Share

Terenggut

Erland masih memindai penampilan Aida dari atas ke bawah membuat gadis cantik itu risih dan canggung. Laki-laki di depannya ini memang tampan, tapi di perlakukan seperti itu membuatnya tidak nyaman.

"Ma-maaf Anda siapa?" tanya Aida.

"Perkenalkan saya Erland," ucapnya sambil mengulurkan tangannya. Aida langsung menangkupkan kedua tangannya di dada sebagai wujud penghormatan.

"Kok, lain banget, nih cewek, aku yakin dia juga sama seperti kakaknya. Sok polos ...," batinnya.

"Berarti Kakak suaminya Kak Aruna?" tanyanya tersenyum lembut.

"Senyuman itu, kenapa hatiku berdesir melihat senyuman itu. Tidak ... Tidak, aku tidak boleh jatuh ke lubang yang sama. Ya, aku Kakak iparmu lebih tepatnya mantan Kakak iparmu, memang secara hukum aku belum bercerai dengan kakakmu, tapi secara agama sudah," batin Erland.

"Ya aku suaminya. Aruna tadi sudah bilang padaku kalau kamu mau ke sini," ucapnya sambil tersenyum menyeringai. Bahkan Aida sendiri tidak tahu arti senyuman itu.

"Silakan masuk!" ajaknya.

"A-apa di rumah tidak ada orang lagi?" tanya Aida ragu.

"Ada, asisten rumah tanggaku, juga ibuku yang kebetulan menginap di sini mungkin besok sudah kembali pulang ke rumahnya," ucapnya dingin.

"Sejak tadi aku bunyikan bel tidak ada yang membukakan pintu gerbangnya," ucapnya.

"Mungkin mereka masih di luar, tadi mereka bilang padaku kalau mau belanja kebutuhan bulanan."

"Masuklah!"

"Maaf, lebih baik aku menunggu di sini dulu," tolaknya.

"Benar-benar munafik, sok alim banget nih cewek. Aku enggak akan percaya, seperti aku percaya pada kakakmu dulu," batinnya. Kebenciannya pada Aruna sudah mulai menutupi mata hatinya. Erland muak dengan apa pun yang berhubungan dengan Aruna.

Tidak lama mobil Arumi datang bersama Bik Ina. Mereka terkejut saat melihat gadis cantik berhijab dan di sampingnya ada koper duduk di kursi teras, sedangkan Erland sudah masuk ke dalam.

"Assalamualaikum," sapa Arumi dan Bik Na.

"W*’alaikumussalam."

"Maaf, Adek ini siapa? Mau cari siapa?" tanya Arumi sopan.

Aida mencium punggung tangan keduanya, membuat keduanya tercenung melihatnya.

"Saya Aida, Tante. Adiknya Kak Aruna," jawabnya sopan.

"A-apa Tante mertuanya Kakak saya?" tanya Aida.

"Owalah, anaknya Mas Wisnu yang bungsu, adiknya Aruna. Iya saya Arumi, mamanya Erland, mertua kakak kamu. Masyaallah kamu cantik sekali, Nak," ucap Arumi.

"Kenalkan ini Bik Ina, asistennya Erland dan Kakak kamu," ucapnya.

Bik Ina tersenyum dan dibalas sama oleh Aida.

"Kenapa aku lihat Non Aida itu langsung suka dan gimana gitu, beda seperti Non Aruna. Non Aida juga baik dan murah senyum," batin Bik Ina.

"Kamu dokter? Mau nginap di sini berapa hari, Sayang?" tanya Arumi.

"Iya saya dokter, Tan. Kalau diizinkan dan satu minggu selama seminar di Jakarta, di rumah sakit pusat," ucapnya sopan.

"Wah, boleh banget, Sayang. Rumah Aruna kan juga rumah kamu, tapi sayang ya, Tante besok sudah harus pulang ke rumah tante. Ada pengajian bulanan di sana, kalau kamu mau ikut mangga ikut. Aruna tidak pernah hadir setiap ada acara yang diadakan di rumah, maklumlah kakak kamu itu sibuk. Eh, dokter juga pasti sibuk, tapi kalau kamu berkenan bisa kok hadir ke sana," ujarnya.

"Terima kasih, Tan. Insyaallah saya mau ikut, kalau tidak benturan. Acaranya jam berapa?" tanyanya sopan.

"Acaranya siang pukul dua."

"Insyaallah bisa, Tan. Pulang dari seminar pukul satu saya ke sana, tapi saya tidak tahu alamat rumah Tante," ucapnya.

"Iya nanti Tante kasih, sekalian nomor telepon Tante."

