Share

3. Nyawa Kafizah Terancam

Penulis: Mhyaa Selle
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-21 16:33:15

"Kamu ...," ucap Kafizah dan pria itu bersamaan sambil sama-sama menunjuk satu sama lain dan keduanya pun tampak sangat terkejut.

"Raka?" 

"Kafizah?"

Lagi keduanya berucap bersamaan.

"Kamu karyawan di sini?" tanya pria itu penasaran.

"Tidak penting aku karyawan atau bukan," balas Kafizah mencoba cuek sambil meraih buket bunga dari Salsa.

"Dih ... sombong banget, padahal cuma karyawan tapi berlagak kayak bos," cibir Raka menatap sinis gadis yang duduk di balik meja kasir.

"Sombong teriak sombong," bantin Kafizah.

Kafizah memilih diam tak menanggapi ocehan pria itu, tetapi hatinya mengutuk pria tersebut.

Salsa hanya melongo melihat bos dan pelanggan yang ternyata sudah saling mengenal satu sama lain.

Ia memilih ke depan dan menyiram bunga-bunga hidup agar terlihat semakin segar.

Raka yang merasa dianggurin langsung berucap, "Kamu marah karena aku menolak perjodohan kita, ya?"

Nurul Kafizah tidak menanggapi ucapan pria tersebut.

"Mau bayar kes atau pakai kartu kredit?" tanya Kafizah sambil menulis harga total yang harus Raka bayar di kertas lalu menyerahkan pada pria itu.

"Asal kamu tahu ya, aku dan kamu tidak cocok, tidak serasi. Kita bagaikan langit dan bumi. Aku memiliki segalanya sedangkan kamu cuman karyawan di toko bunga serta ...." Pria berperawakan tinggi itu menatap ke arah Kafizah dengan senyum mengejek

"Kamu cacat. Sungguh tidak bisa kubayangkan jika harus menikah dengan gadis cacat sepertimu," ejeknya.

"Stop!" bentak Kafizah karena tidak tahan mendengar ocehan pria itu.

Pria yang bernama lengkap Raka Ghifari Adhyaksa itu langsung terperanjat.

"Kamu ke sini mau beli karangan bunga atau ke sini untuk menghinaku, hah?" tanya Kafizah yang berusaha menahan gemuruh di dadanya.

"Ya, beli bunga lah! Memangnya kamu merasa terhina? Padahal, apa yang aku ucapkan semuanya benar adanya," ucap Raka enteng tanpa menyadari kalau semua ucapan yang ia lontarkan itu ibarat ribuan jarum yang menancap di hati gadis yang ia sebut cacat.

"Kalau begitu silakan selesaikan pembayaran dan segera angkat kaki dari sini! Kalau perlu, jangan pernah kembali lagi ke sini!" titah gadis bermata bulat itu dengan tegas.

"Kamu mengusir pelanggan itu suatu kesalahan besar. Apa kamu tidak takut dipecat karena telah mengurangi pelanggan toko ini?"

"Aku tidak takut sama sekali. Dengar ...! Aku tidak takut kehilangan pelanggan sombong sepertimu. Insyaallah akan Allah datangkan pelanggan yang lain, tentunya lebih sopan daripada kamu."

"Kamu akan menyesal telah berbuat seperti ini padaku!" geram Raka.

"Ini ambil." Raka meletakkan segepok uang di depan Kafizah. "Ambil sisanya untuk mengobati kakimu agar tidak cacat."

Raka meraih buket bunga pesanannya dan beranjak. Namun, langkahnya terhenti kala ....

"Tunggu!" teriak Kafizah sambil meraih tongkatnya lalu menghampiri pria yang berada di ambang pintu toko.

Kafizah juga membawa uang segepok itu setelah mengambil uang hanya seharga buket bunga, lalu ia meraih tangan pria itu dan meletakkan uang tersebut di tangan Raka.

"Ambil kembali uangmu! Saya tidak butuh uang ini untuk berobat. Sepertinya kamu yang butuh untuk berobat ke psikiater atau psikolog. Mungkin mentalmu sedang bermasalah," ucap gadis itu panjang lebar dan menatap tajam Raka.

"Anak TK pun tahu, kalau kaki yang cacat mustahil diobati hingga tidak cacat lagi, bukan? Tapi kamu ... seolah tidak memiliki otak di kepalamu." 

"Apa kamu bilang?" tanya Raka dengan muka merah padam.

"Kenapa? Sakit bukan kalau orang mengatakan sesuatu yang bikin hati sakit? Begitupun dengan ucapanmu padaku."

"Asal kamu tahu! Aku pun tidak sudi jika harus dijodohkan dan menikah dengan pria sombong sepertimu. Jika di dunia ini hanya sisa kamu yang jomblo lebih baik aku menjadi perawan tua daripada harus bersama pria yang tidak punya hati sepertimu."

