Puluhan foto Bara berhasil Indah abadikan menjadi penghuni galeri ponselnya. Ia lantas meraih tas yang sempat disembunyikan, kemudian berjalan pelan meninggalkan bangunan itu dengan pasti. Sakit memang, tapi lebih baik kesakitan untuk satu waktu itu saja, terluka parah lalu setelahnya melepas sumber rasa sakit itu dan berdamai dengan kenyataan. Menerima apa yang sudah digariskan Yang Maha Esa. Membawa luka berdarah-darah, Indah merasa lega ketika ojek yang dipesannya mulai melaju meninggalkan perumahan. Takdir membawanya hanya dua bulan mencicipi manis menjadi istri seutuhnya. Indah ikhlas, dia rela jika dengan melepas Bara akan membuat lelaki itu hidup bahagia. Sementara dirinya, biarkan dia memeluk luka itu sendirian. Indah telah membungkus rapi kenangan manisnya selama hidup bersama Bara. Setelah ini, dia mungkin akan kembali menjadi perannya sebagai buruh serabutan lagi di kampung.Seperti dongeng dalam kisah klasik, dari itik buruk rupa menjelma menjadi angsa cantik. Kebahagia
Bising mesin yang beradu dengan padatnya lalu lintas. Banyaknya orang yang memenuhi kursi bus yang juga ditumpangi Indah, belum lagi bau keringat para penumpang yang bercampur parfum dan asap knalpot sungguh membuat Indah mual. Setibanya di terminal Indah sudah muntah, dan sudah setengah jam perjalanan dia kembali memuntahkan isi perutnya yang hanya berupa cairan. Sejak kemarin memang Indah hanya mengisi lambungnya dengan air minum saja. Sejak mengetahui suaminya menjalin hubungan dengan wanita lain di belakangnya secara diam-diam, Indah kehilangan nafsu makan. Ia benar-benar tak merasakan lapar sama sekali. "Ini ada minyak angin, Mbak. Sini saya bantu pakaikan." Ibu-ibu paruh baya yang duduk di samping kursi penumpang Indah menawarkan bantuan. Indah yang memang sudah merasa sangat lemah tak sanggup menolak. Berkali-kali dia mengucapkan terima kasih pada wanita bertubuh tambun itu. "Baru pertama kali naik bus, ya?"Indah menggeleng. "Pernah Bu, tapi memang hanya sesekali.""Mukam
"Bapak, ini Indah, Pak. Minta tolong bukakan pintunya, Pak."Terdengar derap langkah kian dekat. Indah sudah memasang senyum terbaiknya menyambut cinta pertamanya. Namun, senyuman itu luntur dalam sekejap manakala Indah melihat kalau bukan ayahnya lah yang membukakan pintu, melainkan suaminya, Bara. "Kenapa berdiri di luar, Nduk? Ayo masuk, suamimu sudah sejak tadi menunggumu. Kamu ini, jadi istri mbok ya jangan nyusahin suami. Kasihan. Suamimu ini sibuk kerja cari uang buat kamu, jauh-jauh dari kota demi nyusulin kamu ke sini." Hadi memberikan putrinya siraman rohani. Pria itu pun kaget awalnya melihat kepulangan menantunya yang seorang diri, tapi bukan Bara namanya kalau pria itu tak bisa mengarang alibi demi menyelamatkan harga dirinya sebagai suami sekaligus kepala keluarga. "Ayo, masuk. Udara malam nggak baik, kamu baru saja sembuh." Setelah memindahkan oleh-oleh di tangan Indah, Bara menggandeng tangan istrinya untuk masuk. Tubuh Indah menolak kaku, sakit hati membuatnya en
Seperti baru saja tersadar, Bara tiba-tiba saja memeluk Indah. Lelaki itu menghujani kening istrinya dengan kecupan dan ucapan terima kasih berulang kali. Sembari menitikkan air mata haru, kata maaf terselip di sela tangisan Bara. Ia eratkan pelukannya. Berjanji tak akan pernah melepas wanita itu dan memperbaiki hubungan mereka. Bara tak mau rumah tangganya dengan Indah berakhir dengan kata perceraian. Cukuplah hanya maut yang bisa memisahkan mereka. "Hamil? Masa iya aku hamil?" Suara Indah amat lirih tapi masih bisa didengar oleh Wati. "Lho, kamu kan punya suami, apalagi kalau tiap hari bebikinan bayi, ya wajar kalau hamil. Kok malah kaget begitu, Nduk. Ada-ada saja kamu ini.""Indah cuma masih belum yakin, Bulik. Kan belum diperiksa juga.""Bisa kalau mau tes mandiri. Beli alatnya ada di apotek, nanti kalau hasilnya positif bisa langsung periksa ke dokter kandungan biar makin jelas sama dikasih vitamin." Wati masih mengoceh. Wanita itu memang tak ditakdirkan untuk mengandung ole
Bara tersenyum memperhatikan Indah lahap menyantap makanannya. Lelah yang dirasanya ketika harus bersusah payah mencari belut di sawah seketika lenyap. "Nak Bara juga makan, jangan dilihatin terus istrinya. Indah nggak kemana-mana kok."Celetukan Wati membuat Indah sontak menghentikan suapannya, tatapannya dan Bara saling beradu ketika lelaki itu juga kedapatan tengah melihat ke arahnya. "Ayo habiskan, kalau kurang nanti aku sama paman nyari lagi di sawah," ujar Bara sambil mengusap pucuk kepala istrinya. Hadi, Wati dan suaminya saling pandang. Senyum yang merekah di bibir menjadi pertanda mereka ikut bahagia melihat keharmonisan rumah tangga Bara dan Indah. Tanpa tahu badai apa yang sedang berkecamuk hingga membuat Indah memutuskan untuk kembali ke kampung halaman menghindari suaminya. "Nanti Mas mau ke rumah ibu sebentar buat kasih tau sementara waktu kita nginap di sini setidaknya sampai kondisimu membaik. Takutnya ibu nungguin.""Biar Paman saja yang ke sana sekalian ngantar s
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Selamat Bu, berdasarkan hasil pemeriksaan, Bu Chava dinyatakan mengandung. Usianya baru delapan minggu," ucap pria bersnelli itu seraya menjabat tangan Chava. Perempuan bernama Chava itu bergeming, sungguh, berita menggembirakan ini tak pernah terlintas dalam benaknya akan dapat dia dengar setelah setahun pernikahannya. Binar di wajahnya cukup mewakili perasaannya saat ini, Chava sangat bahagia. Tak sabar rasanya segera membagi kabar menggembirakan itu pada suaminya. "Saya sungguh hamil, Dok?" Chava yang merasa dirinya seperti sedang bermimpi pun mengajukan pertanyaan. Dokter lelaki berkacamata itu kemudian mengangguk mantap. "Ini hasil foto USG yang baru saja kita ambil, bulatan kecil ini adalah janin Bu Chava." Menunjukkan titik hitam pada lembar hitam putih ndi tangannya. Setitik butir bening luruh tanpa permisi, Chava sangat bahagia. Akhirnya harapannya untuk bisa memiliki anak bisa terwujud, begitu juga impian ibu mertuanya yang selama setahun ini bersabar menantikan kehadir