina terkejut, ia mendongak menatap Darya yang mengerutkan kening heran memperhatikannya. “Ah, maaf, Mas.”Darya menggeleng. “Kamu beneran gak ngantuk? Kalo gitu, tidur aja dulu. Ayo kita masuk, kamu bersih-bersih, abis itu makan bakso, terus tidur ben
“Bentar, ya. Aku beli makanan dulu.” Darya menepikan mobilnya di tepian jalanan di mana banyak penjual kaki lima. “Kamu mau cemilan apa? Atau ada sesuatu yang mau kamu beli?”“Ah? Enggak ada, Mas,” jawab Aina.“Aku turun bentar, ya. Gak lama, kok.”Aina tersenyum lalu mengangguk. “Iya, Mas. Gak pa-pa.”Aina memperhatikan Darya tengah membeli beberapa makanan. Entah itu martabak manis, gorengan, dan makanan lainnya.“Belinya agak banyak, ya. Berarti di rumah Mas Darya ada orang, ya? Keluarganya? Kalo buat sendiri, kayaknya gak mungkin sebanyak itu,” gumam Aina.Darya benar-benar tak menghabiskan banyak waktu untuk membeli berbagai makanan. Ia kembali ke mobil, lalu melanjutkan perjalanan menuju rumahnya.Hingga beberapa menit kemudia, pergerakan mobil Darya mulai memel
“Ayo, Mas, kita pergi.”Darya yang sempat melongo, lalu mengangguk kaku. “O-oh, iya, ayo kita pergi sekarang.” Ia melirik Rey sekilas, lalu segera mengajak Aina ke arah mobilnya. “Kita ke langsung ke rumahku.”“Beraninya kau sok menasehatiku? Wanita breng-sek! Urus saja hidupmu yang kacau itu, jelas-jelas kehidupanmu lebih buruk dari padaku, tapi sok-sokan menasehatiku! Wanita breng-sek!” teriak Tita kesal dan marah karena dinasehati oleh Aina.Aina tak menghiraukan celoteh Tita. Ia masuk ke dalam mobil ketika Darya membukakan pintu mobil mewah itu untuknya.Semua orang yang melihat itu terdiam serta terkejut melihat mobil Darya, terkecuali Rey. Bahkan Yuda dan Moja sudah melotot memastikan merek mobil yang dinaiki Aina.“Itu—bukannya mobil mewah itu yang kemarin aku lihat? Waktu itu aku mengira salah lihat, berarti wani
“Ayo kita pulang sekarang.” Darya mengajak Aina segera pergi dari sana.“Ini udah kelar, Mas?” tanya Aina ragu. Ia melirik Jotan dan Rey bergantian.“Sudah selesai, Aina. Tita dipecat,” jawab Jotan.“Saya hanya salah paham, Pak. Kenapa saya dipecat?” protes Tita masih tak tahu diri.“Diam ‘lah, Tita. Jangan sampai Om pun ikut diseret karena kasus kamu ini. Om akan carikan kerjaan di tempat lain, jangan membuat semuanya makin kacau,” bisik Sahril ketar-ketir, karena Rey masih ada di sana.“Tapi, Om, aku ‘kan—”“Bahkan kamu masih belum merasa bersalah, ya? Kamu masih ngerasa benar?” tukas Jotan tak habis pikir.“Ini hasil didikanmu, Sahril? Sepertinya keponakanmu ini sudah terlalu merasa aman di perusahaan ini. Apa dia mengira perusah
Aina menoleh, ia melihat Darya datang. Aina tersenyum tipis ke arah Darya. Sedari tadi Aina merasa sangat tertekan, karena merasa dirinya sendirian di sana, tak ada sokongan. Namun, ketika melihat Darya, beban Aina seakan berkurang, tekanannya pun seakan ikut menguap perlahan.Darya mendekat ke arah Aina, lalu tersenyum menenangkan wanita itu. Sedari tadi ia sudah coba sabar, akhirnya sekarang tak tahan untuk tidak keluar dari mobil, menemani Aina yang terlihat begitu jelas tengah tertekan serta tak nyaman.Darya menepuk pelan bahu Aina sembari terus tersenyum. “Gak usah takut, kamu gak salah,” bisiknya meyakinkan Aina.Rey melongo melihat tindakan lembut Darya kepada Aina. Ia menaikkan sebelah alisnya, lalu melirik ekspresi wajah Darya. “Cih, ternyata pria kaku ini juga bisa lembut, dan manis sama orang, ya?” ejeknya dalam hati.Darya mengangkat kepalanya, lalu menat
“Anda atasan di perusahaan ini, ya?” Tiba-tiba Moja bersuara dengan nada sok imut, bahkan tersenyum ke arah Rey. “Saya cuma mau kasih saran, sih. Karna kebetulan saya juga kenal sama Aina waktu kuliah. Kayak yang dibilang sama Yuda, Aina ini gak cocok sama sekali loh kerja di sini. Dia ini—”“Kau siapa lagi?” tukas Rey malas, “sudah ‘lah, orang-orang yang tidak berkepentingan kayak kalian, silakan pergi dari sini, atau ingin saya panggil satpam untuk mengusir kalian?”“Kami cuma pengen kasih masukan, kok. Kok Anda marah begitu, sih?” cetus Moja sedikit ketus.“Atasan kami ‘kan udah bilang, kalian gak diperlu ikut campur. Beliau bukan cuma atasan, beliau ini adalah Rey Jabio—CEO perusahaan ini sekaligus orang yang paling berwewenang di perusahaan ini. Jadi tolong lebih sopan ‘lah,” tegur Jotan ikut muak dengan Moja