LOGIN"Kalau begitu, bagaimana dengan tawaranku kemarin? Menikahlah denganku, Nin. Aku tahu kau tak akan melakukan sesuatu pada kandunganmu, kau wanita yang baik. Jadi, izinkan aku membantumu, kita bisa membesarkannya bersama-sama.”
Nina terdiam, tak mengira Ash kembali menanyakan hal yang sama. “Tapi Ash ….” “Tidak ada tapi, Nin. Bukankah sudah kukatakan? Aku menerimamu apa adanya karena aku mencintaimu. Aku tidak ingin menyesal lagi di kemudian hari. Sudah cukup aku menyesal karena memendam perasaanku selama ini.” “Ta- tapi … bagaimana dengan orang tuamu? Keluargamu? Bagaimana jika mereka tahu kalau–” “Bilang saja itu adalah anakku. Aku akan katakan bahwa bayi dalam perutmu adalah darah dagingku,” potong Ash tanpa ragu. Ia tak masalah mengakui jabang bayi dalam perut Nina adalah anaknya asal ia dan Nina bisa menikah. Ia tak ingin melihat Nina menderita, bahkan tak ingin melihat Nina hidup bersama pria lain selain dirinya. Tak peduli Nina mengandung anak orang tak dikenal, ia akan menerimanya dengan lapang. Nina terdiam, hingga akhirnya mengatakan, “Tolong, beri aku waktu, Ash. Aku akan memikirkannya.” *** Waktu terus berjalan, hingga tak terasa kandungan Nina hampir menginjak usia 1 bulan. Selama itu Ash tak pernah mengingkari janjinya, ia selalu memperhatikan Nina layaknya seorang suami membuat Nina tak tega jika harus menolak Ash. Hingga pada akhirnya, ia pun memutuskan menerima Ash. “Ash, aku sudah berpikir dan aku … aku bersedia menikah denganmu.” Mata Ash melebar, ia begitu terkejut dengan apa yang ia dengar. Namun, ia sangat senang. Akhirnya penantiannya terjawab. Ia sudah resah, sebab khawatir kandungan Nina semakin besar, tapi akhirnya Nina mau menikah dengannya. Tak dapat menutupi kebahagiaan, Ash segera memeluk Nina. Mengungkapkan betapa ia begitu senang dengan jawaban yang Nina berikan. “Ah, ma- maaf, Nin. Aku … aku sangat senang sampai lancang memelukmu. Maafkan aku,” ucap Ash setelah melepas pelukan, setelah ia sadar sudah memeluk Nina tanpa persetujuan. Nina tersenyum kecil. Ia tak mengira jawabannya dapat membuat Ash sebahagia itu. “Kalau begitu, kita harus segera menemui orang tuaku. Aku akan memperkenalkanmu pada mereka,” ucap Ash antusias. Ia bahkan berniat segera menghubungi kedua orang tuanya sat itu juga. “Ta- tapi … bagaimana jika orang tuamu tidak setuju, Ash? Bagaimana jika mereka tidak menyukaiku?” Ini lah yang sebenarnya Nina khawatirkan. Apalagi jika kedua orang tua Ash tahu yang dikandungnya bukan anak Ash. Ash segera menggenggam tangan Nina dan meyakinkannya bahwa kedua orang tuanya pasti menyetujui pernikahan mereka. “Tenang saja, Nin. Aku yakin ayah dan ibu akan setuju, mereka pasti menyukaimu. Mereka akan menerimamu.” Nina sedikit ragu. Namun, ia hanya mengangguk. Ia harap ucapan Ash benar terjadi. Tepat sehari setelah Nina memberi Ash jawaban, Ash membawa Nina ke rumahnya, bertemu dengan kedua orang tuanya, memperkenalkan Nina sebagai calon istrinya. Ash juga mengatakan bahwa Nina telah mengandung anaknya. Ia tidak ingin terjadi kesalahpahaman di kemudian hari yang mungkin akan menjadi masalah nantinya. “Wah, jadi kau yang bernama Nina? Ash sering sekali menceritakanmu. Dan Ash benar, kau sangat cantik,” puji Rahayu, ibu Ash. Wanita dengan sorot mata lembut itu menatap Nina dengan takjub. Ash sudah memberitahunya bahwa Nina mengandung anaknya, membuatnya merasa kasihan sekaligus bangga karena Nina tak berniat menggugurkan kandungannya. Ia juga bangga pada Ash karena berani bertanggung jawab meski tidak membenarkan apa yang Ash dan Nina lakukan. Rahayu berbeda dari orang tua kebanyakan yang memandang kasta saat menentukan menantu. Baginya, kebahagiaan anak-anaknya lah yang paling utama. Nina hanya menyunggingkan senyuman. Ia sudah berpikir yang tidak-tidak, berpikir orang tua Ash langsung mengusirnya saat ia datang. Tapi, ibu Ash menyambutnya dengan kelembutan membuatnya teringat pada mending ibunya. “Ya sudah, Ash. Ajak Nina