Share

Terluka

***

Menuruti emosi dan hawa nafsu hanya akan merugikan dan penyesalan adalah konsekuensi yang pasti akan diterima.

(Erland- Dicintai Kakak ipar)

***

Azan subuh berkumandang. Aida terbangun dari tidur. Kepalanya masih pusing. Bahkan tubuhnya terasa ngilu semua. Ia belum menyadari saat ini berada di kamar Erland. Ia mengucek mata dan memijat kepala. Betapa ia terkejut saat tahu saat ini berada di kamar Erland dengan posisi Erland memeluknya. Ia tidak tahu kenapa ia ada di kamar ini. Bahkan ia tidak mengingat telah melakukan hal serendah ini. Seketika air matanya turun membasahi pipi.

Aida menyadari ada yang berbeda dengan tubuhnya. Dengan perlahan ia melepas pelukan Erland, supaya tidak membangunkan laki-laki tampan itu. Mengambil baju dan hijab instan. Dengan langkah terseok meninggalkan kamar Erland. Ia masuk ke kamarnya menangis terisak.

Aida menuju kamar mandi dengan kasar menggosok tubuh sambil terus menangis.

"Aku sudah kotor, aku kotor, aku benci diriku, aku benci. Hiks, hiks, bahkan aku sudah tidur dengan kakak iparku sendiri, bagaimana aku menjelaskannya pada Kak Aruna? Aghht ... aku jijik dengan diriku, aku jijik!” teriak Aida sambil tetap menggosok tubuhnya.

"Kenapa aku tidak mengingat kejadian semalam, aku hanya mengingat semalam aku mengantuk dan enggak bisa nahan rasa kantukku, setelah itu aku tidak tahu lagi," lirihnya.

Sudah satu jam ia di kamar mandi, terus mengosok tubuhnya sambil terisak. Kulit yang ia gosok sampai memerah.

Erland terbangun dari tidurnya. Ia menyadari saat ini Aida sudah tidak ada di kamar. Ia mengingat kejadian semalam. Hatinya berdesir, menyesal dan entah bagaimana ia menjelaskan pada Aida. Ia sudah salah menilai Aida. Aida tidak sama dengan Aruna. Kini penyesalan yang harus ia dapatkan. Nasi sudah menjadi bubur. Ia tidak bisa menahan ego. Kemarahan dan nafsu menghancurkannya, bahkan ia melupakan ajaran yang sang mama ajarkan. Awalnya ia bisa menahan kemarahan. Namun, ia tidak tahan melihat pengkhianatan Aruna yang semakin nyata di depannya, hingga ia harus menghancurkan hidup Aida.

Erland menyibak selimut. Ia melihat noda merah berceceran di seprei ranjang. Ia semakin menyesali perbuatannya.

Erland memutuskan membersihkan tubuh. Kejadian semalam tidak bisa ia lupakan. Meskipun Aida dalam keadaan tidur efek obat tidur.

Erland sudah rapi memakai kemeja. Ia melihat kamar Aida masih tertutup. Selama enam hari tinggi di sini, Aida selalu membantu Bik Ina membuat sarapan dan makan malam.

"Silakan, Den. Sarapan sudah siap."

"Terima kasih, Bik. Aida mana?"

"Non Aida belum keluar dari kamar. Tumben juga! Biasanya si Non selalu membantu Bibik."

"Tolong lihat di kamarnya, Bik!" Erland merasa khawatir pada Aida.

"Baiklah, Den."

Bik Ina mengetuk pintu kamar tamu yang ditempati Aida. Hingga menit berikutnya pintu itu belum terbuka. Bik Ina menarik gagangnya ternyata tidak terkunci. Ia masuk dan memanggil Aida. Terdengar bunyi air dari kamar mandi. Ia beranikan mengetuk pintu itu. Namun, Aida tidak menjawab, Bik Ina curiga, karena selama mengenal Aida selama enam hari ini, Aida bukanlah tipe gadis yang cuek dan tak acuh seperti sang kakak. Bik Ina membuka pintu kamar mandi. Betapa Ia terkejut melihat Aida tergeletak di kamar mandi. Bik Ina berteriak meminta bantuan.

"Aden!” teriaknya memanggil Erland. Erland yang mendengar teriakan Bik Ina langsung menghampirinya.

"Ada apa, Bik?"

"Non Aida pingsan di kamar mandi, tubuhnya sampai kedinginan," ucap Bik Ina panik.

Tanpa menunggu Erland membawa tubuh basah yang masih dengan pakaian yang sama dengan semalam ke atas ranjang kamar itu. Ia tidak peduli dengan tubuh basah Aida.

"Bik, Tolong ganti bajunya Aida!" pintanya dengan wajah khawatir.

