Share

5. Ingin jadi pramugari

Aku merasa ini tak adil bagiku, 200 tahun aku terkurung di dalam perjanjian manusia, aku dipenjara didalam lembah kotor, 100 tahun aku memulihkan kekuatanku dan kenapa setelah aku mengalami segala kesulitan itu justru sekarang aku dipertemukan kembali dengan seorang gadis yang persis seperti Sulastri kekasihku yang dulu.

Tidak ... Aku tidak mau Dwi setyani bernasib seperti Sulastri, aku harus membuang rasa ini, aku akan menyayanginya sebatas sahabat, dan aku berjanji apapun kesulitan Dwi aku akan membantunya."

Seperti biasa dikala hati Satrio gundah dia memainkan irama musik klasik yang tidak ada di alam manusia, namun bisa di dengar oleh manusia yang memiliki Indra keenam.

Keesokan harinya di rumah Dwi setyani.

"Bu ... Boleh nggak Dwi bantu ibu kerja bungkus tempe?"

"Nggak usah nduk? Katanya kamu mau kerumah Ani mau meminta brosur tentang sekolah pramugari."

"Eemmm ... Bu? Sebenarnya Dwi sudah mempunyai brosurnya? Tapi Dwi nggak berani menunjukan brosur itu kepada bapak dan ibu."

"Lah memang kenapa nduk? Mana? ibu mau lihat brosurnya?" tanya ibu penasaran

"Nggak kenapa-kenapa Bu? Hanya saja Dwi berubah pikiran? dan brosur sudah Dwi buang," Jawab Dwi berbohong padahal penyebabnya adalah biaya sekolah pramugari itu cukup mahal sekitar 35 juta, itu biaya pendidikan nya saja, belum untuk kost makan dan lain sebagainya.

"Pasti ada alasannya kan? ibu tau watakmu, apakah karena uang? Sebab kalau dilihat postur tubuh dan tinggi badan bukannya kamu itu tinggi ya? dan pasti bisa memenuhi syarat sekolah pramugari, Lihat ... Ibu aja tingginya hanya sebatas telingamu!" Ibu berkata sambil  membandingkan tinggi badannya, dan memang benar tinggi ibu hanya sebatas telinga Dwi saja.

"Iya Bu ... Tinggi Dwi 165 berat 55 sebenarnya sudah pas, hanya saja Dwi mau kerja saja ikut mbaknya Ani?" jawab Dwi masih menyembunyikan keinginannya.

"Kerja di pabrik ya nduk?" 

"Iya Bu? Gajinya lumayan besar kok."

"Ya udah mana yang menurutmu bagus ibu ikut saja? Oh iya kamu dirumah saja nggak usah ikut ibu, hari mau hujan nanti nggak ada yang angkat jemuran ibu pergi dan hati-hati dirumah ya?" 

Benar saja setengah jam ibu pergi hujan turun dengan derasnya, setelah mengangkat dan melipat jemuran Dwi masuk ke kamar, mengambil brosur sekolah pramugari lalu duduk di meja belajar.

Seandainya biaya nggak semahal ini aku pasti bisa meminta uang ke ayah dan ibu? Seandainya aku kerja di pabrik aku juga nggak tau butuh waktu berapa puluh tahun untuk bisa menabung dengan nominal yang ada di brosur ini Dwi bergumam lirih.

Tanpa sadar Dwi mengeluarkan kalung pemberian Satrio yang tersembunyi di balik baju, dia menatap liontinnya dan berkata lirih.

"Mas Satrio ... Dimana kamu berada? Kamu bilang kamu akan datang menemui  kalau aku mengusap liontin dan menyebut namamu, kamu bilang kamu bisa tau apa yang aku pikirkan, kenapa kamu bohong Lee min hoo? Apakah karena kamu tau kalau aku mencintaimu hingga kamu pergi meninggalkan aku?"

