Andin mengerjakan kelopak matanya, rasa pusing kembali menghampiri. Setelah butuh waktu beberapa menit hingga kesadaran sepenuhnya telah dia kuasai, Andin memperhatikan keadaan di sekitarnya. "Aku ada di mana?" tanyanya pada dirinya sendiri. Andin mencoba mengingat kejadian sebelum dia ada di tempat ini. Ingatan dia yang kabur dari kejaran ibu mertua, tercegat oleh Sarip dan juga pertemuannya dengan lelaki botak. "Laki-laki itu! Apakah dia yang membawaku ke sini? Tapi dia siapa? Aku yakin tidak kenal dengan orang itu," gumam Andin. Kepala Andin kembali berdenyut, makin dia memaksa untuk mengingat orang yang dia temui itu kepalanya makin bertambah pusing. Seolah alam bawah sadarnya tidak mengizinkan Andin untuk mengingat orang tersebut. Cklek!Daun pintu yang semula tertutup rapat itu perlahan terbuka, sosok laki-laki bertubuh tinggi dan tegap memasuki kamar tersebut dengan membawa nampan berisi makanan. "Mbak sudah bangun rupanya?" ucap lelaki itu. Tanpa rasa canggung lelaki i
"Aku ingin cerai dengan Mas Seno. Bertahan pun percuma. Aku sudah tidak sanggup mempertahankan pernikahan ini," ucap Andin setelah terdiam cukup lama. "Bagus! Aku akan bantu proses perceraian Mbak Andin dan Mas Seno. Lalu, aku punya rencana untuk membalas perbuatan mereka. Kalau Mbak Andin setuju dengan rencanaku, aku akan urus semuanya," ujar Lukman. "Benarkah? Gimana caranya melawan mereka? Mas Seno itu orang yang berpengaruh di perusahaannya. Aku takut dia menggunakan kekuasaannya untuk membuat hidupmu susah, Lukman. Kalau aku 'kan tidak masalah. Aku nggak mau orang lain terkena dampaknya karena menolongku." "Mbak Andin nggak perlu khawatirkan itu semua. Aku bukan orang yang gampang dia jatuhkan. Lagi pula, Mbak Andin juga tidak seharusnya mendapat perlakuan buruk dari Mas Seno dan Mama," balas Andin. "Mbak tenang saja. Aku ini jauh lebih bisa diandalkan dari apa yang Mba Andin sangka." "Begitukah? Lalu, rencana apa yang kamu maksud?" tanya Andin. "Menikahlah denganku, Mbak."
Suara desahan di kamar yang penerangannya remang-remang itu terasa begitu panas. "Aaahh..." Entah sudah berapa kali Dewi merasakan pelepasan. "Gimana sayang? Enak?" tanya Seno yang juga telah kelelahan setelah aktivitas panas mereka. "Iya, sayang. Senang deh aku kalau kita kayak gini terus. Sayang lebih puas denganku atau dengan cewek kampung itu?" tanya Dewi. Dewi merapatkan tubuhnya pada Seno. Seolah dia tidak ingin berjauhan dengan lelaki itu. "Tentu kamu dong, kamu ini tidak ada duanya. Setiap kali aku main denganmu rasanya aku tidak mau berhenti. Berbeda sekali kalau dengan Andin. Dia itu pasif, tidak mau berganti gaya. Dia juga tidak mau menyenangkan juniorku dengan mulutnya. Berbeda dengan kamu lah pokoknya, kamu ini memang yang terbaik."Seno melumat bibir Dewi, lumatan yang awalnya ringan itu kini berganti menjadi lumatan yang saling menuntut. Dewi menikmati tiap permainan lidah Seno, tangannya bergerilya dan memainkan junior lelaki itu. "Euhmm... Terus sayang. Enak..."
