"Pokoknya Mama tidak mau tahu, ceraikan istrimu sekarang juga," ucapan ibu tiri Andin cukup membuatnya terkejut.
Selama tiga tahun pernikahannya dengan Seno Gunawan, memang tidak pernah mendapat restu dari Bu Sekar."Ma, tenangkan diri Mama dulu. Aku sedang banyak urusan di kantor, tidak ada waktu luang untuk mengurus masalah perceraian," balas Seno, putera tunggal Bu Sekar."Nah itu dia, kamu itu terlalu menyepelekan pernikahan ini. Sehingga kamu mengabaikan juga sikap istrimu yang kurang ajar sama Mama."Seno menghela nafas berat, lelaki berusia tiga puluh tahun itu mendelik ke arah Andin yang berdiri di sudut ruangan. Sepertinya sang ibu tengah menghukum istrinya lagi."Apa lagi yang Andin perbuat kali ini?"Bu Sekar tersenyum senang saat anaknya merespon keluh kesah yang sengaja dia buat."Istri kamu itu mempermalukan Mama di depan geng arisan Mama. Dia sengaja salah memasukan garam ke minuman yang hendak Mama suguhkan pada teman-teman Mama. Hampir saja marwah Mama hancur gara-gara istri kamu yang tidak becus itu," keluh Bu Sekar.Nada bicara Bu Sekar dibuat sesedih mungkin agar anaknya percaya dengan apa yang dia katakan, dari awal Seno memperkenalkan Andin sebagai calon istrinya saja dia sudah tidak suka.Menurut Bu Sekar banyak sekali kekurangan yang dimilik Andin, bagi Bu Sekar yang seorang sosialita dia tidak merestui pernikahan Seno, anaknya dengan perempuan kampung itu.Seno mendekati sang istri, tatapan amarah dan muak ditujukannya pada Andin. Dia sudah lelah dengan pekerjaan di kantor, ketika pulang ke rumah bukannya dia bisa melepas lelah malah ada saja yang membuatnya naik darah."Jadi istri itu yang becus! Aku tahu kamu itu tidak pernah sekolah, tapi setidaknya kamu bisa membedakan mana itu gula dan garam. Hal sepele seperti itu saja kamu tidak tahu? Apa kamu anak kecil?"Seno menoyor kepala Andin hingga membentur ke tembok dibelakang istrinya. Dia bisa saja menceraikan Andin, akan tetapi bukan sekarang. Akhir tahun seperti ini banyak event yang harus dia hadiri bersama pasangan, jadi mau tidak mau Seno masih mempertahankan rumah tangganya.Walau Seno harus menebalkan telinga dari keluhan dan omelan panjang ibunya, seperti hari ini."Aku itu kerja banting tulang di luar sana, bisa tidak sih aku istirahat saat pulang kerja? Begitu pun kamu harus aku ajari? Gunanya kamu di sini itu untuk apa jika bukan untuk meringankan beban Mama, hah?""Mas, aku tidak sengaja. Aku juga sudah minta maaf sama Mama, tapi Mama tidak mau terima," dalih Andin."Tuh, lihat! Dia berani berbohong di depan kamu, Nak. Tidak pernah sekalipun dia minta maaf. Malah dia tertawa senang waktu teman Mama komplain minuman mereka rasanya asin," sanggah Bu Sekar.Seno menggeram kesal, dia mencengkeram kerah kemeja putih Andin."Aku sudah bilang kalau kamu harus menghormati Mama, berani sekali kamu bersikap seperti itu dengan Mama!"Andin kesulitan bernafas, cengkeraman Seno semakin kuat. Dia tidak bisa melepaskan diri. Bulir air mata mulai menyusup keluar."Jangan menangis! Simpan kembali air mata palsumu itu!"Seno melempar tubuh Andin dengan keras hingga Andin terjatuh dan kepalanya membentur sudut runcing meja, darah segar keluar dari pelipisnya.Seno kembali mendekati Andin, masih dengan tatapan mata sama.Andin mundur beberapa langkah saat Seno mendekatinya, ada perasaan takut saat dia menatap mata suaminya yang dipenuhi emosi. Selama pernikahan mereka memang Seno bukan tipe suami yang menunjukkan cintanya berlebihan, meski terkadang Seno sering memaki dan memarahinya. Namun, setidaknya Seno tidak pernah main tangan. "M---maafkan aku, Mas. Aku janji akan berubah, aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama." Seno meludah tepat di depan Andin, hari ini suasana hatinya sedang buruk. Proposal bisnisnya ditolak oleh pihak investor, setelah pulang malah dia harus mendengar ocehan ibunya. "Kamu itu bisa tidak sih jadi istri yang berguna sedikit, apa kontribusi kamu dalam hidupku selain memberiku sakit kepala? Apa susahnya mengikuti arahan Mama? Kamu menyepelekan Mama sama saja dengan menyepelekan aku. Tahu tidak?" Andin tidak sanggup berucap, feelingnya mengatakan jika dia melawan satu kata ucapan suaminya maka fatal akibatnya. "Kalau ada orang yang ngomong tuh jawab! Kamu pikir aku s
