Share

3. Mimpi yang jadi kenyataan

"Mba Dwi mimpi apa sih ..?" Suara Tri serak pertanda dia baru bangun dari tidur.

"Aku mimpi Lee min ho?"

"Apa mba? Le min ho? Ya ampun so sweet banget ... Aku mau dong mba mimpi ketemu Lee min ho juga"

"Apa sih kamu ah ...."

"Serius mba barusan mimpi Lee min ho?" Tri duduk di depanku sambil bersila dan bertopang dagu.

"Serius lah masa bohong"

"Beneran ganteng kaya yang di Drakor Drakor itu ya mba?"

"Ganteng bangeeeeet" jawabku sengaja bikin dia penasaran"

"Ya Ampun mbaaaa ... Keren banget mimpinya, eh btw mba berdoa apa sih kok dapet rejeki bertemu Lee min ho?"

"Baca puisi cinta wabil khusus Lee min ho" jawabku sambil menoyor kepala adekku yang lagi jatuh cinta berat sama aktor Drakor itu.

Setelah mengucapkan kata itu aku langsung menyuruh Tri kembali tidur, dia menurut meski dengan keadaan muka di tekuk dan bibir di majukan lima senti, dia bilang masih penasaran dengan mimpiku.

*****

Di sebuah tempat tak jauh dari rumah Dwi setyani, tepatnya di hutan Pinus, duduk seorang laki-laki tampan di pendopo rumahnya, sesekali tangannya memetik alat musik seperti biola besar, musik yang dia mainkan berbait puisi cinta.

Matanya menatap jauh ke pelosok desa tepian hutan Pinus, menatap rumah seorang gadis yang beberapa hari ini telah mampu membuat hidupnya yang monoton menjadi indah penuh warna ceria.

Ya ... Dia teringat pertama kali bertemu Dwi setyani, gadis cantik pemilik rambut ikal Mayang kulit kuning Langsat bak pualam tubuh tinggi semampai mata jernih bulat, lesung pipi menghiasi pipinya yang indah bak duren sejuring, menambah pesona gadis desa yang masih lugu itu.

Teringat di senja waktu itu, saat aku sedang berjalan-jalan mengelilingi hutan Pinus, dari jauh mendengar suara perempuan bernyanyi sambil menari, perempuan cantik itu sangat bahagia berlari kesana kemari gerakannya sungguh lincah bagaikan burung merpati, sambil memutar badan merentangkan tangan dia terus bernyanyi saking asiknya dia tidak menyadari ada ranting besar yang nyaris membuat dia terjatuh beruntung aku dengan sigap menangkap pinggang ramping miliknya.

Dwi setyani ... Wajahmu mengingatkan aku pada Sulastri kekasihku yang dulu, sikap dan perangaimu sama, mungkinkah tuhan telah mengirimkan kamu untuk ku, setelah sekian ratus tahun aku hidup dalam kesendirian.

Aku jatuh cinta padamu Dwi setyani meskipun aku tau kau dan aku tak akan pernah bisa bersama namun aku akan mencari cara agar aku bisa memilikimu.

***

Sang Surya mulai bersinar Kokok ayam saling bersahutan menyambut pagi yang indah ini, kutatap hutan Pinus lewat jendela kamarku, anganku melayang masuk kedalam kenangan beberapa hari yang lalu, ya kenangan saat jatuh kedalam dekapan laki-laki berwajah sangat rupawan, Lee min ho? Sebenarnya siapa kamu? Aku harus mencarimu desa ini sangat kecil mustahil kalau aku tidak bisa menemukanmu. Ucap Dwi setyani dalam hati.

Seperti biasa selesai sholat subuh bapak pergi ke pasar dan aku membantu ibu menyiapkan bekal makan siang untuk adik-adikku.

"Hari ini kamu kesekolah nggak wi?" Tanya ibu.

"Iya Bu? Tapi agak siangan Dwi mau latihan nari untuk pertunjukan acara perpisahan nanti."

"Sebelum berangkat anter pisang ini ke rumah Bu Dhe ya? Owh iya kata tetangga kamu sering masuk ke dalam hutan Pinus ya?"