ke ruang makan, bi Sum sudah menyiapkan semuanya. Ibu akan memanggil ayahmu di kamar,” ujar Rahayu setelah menyambut Nina di depan pintu. Dengan wajah cerah, Ash menuntun Nina ke ruang makan rumahnya. Tak ada kekhawatiran karena kedua orang tuanya sudah setuju dengan rencana pernikahannya. Beberapa saat kemudian, Nina telah duduk bersama Ash dan kedua orang tuanya. Ayah Ash yang bernama Salim Wijaya sesekali menanyakan beberapa hal pada Nina mengenai kedua orang tuanya. Awalnya Nina tampak gugup melihat wajah Salim yang tampak dingin dan garang. Namun, setelah bicara, rupanya Salim tak seperti yang ia pikirkan. Tak ada satu kata pun yang Salim ucapkan dan menyakiti perasaannya atau menyinggungnya. Salim bahkan dengan senang hati menerimanya sebagai calon menantu di keluarganya. “Sebenarnya aku ingin kakak Ash yang lebih dulu membawa calon pasangan. Tapi, jika Ash yang sudah lebih dulu menemukan jodohnya, tidak ada alasan menunggu,” ujar Salim. Nina hanya menoleh menatap Ash yang duduk di sebelahnya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa sebagai respon ucapan sang calon ayah mertua. “Kenapa dia belum pulang juga? Padahal ibu sudah mengatakan padanya kalau ada acara penting malam ini,” ucap Rahayu sambil sesekali melirik jam dinding. “Coba hubungi kakakmu, Ash,” titah Salim. Meski kakak Ash sudah mengatakan mengizinkan Ash melangkahinya, tetap saja dia harus melihat calon istri adiknya. ”Tidak perlu. Aku di sini.” Tepat setelah Salim selesai bicara, bariton seorang pria terdengar. Pria itu berdiri di ambang pintu ruang tamu dan mengarah pandangan pada ayahnya yang duduk di ujung meja makan. “Riyon, akhirnya kau pulang juga. Cepat sapa calon adik iparmu.” Pria berusia 3 tahun lebih tua dari Ash itu mengambil langkah. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat pandangannya bersibobok dengan netra Nina yang membulat. “Di- dia ….”"Nin, kau … mau ke mana?”Dengan raut wajah penuh tanya, Ash menatap Nina menunggunya menjawab sambil sesekali melirik koper di balik kaki Nina.Nina mulai sedikit gugup setelah dibuat begitu terkejut dengan keberadaan Ash.“Ah, ini ….” Nina berusaha mencari jawaban, tapi ia tak bisa menemukannya dengan segera.Ash mendorong Nina pelan dan masuk ke dalam rumah kemudian menutup pintu.“Jangan bilang kau mau kabur?” tanya Ash menuduh seraya menahan koper Nina.Nina tak menjawab, mau berbohong rasanya percuma sebab, Ash pasti tak akan percaya.Ash mendongak saat ia mengembuskan napas panjang dari mulutnya. Ia lalu menggenggam tangan Nina yang memegang troli koper dan melepaskannya.“Kenapa, Nin? Kenapa kau mencoba kabur?”Tangan Nina gemetar, merasakan tangan Ash yang gemetar.“Apa karena kakakku? Ah, atau … bagaimana kalau kita kabur bersama-sama? Kita bisa pindah jauh dari sini, menikah, dan memulai kehidupan yang baru.”Nina segera mengangkat kepala menatap Ash. Padahal ia berniat kab
Riyon menatap Nina dengan raut wajah yang dingin dan sorot mata setajam elang, seakan Nina adalah ular kecil yang menjadi calon santapannya.Nina menelan ludah susah payah kemudian menunduk mengalihkan pandangan. Ia seakan tak mampu menatap mata tajam Riyon lama-lama.“Aku … mau pulang,” ucap Nina dengan suara pelan.“Tidak punya sopan santun.”Tubuh Nina menegang, ulu hatinya seolah dicubit mendengar ucapan Ruyon.“Kau datang ke sini baik-baik, dan ingin pergi dengan cara seperti ini?”Nina menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ia tahu caranya mungkin salah, tapi ia tak punya pilihan lain. Ia ingin kabur dari masalah ini.Tiba-tiba Nina mengangkat kepala menatap Riyon dengan keberanian. “Bagaimana jika kita selesaikan masalah ini sekarang? Aku akan pergi, kita tidak perlu menikah, dan aku tidak akan menikah dengan Ash,” ucap Nina dengan tegas. Ia sudah memikirkannya dan itu lah keputusan yang diambilnya.Riyon menatap Nina dalam diam, ia kemudian meraih tangan Nina dan menariknya.“A-