Terik mentari sudah tinggi, tapi Andin tidak juga mau membuka matanya. Tubuhnya terasa sakit semua, terutama di bagian yang ditendang oleh suaminya. Semalam Andin tidak bisa tidur sama sekali, tubuhnya menggigil hebat. Dingin namun terasa panas, Andin tidak tahu apakah karena luka yang dia terima atau dia yang terlalu banyak pikiran sehingga kesehatannya menurun drastis. Bu Sekar yang memang bukan tipe morning person, sangat murka saat dia pergi ke meja makan dan tidak ada makanan sama sekali. Dengan langkahnya yang berat, Bu Sekar masuk ke kamar sempit Andin. Kamar yang sejak usia pernikahan Andin yang kedua tahun telah dia tempati. Iya, Andin tidak diperbolehkan untuk masuk dan tidur di kamar utama dengan Seno. Apa bila Seno menginginkan tubuhnya, maka Seno yang akan menemui atau memanggilnya. Sekedar untuk memenuhi hasrat seksualnya. Tidak jauh beda dengan mereka yang bekerja sebagai wanita malam atau wanita panggilan bukan? Dicari ketika butuh, setelah Seno puas lalu Andin dib
Dari dalam kamarnya yang terletak tidak jauh dari meja makan, terdengar suara Bu Sekar beramah tamah dengan tamu wanita yang dibawanya. Sungguh miris, Bu Sekar tentu tahu Andin yang sedang sakit. Namun, Bu Sekar jangankan membawa Andin ke dokter. Orang yang menjadi mertuanya itu malah menyuruhnya memasak dan membiarkan Andin merintih kesakitan seorang diri. Bulir air mata Andin tak dapat lagi dibendung, wanita malang itu meratapi nasibnya yang selalu tidak mujur. Terbesit di hati Andin menyesali keputusannya menikah dengan Seno, andai saja dia bisa mengetahui seperti apa masa depan yang akan dia lalui dengan Seno tentu Andin akan menolak lamaran lelaki itu. "Apa yang bisa ku lakukan, nasi sudah jadi bubur. Aku hanya bisa menerima takdir yang Tuhan gariskan untukku, aku juga bodoh sebab terlalu mudah menaruh hati," keluh Andin. Selimut yang basah akibat siraman air ibu mertuanya terpaksa dia gunakan untuk menyelimuti tubuhnya yang kini mulai panas, Andin tidak punya pilihan lain. D
Andin tidak menyangka Bu Sekar memperbolehkan orang lain untuk memanggilnya Mama, sedangkan saat Andin memanggilnya demikian, Bu Sekar sangat marah padanya. Bu Sekar mengizinkan setelah usia pernikahan Seno dan Andin menginjak dua tahun. Betapa sakit hati Andin melihat kedekatan Bu Sekar dengan Dewi, selayang pandang saja Andin dapat mengetahui bahwa orang yang diharapkan menjadi menantu di keluarga ini adalah Dewi. Bukan dirinya, yang tidak punya apa-apa. "Mulai sekarang Dewi akan sering datang ke rumah, jadi pastikan kamu melayani Dewi dengan baik. Jangan berlaku kurang ajar, awas saja kalau kamu berani seperti itu," ancam Bu Sekar. Andin hanya bisa mengangguk, ya apa lagi yang dia bisa. Perintah mertuanya adalah suatu kemutlakan yang harus dilaksanakan."Mama, maaf loh aku ngerepotin gini jadinya. Aku nggak enak sama si Mbak dan Mas Seno," ucap Dewi dengan nada manja manjalita. "Tentu saja tidak, Sayang. Oh iya, nggak usah panggil dia, Mbak. Panggil nama saja, atau kamu boleh p
