Tentu saja perempuan itu menganggukkan kepalanya. “Iya, Sagara. Kita ke makam papa kamu, besok. Selama satu minggu ini, kamu terlalu sibuk bekerja dan lupa mengenalkan aku ke orang tua kamu.”Sagara mengecup kening Hanna. “Sorry. Aku terlalu memikirkan bagaimana cara agar bisa mempertahankan kamu dari serangan papa kamu. Aku memang lemah dari segi ekonomi. Tapi, punya kamu adalah sebuah kekuatan yang amat luar biasa.”“Sagara! Aku akan menjadi perempuan paling gila kalau melepaskan kamu hanya karena menuruti perintah dari Papa. Tidak ada pria yang baik selain kamu. Kalaupun ada, bukan dia yang aku inginkan.”“Aku juga. Banyak perempuan yang jauh lebih baik dari kamu.Tapi, bukan dia yang aku inginkan. Kamu, yang aku inginkan.”Hanna menatap Sagara dengan lekat. Rasanya ia ingin mengulang waktu dan menjadikan Sagara satu-satunya yang stay di hatinya hingga kini.“Hanna. Ada hal yang mungkin akan membuat kamu tidak akan menyesali pertemuan kita yang kata kamu telat ini. Malah sebaliknya.
Plak!Sebuah tamparan keras melayang pada pipi pria yang sudah membuatnya naik pitam lantaran sudah menuduhnya memiliki kekasih di mana-mana.“Brengsek! Kamu pikir hebat, udah bilang kayak gitu ke aku? Kamu pikir, dengan bicara seperti itu akan membuat dia pergi dan kecewa padaku? Kamu salah besar, Raffael! Ini anak kamu dan aku tidak pernah melakukannya dengan siapa pun. Tapi, kamu sendiri yang sudah mengkhianati aku.“Menikah dengan pilihan orang tua kamu. Perjodohan bisnis supaya perusahaan papa kamu nggak bangkrut karena ada yang back up yaitu orang tua Citra! Malam itu, satu hari sebelum kamu melangsungkan pernikahan, kamu masih ingin tidur denganku! Dan kamu bilang aku punya pacar sana sini? Di mana otak kamu, Raffael!”Hanna balik memaki ayah dari anak yang sedang dia kandung itu hingga membuatnya terdiam mendengarnya. Hanya sorot mata yang terlihat menahan malu sebab Hanna sengaja memaki di depan umum. Memang itu yang ingin dia lakukan jika bertemu, jauh sebelum malam ini akhi
“Mending elo kasih makan dulu tuh cewek. Ada bayi yang perlu asupan gizi. Kita bahas ini setelah elo kasih makan bini elo. Karena harus dirancang dengan baik dan membutuhnya waktu yang cukup panjang.”Sagara menganggukkan kepalanya, mematuhi perintah sahabatnya itu. Hanya dia yang bisa Sagara andalkan untuk mendapatkan perusahaan itu kembali.“Sebenarnya … kalau bukan karena papanya Hanna melihat gue sebelah mata, gue gak peduli sama tuh perusahaan. Hanya saja, papanya Hanna terlalu banyak menuntut. Mau gak mau, gue harus memperjuangkan hak gue untuk ambil tuh perusahaan.”Sagara kembali bercerita sembari mengaduk-ngaduk nasi goreng yang hampir jadi itu.Andra kembali menepuk bahu Sagara. “Makanya gue mau atur strategi supaya itu perusahaan bisa elo ambil lagi. Kalau elo kaya, mertua elo pasti bakal bertekuk lutut ke elo.”Andra mengedarkan matanya menatap rumah yang diisi oleh sahabatnya itu. “Elo nggak pantas tinggal di rumah kecil kayak gini, Yog. Dari orok elo hidup serba mewah. S
Sagara kembali masuk ke dalam kamarnya. Menghampiri Hanna yang sudah menutup matanya. Namun, kehadiran Sagara membuatnya membuka matanya.“Sagara! Udah selesai, ngobrolnya?” tanyanya sembari bangun dari tidurnya.Sagara menggeleng pelan. “Aku mau minta izin sama kamu, Hanna. Aku mau ke kantor Papa malam ini juga.”“Heeuhhh? Kenapa malam sekali, Sagara.”“Karena kami mau menyelendup masuk ke dalam, Hanna. Makanya malam hari geraknya.” Sagara menjelaskan.Hanna mengucek matanya. “Aku ikut!”“Hanna! Sudah malam. Lagi pula, aku nggak akan kenapa-kenapa. Mereka pasti masih kenal sama aku. Aku janji, akan pulang dengan selamat.” Sagara meyakinkan Hanna dengan memegang kedua sisian wajah istrinya itu.Hanna kembali menatapnya. Ia bingung harus menjawab apa karena mengkhawatirkan Sagara. Tapi, kantor itu adalah milik suaminya. Mana mungkin sesuatu terjadi padanya.“I’m promise, Hanna. Hanya dua jam. Kalau urusan aku udah selesai, aku akan langsung pulang. Kamu jangan khawatir, Hanna.”Perempu