"Terima kasih, Tan."

Erland melihat kedekatan sang mama yang baru kenal dengan Aida, ia terlihat tidak suka.

"Sayang, kamu enggak kembali ke kantor?" tanya Arumi pada sang putra. Ia melihat sang putra sudah memakai pakaian santai.

"Tidak, Ma. Erland capek. Alhamdulillah presentasi Erland di terima dan tendernya Erland menangkan," ucapnya senang pada sang mama. Aida langsung menunduk saat mata Erland dan matanya tak sengaja bertatapan.

"Nyonya bahan-bahannya sudah saya siapkan, apa nyonya mau ikut memasak, kalau tidak biar Bibik yang memasaknya," ujar Bik Ina.

"Saya bantu aja, Bik. O iya, Tante tinggal ke dapur dulu, Nak."

"Bo-boleh saya ikut membantu, Tan?" tanyanya ragu.

"Beneran kamu mau bantu? Boleh dong kalau enggak ngerepotin," ujarnya.

"Sama sekali enggak direpotkan kok, Tan. Saya sudah terbiasa."

Aida mengikuti Arumi ke dapur. Erland melihat kepergian mereka sambil memainkan ponsel.

Bik Ina dan Arumi dibuat takjub oleh Aida. Ternyata gadis muda nan cantik itu benar-benar bisa memasak. Bahkan masakan Arumi kalah dengan masakan Aida. Ia yang memasak tongseng kambing kesukaan Arumi dan Erland.

"Masyaallah, ini beneran enak, Nak. Kamu belajar masak dari siapa, ini sudah seperti masakan restoran," puji Arumi.

"Cuma suka coba-coba saja, Tan. Saat liburan dan waktu senggang. Awalnya lihat tutorialnya dan sekarang sudah mulai terbiasa," ucapnya.

"Beneran enak, kamu pinter banget meracik bumbunya, emang kamu sering masak apa saja?"

"Apa saja, selama saya ingin, pasti saya praktikkan, kebetulan saya lebih suka menghabiskan waktu saya di rumah dan di dapur kalau sedang libur," ucapnya. Arumi dan Bik Ina tersenyum lembut pada Aida. Mereka segera menyiapkan adi meja makan.

"Benar-benar berbeda dengan Non Aruna, seperti bukan saudara, sikap dan kepribadiannya beda jauh. Non Aida lebih unggul dan lebih berkelas, meskipun Non Aruna juga berkelas, tapi sikapnya jauh, benar-benar jauh," batin Bik Ina membandingkan.

Aruna memanggil Erland yang duduk di taman samping memainkan ponsel untuk makan siang. Erland langsung mengambil nasi dan tongseng kambing kesukaannya.

"Kok beda, Ma. Rasanya seperti yang ada di restoran favorit keluarga kita, kalau buatan Mama sedikit camplang rasanya, tapi ini enggak. Mama sengaja pesan, ya?" tanya Erland.

"Enak saja, iya emang buatan Mama sedikit camplang, tapi tetap enak 'kan?"

"Hehehe, iya enak sih, tapi ini beneran beda tidak seperti masakannya Mama sebelumnya. Ini enak banget, Ma."

"Kamu berterima kasih pada adik kamu, ini masakan Aida," ucap Arumi tersenyum sambil memandang Aida.

Deg ... Erland langsung menghentikan makannya. Rasanya seleranya sudah hilang seketika.

"Oo, makasih," ucapnya datar. Ia tetap menghabiskan makannya meskipun sudah terasa hambar tidak seperti tadi. Ia hanya tidak ingin sang mama marah melihatnya tidak menghabiskan makanan.

Sore tiba, Aruna datang dari kantor. Setelah melihat mobil merah kepunyaan sang adik, ia langsung mencarinya. Aruna merindukan sang adik, begitu juga Aida. Aida langsung memeluk sang kakak saat namanya diteriakkan sang kakak.

"Kakak senang bisa bertemu kamu, Kakak rindu sekali, Sayang," ucapnya mencium kening sang adik.

"Aku juga rindu pada kakak," ujar Aida.

"Bagaimana keadaan Papa, Dek?"

"Alhamdulillah, semakin membaik jantungnya."

"Alhamdulillah."

"Semoga kerasaan, meskipun cuma seminggu di sini," ujarnya.

"Iya, Kak. Makasih ya sudah diizinkan tinggal di sini sementara."

***

Arumi terlihat semakin dekat dengan Aida.

"Mas, maaf lusa aku harus pergi ke Bali untuk proyek baru perusahaan kami selama satu minggu," ucapnya pada Erland di depan Arumi, Aida juga Bagas saat sarapan.