Sebuah mobil Mercedes-Benz 300 SLR Uhlenhaut berhenti tepat di sebuah gedung mewah, dari dalam mobil keluar dua wanita beda generasi. Bisik beberapa orang saat melihat mobil tersebut rupanya menjadi kebanggaan tersendiri bagi kedua wanita tersebut. "Siapa mereka?" "Kalian tidak tahu? Wanita yang sudah paruh baya itu 'kan ibunya Pak Seno. Kalau wanita disebelahnya aku tidak tahu sih, nggak kenal." "Apa mungkin istrinya? 'Kan Pak Seno sudah menikah." "Bukan, Pak Seno memang sudah menikah. Tapi istrinya bukan orang itu, istri Pak Seno itu cantiknya alami. Sedangkan wanita itu cantiknya karena oplas." Iya, dua orang yang baru saja turun dari mobil dan hendak memasuki gedung di mana Seno bekerja adalah Bu Sekar dan Dewi. Keduanya datang tepat di saat jam makan siang, sehingga banyak karyawan yang baru mau keluar mencari makan siang. Walau di perusahaan tersebut tersedia kantin, tapi ada sebagian dari karyawan yang ingin makan makanan luar. Bu Sekar mendelik pada tiga karyawati yang
Sejak pertemuan pertama dengan Dewi, Seno semakin jarang pulang ke rumah. Sekalipun dia pulang, pasti hari sudah larut. Bukan hanya Seno yang berubah dan jarang di rumah, Bu Sekar pun lebih banyak menghabiskan waktunya di luar sana. Terkadang keduanya pulang dalam keadaan mabuk, atau pulang dengan tangan penuh barang belanjaan. Andin tidak tahu apa yang keduanya lakukan, tapi dia bukan gadis lugu yang tidak tahu apa pun. Seperti halnya dini hari ini, saat Andin baru saja selesai dengan pekerjaan rumah, suaminya baru saja pulang. Namun ada yang berbeda, jika selalunya Seno pulang sendiri malam ini Dewi dengan Seno. "Ngapain kamu bengong! Cepetan bantu aku, kamu kira mapah Mas Seno nggak berat!" hardik Dewi. Dewi kewalahan menyanggah tubuh Seno yang teler akibat minuman keras yang dia tenggak. "Kenapa kamu yang bawa Mas Seno pulang? Biasanya dia pulang sendiri." "Heh! Cewek dungu, lihat dong kondisi Mas Seno. Memang dengan kondisinya yang seperti itu dia bisa pulang dengan kakinya
Hari demi hari kelakuan Seno makin menjadi, jangankan untuk pulang ke rumah yang sudah mulai jarang. Seno bahkan sudah tidak pernah memberikan nafkah pada Andin. Alasan Seno selalunya sebab Andin tidak memerlukan uang, makan rumah sudah ditanggung Seno. Sementara itu mereka juga belum punya anak, jadi Andin tidak punya alasan untuk meminta nafkah padanya. Untuk keperluan pribadinya, Andin mencoba menjadi reseller online shop. Secara tidak langsung, Andin sudah diabaikan oleh Seno. "Andin!!" "Andin!!" Lamunan panjang Andin memikirkan nasibnya seketika buyar, saat ibu mertuanya memanggil dirinya dengan lantang. "Iya, Ma. Ada apa?" tanya Andin yang tergopoh-gopoh memenuhi panggilan sang ibu mertua. "Kamu ini dari tadi aku panggil nggak dengar apa? Tuli atau memang sengaja, hah?" Bu Sekar segera menarik telinga Andin, hingga telinga menantunya itu memerah. "A--ampun, Ma. S--saya beneran nggak denger," jawab Andin, meringis kesakitan. "Ya Tuhan! Aku lama-lama bisa mati berdiri, ka
Hari ini Andin keluar diam-diam dari rumah, bukan untuk kabur. Dia hanya ingin bertemu dengan temannya, oh bahkan mungkin sahabatnya. Sebab hanya dia teman yang Andin punya. Andin terpaksa keluar tanpa meminta izin dari ibu mertua maupun suaminya, selain ke pasar Andin tidak diizinkan untuk keluar rumah. Hidup Andin di rumah itu tidak cukup dijadikan sebagai pembantu, pemuas nafsu suaminya, tapi juga bagai tawanan. "Andin!" Suara yang sangat Andin kenal membuatnya menoleh, mencari si pemilik suara. "Siska..." Andin berlari sekuat tenaga dan memeluk sahabat yang sudah lama tidak dia temui. "Ya ampun, Ndin. Kamu kenapa jadi kurus begini?" Ketika Siska membalas pelukan Andin, dia menyadari tubuh sahabatnya itu jauh lebih kurus dari terakhir dia bertemu dengan Andin. "Sebenarnya apa yang terjadi selama pernikahan kamu dengan Seno? Jangan bilang Seno tidak memperlakukan kamu dengan baik?" terka Siska. Andin membisu, dia tidak yakin apa harus menceritakan semuanya pada Siska. Bukank