“Ayah mana?” tanyaku pada anak-anak yang asyik menonton televisi.
“Ada di kamar, Bu. Sedang dipijat katanya tidak boleh ada yang mengganggu,” jawab Devan.Keningku berkerut. Dipijat? Sejak kapan Mas Tito mau dipijat oleh orang lain? Saat merasa tubuhnya kelelahan dia pasti memintaku untuk memijat tubuhnya bukan orang lain.“Memang Ayah yang bilang begitu?” Aku kembali bertanya.“Iya, Bu. Jangan ganggu sampai selesai nanti,” sahut Davin.Aku penasaran dan bergegas menuju kamar untuk melihat.Cklek!Dikunci? Kenapa dipijat saja harus dikunci?Aku menempelkan telinga di daun pintu saat mendengar suara lenguhan dari dalam kamar.Deg!Apa yang Mas Tito lakukan di dalam bersama dengan tukang pijat itu. Dadaku langsung memanas.Tok! Tok! Tok!“Mas, Mas Tito!”Perasaanku jadi tidak enak seperti ini, pikiranku langsung tidak karuan, membayangkan hal tidak-tidak yang dilakukan oleh Mas Tito di dalam.Menunggu lumayan lama sampai pintu itu terbuka.Mataku membelalak melihat ada seorang wanita dengan pakaian minim berada di dalam kamar, pakaiannya sedikit berantakan.“Kau bisa pulang. Nanti aku transfer saja ongkos pijatnya,” ujar Mas Tito pada wanita itu.“Tunggu! Apa yang sebenarnya kalian lakukan?” Aku mencegah wanita itu yang akan keluar dari kamar.“Saya di sini hanya memijat, Bu,” jawabnya.“Kau tahu sendiri aku sedang dipijat, tadi anak-anak pasti memberitahumu bukan?”“Dipijat? Oleh wanita ini?” Pandanganku terjatuh pada wanita itu yang tidak pantas untuk penampilan seorang tukang pijat karena yang kutahu tukang pijat kebanyakan orang yang sudah renta kalau pun iya masih ada tukang pijat muda tidak akan mungkin dengan penampilan tak pantas seperti ini.“Kenapa memangnya, dia ini tukang pijat. Sudahlah, biarkan dia pergi.” Mas Tito menarik tanganku membiarkan wanita itu pergi.“Lagian kau ini kenapa sih? Berpikir aneh-aneh, mau menuduh aku selingkuh?” Mas Tito geleng-geleng kepala, “dengar, sayang. Aku tidak akan mungkin meninggalkanmu yang sudah jelas-jelas selalu setia bersamaku, menemaniku dalam segala situasi bahkan saat susah sekalipun. Aku tidak pernah berpikir untuk melukaimu. Wanita tadi memang benar-benar tukang pijat. Sudah jangan cemburu begitu, aku sangat mencintaimu.”Dia menarikku ke dalam pelukannya, mengelus punggungku dengan lembut.“Anggap saja sekarang aku percaya. Awas saja kalau berani selingkuh.” Aku mendelik padanya.“Tidak akan sayangku. Badanku benar-benar pegal, aku mau minta bantuanmu tapi kau juga tidak di rumah. Sudah ya, tolong buatkan kopi.”Setelah hari itu, Mas Tito tidak bersikap aneh. Dia terlihat biasa seperti sebelumnya, masih romantis. Mungkin kemarin hanya ketakutanku saja, semoga saja memang tidak ada main antara Mas Tito dan wanita itu. Aku takut kalau dia mengkhianatiku.Hari ini waktunya aku untuk membersihkan seisi rumah, meski Mas Tito selalu menyuruhku mempekerjakan orang tapi aku lebih suka mengerjakan tugas rumah sendiri karena aku juga tidak memiliki kesibukan apa-apaMataku menyipit saat melihat sebuah plastik mengintip dari bawah ranjang. Aku langsung berjongkok dan menariknya.Deg!Bungkus kond*m, jantungku berdenyut nyeri kala melihat kond*m bekas pakai ada di dalamnya. Mataku langsung memanas.“Sayang, sedang apa berjongkok di situ?”Suara Mas Tito membuatku langsung mendongak, melayangkan tatapan tajam padanya.