LOGINRiyon memasuki ballroom hotel bintang 5 itu dengan penuh wibawa. Ia datang sebagai tamu undangan dalam acara ulang tahun perusahaan tempat Nina bekerja yang diadakan di sana. Acara itu dihadiri banyak tamu undangan, bukan hanya seluruh karyawan perusahaan tapi juga para kolega dan kenalan pemilik perusahaan.
Di sisi lain, Nina berjalan anggun memasuki ruang acara. Penampilannya yang memukau membuat beberapa pasang mata mengarah padanya. Bukan hanya rekan kerja, tapi juga tamu undangan lainnya. Rambut sebahunya ia sanggul rendah dengan menyisakan sedikit anak rambut bergelombang yang membingkai wajahnya. Hiasan rambut berbentuk bunga sakura warna putih yang menghiasi surai hitamnya itu kian mempercantik tatanan rambutnya, membuatnya terlihat semakin manis. Make up tipis yang terpoles di wajah justru membuatnya tampak cantik alami. Meski hanya memakai gaun sederhana berwarna khaki, tak mengurangi kesan anggun darinya. Seorang pria menghampiri Nina setelah tak berhenti memperhatikannya sejak ia memasuki ruangan. “Kau begitu cantik malam ini, Nina dari bagian kreatif design,” ujar pria itu. Pria itu bernama Aji, dari bagian HRD. Nina tersenyum lembut. “Terima kasih, Pak Aji,” ucapnya kemudian dengan sopan menghindar. Ia sudah sering mendengar pujian yang Aji berikan membuatnya sedikit risih. Bukan tanpa alasan, melainkan karena ia tahu Aji sudah berkeluarga. Aji berdecak saat Nina pergi meninggalkannya. Nina begitu sulit didekati tak seperti beberapa karyawan lain. Hal itu pun semakin membuatnya penasaran dan ingin mendapatkan Nina. Di lain sisi, beberapa orang wanita terlihat mengobrol di sudut ruangan. Acara tersebut bertema standing party yang membuat tamu lebih bebas saling mengobrol dengan tamu yang lain. “Hei, kalian lihat itu? Itu, pria tampan itu.” Seorang wanita menunjuk ke arah Riyon membuat wanita lain yang berdiri di sampingnya mengarah pandangan. “Eh? Siapa itu? Dia tampan sekali.” “Sepertinya tamu undangan penting,” celetuk rekan wanita yang menunjuk Riyon. “Dari segi wajah dan penampilan, aku yakin dia bukan orang biasa.” Wanita yang pertama menunjuk Riyon menyunggingkan smirk tipis. Sama seperti temannya, ia juga yakin pria itu bukan pria biasa. Ia yang sejak awal sudah berencana menggaet kolega perusahaan tempatnya bekerja, memutuskan menunjuk Riyon sebagai targetnya. “Kalian semua lihat, aku akan mendapatkannya.” “Apa? Serius?” “Kau yakin?” “Jangan bermimpi terlalu tinggi, Win.” Tak ada satupun temannya yang mendukung membuat wanita bernama Winda itu semakin menggebu menjalankan aksinya. Tentu ia punya cara agar bisa mendekati pria incarannya karena, ia sudah mempersiapkannya dari rumah bahkan jauh-jauh hari sebelum acara ini diadakan. “Kita lihat saja. Akan kubuat kalian menganga. Apalagi, jika aku menikah dengannya,” batin Winda yang sudah sangat yakin rencananya akan berhasil. Ia tak peduli siapa targetnya, yang penting, orang itu tampan dan kaya. Tak lama, Winda berencana menjalankan aksinya. Ia mendekati Riyon dan mengajaknya berkenalan. Meski Riyon tampak cuek bahkan tak begitu menganggapnya, ia sama sekali tak peduli. Ia bahkan semakin ingin membuat Riyon jatuh dalam jebakannya. Tiba-tiba seseorang tanpa sengaja menabrak Riyon membuat minuman di tangannya tumpah. Pria itu meminta maaf dan segera mengambil minuman yang baru untuknya. Tanpa rasa curiga, Riyon minuman minuman barunya tanpa menyadari pria yang menabraknya telah bersekongkol dengan Winda. Pria itu adalah Aji dan Aji sendiri meminta bantuan pada Winda untuk melakukan hal serupa dan tentu saja targetnya adalah Nina. Tanpa ada satupun yang menyadari, Winda dan Aji telah bekerja sama dan menjalankan aksi licik mereka dengan sangat rapi. Beberapa saat setelahnya, obat dalam minuman Riyon telah bekerja. Ia yang merasa aneh dengan tubuhnya memilih meninggalkan tempat acara. Di saat itu lah, Winda menunggunya, menawarkan diri memberi bantuan. Sayangnya, sebelum itu terjadi, rekan Winda menyeretnya lebih dulu kembali ke ruang acara sebab, pengumuman karyawan teladan akan segera diumumkan dengan hadiah liburan ke luar negeri yang diidam-idamkan oleh