"Iya, Den."

Erland takut terjadi sesuatu pada Aida. Ia sudah salah dan ia akan bertanggung jawab dengan apa yang ia perbuat pada Aida.

Bik Ina mengganti pakaian Aida. Ia terkejut melihat leher dan dada Aida penuh dengan tanda merah. Bahkan Bik Ina melihat tubuh itu memerah bekas di gosok dengan kasar. Ia tidak mengerti apa yang terjadi pada Aida. Gadis itu gadis baik dan sopan. Sejak pertama datang terlihat ceria dan malu-malu, tetapi hari ini ia melihat mata Aida sembab akibat terlalu banyak menangis, bahkan dirinya menemukan Aida pingsan di kamar mandi.

"Ya Allah, aku enggak mau suudzon, apa semalam Den Erland melakukannya pada Non Aida. Den Erland laki-laki baik, apa setega ini melakukannya hanya karena ia kesal dan marah pada Non Aruna," batin Bik Ina. Ia bingung berbagai pertanyaan melintas di pikiran.

Pintu kamar di ketuk. Bik Ina membukakan pintu itu. Erland berdiri dengan muka yang terlihat khawatir.

"Apa sudah di ganti pakaian Aida, Bik?"

"Su-Sudah, Den." Bik Ina tergagap menjawabnya. Ia ingin menanyakan pada sang aden, laki-laki yang sudah ia besarkan dan ia asuh sejak baru lahir. Ia adalah asisten sekaligus baby sister kepercayaan Arumi.

Melihat wajah Bik Ina yang penuh tanda tanya. Erland mengusap wajahnya kasar.

"Bik, tolong balur minyak kayu putih ke tubuh Aida. Supaya ia hangat dan segera sadar," ucapnya sambil menyerahkan minyak kayu putih pada Bik Ina. Bahkan Ia tidak menyadari kemeja navy yang ia pakai basah dan belum ia ganti terkena tubuh Aida saat menggendongnya tadi.

Erland mengikuti Bik Ina.

"Se-sebenarnya apa yang terjadi pada Non Aida, Den?" Bik Ina tidak bisa menahan keingintahuannya.

"A-aku, aku sudah me-menodainya, Bik." Erland mengucapkan hal itu dengan berkaca-kaca. Ia menyesal.

Deg ... bagai mendengar petir di siang bolong. Bik Ina terkejut mendengarnya. "Ke-kenapa Aden melakukan perbuatan senista ini, Den. Kalau nyonya Arumi tahu semua ini, pasti sangat kecewa dengan Aden. Aden selalu menjaga pergaulan Aden, kenapa ini sampai terjadi. Siapa yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya, maka dia tidak bisa mengendalikan pikirannya (Ali bin Abi Thalib) Aden juga pernah mendengar pengajaran itu dari Mama Aden juga guru ngaji keluarga Aden 'kan? Aden seharusnya bisa berpikir jernih dan mengenyahkan amarah Aden." Bik Ina sangat kecewa pada Erland.

"A-aku tidak tahu, kalau Aida berbeda dengan Aruna. Aku pikir dia sama dengan kakaknya, murahan! Aku membenci Aruna, Bik. Tidak ada yang bisa memahamiku saat ini hanya Bibik yang bisa."

"Seharusnya Aden tidak melakukan semua ini pada Non Aida. Sejak pertama Non Aida datang. Bibik tahu, dia berbeda dengan sang kakak. Aden sudah merusaknya dan menghancurkan masa depannya."

"Bik, aku menyesal, tolong sadarkan Aida, Bik. Aku enggak mau terjadi sesuatu padanya!" pinta Erland sedih dan khawatir.

Aida tersadar dari pingsan, mencium bau minyak kayu putih di ruangan itu. Erland melihatnya bangun. Aida langsung menunduk melihat Erland ada di sana. Air mata sudah menetes. Bik Ina melihat hal itu. Ada kesedihan yang mendalam di hatinya.

"Bibik ambilkan sarapan dulu, Nak," pamitnya.

Bik Ina ingin memberi ruang pada Erland untuk meminta maaf pada Aida.

"Ma-maafkan aku, a-aku sudah--"

"Lebih baik Kakak keluar aku mau sendiri," ucap Aida. Masih tetap menunduk.

Permintaan maaf Erland ditolak Aida. Ia menyadari perbuatannya memang tak pantas mendapatkan maaf semudah itu dari Aida.

Erland keluar dari kamar itu. Aida kembali terisak. Aida bingung harus mengatakan apa pada sang kakak.

"Pasti Kak Aruna sangat kecewa bila tahu adik dan suami mengkhianatinya," lirih Aida. Ia tidak tahu kalau sang kakak yang lebih dulu bermain api, dan sudah sangat menyakiti Erland.