“Berani sekali kau membawa wanita lain ke rumah kita, bahkan sampai bercinta di kamar ini?” teriakku yang sudah hilang kesabaran.“Jangan menuduh tanpa bukti, bukankah aku bilang dia hanya tukang pijat.” Dia tampak santai meskipun dari sorot matanya tak bisa dibohongi.Aku melangkah mendekat dan menarik tangannya agar bisa melihat apa yang membuatku semarah ini.“Masih mau mengelak? Wanita itu ternyata memang wanita murahan yang mau tidur dengan suami orang!”“Dia yang kau sebut wanita lain itu adalah wanita yang akan menjadi istri keduaku.”Jleb.Bagai dihantam palu godam, hatiku langsung remuk redam.“Apa maksudmu, Mas?”“Apa kurang jelas? Kubilang dia akan menjadi istriku, adik madumu.”Mataku memanas dengan dada bergemuruh, “Berapa lama kau mengenalnya sampai seberani itu untuk menikah? Apa kau tidak berpikir bagaimana perasaan istri dan anak-anakmu?”Kesetiaan yang dibicarakannya beberapa hari lalu ternyata hanya sebuah omong kosong.“Aku baru mengenalnya satu bulan dan merasa sangat yakin untuk menikahinya.""Apa dia pelacur yang bisa memuaskanmu?”Plak!Aku terhenyak, pipi ini rasanya panas sekali. Sakit rasanya, dia menamparku hanya karena wanita itu.“Tutup mulutmu itu! Mawar orang baik!” berangnya dengan sorot mata tajam.“Mana ada wanita baik yang mau pada suami orang. Andai tahu harta akan membutakan mata dan hatimu, lebih baik kita hidup seadanya seperti dulu. Aku lebih suka hidup sederhana daripada berlimpah harta dan melihat kau mendua!”“Jaga ucapanmu, Mila! Kalau kita miskin lagi bagaimana? Memang salah kalau aku memiliki istri lebih dari satu? Aku mampu menafkahimu dan istri keduaku nanti, Mila! Aku akan berlaku adil.”Aku tersenyum sinis, “memang tidak salah tapi ini bukan soal harta, Mas. Tadi kau bilang akan berlaku adil, baiklah. Aku akan mengizinkanmu menikah lagi asal istri keduamu itu menerima nafkah yang sama sepertiku dulu, satu juta untuk satu bulan.”Karena nafkah yang tidak cukup untuk satu bulan, aku berjualan kue basah di pasar untuk membantu perekonomian keluarga. Sama sekali tidak pernah mengeluh, berapapun yang diberikannya aku sangat bersyukur.Saking sulitnya ekonomi keluarga, aku dan Mas Tito pernah merasakan hanya minum air putih selama dua hari dan kedua putraku hanya makan roti. Perih tapi tetap kami jalani dengan ikhlas.Pada saat itu para tetangga sudah tidak mau lagi meminjamkan uang karena hutang sebelumnya belum dilunasi. Mengingat begitu menyedihkannya kehidupan kami dulu tidak sebanding dengan kehidupanku saat ini yang lebih menyedihkan.“Egois sekali kau, Mila. Sekarang aku sudah memiliki segalanya, nafkah bukan hal yang sulit untukku. Kenapa harus menyamakan dengan kondisi kita dulu!” geram Mas Tito dengan rahang mengetat.“Bagiku itu hal yang adil.”“Adil dari mananya? Seharusnya kau itu sadar diri, aku dulu menerimamu yang sudah memiliki anak tanpa suami dan sekarang apa susah untukmu menerima aku menikah lagi? Aku juga tidak akan mengurangi jatah bulanan.”Air mata berderai tak bisa terbendung, hatiku sakit mengingat satu fakta itu. Tidak ada yang mau menjadi korban pelecehan yang harus menanggung malu dan aib. Aku pernah menyalahkan takdir yang begitu menyiksa, memberikan ujian yang begitu berat. Tapi aku percaya Allah tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan hamba-Nya.