Share

7. Benih Cinta Mulai Bersemi.

Setelah menyerahkan uang itu mas Satrio langsung pergi, ada sedikit penyesalan di hati sebab dengan gampang aku mengiyakan tawaran mas Satrio, bagaimana nanti aku membayarnya? Aku masih mematung di teras rumah dan tiba-tiba ibu mengejutkan aku.

"Kamu bicara sama siapa tadi Wi?"

"Em itu ... anu bu, tadi Dwi bicara sama Ani?" Aku menjawab dengan gugup.

"Apa itu?" Selidik ibu sambil menunjuk amplop coklat yang aku pegang.

"I-ini berkas lamaran untuk melamar kerja Bu? Maaf Dwi kedalam dulu mau mempersiapkan lamaran kerja buat besok" kenapa aku berbohong aku merutuki diri sambil memukul-mukul mulut sendiri.

Buru-buru aku masuk ke kamar, menutup pintu setelah memastikan semuanya aman ku buka amplop itu, mataku membulat dengan sempurna saat menatap satu gepok uang seratus ribuan, masih baru dan terdapat segel resmi Bank Indonesia sebesar lima puluh juta!.

Apa? ... Lima puluh juta? Aku bertanya pada diri sendiri, ya ampun kenapa sebanyak ini, butuh berapa puluh tahun aku akan membayar hutang ini, duh gusti! apa yang harus aku lakukan dengan uang sebanyak ini?.

"Tok ... Tok ... Tok ... Mba Dwi!... Mba? Buka pintu dong! Tumben main kunci segala"

Buru-buru aku simpan uang itu dibawah kasur, terus membuka pintu kamar dengan tampang dibuat cemberut.

"Apasih kamu dek, mbak ini lagi ganti baju tau"

"Biasanya aja mba gak pernah kunci pintu" jawab tri sedikit nyolot

"Hari ini adalah hari luar biasa jawabku ketus."

"Maksud mba?"

"Ya itu? Hari luar biasa makannya mba sampai kunci pintu, jawabku sekenanya.

"Udahlah mba capek mau langsung tidur aja, dada Tri adikku yang cantik doakan mba mimpi berjumpa Lee min hoo ya?" Kututup badanku dengan selimut dan pura-pura tidur.

Malam semakin merayap jauh, tapi sedetik pun aku belum bisa memejamkan mata, saat aku me miringkan badanku menghadap jendela, dan menghadap ke arah hutan Pinus, kembali aku mendengar musik yang hampir setiap malam aku dengar.

Namun musik kali ini bukan bernada sendu akan tetapi nada ceria penuh harap akan romansa cinta, kunikmati alunan musik itu, tanpa sadar aku turun dari tempat tidur dan berjalan lalu membuka jendela.

Belaian sang bayu lembut menyapa, membuat aku semakin terbuai oleh alunan musik yang teramat syahdu, tanpa bisa ku kendalikan tubuhku bergoyang dan menari mengiringi alunan musik itu.

Aku membayangkan  berada dalam pelukan mas Satrio, menari berdua di kesunyian malam ini, aroma tubuh mas Satrio menyejukan hatiku tanpa sadar mataku terpejam, sambil membayangkan bersandar didalam pundaknya.

Tangan mas Satrio memeluk pinggangku, dan kami berdansa berdua aku tak ingin semua ini  berakhir dan akan selalu seperti ini, menikmati kedamaian hati didalam pelukannya,  mas Satrio ... Aku mencintaimu kuucap kata itu dengan lembut.

Suara Kokok ayam menyadarkan dari alam mimpi, aku terbangun menatap jendela yang ternyata tidak terbuka. 

"ya Ampun ... Ternyata semua itu hanya mimpi tapi ... Kenapa harum parfum mas Satrio masih menempel di kulit dan bajuku? hangat pelukannya juga masih aku rasakan, apakah benar aku bermimpi atau? Ah sudahlah yang pasti aku sangat bahagia dengan mimpiku itu."

Bergegas aku bangun menuju ke dapur untuk membantu ibu memasak, kebiasaan ibukku adalah memasak sebelum adzan subuh.

"Kamu dah bangun nduk ... nggak usah bantuin ibu, sana persiapan sholat jama'ah saja, kebetulan ibu lagi nggak sholat"

"Dwi lagi nggak sholat juga Bu?" Jawabku berbohong lagi, ups kenpa sih aku sekarang pandai berbohong! batinku lirih, dan jujur sejak aku mengenal mas Satrio aku jadi jarang sholat, rasanya berat banget untuk melaksanakan sholat.

"Ya sudah ... Sana cuci muka dulu nggak baik muka masih bau bantal masak"

Aku turuti perintah ibu pergi ke kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi, setelah itu aku kembali ke dapur untuk membantu ibu.

"Bu ... Dwi mau bicara?"

"Bicara apa nduk? Ngomong saja?"

"Jadi begini Bu? Dwi ... Dwi ... dapat keringanan biaya untuk masuk ke sekolah Pramugari, biaya semua di gratiskan bolehkah Dwi sekolah lagi Bu?"

"Alhamdulillah ... MasyaAllah ... Boleh banget wi, tapi kok bisa tiba-tiba ada kabar kayak gini? itu biaya dari sekolahmu atau gemana?"

"Jadi begini Bu? karena nilai Dwi masuk 3 besar pihak sekolah pramugari menawari Dwi untuk nyoba ikut ujian, kalau Dwi lulus dengan nilai bagus Dwi boleh sekolah disana dengan gratis"

 kembali aku melancarkan aksi bohong dengan sempurna sebenarnya dari hati kecil yang paling dalam aku tak menginginkan kebohongan ini.

