Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 56 ) Fakta (1)"Kalau boleh saya tahu, alasan apa yang membuat Pak Rafli bercerai dari istri pertamanya?" tanyaku tiba-tiba. Bu Fatma menatapku dengan mimik serius. Manik matanya bergerak-gerak menelisik keseriusan dalam ucapanku. "Benarkah Mbak Vinda ingin mengetahuinya? Apakah Mbak janji setelah mengetahui hal itu, maka Mbak akan mempertimbangkan permintaanku tadi? Aku yakin Rafli tidak akan mengecewakanmu, Mbak!"Lidahku kelu mendengar pertanyaan beruntun dari Bu Fatma. Terdengar suara tertawa Bu Fatma yang sangat renyah. Aku tertegun memandang wajah ayu di depanku. "Nggak Mbak. Saya nggak maksa Mbak Vinda untuk menerima Rafli. Ada banyak kekurangan juga dalam dirinya. Saya nggak mau membebani Mbak Vinda dengan permintaan yang berat seperti itu. Apalagi untuk seseorang yang pernah gagal dalam berumah tangga, kukira harus cukup banyak pertimbangan untuk memulai lagi." Bu Fatma menjeda kalimatnya. Aku berusaha tersenyum, mengurai rasa gugup
Aku memutar gagang pintu kamar. Kulihat anak-anakku sudah tidur. Setelah membersihkan diri, aku berbaring di sisi mereka. Menciumi satu per satu anakku yang tumbuh dengan baik. Kuusap rambut mereka satu per satu, kulantunkan doa terbaik untuk mereka. Beginilah jika aku pulang telat sedikit saja. Jangankan menemani si kembar belajar atau Zoya bermain. Bahkan aku tak bisa sekedar menuntun mereka untuk berdoa sebelum waktu tidur. Ada rasa sesal menelusup dalam dadaku, mengingat mereka yang harusnya masih sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang dariku. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Kulihat nomor baru lagi. Aku mengabaikannya, mengingat waktu yang sudah malam. Jika memang penting, dia akan mengirimi pesan untuk menjelaskan kepentingannya. Sekarang saatnya beristirahat. Aku sudah cukup lelah dengan aktivitasku hari ini. Proses penambahan dan pergantian meja kursi serta peralatan dapur restoran membuatku payah bukan main. Kuhitung dengan pasti setiap item yang memang harus kuganti. T
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir (58)Sebuah Pertanyaan (1)Aku mengatur napasku yang memburu. Lengang. Tak ada jawaban apapun dadi ujung sana. Hanya kudengar helaan napas yang masih bisa tertangkap telingaku. Aku mulai menangkap suatu hal yang ganjil. "Siapa yang mau poligami, Mbak Vinda?" Suara tak asing yang beberapa waktu ini sudah tak pernah lagi kudengar. Aku menilik layar ponselku segera. Nama yang terpampang di sana membuatku panas dingin hingga bergetar hebat karena gugup. "Kulihat kamu sedang online, jadi kuputuskan untuk menghubungimu." Aku tak bisa berkata-kata. Rasanya malu hingga ke ubun-ubun. Aku kesal dengan diriku yang kali ini bertindak ceroboh hingga berbuah fatal seperti ini. "Mbak Vinda?!" panggil Pak Rafli. Aku makin gemetaran. Keringat keluar, di tengah hawa malam malam yang sebenarnya sangat dingin. "P-Pak Rafli?" tanyaku tergagap. Terdengar suara renyah dari ujung sana. Sial sekali. Bahkan dia tertawa seperti itu. Aku yakin sekali dia menertawakanku
Aku menyisir rambut Zoya yang sudah sampai bahunya. Dengan memakai dress selutut dan rambut kuncir ekor kuda, penampilan anakku makin membuatku gemas. Kuciumi pipinya yang penuh dengan aroma bayi. Tak kusangka anak ini sudah sebesar ini. Setelah kedua kakaknya berangkat dengan diantar Mbah Kalung mereka, aku memutuskan untuk membawa Zoya ke restoran hari ini. Rasanya aku ingin berlama-lama dengan anak perempuanku. Ruangan istirahat yang dulu hanya ada kasur dan televisi, kini kutambah dengan beberapa fasilitas yang kuyakin akan membuat anakku betah berada di sana. Karpet dengan aneka karakter dan juga beberapa mainan sengaja kusiapkan. "Zoya, tidak boleh rewel. Hari ini ikut Bunda kerja ya?" pintaku saat memakaikan seat bealt untuknya. Zoya mengangguk dan tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang tanpa karies sama sekali. Zoya sudah kebiasaan berkumur dengan air hangat setelah meminum susu. Dia juga sudah tahu aturan sikat gigi sebelum tidur. Kuusap rambut kepalanya dengan g