Tanpa sadar air mata menetes membasahi pipi dan jatuh ke liontin itu, dan tanpa Dwi sadari sebenarnya dari tadi Satrio memperhatikan semua gerak gerik Dwi, ingin rasanya dia masuk ke kamar menemui Dwi tapi takut tidak bisa menahan perasaan rindu yang sudah lama dia pendam.

 "Dwi setyani ... Akupun merindukanmu" ucap Satrio lalu pergi.

Setelah hujan reda Dwi memutuskan pergi kerumah Ani teman sekolahnya, dia mau menanyakan apa saja syarat untuk bisa kerja di pabrik, keputusan Dwi sudah bulat bahwa dia tidak melanjutkan pendidikan dan akan bekerja, biarlah impian keliling dunia dia pendam, kalau dipikir sayang juga dengan nilai bagus yang dia raih, namun apa daya ekonomi keluarga tidak mendukung Dwi nggak mau merepotkan ibu dan bapak sebab Dwi masih memiliki dua adik yang sedang membutuhkan banyak biaya.

Dwi pergi memakai speda, rambutnya yang panjang sebatas pinggang dia biarkan terurai, sesekali rok panjang yang dia kenakan menari mengikuti irama dayung speda, di tengah jalan Dwi menghentikan speda sebab mendengar suara yang tak asing memanggilnya.

"Dwi setyani ... Tunggu ...?"

Dia menoleh menatap sang pemilik suara, dilihatnya disana Lee min hoo sedang mengayuh sepeda memakai kaos putih dan celana olah raga berwana biru, sungguh ketampana Lee min hoo selalu membuat jantung Dwi akan melompat keluar.

"Hai Dwi ... Kamu mau kemana?"

"Aku mau kerumah Ani?" Jawab Dwi sambil menunduk, angin sepoi-sepoi memainkan rambut Dwi, hingga menambah pesona gadis desa yang lugu ini.

"Boleh aku ikut?" Satrio menawarkan diri.

"A ... Apa? Kamu ikut, Dwi bertanya sambil membulatkan mata tak percaya.

"Iya ikut ... Sebelum aku ikut boleh nggak kalau aku tau tujuanmu kerumah Ani?"

Seperti biasa Dwi tidak pernah bisa menutupi semua masalahnya kepada Satrio.

"Kita minggir dibawah pohon itu dulu yuk baru aku bercerita" ucap Dwi sambil menunjuk pohon besar yang berjarak kurang lebih 100 meter dari tempat mereka sekarang.

"Okey ... Kita lomba ya? Siapa yang kalah maka dia akan membantu kesusahan yang menang setuju?" jawab Satrio.n

"Setuju ... Siapa takut? Kecil-kecil gini aku jago main sepeda kok." Jawab Dwi jumawa.

"Heeemmmm ... Kamu mulai sombong ya? Aku hitung sampai tiga lalu kita berangkat. Satuuu ... duaaa ... Tiga gooo!!"

Dengan riang Satrio dan Dwi saling mengejar, dua meter mendekati pohon besar nan rindang Satrio melambatkan laju speda sengaja memberi kesempatan agar Dwi menang.

"Ayoooo mas Satrio ... Kejar aku ...." Dwi menyalip sepeda Satrio dengan tawa penuh kemenangan. Satrio bahagia melihat keceriaan wajah Dwi, dia pura-pura kelelahan dan turun dari sepeda batinnya bicara, "Dwi ... Dwi ... Hanya dengan melihat tawamu saja segala dukaku hilang."

"Horeeee ... Aku menang ... secara reflek Dwi turun dari speda dan berlari kearah Satrio lalu memeluk Satrio dengan senang.

Kenapa Dwi bisa memelukku? Dan kenapa aku bisa dipeluknya? Apakah Dwi ini Sulastri? Owh iya aku ingat karena liontin pemberianku penyebab Dwi bisa bersentuhan denganku.

Satrio tidak berani membalas pelukan Dwi dan itu membuat Dwi merasa sangat malu.