banyak karyawan. Di saat yang sama, Nina juga meninggalkan tempat acara. Ia juga merasa aneh dengan tubuhnya. Namun, ia sama sekali tak berpikir semua itu ada hubunganya dengan Winda yang sebelumnya memberinya minuman. Nina membasuh wajahnya tak peduli make up tipisnya luntur. Ia telah berada di toilet sekarang, berdiri di depan wastafel. Ia harap dengan mencuci muka dapat membuatnya sedikit lebih baik, tapi rasanya tetap sama. Pusing di kepalanya masih bertahan, pandangannya juga tampak sedikit kabur dan ia merasa tubuhnya terasa panas. “Sssh … ada apa denganku?” desah Nina menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Merasa kondisinya semakin tidak baik-baik saja, Nina memutuskan check in hotel itu untuk beristirahat. Ia merasa dengan keadaannya itu tak memungkikannya menyetir untuk pulang. Bruk! Saat keluar dari toilet, tanpa sengaja Nina menabrak seseorang yang keluar dari toilet pria. Dan orang itu tak lain adalah Riyon. “Ma- maaf,” ucap Nina. Riyon memperhatikan Nina yang tampak aneh. Wajahnya merah, gelagatnya tampak sama seperti yang ia rasakan. Dan entah kenapa, Riyon merasa tak ingin melepaskannya. Seperti muncul dorongan dari dalam dirinya untuk melampiaskan hasratnya yang telah di ujung dengannya. “Tu- tunggu,” cegah Riyon saat Nina hendak pergi. Ia memegang pergelangan tangan Nina membuatnya seperti terkena kejutan listrik. Nina menatap tangan Riyon yang memegang tangannya kemudian menatap pria itu yang menatapnya dengan mata sayu. Dan entah bagaimana, saat Riyon menarik tangannya, menyeretnya kembali masuk ke dalam toilet, ia tak punya kuasa untuk melawan. Bahkan saat Riyon mulai mencium bibirnya penuh nafsu setelah membawanya masuk ke bilik toilet, ia justru mengimbangi permainan pria itu meski ia tak pernah ciuman sebelumnya. Lenguhan panjang Nina lolos dari mulut saat Riyon menjelajahi lehernya dengan lidahnya yang basah. Saat ini ia duduk di pangkuan Riyon, menikmati sentuhan-sentuhan yang Riyon berikan. Bukan hanya sentuhan dengan tangan, tapi juga dengan bibir dan lidah. Riyon dan Nina telah tenggelam dalam hasrat yang tak tertahankan. Namun, Riyon masih mempertahankan sedikit kewarasannya untuk membawa Nina ke kamar hotel daripada melakukannya dalam bilik toilet."Nin, kau … mau ke mana?”Dengan raut wajah penuh tanya, Ash menatap Nina menunggunya menjawab sambil sesekali melirik koper di balik kaki Nina.Nina mulai sedikit gugup setelah dibuat begitu terkejut dengan keberadaan Ash.“Ah, ini ….” Nina berusaha mencari jawaban, tapi ia tak bisa menemukannya dengan segera.Ash mendorong Nina pelan dan masuk ke dalam rumah kemudian menutup pintu.“Jangan bilang kau mau kabur?” tanya Ash menuduh seraya menahan koper Nina.Nina tak menjawab, mau berbohong rasanya percuma sebab, Ash pasti tak akan percaya.Ash mendongak saat ia mengembuskan napas panjang dari mulutnya. Ia lalu menggenggam tangan Nina yang memegang troli koper dan melepaskannya.“Kenapa, Nin? Kenapa kau mencoba kabur?”Tangan Nina gemetar, merasakan tangan Ash yang gemetar.“Apa karena kakakku? Ah, atau … bagaimana kalau kita kabur bersama-sama? Kita bisa pindah jauh dari sini, menikah, dan memulai kehidupan yang baru.”Nina segera mengangkat kepala menatap Ash. Padahal ia berniat kab
Riyon menatap Nina dengan raut wajah yang dingin dan sorot mata setajam elang, seakan Nina adalah ular kecil yang menjadi calon santapannya.Nina menelan ludah susah payah kemudian menunduk mengalihkan pandangan. Ia seakan tak mampu menatap mata tajam Riyon lama-lama.“Aku … mau pulang,” ucap Nina dengan suara pelan.“Tidak punya sopan santun.”Tubuh Nina menegang, ulu hatinya seolah dicubit mendengar ucapan Ruyon.“Kau datang ke sini baik-baik, dan ingin pergi dengan cara seperti ini?”Nina menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ia tahu caranya mungkin salah, tapi ia tak punya pilihan lain. Ia ingin kabur dari masalah ini.Tiba-tiba Nina mengangkat kepala menatap Riyon dengan keberanian. “Bagaimana jika kita selesaikan masalah ini sekarang? Aku akan pergi, kita tidak perlu menikah, dan aku tidak akan menikah dengan Ash,” ucap Nina dengan tegas. Ia sudah memikirkannya dan itu lah keputusan yang diambilnya.Riyon menatap Nina dalam diam, ia kemudian meraih tangan Nina dan menariknya.“A-