“Tidak usah mengungkit hal itu, aku juga sadar diri. Kalau memang kau ingin dengannya silahkan tapi talak aku, Mas! Aku tidak sanggup jika harus berbagi.”Mas Tito terbahak, “bisa apa kau tanpaku, Mila? Kau itu wanita bodoh, sekolah saja tidak. Sekarang mau cerai dariku? Pikir dulu sebelum bicara, kau akan sengsara hidup tanpaku.”Tanganku mengepal mendengar perkataan Mas Tito yang begitu menyayat hati. Serendah itu aku di matanya.“Aku lebih sengsara hidup denganmu, Mas!”Selama ini aku tidak pernah melawan perkataannya karena bagiku dia adalah pemimpin dalam keluargaku tapi jika dia sudah berani bermain hati apalagi berniat menikah lagi, aku tidak akan bisa diam. Dia bahkan sama sekali tidak merasa bersalah. Wanita itu yang dia bilang akan menjadi istri keduanya. Wanita yang baru dikenalnya satu bulan ini dan dengan berani menghancurkan rumah tangga kami.Mas Tito sudah tidak seperti dulu, dia begitu kasar dan pemarah sekarang. Aku bahkan seperti tidak mengenalnya. Harta yang dititipkan kepadanya sudah menutup mata hatinya.“Berani ya kau sekarang? Siapa yang mengajarimu hah?” Tangannya mencengkeram keras kedua pundakku.“Aku tidak ingin bertahan dalam pernikahan yang tidak sehat ini, kalau memang kau mencintai wanita itu lepaskan aku dan nikahi dia.”Mas Tito melepaskan tangannya dan mendorongku hingga terhuyung.“Pergi, bawa juga anak-anakmu itu. Jangan bawa apapun keluar dari rumah ini karena semua yang kau pakai itu dibeli dengan uangku, aku masih baik membiarkan kalian keluar dari sini dengan pakaian. Aku tahu saat kau menyadari kebodohanmu untuk pisah kau akan kembali.”Rasanya bumi seperti runtuh di atas kepala. Lutuku lemas, dada ini semakin sesak.“Ma-mas ... kau benar-benar memilih wanita itu daripada aku dan anak-anak?”Tangisku tak bisa lagi ditahan. Rasanya begitu sakit. Bukan lagi soal fisik tapi sayatan luka di hatiku kian bertambah, luka kemarin saja belum sembuh kini ditambah lagi luka baru.Allah ….Kenapa sesakit ini?Apa aku benar-benar tidak berarti lagi bagimu, Mas? Kau bahkan lebih memilih wanita yang baru satu bulan dikenal daripada aku yang sepuluh tahun menemanimu dalam duka dan kejamnya dunia.Mas Tito pergi begitu saja menggunakan mobilnya, entah kemana dia akan pergi. Sebelum dia kembali lebih dulu aku membawa tas yang berisi surat-surat penting, tanpa ini aku tidak akan bisa menggugatnya karena dia pergi tanpa talak yang terucap. Tidak lupa juga membawa keperluan anak-anakApalah artinya uang banyak jika batinku tersiksa, neraka bagi seorang istri itu memiliki suami yang tidak berperasaan, egois dan juga kasar dan tak setia. Padahal dulu Mas Tito tidak seperti ini, dia juga begitu menyayangi anak-anakku meski mereka bukan darah daging Mas Tito.Dia diuji dengan harta tapi ternyata