Dengan tubuh yang masih lemah Aida membereskan pakaian yang ada di lemari dan memasukkan ke dalam koper. Ia ingin kembali ke Bandung saat ini juga. Ia mendengar mobil Erland sudah keluar dari rumahnya. Entah akan pergi ke mana laki-laki itu, Aida tidak mau tahu.

"Non, dimakan dulu sarapannya!"

"Te-terima kasih, Bik."

"Non, sudah rapi, emang Non mau ke mana?"

"Sa-saya mau pulang ke Bandung, Bik."

"Apa Non enggak nunggu Nona Aruna atau Den Erland dulu?"

"Enggak usah, Bik. Kak Aruna masih kurang tiga hari pulang. Tolong sampaikan ucapan terima kasihku pada kak Erland karena sudah mengizinkanku tinggal di sini selama satu minggu," ucapnya, ia mengatakan itu dengan meneteskan air mata.

"Tubuh Non Aida masih lemas, Bibik harap Non Aida menginap satu hari lagi di sini," pintanya. Aida langsung menggeleng menolaknya.

"Permisi, Bik. Saya pamit dulu, terima kasih sudah berbuat baik pada saya."

"Iya, Non. Sama-sama," ucap Bik Ina dengan mata berkaca.

"Den Erland sudah melakukan kesalahan besar dalam hidupnya, aku tidak tahu ke depan bagaimana," lirih Bik Ina.

Dengan langkah masih sedikit terseok Aida meninggalkan rumah mewah Erland. Ia meletakkan koper di bagasi mobil dan perlahan ia melajukan mobil.

Hati Erland tidak tenang, meskipun saat ini ia berada di kantor, tapi hatinya ada di rumah. Ia tidak bisa melupakan perbuatannya pada Aida kemarin malam. Memorinya selalu mengingatkan.

Erland menghubungi telepon rumah, menanyakan pada Bik Ina keadaan Aida. Betapa terkejut dirinya, saat Bik Ina mengatakan Aida memutuskan pulang ke Bandung dalam keadaan masih lemas. Erland mengkhawatirkan. Ia tidak mau terjadi sesuatu pada Aida. Namun, ia bisa apa? Aida sudah pergi membawa luka yang ia torehkan, mungkin juga bukan luka saja yang Aida bawa.

***

Aida sudah sampai di rumah. Ia segera masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Saat ini dirinya ingin sendiri. Ia takut dan khawatir kalau Aruna tahu tentang kejadian semalam. Ia takut sang kakak akan hancur. Bahkan dalam keadaan seperti ini Aida masih memikirkan sang kakak. Sedangkan sang kakak di Bali sedang bersenang-senang dengan Rafa, Sang kekasih. Aruna memang ada pekerjaan di Bali bersama Rafa, tapi hanya tiga hari sedangkan empat harinya lagi Mereka habiskan dengan bersenang-senang.

Tiga hari sudah ia pulang dari Jakarta. Setelah kejadian itu Aida menjadi pendiam dan sering mengurung diri di kamar. Wisnu menyadari perubahan sang putri. Ia menyangka Aida melakukan itu mungkin karena kecapekan.

"Nak, Kamu kenapa? Kalau ada masalah cerita sama pada Papa," ucap Wisnu.

"Aida enggak apa-apa, Pa. Papa enggak usah mengkhawatirkan Aida.

***

Minggu ini sepulang dari Bali tiga hari yang lalu, Aruna datang ke Bandung mengunjungi kedua orang tuanya dan Aida.

"Dek, kamu kok enggak nelepon kakak, kalau sudah pulang ke Bandung?"

"Maaf, Kak. Aku terburu karena dokumen hasil seminar sudah di tunggu seniornya," ucapnya berbohong.

"Ya sudah ini Kakak beliin tas anyam Bali sebagai oleh-oleh untukmu," ujarnya.

"Terima kasih, Kak."

"Kalau aku melihat wajah senang Kak Aruna, aku enggak tega untuk menceritakan kesalahanku padanya. Ya, kesalahan yang tidak aku harapkan malam itu bahkan hingga kini aku tidak pernah mau mendengarkan penjelasan Kak Erland, sungguh aku enggak mau menyakiti Kak Aruna dengan mengatakan kejujuran ini. Aku harus bagaimana ini?" batinnya.

"Bagaimana bagus 'kan?"

"Iya, Bagus aku suka. Sekali lagi makasih, Kak."

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Ernawati Ernawati
bagaimana cara tahu kelanjutan sampai tamat
goodnovel comment avatar
Mulyati Prakoso
cerita nya bagus banget
goodnovel comment avatar
Henry Saputra
mahal harga 1 bab nya. 15 koin..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status