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 60 )Ibunda Pak Rafli (1)"Silahkan duduk, Mbak. Saya ibunya Rafli. Saya yang memaksa Rafli untuk membawaku kemari sepagi ini. Rasanya kesal sekali di PHP terus dari beberapa bulan yang lalu. Saya penasaran karena Fatma dan Dewi berkali-kali membicarakanmu." Kalimat itu meluncur dari bibir wanita yang masih terlihat menawan meski di usia lanjut. "Saya hanya ingin memastikan satu hal," lanjutnya. Aku menunggu kalimat selanjutnya yang akan dia ucapkan. "Kapan kalian meresmikan hubungan kalian? Anak saya sudah siap lahir batin, tunggu apa lagi? Saya bosan menunggu Rafli yang diam di tempat. Dia kira berapa usianya, bisa-bisanya maju mundur mendekati seorang wanita. Hingga rasanya gatal sekali ingin menanyakan langsung padamu. Jadi mau kapan?" Astaga. Aku menatap penuh selidik pada pria di samping wanita yang tengah memberondongku itu. Aku meminta kejelasan, perihal apa yang membuat ibunya bicara sejauh itu. Bisa-bisanya kami yang baru pertama ka
Ibunda Pak Rafli (2)"Su-sudah, Bu." "Bagus. Fatma sudah bekerja sesuai tugas yang Ibu berikan. Kamu tentu tahu, Rafli tak suka dibohongi. Apa yang Wita lakukan memang keterlaluan. Awalnya Ibu sangat menyukai Wita. Wanita cerdas dengan pendidikan yang tidak diragukan lagi. Karirnya sangat bagus. Bahkan dia juga sopan. Anggah-ungguhnya Ibu acungi jempol. Dari keluarga baik pula. Siapa yang menyangka dia tak satu pemikiran dengan anak saya. Dan membohongi Rafli seperti itu adalah sesuatu yang fatal. Ibu maklum saat Rafli memutuskan untuk menceraikannya." Ada rasa tak suka saat Ibu Pak Rafli menjelaskan kelebihan mantan istri anaknya. Tapi buru-buru aku menepis perasaan itu. Lebih baik aku fokus bagaimana caranya jujur pada wanita itu, bahwa apa yang kami bicarakan sudah melampaui jauh dari yang seharusnya. "Rafli sangat setia. Dia tidak akan mungkin melakukan hal seperti yang mantan suamimu lakukan. Ibu berani jamin. Kabari Ibu secepatnya, kapan kami bisa datang ke rumah orang tuamu.
Ada Apa Denganku? (1)[ Bagaimana ini, ibuku pengin hari ini ke rumah orang tuamu!] Aku hampir menjatuhkan ponselku saat membaca pesan dari Pak Rafli pagi ini. Mimpi apa semalam aku mendapat doorprize sepagi ini. [ Maaf, Pak. Itu masalah Anda. Silahkan jelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada ibu Anda, Pak. Jangan biarkan kesalahpahaman ini berlanjut. Pernikahan bukan permainan yang hanya dimulai dengan suit lalu mulai!] Aku sedikit menggertak laki-laki itu. Bukankah semua ini juga karena penyebabnya? Dia yang memilih bungkam di depan ibunya, kok aku yang jadi kena getahnya? Enak saja! [ Sudah, tetapi aku kewalahan menjelaskan sendiri. Aku butuh bantuanmu!] [ Enak saja, Pak. Anda yang memulai, kok aku yang repot. Dia kan ibumu, jadi kamu yang lebih tahu bagaimana cara menghadapinya] [ Vinda! Kumohon] [ Heh?]Apa-apaan. Bahkan dia sudah menghapus sapaan Mbak untukku. [ Ayolah, kamu juga ikut berperan. Kemarin kenapa diam saja? Kenapa tak menjelaskan langsung padanya? Kamu diam
Aku sudah meminta ayah untuk tak ke toko hari ini. Biarlah sepupuku yang menjaga toko ayah sendirian. Kujelaskan bahwa ada tamu yang akan datang ke rumah. Apa tujuannya, biar nanti ibu Pak Rafli yang menjelaskan sendiri. Aku pasrah. Sungguh. Setelah kutimbang, mungkin benar ini satu-satunya jalan agar terbebas dari keluarga mantan suamiku. Dengan menikah, besar kemungkinan mereka mundur dan berhenti mengusikku. Mudah-mudahan keputusan yang terkesan terburu-buru ini baik untuk kami. Kulihat sosok Pak Rafli cukup baik dan sangat mudah dekat dengan anak-anak. Biar nanti orang tuaku yang menilai. Kuserahkan semua pada mereka. Tak lama, suara deru mobil masuk ke halaman rumah. Astaga, jantungku rasanya berdetak makin tak berirama. Keringat dingin keluar. Bahkan cangkir teh yang sedang kupegang terlihat sekali getarannya. Ibu yang lewat di depanku memicingkan mata. Dia berhenti dan menatapku agak lama. "Vin, kamu baik-baik saja?"Aku mengangguk. Kemudian meletakkan cangkir di meja dan