Nina berusaha membuka mata yang terasa berat. Dan setelah matanya menangkap cahaya, ia membuka matanya lebar.“Nina, syukurlah kau sudah bangun.”Nina menoleh ke sumber suara dan menemukan Rahayu duduk di sisi ranjang di sampingnya. Wajah wanita paruh baya itu tampak cemas.Nina berusaha bangun untuk duduk di tengah sakit kepala yang kembali terasa. Rasanya ia ingin pingsan saja bahkan selamanya agar sakit kepalanya sirna.“Jangan memaksakan diri,” ucap Rahayu seraya membantu Nina bangun menegakkan punggungnya.“Jam berapa sekarang, Tante?” tanya Nina dengan suara parau. Ia ingin segera pulang berharap dengan begitu mengurangi beban pikiran. Melihat keluarga Ash membuatnya tidak tenang.“Ini sudah malam, kau mau pulang? Menginap saja di sini, ya,” kata Rahayu sambil menggenggam tangan Nina.“Ta- tapi ….”“Tidur di kamarku.”Sebuah suara tiba-tiba terdengar membuat Nina dan Rahayu menoleh dan menemukan Riyon berdiri di depan pintu kamar Ash.Riyon mengambil langkah dan berhenti di depa
Riyon masih mematung saat ingatan malam itu berputar dalam kepala. Tentu ia masih mengingat dengan jelas wajah wanita yang menikmati malam panas dengannya.“Riyon … Riyon? Ada apa?”Riyon tersentak saat suara Rahayu menginterupsi pendengaran. Ia pun segera melanjutkan langkah dan duduk di kursi kosong dekat kursi yang ibunya duduki dan berhadapan dengan Nina.Nina menundukkan kepala. Senyuman dan wajah hangat yang sebelumnya ia tunjukkan, kini lenyap entah ke mana dan Ash menyadarinya.“Nin, ada apa? Kau baik-baik saja?” tanya Ash dengan memegang bahu Nina. Dan ia pun terkejut merasakan bahu Nina sedikit bergetar.“Ri, kenalkan. Dia Nina, calon istri adikmu,” ujar Rahayu memperkenalkan Nina.Riyon hanya diam. Ia bahkan tak mengalihkan pandangan dari Nina. Ia tak percaya, dunia ini begitu sempit. Tak ada yang mengira, wanita yang menghabiskan malam dengannya adalah calon istri adiknya.“Nina, ini kakakku, Riyon. Dan Kak, ini Nina, calon istriku,” ujar Ash memperkenalkan Nina.Nina tak
Riyon memasuki ballroom hotel bintang 5 itu dengan penuh wibawa. Ia datang sebagai tamu undangan dalam acara ulang tahun perusahaan tempat Nina bekerja yang diadakan di sana. Acara itu dihadiri banyak tamu undangan, bukan hanya seluruh karyawan perusahaan tapi juga para kolega dan kenalan pemilik perusahaan.Di sisi lain, Nina berjalan anggun memasuki ruang acara. Penampilannya yang memukau membuat beberapa pasang mata mengarah padanya. Bukan hanya rekan kerja, tapi juga tamu undangan lainnya. Rambut sebahunya ia sanggul rendah dengan menyisakan sedikit anak rambut bergelombang yang membingkai wajahnya. Hiasan rambut berbentuk bunga sakura warna putih yang menghiasi surai hitamnya itu kian mempercantik tatanan rambutnya, membuatnya terlihat semakin manis. Make up tipis yang terpoles di wajah justru membuatnya tampak cantik alami. Meski hanya memakai gaun sederhana berwarna khaki, tak mengurangi kesan anggun darinya.Seorang pria menghampiri Nina setelah tak berhenti memperhatikannya
"Kalau begitu, bagaimana dengan tawaranku kemarin? Menikahlah denganku, Nin. Aku tahu kau tak akan melakukan sesuatu pada kandunganmu, kau wanita yang baik. Jadi, izinkan aku membantumu, kita bisa membesarkannya bersama-sama.”Nina terdiam, tak mengira Ash kembali menanyakan hal yang sama. “Tapi Ash ….”“Tidak ada tapi, Nin. Bukankah sudah kukatakan? Aku menerimamu apa adanya karena aku mencintaimu. Aku tidak ingin menyesal lagi di kemudian hari. Sudah cukup aku menyesal karena memendam perasaanku selama ini.”“Ta- tapi … bagaimana dengan orang tuamu? Keluargamu? Bagaimana jika mereka tahu kalau–”“Bilang saja itu adalah anakku. Aku akan katakan bahwa bayi dalam perutmu adalah darah dagingku,” potong Ash tanpa ragu. Ia tak masalah mengakui jabang bayi dalam perut Nina adalah anaknya asal ia dan Nina bisa menikah. Ia tak ingin melihat Nina menderita, bahkan tak ingin melihat Nina hidup bersama pria lain selain dirinya. Tak peduli Nina mengandung anak orang tak dikenal, ia akan menerim







