Share

2. Siapakah dia?.

Aku dan Tri akhirnya pulang, sampai di rumah kami sudah ditunggu ayah ibu dan adik tampanku untuk makan malam.

Sebelum ke meja makan aku dan Tri masuk ke tempat sholat untuk menyimpan sajadah dan mukena yang tadi kami pakai.

Ibu menyuruh kami segera duduk lalu mengambilkan kami nasi lauk dan sayur, seperti kebiasaan di keluarga, kami selalu sarapan pagi dan makan malam bersama, makan siang kami tidak bisa berkumpul sebab ayah pergi berdagang di pasar dan kadang ibu membantu tetangga bekerja sebagai buruh di pabrik tempe, ibu membantu membungkus tempe daun, kerja dari jam 9 pagi sampai jam 1 siang, tiap hari ibu mendapat upah lumayan bisa buat penghasilan tambahan.

Di saat jam makan malam inilah biasanya kami saling berdiskusi, tentunya sehabis makan, sebab bapak paling nggak suka kalau melihat kami makan sambil berbicara.

Bapak laki-laki pekerja keras, sayang kepada keluarga dan selalu menyempatkan waktu untuk mendengarkan semua keluh kesah kami, hal inilah yang membuatku nggak memrlukan pacar sebab aku sudah memiliki sosok pelindung dan tempat curhat yang sangat baik yaitu ayah dan ibukku.

Selesai makan malam aku membantu ibu untuk mencuci piring, adikku Tri membersihkan meja, setelah selesai kami kembali ke meja makan untuk ngobrol.

"Gemana pengumuman kelulusanmu nak? Apa hari ini sudah di umumkan?" Ucap ayah memecah keheningan.

"Alhamdulillah sudah yah"

"Bagaimana dengan nilainya? Ayah yakin anak ayah pasti mendapat nilai yang memuaskan"

"Betul sekali yah ... Dwi dapat peringkat tiga besar di kecamatan ini"

"Alhamdulillah ... Lihat anakmu Bu? Nggak sia-sia ibu mendidik dan ngajari anakku, terimakasih ya Bu? Semua karena kesabaran ibu dalam mendidik dan merawat anak-anak kita" 

Ayah berucap ... Kulihat ada kabut di kedua Indra pengelihatannya, namun senyum bahagia tersirat di wajah teduh yang selalu membuat hati ini damai saat memandang nya.

Kudengar ibu terisak lalu memelukku.

"Terimakasih ya nduk ... Akhirnya perjuangan bapak dalam memperjuangkanmu tidak sia-sia, jadilah kamu sebagai penghias mata penyejuk hati kami, semoga cita-cita mu terwujud, Bilang terimakasih pada bapakmu sebab sudah menyekolahkan kamu meski dengan  bersusah payah"

Mendengar wejangan dari ayah dan ibu membuat kita terlarut dalam keharuan lalu aku sujud di pangkuan ayahku berjanji menjadi anak baik dan bisa menjadi kebanggaan keluarga, akhirnya kami menutup makan malam ini dengan hati riang dan bahagia.

Adzan isya terdengar dari masjid depan rumah, kami semua bergegas mengambil air wudhu dan bersama-sama pergi menunaikan kewajiban sholat lima waktu.

Pulang dari masjid ayah ibu Teguh dan Tri berkumpul di ruang keluarga untuk menonton tv, aku nggak ikut hadir sebab mata ini sudah tidak bisa lagi di ajak kompromi, selesai sholat sunah witir aku langsung menuju ke peraduan untuk pergi ke alam mimpi.

"Dwi ... Dwi setyani ... Tunggu ...?"

Kuhentikan langkahku mencari arah suara saat balik badan kumelihat dari kejauhan seorang lelaki berjalan kearahku, wajahnya sangat tampan, aroma tubuhnya sudah bisa ku hirup meski jarak kami masih jauh.

Semakin dekat laki-laki itu mendekat, semakin meronta jantung ini minta keluar dari tempatnya, sungguh aku sangat gugup, aku ingin pergi untuk lari, namun kaki ini seakan terpaku hingga aku tak bisa pergi kemana mana.

Aku bahagia namun khawatir sebab aku sama sekali belum mengenal laki-laki yang sedang berjalan ke arahku.

"Hai Dwi ... Kamu mau kemana?"

"A-aku mau pergi kesana mencari bunga mawar" aku menunjukan arah dimana disana ada taman yang dipenuhi bunga mawar.

"Boleh aku menemani?"

"Boleh ...." Aku menjawab sambil menunduk menyembunyikan pipi yang mulai memanas, aku malu sangat malu.

Lalu kami berjalan beriringan, sesekali aku meliriknya dan dia juga melirikku, kami berjalan dengan diam sungguh aku sangat gugup dan ingin segera pergi dari situasi ini, namun kenapa hatiku justru menginginkan agar aku terus berada di sisinya?.

"Em ... Dwi ... Apa kamu tidak ingin mengetahui namaku?" 

Oh iya ... Aku baru ingat, aku belum tau siapa namanya, dan dimana rumahnya, duh ini benar-benar konyol ... Konyol ... Konyol ... Bukankah aku belum mengenalnya, kenapa aku mengijinkan dia ikut aku mencari bunga, aku membatin sambil menepuk-nepuk kepala.

"Kenapa? Apa kepalmu sakit" dia berhenti dan tiba-tiba sudah berdiri di depanku dengan tatapan mata penuh khawatir."

"Owh ... Enggak aku baik-baik saja, aku hanya bingung dengan diri sendiri, oh iya siapa namamu dan dimana rumahmu?"

Pemuda di depanku tersenyum sambil memamerkan deretan gigi putih nan rapih miliknya, oh tuhan ... Aku harus menutup mataku, sebab sekali lagi aku menyaksikan keindahan yang dia miliki.

"Hay ... Kenapa kamu menutup mata sambil menggeleng begitu? Apakah menurutmu aku begitu menakutkan"

"Bukan ...! Justru kamu sangat tampan, kamu seperti Le Min Ho!" jawabku sekenanya.

"Siapa Le Min Ho? Apakah itu kekasihmu?" Ucapnya dengan intonasi nada sedikit emosi.

"Pacar? Ha ... ha ... ha? Apa kamu nggak kenal Le Min Ho?

"Tidak?! memangnya siapa dia? Dan kenapa aku harus mengenalnya?"

"Ya ampun ..? Kamu benar-benar tak mengenalnya, sungguh aku tak percaya?"

"Memang iya aku tak mengenalnya? Apakah dia laki-laki yang sedang kamu incar untuk dijadikan suami?"

"Su .... Suami? Haaaa kamu ini aneh, jadi siapa namamu? Dari tadi kita ngobrol tapi aku nggak tau namamu"

"Jawab dulu pertanyaan aku siapa itu Le Min Ho baru aku sebutin namaku"

"Kalau aku nggak mau?"

"Aku akan pergi ...!" Ucapnya penuh penekanan.

"Ya sudah sana pergi!" Jawabku ketus, ternyata lelaki itu benar-benar pergi meninggalkan aku, jalannya sangat cepat, secepat kilat, aku memanggilnya 

"hai ... Siapa namamu! Hai ... Jangan pergi? Aku cuma bercanda ... Tunggu aku ..."

Aku berlari mengejarnya, namun aku tidak menemukannya lagi. Aku terus memanggilnya hingga???

"Mba .... Mba ... Bangun mba? Kamu mimpi ya ...?"

Aku terbangun dengan peluh membasahi keningku, Alhamdulillah itu hanya mimpi tapi ... Siapakah lelaki itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status