Raka tercengang mendengar kata demi kata yang keluar dari bibir gadis cacat itu.

"Salsa! Usir pria ini dari sini! Aku tidak mau melihat wajahnya berada di sini." Kafizah meninggalkan Raka yang mematung dengan bibir menganga.

Gadis itu memilih ke belakang dan masuk ke ruangan khusus miliknya jika ingin istirahat. Dia langsung menangis dan menumpahkan segala kesedihan akan ucapan pahit yang pria sombong dan arogansi itu.

Sementara di luar, Salsa langsung menyuruh Raka untuk pergi.

"Sebaiknya anda pergi, Pak! Jangan bikin keributan di sini," ucap Salsa.

"Kamu akan menyesal telah memperlakukan saya seperti ini. Saya orang paling kaya di kota ini," hardiknya.

"Kalau kamu tidak mau kehilangan banyak pelanggan, sebaiknya pecat gadis cacat itu!" titahnya masih menyebut Kafizah sebagai gadis cacat.

"Hah ... pecat?" tanya Salsa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Iya, pecat saja dia!" geram Raka.

"Sepertinya Anda salah paham, Pak. Pemilik toko bunga ini adalah Kak Nurul Kafizah, saya hanya karyawan di sini," ucap Salsa dengan sopan membuat Raka tambah terkejut dua kali lipat.

"Apa? Gadis itu?"

"Iya, Pak. Sebaiknya anda pergi dari sini. Jangan lupa singgah ke apotek dan beli obat sakit kepala ya, Pak! Biar vertigonya tidak kumat," tambah gadis itu dengan senyum sedikit sinis.

Raka pergi dengan perasaan campur aduk, antara kesal, menyesal dan serba salah.

***

Keesokan harinya, Kafizah tidak membuka toko bunga miliknya karena Salsa memaksa bosnya untuk libur sehari agar bisa menenangkan pikirannya.

Bu Marni juga tidak bisa buka toko karena sedang sibuk di rumah birasnya membantu acara persiapan pernikahan sepupu Kafizah yang akan digelar dua Minggu lagi, tetapi keluarga sudah mulai sibuk menyiapkan tetek bengeknya.

Rencana gadis ber-dagu lancip itu adalah mengajak Kafizah ke wisata terdekat untuk menghibur hati bosnya. Kebetulan tempat wisata alam berada tidak terlalu jauh dari toko bunga milik Kafizah.

Tidak terlalu jauh karena tidak perlu lintas kabupaten apalagi provinsi. Hanya perlu mengendarai motor sekitar tiga puluh menit sudah sampai ke tempat tersebut.

Wisata alam yang memperlihatkan bagaimana kuasa Allah yang menciptakan suatu tempat yang sangat indah. Laut biru membentang luas dan perahu-perahu serta aneka wahana bermain juga ada di sana.

Di sinilah sekarang dua gadis itu berada. Kafizah duduk di tepi pantai sambil menatap dari kejauhan anak-anak yang bermain riang gembira dan didampingi oleh orang dewasa tentunya.

Pikiran Kafizah sudah benar-benar membaik dan merasa segar kembali karena sudah menghabiskan waktu hampir seharian di tempat wisata itu.

"Sa! Aku mau cari toilet dulu," ucap Kafizah meraih tongkat yang ada di sampingnya lalu berdiri dibantu oleh Salsa.

"Iya, ayo aku temani, ya, Kak Nui," ucap Salsa.

"Tidak usah, Sa. Aku bukan anak kecil lagi, biar aku sendiri saja. Kamu di sini jaga barang-barang." Kafizah melirik barang bawaan mereka yang berupa tempat bekal dan tas di atas karpet.

"O-oke, tapi hati-hati ya, Kak Nui!"

Kafizah berdeham lalu melangkah perlahan mencari kamar kecil yang biasa tersedia di tempat seperti ini. Setiap berpapasan dengan seseorang makan gadis itu akan bertanya.

Hingga ia menemukan toilet dan masuk untuk menuntaskan hajatnya.

Saat ia keluar toilet matanya tertuju pada seorang ibu di balik pohon besar yang sedang tarik-menarik dengan seorang pria yang tampak ingin merampas tas ibu itu.

Kafizah melirik kanan kiri untuk meminta bantuan. Namun, kondisi sedang sepi sehingga tak ada orang lalu lalang. 

Tanpa pikir panjang Kafizah berjalan setengah berlari tanpa menghiraukan kakinya yang sakit gadis itu langsung melayangkan tongkat miliknya di kepala pria berbaju hitam tersebut.

Dengan membabi buta, Kafizah terus memukul pria itu hingga tongkatnya terlepas dari tangannya, lalu dirampas pria itu dan ia patahkan tongkat milik Kafizah hingga gadis itu terkejut.