"Ma ... Maaf mas ... Dwi refleks" muka Dwi berubah merah padam, lalu pergi berlari ke arah pohon besar menunggu Satrio.

Satrio tersenyum melihat polah tingkah Dwi setyani, lalu  berjalan sambil menuntun sepeda mengikuti Dwi, setelah mereka sampai dibawah pohon dan karena melihat Dwi masih nampak malu akhirnya Satrio membuka percakapan.

"Jadi ada tujuan apa kamu ke rumah Ani? Apakah kalian mau kuliah pramugari bersama?" tanya Satrio sambil menatap Dwi dengan senyum terkulum.

"Enggak mas ... Tapi aku dan Ani mau menyusul mbak nya ke Bandung terus melamar kerja di pabrik sepatu" Dwi menjawab dengan muka di tekuk karena masih merasa malu.

"Aku nggak salah dengar ya? Bukannya hari itu dengan semangat kamu bercerita mau melanjutkan pendidikan pramugari?"

"Iya mas ... Tapi Dwi nggak tega sama orang tua? Sebab biayanya sangat mahal?" Dwi nampak sedih saat mengutarakan maksudnya.

"Memang berapa biayanya?"

"35 juta mas, dan itu hanya untuk biaya saja belum untuk biaya kost selama 6 bulan"

"Kalau aku yang bayarin apakah kamu mau melanjutkan mimpimu menjadi pramugari biar bisa keliling dunia?."

Dwi menatap Satrio dengan wajah bingung tak percaya.

"Ti ... Tidak usah mas, biar Dwi kerja saja nanti Dwi berusaha menabung"

"Kamu lupa ya ... Sebelum lomba speda tadi kita ada janji kan?"

"I ... Iya ... Dwi ingat, siapa yang kalah harus membantu kesusahan yang menang! Tapi ...! Bukan kesusahan ini yang Dwi maksudkan lagian uang 35 juta itu sangat banyak lho mas."

"Ya sudah kalau kamu nggak mau di kasih bagaimana bila aku pinjami saja, nanti kamu boleh bayar dengan sistem menyicil"

"Berapa cicilan per bulannya mas?" Jawab Dwi dengan sumringah, nampaknya dia tertarik dengan penawaran Satrio.

"Ha ... Ha ... Ha ... Aku bukan tukang kredit kali? Terserah semampumu saja, ingat ya kamu boleh mulai nyicil kalau kamu udah sukses keliling dunia dan bantu orang tuamu?"

"Nggak mau gitu lah mas ...." ucap Dwi kurang setuju.

"Jadi maumu gemana?" Satrio bingung

"Aku nggak mau lama-lama berhutang, aku mulai nyicil sejak gaji pertama sudah keluar saja" jawab Dwi sambil tersenyum dan menatap Satrio.

"Ya sudahlah ... Mas ngikut saja yang penting kamu bahagia! Jadi kapan kamu mau daftar?"

"Kalau sudah ada uang Dwi mau langsung daftar"

"Okey ... Nanti malam aku kerumah mu ya? Nganter uangnya!"

"Secepat itu mas?"

"Ya iyalah masa nunggu tahun depan"

"Ihhhh ... Mas bisa aja" Satrio menatap Dwi yang sedang menunduk tersipu malu.

"Ayo sekarang mas anter kamu ke rumah Ani ya? Tapi ingat jangan lama-lama, dan kamu kesana main aja nggak usah nanya-nanya masalah kerjaan di pabrik"

"Iya mas ...." Dwi menjawab dengan semangat.

Dwi dan Satrio naik speda sambil beriringan, sekali-kali Dwi mencuri pandang menatap wajah Satrio, sebenarnya Satrio tahu namun dia pura-pura nggak nampak.

"Apa masih jauh rumah Ani?" Tanya Satrio memecah kesunyian.

"Itu mas yang rumah hijau itu" Dwi menunjuk ke arah rumah Ani.

