Share

Diduakan Suami Dipinang Hot Duda
Diduakan Suami Dipinang Hot Duda
Penulis: Azalea

Memilih Wanita Lain

“Ayah mana?” tanyaku pada anak-anak yang asyik menonton televisi.

“Ada di kamar, Bu. Sedang dipijat katanya tidak boleh ada yang mengganggu,” jawab Devan.

Keningku berkerut. Dipijat? Sejak kapan Mas Tito mau dipijat oleh orang lain? Saat merasa tubuhnya kelelahan dia pasti memintaku untuk memijat tubuhnya bukan orang lain.

“Memang Ayah yang bilang begitu?” Aku kembali bertanya.

“Iya, Bu. Jangan ganggu sampai selesai nanti,” sahut Davin.

Aku penasaran dan bergegas menuju kamar untuk melihat.

Cklek!

Dikunci? Kenapa dipijat saja harus dikunci?

Aku menempelkan telinga di daun pintu saat mendengar suara lenguhan dari dalam kamar.

Deg!

Apa yang Mas Tito lakukan di dalam bersama dengan tukang pijat itu. Dadaku langsung memanas.

Tok! Tok! Tok!

“Mas, Mas Tito!”

Perasaanku jadi tidak enak seperti ini, pikiranku langsung tidak karuan, membayangkan hal tidak-tidak yang dilakukan oleh Mas Tito di dalam.

Menunggu lumayan lama sampai pintu itu terbuka.

Mataku membelalak melihat ada seorang wanita dengan pakaian minim berada di dalam kamar, pakaiannya sedikit berantakan.

“Kau bisa pulang. Nanti aku transfer saja ongkos pijatnya,” ujar Mas Tito pada wanita itu.

“Tunggu! Apa yang sebenarnya kalian lakukan?” Aku mencegah wanita itu yang akan keluar dari kamar.

“Saya di sini hanya memijat, Bu,” jawabnya.

“Kau tahu sendiri aku sedang dipijat, tadi anak-anak pasti memberitahumu bukan?”

“Dipijat? Oleh wanita ini?” Pandanganku terjatuh pada wanita itu yang tidak pantas untuk penampilan seorang tukang pijat karena yang kutahu tukang pijat kebanyakan orang yang sudah renta kalau pun iya masih ada tukang pijat muda tidak akan mungkin dengan penampilan tak pantas seperti ini.

“Kenapa memangnya, dia ini tukang pijat. Sudahlah, biarkan dia pergi.” Mas Tito menarik tanganku membiarkan wanita itu pergi.

“Lagian kau ini kenapa sih? Berpikir aneh-aneh, mau menuduh aku selingkuh?” Mas Tito geleng-geleng kepala, “dengar, sayang. Aku tidak akan mungkin meninggalkanmu yang sudah jelas-jelas selalu setia bersamaku, menemaniku dalam segala situasi bahkan saat susah sekalipun. Aku tidak pernah berpikir untuk melukaimu. Wanita tadi memang benar-benar tukang pijat. Sudah jangan cemburu begitu, aku sangat mencintaimu.”

Dia menarikku ke dalam pelukannya, mengelus punggungku dengan lembut.

“Anggap saja sekarang aku percaya. Awas saja kalau berani selingkuh.” Aku mendelik padanya.

“Tidak akan sayangku. Badanku benar-benar pegal, aku mau minta bantuanmu tapi kau juga tidak di rumah. Sudah ya, tolong buatkan kopi.”

Setelah hari itu, Mas Tito tidak bersikap aneh. Dia terlihat biasa seperti sebelumnya, masih romantis. Mungkin kemarin hanya ketakutanku saja, semoga saja memang tidak ada main antara Mas Tito dan wanita itu. Aku takut kalau dia mengkhianatiku.

Hari ini waktunya aku untuk membersihkan seisi rumah, meski Mas Tito selalu menyuruhku mempekerjakan orang tapi aku lebih suka mengerjakan tugas rumah sendiri karena aku juga tidak memiliki kesibukan apa-apa

Mataku menyipit saat melihat sebuah plastik mengintip dari bawah ranjang. Aku langsung berjongkok dan menariknya.

Deg!

Bungkus kond*m, jantungku berdenyut nyeri kala melihat kond*m bekas pakai ada di dalamnya. Mataku langsung memanas.

“Sayang, sedang apa berjongkok di situ?”

Suara Mas Tito membuatku langsung mendongak, melayangkan tatapan tajam padanya.

“Berani sekali kau membawa wanita lain ke rumah kita, bahkan sampai bercinta di kamar ini?” teriakku yang sudah hilang kesabaran.

“Jangan menuduh tanpa bukti, bukankah aku bilang dia hanya tukang pijat.” Dia tampak santai meskipun dari sorot matanya tak bisa dibohongi.

Aku melangkah mendekat dan menarik tangannya agar bisa melihat apa yang membuatku semarah ini.

“Masih mau mengelak? Wanita itu ternyata memang wanita murahan yang mau tidur dengan suami orang!”

“Dia yang kau sebut wanita lain itu adalah wanita yang akan menjadi istri keduaku.”

Jleb.

Bagai dihantam palu godam, hatiku langsung remuk redam.

“Apa maksudmu, Mas?”

“Apa kurang jelas? Kubilang dia akan menjadi istriku, adik madumu.”