"Dewi, aku harus pulang," ucap Seno. "Loh, kenapa, Mas? Bukannya kita masih punya banyak waktu?" Dewi yang sudah menebak kenapa Seno mengatakan hal itu, tentu tidak ingin membiarkan Seno pulang begitu saja. "Andin kabur, Dewi. Aku harus mencari keberadaan Andin." Dewi mendengus kesal, ketika nama Andin diungkit Seno. Padahal yang ada di depan Seno saat ini dirinya, tapi malah istrinya itu yang Seno ingat. "Mas kok lebih mentingin istri Mas itu, Mas udah nggak sayang sama aku lagi," ujar Dewi. Dewi marah dan cemburu jika dia mengetahui Seno masih peduli dengan Andin. Bukankah dia yang bisa memuaskan lelaki itu? Dewi sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran Seno. "Sayang, bukan begitu. Aku harus pulang untuk saat ini, tapi aku janji akan mengganti waktu kita yang belum kita lalui ini, gimana?" bujuk Seno. "Mas kenapa sih harus banget gitu nyariin Andin? Dia kan sudah dewasa, paling juga bentar lagi balik. Lagian Mama tuh pengen cucu dari kita, tapi kalau Mas aja enggan mengha
Seno bersiul dengan riangnya saat dia kembali ke rumah, setelah menghabiskan hari dengan Dewi. Kebutuhan biologisnya telah terpenuhi, itu lah hal yang membuat suasana hatinya bahagia. Ibarat kucing garong yang diberi ikan asin, begitulah Seno. Dia akan melahap ikan asin tersebut. Namun dia justru menyia-nyiakan hidangan mewah di rumah. "Aku ingin cepat-cepat mengambil alih asuransi si Andin, dengan begitu dia bisa segera ku tendang keluar. Sungguh menyebalkan karena dia masih hidup." Gerutuan Seno memanjang jika dia teringat tujuan awalnya menikahi Andin, tapi rencananya itu masih belum juga terlaksana. Dulu, Seno sempat merencanakan pembunuhan Andin. Hanya saja, dia masih takut akan hukuman penjara jika sampai perbuatannya terendus. Makanya dia mengganti strategi dengan menyerang Andin secara fisik dan mental. "Sial banget tuh cewek, sudah diperlakukan buruk kayak gitu juga masih belum mati. Bosen aku lama-lama." Daun pintu dibukanya dengan malas. Kalau bukan karena besok dia ha
Gemuruh petir saling bersahutan di langit sana. Angin pun mulai berhembus kencang, mungkin sebentar lagi hujan akan turun. Walau cuaca sedang tidak mendukung, hal itu tidak mengurungkan niat Seno untuk mencari keberadaan sang istri. "Mama yakin dia lari ke arah sini?" tanya Seno pada ibunya. Karena terus dipaksa oleh Seno, Bu Sekar akhirnya pulang dari party yang diselenggarakan temannya. "Ya Mama mana tahu, intinya waktu kabur dia ke arah sini. Hanya saja sebelum Mama berhasil menangkapnya, wanita kampung itu pergi ke arah mana lagi." "Sialan!" Brak! Seno memukul kemudi mobil, sebenarnya dia ingin memukul ibunya. Namun dia sadar diri kalau dia masih membutuhkan ibunya. "Seno, lupakan saja wanita kampung itu. Kalau dia kabur bukannya justru lebih bagus. Kamu jadi bisa menikah lagi dengan Dewi. Kita tinggal bilang saja kalau wanita kampung itu sudah mati dan kamu bisa mengkalim asuransi yang kamu maksud itu. Bu Sekar mengira kalau putranya akan menerima usulan yang dia berikan. N
Brak! Pintu mobil ditutup kasar oleh Seno, dia sudah tidak sabar untuk menyeret istrinya yang dia pikir bersembunyi di rumah Siska. "kamu yakin di sini rumah temannya Andin?" tanya Bu Sekar. "Aku yakin, aku pernah ke sini mengantar Andin sebelumnya. Dia kan tidak punya siapa-siapa lagi, sembunyi di mana kalau bukan di rumah temannya ini?" Langkah kaki Seno dipercepat, rumah kontrakan berukuran kecil itu menjadi tujuannya. Digedornya pintu kayu yang sudah hampir lapuk di makan usia, Seno tidak peduli dengan pandangan tetangga Siska yang menatapnya penuh curiga. "Siska! Keluar kamu! Aku tahu kamu ada di dalam!" Seru Seno tanpa menghentikan gedorannya. Sementara Seno yang masih terus memanggil si pemilik rumah, Bu Sekar hanya mematung sambil mengamati sekeliling rumah tersebut. Kontrakan yang berada di tempat yang padat penduduk itu tampak kumuh di mata Bu Sekar. Hal yang paling dia benci dalam hidupnya. Iya, Bu Sekar yang termasuk OKB itu sangat tidak suka dengan wilayah kumuh d
"Ada apa Luk?" tanya Andin yang baru saja dari dapur. Dia menghampiri Lukman yang tengah mengetik sesuatu di ponselnya. "Oh, bukan masalah besar kok." Kening Andin mengkerut, jika bukan masalah besar kenapa ekspresi wajah Lukman tadi sedikit tegang? "Jangan-jangan ada hubungannya dengan Mas Seno?" tebak Andin. Tidak ada jawaban dari pemuda itu, dia hanya kembali fokus pada layar laptopnya. Terlihat jajaran angka yang Andin tidak pahami. Hari ini Lukman bekerja dari rumah. Alasannya karena tidak banyak pekerjaan penting, sehingga dia memilih untuk mengerjakannya di rumah saja. Namun Andin sudah menebak, bukan itu alasan utama Lukman. Dalam pikiran Andin, mungkin saja Lukman masih belum percaya dengan dirinya. Siapa juga yang langsung percaya begitu saja dengan orang yang baru pertama ditemui setelah beberapa tahun lamanya? "Jangan bohong, Lukman. Aku yakin Mas Seno membuat ulah lagi, bukan? Tolong jangan sembunyikan apapun dariku. Aku berhak tahu jika benar itu yang terjadi," tut