"Iya Dwi lebih suka lewat hutan Bu? Jalan lebih dekat nggak muter-muter"

"Kalau lewat sana hati-hati ya  perbanyak dzikir dan sebelum masuk permisi dulu ya?"

"Memang kenapa Bu?"

"Nggak kenapa-napa, hanya mengingatkan saja" jawab ibu, namun sorot matanya menyimpan sejuta kata yang tidak bisa di ungkapkan.

Selesai menyiapkan bekal untuk adik-adik aku menyapu halaman, ngepel rumah terus mandi, sehabis mandi aku pamit ke ibu untuk pergi ke rumah bibi lanjut ke sekolah.

Sekolahku termasuk jauh, harus berjalan kaki sepanjang 1km menyebrang jembatan beton jembatan ini sangat sempit tidak bisa dilewati oleh mobil, seandainya ada motor dari arah berlawanan mau nyebrang yang di sebrang jembatan harus menunggu sampai motor itu lewat, dibawah jembatan adalah sungai yang memiliki arus sangat deras, sekitar 300m  di sebrang jembatan itulah jalan raya, di sebrang jalan raya ada halte bus di situlah aku biasa menunggu kendaraan umum untuk menuju ke sekolah.

Selesai mengantar pisang goreng aku menuju hutan Pinus, sebenarnya aku ingat pesan ibu agar tidak melewati hutan ini tapi karena merasa disini tempat yang paling aman nyaman dan lebih cepat untuk aku nyampai ke jembatan, maka aku memilih jalan ini.

"Assalamualaikum ... Permisi ... Numpang lewat ya?" Seperti biasa sebelum masuk hutan ini aku mengucapkan salam dan meminta ijin untuk lewat setelah itu aku baru masuk ke hutan.

Kicau burung menyambut kedatanganku, desir angin menyapa lembut anak rambut, bagiku hutan ini sangat asri tidak seram seperti yang orang-orang ceritakan.

Seperti biasa, aku berjalan setengah berlari, sambil berdendang riang aku melewati hutan ini, bukannya apa sebenarnya aku lakukan itu biar aku nggak merasa takut.

Saat aku berjalan kulihat di depanku ada sosok yang sedang berdiri membelakangiku, rasanya aku kenal dengan sosok itu, semakin aku dekati aku semakin mengenali ya tuhan ... Bukankah itu Lee min ho fersiku?

Ya aku yakin pria didepan sana adalah Lee min ho, aku hafal betul aroma parfumnya, parfum yang belum pernah aku hirup sekalipun, entah parfum apa ini namun wanginya sungguh menentramkan.

Aku berjalan agak lambat, bahkan sedikit mengendap-endap berharap dia nggak nampak akan kedatanganku, ku toleh kanan dan kiri mencari celah dimana agar aku bisa menghindarinya, saat aku akan bersembunyi di balik pohon Pinus, tiba-tiba Lee min ho membalik badan dan berjalan mendekat kearahku.

"Sial! Aku tak bisa sembunyi" batinku merutuki diri.

"Hai Dwi ... Kamu mau kesekolah ya?"

"Loh kok kamu tau?" Tanyaku heran, tapi dia nggak menjawab pertanyaanku, malah langsung menawarkan diri.

"Yuk aku anter?" Jawabnya sambil tersenyum manis.

"Nggak usah biar aku jalan kaki saja" bukannya aku nggak mau Lee min ho namun aku takut jantungku akan keluar dari dada ini, batinku.

"Ayo cepat naik kemotorku!"

Aku terkejut melihat speda motor besar yang tiba-tiba berada di samping Lee min ho, darimana asal motor itu? Bukankah dari tadi Lee min ho berdiri tanpa ada motor disampingnya.

"Nggak usah kaget dari tadi motor ini ada disini" ucapnya seakan tau jalan pikiranku.

"Oh iya ... Namaku Satrio jadi stop sebut aku Lee min ho ayo naik nanti kamu  telat"

Lagi-lagi aku dibuat takjub sebab dia juga tau kalau hatiku memanggil dia dengan sebutan Lee min ho.

"Udah ... Jangan dipikirkan kenapa aku tau yang tersirat di hatimu, cepat naik!!" Perintahnya sekali lagi.