Mataku memanas dengan dada bergemuruh, “Berapa lama kau mengenalnya sampai seberani itu untuk menikah? Apa kau tidak berpikir bagaimana perasaan istri dan anak-anakmu?”

Kesetiaan yang dibicarakannya beberapa hari lalu ternyata hanya sebuah omong kosong.

“Aku baru mengenalnya satu bulan dan merasa sangat yakin untuk menikahinya."

"Apa dia pelacur yang bisa memuaskanmu?”

Plak!

Aku terhenyak, pipi ini rasanya panas sekali. Sakit rasanya, dia menamparku hanya karena wanita itu.

“Tutup mulutmu itu! Mawar orang baik!” berangnya dengan sorot mata tajam.

“Mana ada wanita baik yang mau pada suami orang. Andai tahu harta akan membutakan mata dan hatimu, lebih baik kita hidup seadanya seperti dulu. Aku lebih suka hidup sederhana daripada berlimpah harta dan melihat kau mendua!”

“Jaga ucapanmu, Mila! Kalau kita miskin lagi bagaimana? Memang salah kalau aku memiliki istri lebih dari satu? Aku mampu menafkahimu dan istri keduaku nanti, Mila! Aku akan berlaku adil.”

Aku tersenyum sinis, “memang tidak salah tapi ini bukan soal harta, Mas. Tadi kau bilang akan berlaku adil, baiklah. Aku akan mengizinkanmu menikah lagi asal istri keduamu itu menerima nafkah yang sama sepertiku dulu, satu juta untuk satu bulan.”

Karena nafkah yang tidak cukup untuk satu bulan, aku berjualan kue basah di pasar untuk membantu perekonomian keluarga. Sama sekali tidak pernah mengeluh, berapapun yang diberikannya aku sangat bersyukur.

Saking sulitnya ekonomi keluarga, aku dan Mas Tito pernah merasakan hanya minum air putih selama dua hari dan kedua putraku hanya makan roti. Perih tapi tetap kami jalani dengan ikhlas.

Pada saat itu para tetangga sudah tidak mau lagi meminjamkan uang karena hutang sebelumnya belum dilunasi. Mengingat begitu menyedihkannya kehidupan kami dulu tidak sebanding dengan kehidupanku saat ini yang lebih menyedihkan.

“Egois sekali kau, Mila. Sekarang aku sudah memiliki segalanya, nafkah bukan hal yang sulit untukku. Kenapa harus menyamakan dengan kondisi kita dulu!” geram Mas Tito dengan rahang mengetat.

“Bagiku itu hal yang adil.”

“Adil dari mananya? Seharusnya kau itu sadar diri, aku dulu menerimamu yang sudah memiliki anak tanpa suami dan sekarang apa susah untukmu menerima aku menikah lagi? Aku juga tidak akan mengurangi jatah bulanan.”

Air mata berderai tak bisa terbendung, hatiku sakit mengingat satu fakta itu. Tidak ada yang mau menjadi korban pelecehan yang harus menanggung malu dan aib. Aku pernah menyalahkan takdir yang begitu menyiksa, memberikan ujian yang begitu berat. Tapi aku percaya Allah tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan hamba-Nya.

“Tidak usah mengungkit hal itu, aku juga sadar diri. Kalau memang kau ingin dengannya silahkan tapi talak aku, Mas! Aku tidak sanggup jika harus berbagi.”

Mas Tito terbahak, “bisa apa kau tanpaku, Mila? Kau itu wanita bodoh, sekolah saja tidak. Sekarang mau cerai dariku? Pikir dulu sebelum bicara, kau akan sengsara hidup tanpaku.”

Tanganku mengepal mendengar perkataan Mas Tito yang begitu menyayat hati. Serendah itu aku di matanya.

“Aku lebih sengsara hidup denganmu, Mas!”

Selama ini aku tidak pernah melawan perkataannya karena bagiku dia adalah pemimpin dalam keluargaku tapi jika dia sudah berani bermain hati apalagi berniat menikah lagi, aku tidak akan bisa diam. Dia bahkan sama sekali tidak merasa bersalah. Wanita itu yang dia bilang akan menjadi istri keduanya. Wanita yang baru dikenalnya satu bulan ini dan dengan berani menghancurkan rumah tangga kami.

Mas Tito sudah tidak seperti dulu, dia begitu kasar dan pemarah sekarang. Aku bahkan seperti tidak mengenalnya. Harta yang dititipkan kepadanya sudah menutup mata hatinya.

“Berani ya kau sekarang? Siapa yang mengajarimu hah?” Tangannya mencengkeram keras kedua pundakku.

“Aku tidak ingin bertahan dalam pernikahan yang tidak sehat ini, kalau memang kau mencintai wanita itu lepaskan aku dan nikahi dia.”

Mas Tito melepaskan tangannya dan mendorongku hingga terhuyung.

“Pergi, bawa juga anak-anakmu itu. Jangan bawa apapun keluar dari rumah ini karena semua yang kau pakai itu dibeli dengan uangku, aku masih baik membiarkan kalian keluar dari sini dengan pakaian. Aku tahu saat kau menyadari kebodohanmu untuk pisah kau akan kembali.”

Rasanya bumi seperti runtuh di atas kepala. Lutuku lemas, dada ini semakin sesak.

“Ma-mas ... kau benar-benar memilih wanita itu daripada aku dan anak-anak?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Reyin Aroura
Bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status