"Kok, Kakak enggak bilang, kalau mau ke Bali. Aku kan enggak enak tinggal di sini kalau enggak ada Kakak," ucap Aida menunduk sedih.

"Maaf, Dek. Tadi malam baru dikabari Rafa," ujarnya.

"Rumah ini juga rumah kakak kamu, Nak. Enggak usah sungkan meskipun kamu tinggal di sini selama kamu mau juga enggak apa," ujar Bagas.

"Iya, betul banget. Kamu enggak usah sungkan, Nak." Arumi ikut menimpali. Aida enggak masalah, tapi ia hanya sungkan dan canggung saja tinggal berdua dengan Erland, meskipun ada Bik Ina.

"Ba-baiklah," ucapnya canggung.

"Maaf, Mas. Saya titip Aida." Erland hanya mengangguk menanggapi permintaan Aruna tanpa mau melihat Aruna.

***

Empat hari sudah Aida tinggal di rumah ini. Aruna hari ini juga sudah berangkat ke Bali. Sedangkan Arumi dan Bagas sudah pulang ke rumah mereka tiga hari yang lalu, bahkan Aida sempat menghadiri pengajian di rumah orang tua Erland.

Hari ini hari terakhir ia mengikuti seminar. Ia sangat senang. Ia berharap bisa bekerja dan bergabung di rumah sakit pusat. Namun, ia tidak akan tega membiarkan sang papa yang sedang sakit-sakitan bersama asisten rumah tangga sendirian. Sudah cukup ia meninggalkan sang papa saat pengambilan program dokter ahli beberapa bulan yang lalu, kini ia ingin merawat sang papa sambil bekerja di rumah sakit cabang yang ada di Bandung. Aruna juga jarang mengunjungi sang papa, hanya satu bulan sekali pulang ke Bandung.

Malam ini setelah membereskan meja makan bersama Bik Ina. Aida duduk di ruang keluarga dengan membawa laptop. Ia menyelesaikan tugas yang ia dapatkan dari seminar tadi pagi. Besok saat kembali ke Bandung tinggal memberikan datanya pada dokter senior.

Erland keluar dari kamarnya, ia melihat Aida di ruang keluarga sedang menghadap laptop ditemani minuman dan kudapan di depannya.

"Boleh minta tolong buatkan kopi, Dek!" pintanya.

Aida yang mendengarkan itu segera berdiri untuk membuatkan Erland kopi. Ia tahu saat ini Bik Ina sudah beristirahat di kamar, mungkin Erland tidak enak hati membangunkan Bik Ina.

Tanpa Aida sadari Erland meneteskan obat tidur dan obat perangsang pada minuman yang ada di meja. Malam ini Erland berencana akan menghancurkan Aruna lewat Aida. Membalas rasa sakitnya pada Aruna dengan menyakiti Aida. Toh, Ia berpikir Aida juga seperti Aruna, hanya saja Aida sok alim.

"Ini, Kak kopinya," ucapnya sambil menyerahkan kopi pada Erland.

Aida kembali duduk menghadap laptop, sedangkan Erland duduk di seberangnya pura-pura memainkan ponsel. Erland melihat Aida meminum minumannya hingga habis.

lima menit berlalu Aida merasakan ada yang aneh dalam tubuhnya. Kepalanya sedikit pusing, dengan tubuh panas dan bergairah padahal ruangan itu ber-AC

Rasa kantuk tiba-tiba menyerang, dengan tubuh menahan gejolak.

Aida tertidur dengan laptop yang masih menyala.

Erland menggendongnya ke kamar. Ia melakukan hal yang seharusnya tidak ia lakukan pada Aida. Ia melepas semua yang melekat di tubuh itu. Betapa terkejutnya saat Aida menjerit kesakitan di tengah tidurnya saat melakukannya, ia melihat air mata jatuh di sudut matanya yang terpejam. Ia menyadari kalau dirinya adalah laki-laki pertama yang menyentuh Aida.

Ada penyesalan di hati Erland setelah melakukannya. Niatnya ingin merusak Aida dan membuat Aruna sakit hati melihat berhubungannya dengan sang adik, dengan begitu hidup Aruna akan hancur, bahkan sebelumnya ia yakin kalau Aida juga sudah tidak virgin seperti Aruna, tetapi ia salah besar, Aida masih menjaga kehormatannya, bahkan ia orang pertama yang menyentuh gadis itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
win win
erland kemaren, tahan2 amarah karna selalu ingat pesan mamanya, tapi knapa disini jadi jahat pikirannya ke adik iparx... pengen balas dendam lagi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status