Nina berusaha membuka mata yang terasa berat. Dan setelah matanya menangkap cahaya, ia membuka matanya lebar.“Nina, syukurlah kau sudah bangun.”Nina menoleh ke sumber suara dan menemukan Rahayu duduk di sisi ranjang di sampingnya. Wajah wanita paruh baya itu tampak cemas.Nina berusaha bangun untuk duduk di tengah sakit kepala yang kembali terasa. Rasanya ia ingin pingsan saja bahkan selamanya agar sakit kepalanya sirna.“Jangan memaksakan diri,” ucap Rahayu seraya membantu Nina bangun menegakkan punggungnya.“Jam berapa sekarang, Tante?” tanya Nina dengan suara parau. Ia ingin segera pulang berharap dengan begitu mengurangi beban pikiran. Melihat keluarga Ash membuatnya tidak tenang.“Ini sudah malam, kau mau pulang? Menginap saja di sini, ya,” kata Rahayu sambil menggenggam tangan Nina.“Ta- tapi ….”“Tidur di kamarku.”Sebuah suara tiba-tiba terdengar membuat Nina dan Rahayu menoleh dan menemukan Riyon berdiri di depan pintu kamar Ash.Riyon mengambil langkah dan berhenti di depa
Riyon masih mematung saat ingatan malam itu berputar dalam kepala. Tentu ia masih mengingat dengan jelas wajah wanita yang menikmati malam panas dengannya.“Riyon … Riyon? Ada apa?”Riyon tersentak saat suara Rahayu menginterupsi pendengaran. Ia pun segera melanjutkan langkah dan duduk di kursi kosong dekat kursi yang ibunya duduki dan berhadapan dengan Nina.Nina menundukkan kepala. Senyuman dan wajah hangat yang sebelumnya ia tunjukkan, kini lenyap entah ke mana dan Ash menyadarinya.“Nin, ada apa? Kau baik-baik saja?” tanya Ash dengan memegang bahu Nina. Dan ia pun terkejut merasakan bahu Nina sedikit bergetar.“Ri, kenalkan. Dia Nina, calon istri adikmu,” ujar Rahayu memperkenalkan Nina.Riyon hanya diam. Ia bahkan tak mengalihkan pandangan dari Nina. Ia tak percaya, dunia ini begitu sempit. Tak ada yang mengira, wanita yang menghabiskan malam dengannya adalah calon istri adiknya.“Nina, ini kakakku, Riyon. Dan Kak, ini Nina, calon istriku,” ujar Ash memperkenalkan Nina.Nina tak
Riyon memasuki ballroom hotel bintang 5 itu dengan penuh wibawa. Ia datang sebagai tamu undangan dalam acara ulang tahun perusahaan tempat Nina bekerja yang diadakan di sana. Acara itu dihadiri banyak tamu undangan, bukan hanya seluruh karyawan perusahaan tapi juga para kolega dan kenalan pemilik perusahaan.Di sisi lain, Nina berjalan anggun memasuki ruang acara. Penampilannya yang memukau membuat beberapa pasang mata mengarah padanya. Bukan hanya rekan kerja, tapi juga tamu undangan lainnya. Rambut sebahunya ia sanggul rendah dengan menyisakan sedikit anak rambut bergelombang yang membingkai wajahnya. Hiasan rambut berbentuk bunga sakura warna putih yang menghiasi surai hitamnya itu kian mempercantik tatanan rambutnya, membuatnya terlihat semakin manis. Make up tipis yang terpoles di wajah justru membuatnya tampak cantik alami. Meski hanya memakai gaun sederhana berwarna khaki, tak mengurangi kesan anggun darinya.Seorang pria menghampiri Nina setelah tak berhenti memperhatikannya
"Kalau begitu, bagaimana dengan tawaranku kemarin? Menikahlah denganku, Nin. Aku tahu kau tak akan melakukan sesuatu pada kandunganmu, kau wanita yang baik. Jadi, izinkan aku membantumu, kita bisa membesarkannya bersama-sama.”Nina terdiam, tak mengira Ash kembali menanyakan hal yang sama. “Tapi Ash ….”“Tidak ada tapi, Nin. Bukankah sudah kukatakan? Aku menerimamu apa adanya karena aku mencintaimu. Aku tidak ingin menyesal lagi di kemudian hari. Sudah cukup aku menyesal karena memendam perasaanku selama ini.”“Ta- tapi … bagaimana dengan orang tuamu? Keluargamu? Bagaimana jika mereka tahu kalau–”“Bilang saja itu adalah anakku. Aku akan katakan bahwa bayi dalam perutmu adalah darah dagingku,” potong Ash tanpa ragu. Ia tak masalah mengakui jabang bayi dalam perut Nina adalah anaknya asal ia dan Nina bisa menikah. Ia tak ingin melihat Nina menderita, bahkan tak ingin melihat Nina hidup bersama pria lain selain dirinya. Tak peduli Nina mengandung anak orang tak dikenal, ia akan menerim