Tanpa berani menolak aku menuruti ajakan Lee min ho eh maksudku Satrio untuk segera naik di motornya, tapi ... Apakah dia tau dimana sekolahku.

Sedang asik berfikir tiba-tiba Lee min ho mengejutkan aku.

"Dwi ... Apa kamu akan duduk di motorku terus?"

"Lah memang kenapa? Bukannya motor ini belum jalan?"

"Lihat di depanmu bukankah itu sekolahmu?!"

Aku mengucek mataku dengan jari telunjuk, memastikan penglihatan benarkah aku sudah sampai di sekolah? Kenapa secepat ini padahal kalau naik angkutan umum memakan waktu 15 menit, tapi ini? Ah ... Rasanya aku bermimpi, kucoba mencubit lenganku aww sakit, berarti aku tidak bermimpi dan ini nyata.

Disaat aku akan bertanya pada Lee min ho dia sudah nggak ada,.

Loh kapan aku turun? Bukankah tadi aku masih duduk di motornya? Dan kemana dia pergi, aku celinguk'an mencari dimana dia berada.

Tiba-tiba dari belakang ada yang mengagetkan aku.

"Hai ... Dari tadi bengong terus, ayo cepat masuk nanti kita telat" aku menoleh ternyata Lia yang menyapaku.

"Duh ... Lia? Kamu ini bikin aku kaget aja" aku bicara sambil memanyunkan bibirku.

"Uluh ... Uluh ... Gitu aja kamu ngambek, lagian sih kamu dari tadi ngoceh sendiri disini kaya orang gila, yuk kita masuk"

Akupun mengikuti ajakan Lia, dan masuk kedalam kelas untuk latihan menari, sekali lagi aku menoleh mencari keberadaan Lee min hoo tapi tetap aja tak ku temukan. 

jam 2 tepat latihan selesai, semua teman sudah pada pulang, aku berjalan sendiri menuju halte, tiba-tiba aku mendengar suara deru motor berhenti di sebelahku, saat ku menoleh ternyata itu Lee min hoo.

"Hai Dwi ayok aku anter pulang"

Tanpa menjawab aku langsung saja duduk membonceng, di perjalanan Lee min hoo tidak banyak bicara, dan aku juga asik menikmati perjalanan ini, sungguh jalan yang kami lewati sangatlah indah, dimana-mana kutemukan taman bunga, kupu-kupu berterbangan kesana kemari, aroma bunga mawar, melati, kantil, Kamboja, menyeruak memanjakan hidungku.

Kulihat sungai yang airnya sangat jernih hingga ikan-ikan didasar sungai nampak, mereka berenang bercanda riang berlari kesana kemari saling mengejar, ikannya cantik-cantik warnanya ada yang kuning, biru mageneta, pink, ungu, sungguh imut dan lucu, kulihat juga domba, kelinci, sapi, dan satwa lainnya berkeliaran bebas, rumah-rumah disini sangat megah, mobilnya juga sangat mewah.

Sampai sudah aku di tepi taman bunga, kami duduk di kursi taman, kursi berwarna kuning emas, berhias permata berkilauan, banyak anak-anak bermain bersama ayah juga bundanya, banyak penjual jajanan dan mainan, semua tertata rapi tertib dan asri.

"Kamu suka disini Wi?" Lee min hoo bertanya sambil menatap mata Dwi yang berbinar indah.

"Iya ... Aku sangat suka? Tempatnya indah" jawab Dwi dengan sumringah

"Kalau kamu suka kapanpun kamu mau aku akan mengajakmu bermain disini." ucap Lee min hoo meyakinkan.

"Sungguh?" Aku menatapnya tak percaya.

"Sungguh !!"

"Oh ya wi? Setelah tamat sekolah apa kamu berniat melanjutkan kuliah?"

"Iya ... Tapi aku nggak ingin kuliah, aku mau masuk di akademi penerbangan dan mengambil jurusan Pramugari"

"Kenapa kamu ingin mengambil jurusan Pramugari?" 

"Sebab aku ingin berkeliling dunia, disamping itu gaji pramugari cukup besar aku ingin dengan gaji itu aku bisa membantu ekonomi keluarga, tapi ...?"