Andra yang mendengarnya lantas menatap Sagara kembali. Namun, sesuatu di belakang Sagara membuatnya teralih pada benda tersebut.Andra menyingkirkan tubuh Sagara dengan mata menatap ke arah benda yang baru saja ia lihat. Sagara lantas menghampiri Andra dan menyingkirkan beberapa ordner yang menghalangi benda yang Andra lihat di lemari yang sudah tidak pernah dijamah oleh para staff di sana.“Kotak mungil, Sagara!” kata Andra kemudian mengambilnya.“Kayak kotak cincin. Yang belum nikah di sini, kayaknya nggak ada. Kalaupun ada yang baru, mana mungkin nyimpen kotak itu di lemari tua ini.”Andra mengendikan bahunya. “Kita buka aja dulu. Kalau cincinnya keliatan mahal, elo jual aja. Buat tambahan biaya hidup elo sama si Hanna.”Pria itu lantas memutar bola matanya dengan malas. “Sialan, lo!”“Just kidding, Bro. Jangan dibawa emosi.” Andra menerbitkan cengiran kepada sahabatnya itu. Kemudian membuka kotak tersebut.Baik Andra maupun Sagara mengerutkan keningnya. Bukan cincin yang mereka te
Hanna menghentikan acara mengoles selai ke dalam rotinya kemudian menatap Andra yang masih berdiri di sampingnya sembari memikirkan ucapannya tadi.“Seusuatu apa, Andra?” tanya Hana kembali.Andra menolehkan kepalanya kepada Hana. ‘Kayaknya Sagara belum ngasih tau tentang hal itu ke Hana. Atau mungkin orangnya bukan dia. Kalau bukan, bisa menciptakan keretakan rumah tangga, gue,’ ucapnya dalam hati.Sebab, tak mungkin ia ceritakan tentang sesuatu tersebut jika Sagara sendiri belum memberi tahu kepada Hana. Ia hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan sembari meneguk air minum kembali.“Lupa. Kejadiannya di lima belas tahun yang lalu. Nggak terlalu ingat dan samar-samar,” ucapnya kemudian.“Tentang apa?” tanya Hana lagi.Andra menghela napas pelan. “Kita pernah punya teman perempuan waktu itu. Tapi, orangnya udah nggak ada. Nggak tau ke mana, dia nggak kasih tau.”“Terus … hubungannya dengan aku, apa?” Hana semakin menyudutkan Andra agar mau bercerita.“Hanya mirip.” Andra menerbitkan
Sehingga membuat Sagara menolehkan kepalanya kepada Andra. Lampu lalu lintas berwarna merah. Sagara menghentikan mobilnya.“Kenapa lo bisa berpikir ke arah sana, Ndra?” tanyanya kemudian.Andra mengendikan bahunya. “Hanya menebak-nebak. Jalan, Sagara. Udah hijau.”Mobil itu kembali melaju. Tingkat penasarannya semakin tinggi tentang apa yang akan disampaikan oleh Suster Indah kepadanya. Ia ingin segera tiba. Ingin segera tahu, apa saja yang terjadi selama dua minggu itu.Tiba di rumah sakit jiwa.Sagara menggenggam tangan Hana dengan erat kemudian melangkahkan kakinya menuju ruang rawat sang mama. Diikuti oleh Andra di belakang mereka."It's okay, Sagara. Semuanya akan baik-baik saja. Mama kamu pasti baik-baik saja." Hana mencoba menguatkan sang suami.Sagara lantas menerbitkan senyumnya kepada Hana kemudian menganggukkan kepalanya dan kembali melangkahkan kakinya menuju ruang rawat mamanya."Pagi, Sus!" Sagara menyapa Suster Indah setelah tiba di ruang rawat Mayang."Pagi, Mas Sagara
Andra menjelaskan dengan panjang mengenai kasus pembunuhan yang terjadi pada Satya. Ia yang sudah curiga kepada Mayang, semakin yakin jika Mayang yang sudah membunuh Satya.Sementara Sagara menghela napasnya dengan panjang. Menatap sang mama dengan sangat lekat kemudian memegang kedua tangan perempuan itu."Bisa jadi Mama disuruh Damar, Ndra." Sagara masih mengira jika yang menaburkan racun ke dalam kue Satya adalah Damar."Sama aja, Sagara. Mau lo nuduh si Damar ataupun nyokap lo, sama aja. Mereka yang udah bunuh bokap lo. Mereka berdua. Nyokap lo pengen nikah sama di Damar. Dan si Damar ingin segera menguasai perusahaan lo. Otomatis orang dua itu yang udah bunuh bokap lo. Dah! Urusan yang racun bokap lo udah selesai. Tinggal cari tau di mana dokumen asli itu disembunyikan Om Satya."Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kemudian melepaskan tangannya yang tadi menggenggam tangan sang mama. Ia mengambil bunga mawar yang dibeli di jalan. Kemudian mengambil batu yang cukup besar yang a