Aku menggigit bibir untuk menahan isak tangis.“Maaf … aku mengecewakan Bibi. Aku … aku tidak bisa mempertahankan pernikahan ini, Bi.”Tanpa menjawab bibi menarikku ke dalam pelukannya.“Bibi yakin ini bukan salahmu, Mil.” Tangannya mengelus punggungku yang bergetar karena tangisan, “menangislah, jangan ditahan. Hanya kali ini saja kau boleh menangis, setelah ini bibi tidak mau lagi melihat air matamu. Bibi tahu kau kuat.”Aku tergugu dalam pelukan bibi, menumpahkan rasa sesak dan sakit yang dirasakan.“Sakit, Bi ….”“Tito akan hancur, bahkan lebih hancur darimu yang sudah disakitinya. Bibi tidak ridho kau disakiti seperti ini. Lihat saja nanti, Allah tidak tidur, Mil.”Sudah satu bulan aku tinggal di rumah bibi, aku memberi pengertian pada anak-anak soal kami yang sementara tinggal di sini. Setelah ujian sekolah mereka selesai baru aku akan mengatakan semuanya.Dengan bantuan bibi pula aku mengajukan gugatan ke pengadilan. Sengaja aku tidak membawa apapun dari rumah karena memaksa pu
Mataku terbelalak saat lelaki yang tiba-tiba datang itu mengatakan hal yang membuat semua mata tertuju padaku. “Jangan buat orang lain semakin salah paham, Ki!”Lelaki itu malah tertawa.Dia Hengki, rekan bisnis Mas Tito. Dia dan Mas Tito bekerja sama dari bawah jadi aku juga kenal baik dengannya dan juga istrinya."Itu masalah mereka kalau salah paham, Mil.""Dasar!" Aku menggeleng."Oh ya, selesai ini aku mampir ke rumahmu ya. Aku ingin membicarakan soal bisnis."Keningku mengernyit. "Ki, sepertinya aku tidak memiliki bisnis apapun denganmu.""Sebelumnya memang tidak. Apa kau tidak berniat memulai bisnis? Penghasilan Tito tidak lagi masuk dalam dompetmu 'kan? Jadi, kau harus berdiri sendiri."Apa yang dikatakan Hengki memang benar. Aku harus berdiri di atas kakiku sendiri, sekarang tanah yang kubeli masih banyak yang kosong dan separuhnya sudah ditanami padi. Tapi aku tidak bisa mengandalkan dari itu saja. Harus memiliki pemasukan lain karena kebutuhan yang kupikirkan bukan hanya u
Ya ampun, kasar sekali dia. Kalau orang yang kukenal sudah kulempar dengan tutup termos. Kurang ajar sekali."Di sini tidak ada yang namanya coffee shop adanya sayur sop, Pak," jawabku dengan santai.Dia menanyakan coffee shop seperti pertama kali Andre kesini. Biasanya juga Andre yang akan membeli tapi ini ... apa lelaki ini bos yang Andre katakan? Kalau dari perawakannya sepertinya iya karena terlihat sangat menyeramkan.Usianya terlihat kisaran tiga puluhan.Dia berdecak. Meneliti pada gantungan kopi, jelas tidak akan ada kopi yang dicarinya tapi kalau kopi yang sering dia minum ada di toples."Ibu!"Aku tersentak saat melihat Devan berdiri di ambang pintu warung yang memang tidak dikunci."Kenapa, Nak. Berbaring dulu di sini, sebentar ya." Aku membantunya untuk berbaring di kasur lantai, wajahnya terlihat masih pucat bahkan panasnya belum turun. Devan menolak diajak ke dokter karena takut disuntik.Aku kembali berdiri namun tertegun karena melihat lelaki itu memperhatikan Devan de
Bodoh sekali kau, Mila!Aku merutuki diri sendiri, kenapa bisa sampai berkata seperti itu. Salah Mas Tito karena dia membuat emosiku memuncak, seharusnya dia sudah pergi bersama dengan istri barunya itu kenapa malah kembali ke sini.“Ibu ... pulang.”“Iya, kita pulang.”Tanpa memperdulikan Mas Tito, aku mendorong punggung lelaki itu agar berjalan keluar. Sebelum dia mempermalukanku di depan Mas Tito lebih baik langsung pergi saja. Bahaya kalau dia menyangkal, bisa malu tujuh turunan aku.“Mil, Mila!” Mas Tito malah mengejarku.“Apa sih, Mas? Urus saja istrimu itu, jangan pedulikan anakku!” Kutepis dengan kasar tangan Mas Tito yang mencekal tanganku.Saat berbalik, aku melihat Deva sudah masuk ke dalam mobil pria tidak dikenal itu. Buru-buru aku menyusul, jangan sampai pria itu berniat menculik Devan. Kalau saja tidak ada Mas Tito dan mulutku tadi bisa dijaga aku tidak akan sudi masuk ke dalam mobil mewah ini.“Turunkan saja di depan.”Dia menoleh padaku yang duduk di belakang sambil m