"Oowh aku nganter sampai sini saja ya? Dan aku tunggu kamu disini nanti kita pulang bareng lagi"

"Loh kenapa mas?" 

"Mas takut nanti Ani naksir sama mas, dan kamu patah hati"

Satrio menjawab sambil berbisik di

 telinga dwi.

"Ishhhh ... Mas Satrio gitu dech" muka Dwi merah padam mendengar godaan Satrio lalu dengan cepat Dwi menuju ke rumah Ani.

Ternyata Ani sudah menunggu Dwi, dia duduk di kursi panjang yang ada di terasnya.

"Kupikir kamu nggak jadi datang wi?"

"Jadi lahhh ... Kan janji harus di tepati, oh iya An aku kesini buru-buru nich dan aku cuma mau bilang kayaknya aku nggak jadi ikut kerja di pabrik sepatu deh!"

"Loh kenapa?." Ani kaget sebab kemaren Dwi semangat banget ingin kerja tapi kenapa hari ini tiba-tiba Dwi berubah pikiran.

"Aku masih bingung An? Aku masih kepikiran sekolah pramugari, aku mau nyoba ijin sama ayahku dulu" jawab Dwi berbohong.

"Oh iya gak papa wi? Lagian sayang juga kalau kamu gak wujudkan cita-citamu, kamu pintar dan cantik tinggimu juga memungkinkan untuk kamu jadi pramugari"

"Bukan masalah itu An? Aku ingin menyekolahkan adik-adikku dan bantu orang tua, doakan aku berhasil ya An?"

"Tenang wi aku akan selalu do'akanmu"

"Ya sudah gitu aja ya An aku mau pamit"

"Loh kamu nggak minum dulu? Kamu baru nyampai lho"

"Nggak usah An, aku buru-buru, Assalamualaikum" Dwi mengucap salam sambil berlari ke arah sepeda nya.

Entah kenapa baru sebentar Dwi meninggalkan Satrio rasa rindu sudah bergelayut manja di hatinya, dia selalu ingin berada di dekat kekasih hatinya itu, meski Satrio tidak pernah mengucapakan kata cinta namun benih cinta didalam hati Dwi semakin hari semakin tumbuh subur dan bersemi.

Dwi tersenyum saat melihat sang pujaan hati dengan setia masih menunggunya, akhirnya merekapun pulang bersama, naik speda saling bercerita dan tertawa ceria.

Sesampai di rumah Dwi senyum-senyum sendiri, membayangkan semua kekonyolan tadi, saat bayang wajah Satrio melintas Dwi langsung tutup mata menyembunyikan rona merah di pipinya, nampaknya Dwi benar-benar telah jatuh cinta kepada Satrio mahluk penghuni hutan Pinus.

Dwi ingat nanti sore Satrio akan datang, buru-buru Dwi mandi berdandan cantik dan memakai baju yang menurut Dwi paling indah.

Begitu juga dengan Satrio sepulang mengantar Dwi tak henti-hentinya dia bersiul mendendangkan lagu, dia membayangkan wajah Dwi saat tersipu malu, namun bayang itu buru-buru Satrio hapus sebab dia telah berjanji tidak akan pernah mencintai Dwi, sebab takut cintanya hanya akan mengahancurkan kehidupan Dwi.

Menjelang malam Satrio datang, dia begitu tampan dengan tampilannya yang sederhana namun terkesan modis seperti opa-opa Korea, saat Dwi menyuruh masuk ke rumah bertemu kedua orang tuanya Satrio tidak mau masuk dengan alasan buru-buru Satrio hanya mengantar amplop coklat tebal sambil berpesan.

 "Jangan kasih tau siapapun kalau uang ini dari aku, bilang saja kamu kuliah gratis sebab nilaimu bagus jadi kamu dapat kesempatan sekolah pramugari dengan gratis aku pergi dulu ingat pesan mas tadi ya?" 

"Iya ... Baik mas ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status