"Kapan ujiannya wi?"

"Kalau ibu ijinin nanti Dwi mau ke Jogja untuk melihat jadwal ujian, bolehkan nanti Dwi ke Jogja?"

"Boleh ... Boleh bangetttt, terus apa nggak kesiangan sampai sananya wi? Dari sini ke Jogja makan waktu -+ 6 jam lho?"

"Tenang saja Bu? Banyak kok teman dari sini palingan Dwi nginap dan besoknya Dwi baru mendaftar"

"Tapi ... Ibu khawatir, kamu kan belum pernah ke Jogja? apa nanti kamu nggak nyasar, oh gini saja kamu pergi sama bapak ya?"

"Nggak usah Bu? Dwi nggak mau ngrepotin bapak, Dwi janji nyampai Jogja nanti Dwi telpon ke ibu yang penting ibu bantu Dwi minta ijin ke bapak, tenang Bu? Dwi berani kok?"

"Ada apa ini pagi-pagi udah ribut!" Ucap bapak mengejutkan kami, dan bapak langsung ke kamar mandi  setelah itu pergi ke masjid untuk jamaah sholat subuh.

Pulang jama'ah bapak duduk di meja makan menikmati secangkir kopi dan pisang goreng hangat buatan ibu.

"Bu ... Hari ini bapak mau kepasar agak pagi, jadi bapak nggak bisa sarapan"

"Loh tumben bapak pagi sekali kepasarnya?"

"Iya ... Janjian sama tukang kangkung, tadi ibu dan Dwi bahas apa nampak serius banget."

"Begini pak! Dwi mau ke Jogja untuk melihat jadwal ujian masuk sekolah pramugari dan katanya nginep bisa jadi ujiannya besok atau gemana gitu?"

"Tapi ... Kalau Dwi masih bisa ngejar Dwi nggak nginep kok pak?" Aku langsung menimpali.

"Tumben mendadak banget kamu ngomongnya Dwi? Memang kamu ada uang buat kesana? Biasanya apa-apa kamu musyawarah dulu sama bapak dan ibu"

"Karena ... Karena Dwi dapat info mendadak pak? Dan juga ... Dwi akan mendapat pendidikan gratis kalau Dwi lulus seleksi dengan nilai paling baik, makannya Dwi buru-buru" aku menjawab dengan perasaan takut, takut bapak nggak percaya.

"Ada berapa orang yang akan ikut seleksi memangnya wi?"

"Dwi kurang tahu tapi katanya dari kecamatan sini banyak pesertanya Gemana pak? Bapak kasih ijin Dwi kan?"

"Iya ... Bapak kasih ijin asal nanti kamu kasih kabar ke ibumu ya kalau sudah sampai Jogja, bapak sebenarnya mau saja nganter kamu tapi di pasar lagi banyak masalah"

"Nggak usah pak? Nggak usah repot-repot nanti Dwi minta di temani Ani saja semoga Ani mau"

Setelah bapak pergi ke pasar, aku langsung mandi, terus mempersiapkan segala keperluan tidak lupa membawa uang pendaftaran dan keperluan lainnya.

Aku berniat meminta anter Ani biar ada teman ngobrol di jalan, tepat jam 7 aku pamit ke ibu.

"Bu ... Dwi pergi dulu ya? Dwi mau samperin Ani juga."

"Iya hati-hati nduk, ini uang dari bapak buat kamu, aku melihat uang sebanyak lima ratus ribu, maaf Bu? Uang celengan Dwi sudah cukup itu ibu simpan saja buat kebutuhan lain"

"Nggak usah ini buat bekal kamu takutnya dijalan kamu kekurangan uang"

Karena malas debat Dwi menerima uang itu, lalu langsung pamit, di tengah jalan menuju rumah Ani Dwi dikejutkan oleh suara motor.

"Dwi ... Pagi-pagi mau kemana?"

"Eh mas Satrio? Aku mau kerumah Ani?" Jawab Dwi malu-malu sebab dia teringat akan mimpi tadi malam.

"Kenapa mukamu tiba-tiba memerah wi? goda mas Satrio padahal dia tau pasti Dwi memikirkan kejadian tadi malam yang dikira Dwi itu mimpi, padahal itu kenyataan bahwa tadi malam mereka berdansa bersama.

"Ayo? Mas anter naik motor lebih cepat dibanding naik bis umum."

"Maksud mas Satrio?"

"Ayo naik ... Mas akan anter kamu ke jogaja"

"Seriusan mas?"

"Nggak ... Tapi dua rius ... Ayo cepat keburu kesiangan"

"Ini ... Pake jaket sama helem ini, biar kamu nggak kedinginan di jalan."

Dwi menerima jaket pemberian Satrio jaket berwarna pink Salem, membuat wajah putih Dwi semakin nampak bersinar dan menggemaskan. Selesai memakai jaket mas Satrio memasangkan helem dikepala Dwi sebelumnya mas Satrio mengikat rambut Dwi ikat ekor kuda lalu memasukan rambut itu kedalam helem.

"Kamu cantik banget wi? Bagaikan putri kahyangan" puji Satrio "ayo naik jangan lupa pegangan sebab mas mau ngebut".

Benar saja baru saja Dwi naik Satrio langsung tancap gas karena kaget Dwi langsung memeluk pinggang Satrio dengan kencang, dan menyandarkan kepalanya ke punggung Satrio yang lebar, rasanya damai bagai melayang di udara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status