Ada-ada saja, dia pikir dia siapa. Hanya mantan juga berani mengaturku seperti ini.Jangan-jangan dia cemburu? Baguslah, jadi dia bisa merasakan apa yang aku rasakan dulu.“Bu.” Suara Davin memanggil.Aku beranjak untuk membukakan pintu.“Ibu pulang dari tadi?”“Tidak, Ibu baru saja pulang. Ayo mandi dulu, setelah itu makan.”“Devan mana, Bu?”“Tidur. Jangan ganggu, dia masih sakit.” Aku meninggalkan Davin dan menuju ke dapur untuk memasak.Tiga hari sudah Devan tidak sekolah tapi sekarang kondisinya sudah membaik, sebenarnya demamnya cepat turun tapi dia masih merasa lemas, mungkin besok baru akan sekolah. Aku juga tidak akan memaksakan.Selama tiga hari pula warung tidak kubuka, akan repot jika harus bolak-balik ke rumah jika Devan membutuhkan sesuatu.“Bu, aku mau sekolah.”“Yakin? Sudah tidak lemas lagi?” tanyaku memastikan.“Iya, Bu. Aku bosan di rumah terus.”“Ya sudah. Siap-siap, biar nanti kamu diantar pakai ojek. Davin juga sudah pergi dari tadi.”Beberapa menit lalu Davin su
Rasanya aku ingin tutup saja warung ini tapi tidak mungkin sampai melakukan itu hanya karena dua lelaki di hadapanku yang kehadirannya sukses membuat emosi.Apa salahku sampai harus terlibat bersama dengan mereka.Setelah membalutkan plester luka di jari, aku lanjut memasak mie pesanan Mas Tito agar dia segera pergi.“Ada perlu apa kesini?” Aku beralih pada lelaki yang tidak kutahu namanya itu.“Aku mau bertemu Devan.”“Devan sekolah jadi pergi saja. At-”“Aku akan tunggu sampai dia pulang.”Tanpa diminta dia langsung duduk begitu saja. Ini orang kenapa sebenarnya? Kalau saja tidak ada Mas Tito pasti aku sudah mengusirnya."Di sini bukan tempat tunggu," ujarku ketus."Kalau begitu aku akan menunggu di rumahmu.""Eh, enak saja. Duduk disitu!""Kau jangan kurang ajar ya!" Mas Tito melayangkan tatapan tajam pada lelaki itu."Kurang ajar sebelah mananya? Dia calon istriku, salah kalau aku ada di sini atau bertamu ke rumahnya?" balasnya dengan enteng.Brak!Dengan kesal aku menggebrak meja
“Mbak Mila tidak tahu kalau Pak Zayn itu pemilik pabrik ini?”Mila menggelengkan kepalanya, “Tidak tahu dan tidak ingin tahu. Kelakuannya bahkan tidak seperti pemilik pabrik yang seharusnya itu sopan ini malah sebaliknya.”“Memang banyak yang tidak tahu kalau Pak Zayn itu pemilik pabrik, Pak Zayn tidak suka dikenal orang-orang. Aku tahu juga karena tidak sengaja.”“Syukurlah,” gumam Mila sambil mengusap dadanya.“Syukur kenapa, Mbak?”“Berarti memang bukan penculik, aku kira dia penculik karena penampilannya itu sangar.”“Mbak Mila, masa lelaki setampan pak Zayn dibilang penculik, ada-ada saja.”Mila memang tidak peduli pada sesuatu yang tidak ada urusan dengannya. Ia tidak lagi menyahuti wanita yang membocorkan rahasia pabrik itu, Mila malah fokus melayani para pembelinya.Mungkin jika orang lain yang ada di posisi Mila pasti akan berpikir untuk bisa mendekati Zayn bahkan jadi simpanan pun tak apa yang penting bisa mendapat gandengan setampan dan sekaya Zayn Niskala Hartanto.***“Bo