"Tapi kenapa?" Jawab Lee min hoo khawatir.

"Biaya sekolah pramugari itu lumayan tinggi, bayangin sekolah 6 selama bulan aku harus mengeluarkan uang sekitar 30 juta bahkan bisa lebih terus 3 bulan kemudian langsung praktek di lapangan, jadi selama 9 bulan aku harus bisa melunasi biaya itu, dan aku nggak tega meminta uang kepada ayahku?"

"Memang sekolah pramugari ada dimana?" tanya Lee min hoo ingin tahu.

"Kalau nggak di Jogja ya Semarang"

"Terus tempat tinggalmu nanti dimana?"

"Di asrama"

"Apa kamu benar-benar ingin menjadi pramugari?"

"Iya biar aku bisa terbang keliling dunia dengan gratis" aku menerawang jauh membayangkan aku berdiri di dalam pesawat, memakai seragam pramugari, duh pasti itu keren batinku.

Dia tersenyum sambil menatapku,.

"Sudah sore apakah kamu mau pulang wi?" Dia mengejutkanku.

"Oh ya wi? Mulai sekarang kita berteman, panggil saja namaku Mas Satrio ya? Terus kalau ada masalah apapun kamu jangan ragu untuk bercerita kepadaku, untuk tanda persahabatan aku punya hadiah untukmu."

Aku melihat dia mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya,.

"Ini untukmu? Kalung berliontin merah delima, bila kamu dalam kesulitan pegang liontin ini dan sebut namaku, aku pasti akan datang membantumu, sini aku pakaikan ya?"

Ajaib tanpa sepatah katapun aku membiarkan mas Satrio memakaikan kalung itu, saat kalung mulai menempel di kulitku, ada hawa aneh seakan masuk ke dalam peredaran darahku,.

"Kamu cantik sekali wi? Kamu pantas menjadi seorang ratu di istanaku, kecantikanmu sungguh sempurna bak titisan Dewi kahyangan" mas Satrio menatapku tak berkedip.

Setelah mengucapkan kata itu mas Satrio mengajakku pulang, perjalanan pulang kali ini tidak seperti perjalanan saat aku datang, kali ini secara tiba-tiba aku sudah berada di depan pintu rumah.

Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi bertemu mas Satrio, kadang aku sangat merindukannya, hanya saja setiap tengah malam aku selalu mendengar alunan musik yang sangat indah, musik itu kudengar begitu sendu, seakan menceritakan seorang kekasih yang merindukan sang pujaan hati, hingga tanpa sadar sering aku menitikkan air mata saking mendayu pilu irama itu.

Lambat laun musik itu bagaikan candu bagiku, aku tak bisa tertidur dengan lelap kalau tak mendengar alunannya.

Hari berganti Minggu, aku merasa semakin hari semakin merindukannya, merindukan seorang leleki yang bukan kekasihku.

Dan hari ini adalah hari perpisahan sekolah aku memakai baju toga ditemani ayah ibu juga adik-adik menuju ke tempat perpisahan, sebelum acara inti di mulai aku dan kawan-kawan mempersembahkan sebuah tarian Jawa.

Diantara tepuk tangan meriah para hadirin memberi apresiasi atas penampilan kami, aku melihat di ujung ruangan Mas Satrio menatapku dengan takjub, dia melambaikan tangan kepadaku, dan aku membalasnya, hatiku bicara

 "kemana saja engaku pergi ... Sungguh aku sangat merindukanmu?"

Kulihat dia mengangguk seolah tau apa yang sedang aku ucapkan.

Setelah turun panggung dan ganti baju, sebelum duduk di kursi yang sudah disediakan untuk kami para murid yang tahun ini lulus aku pergi mencari mas Satrio, sampai letih Ku mencari dia tidak bisa aku temukan, akhirnya aku kembali ke tempat dudukku mengikuti acara demi acara yang menurutku sangat melelahkan, sebab aku tau ragaku saja yang disini namun hati dan pikiranku berada jauh bersama kepergian mas Satrio.

Tuhan ... Apakah aku telah jatuh cinta? Batinku pilu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status