Dengan sigap pria itu mengeluarkan pisau kecil dari saku celananya dan menarik Kafizah serta mengancam akan menusuk leher gadis itu hingga ibu tersebut membeku di tempat.

"Serahkan tas itu cepat atau leher gadis ini taruhannya!" ancam pria itu dengan tatapan nyalang membuat wanita paruh baya itu gemetaran.

"Jangan, Bu! Cepat pergi dari sini, Bu!" titah Kafizah merasa tidak takut dengan ancaman pria itu

"Tapi, Nak .... nyawamu dalam bahaya," pekik ibu itu mendadak panik dan tidak bisa berpikir jernih.

"Cepat pergi, Bu! Aku tidak akan kenapa-kenapa. Orang ini tidak akan berani melukaiku di tempat umum," ucap Kafizah sekali lagi mencoba menahan rasa takutnya.

"Kamu pikir aku tidak berani melakukannya, hah!" geram pria tersebut sambil mengikis jarak antara pisau dan leher Kafizah. "Serahkan tas dan barang berharga milikmu sebelum kau menyesal karena aku tidak akan main-main dengan ancamanku."

Kafizah memejamkan mata saat ujung pisau itu menyentuh kulit lehernya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat    44. Pelukan

    Semenjak kejadian malam itu, Raka tidak pernah lagi meninggalkan Kafizah terlalu lama. Paling lama lima belas menit dan itu hanya saat dia mandi atau hanya buang hajat, salat ia kerjakan di ruang rawat istrinya.Untuk urusan pakaian, semua diantar oleh Bu Liana, ibunya. Sementara makan siang diantar oleh Bu Marni, mertuanya yang setiap hari memasak untuk putrinya. Kadang juga Bu Marni di larang masak oleh besannya karena sudah memesan makanan jadi di restoran.Sementara untun sarapan dan makan malam, Raka hanya memesan lewat online. Begitu terus hingga waktu semakin bergulir dari hari ke hari, Minggu ketemu Minggu dan akhirnya terhitung sudah empat Minggu Kafizah di rumah sakit sebagai seorang istri.Masalah kerjaan, dia hanya memantau lewat CCTV yang tersambung ke laptopnya. Urusan meeting, ia meminta Emil untuk terus mewakili hingga waktu yang belum ditentukan."Maafkan aku, karena selalu merepotkanmu!" kata Kafizah pada suaminya usai salat Isya berjamaah."Kenapa harus minta maaf!

  • Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat    43. Ancaman

    Setelah serangkaian acara pernikahan sederhana Raka dan Kafizah usai. Satu persatu orang-orang pulang termasuk Denis yang harus mengantar penghulu dan rekannya.Emil juga pulang karena harus menghadiri meeting untuk menggantikan Raka di kantor. Pak Jupri dan Bu Liana juga pamit karena tidak ingin mengganggu putra dan menantu barunya.Orang tua Kafizah juga diminta untuk pulang oleh Bu Liana agar kedua pengantin baru tersebut bisa menikmati waktu berduaan. Meski belum bisa melakukan adegan romansa, setidaknya mereka punya waktu untuk lebih mengenal satu sama lain.Sebenarnya ada rasa khawatir jika harus meninggalkan Kafizah, tetapi Bu Liana meyakinkan besannya kalau menantunya akan baik-baik saja karena ada Raka yang akan menemani."Titip, putriku, Nak!" ujar Bu Marni sebelum pulang pada menantunya itu."Iya, Bu. Kafizah aman sama Raka," balas Raka sembari mencium punggung tangan Ibu dan Bapak mertuanya yang menepuk pundaknya pelan.Setelah memberi beberapa nasihat pada kedua pasangan

  • Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat    42. Hendak Merampas

    Ratih yang melihat seorang pria bersimpuh di lantai langsung menyikut pelan Salsa sambil berbisik. "Kak Sa! Bukankah dia pria yang sama dengan pria yang pernah membawakan bunga untuk Kak Fizah?""He,em ... dialah orangnya," jawab Salsa mengangguk pelan, sembari membagikan nasi kotak pada orang-orang yang sedang duduk di ruang tunggu.Suster turut membantu dan bertugas membagikan makanan itu pada setiap kamar rawat pasien, pada dokter yang bertugas dan pada siapa saja yang ada di sana.Pak Jupri memang sengaja memesan ribuan nasi kotak sebagai rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melancarkan niat baiknya tersebut.Anggap saja sebagai sedekah karena amal satu ini tidak akan bikin miskin sama sekali. Justru setiap barang atau makanan yang disedekahkan akan diganti dengan berlipat ganda"Dia ngapain begitu segala?" tanya Ratih lagi."Patah hati kali," bisik Salsa singkat sambil tersenyum dan mengangguk pada orang-orang yang berterima kasih dan mendoakan kebahagiaan untuk pengan

  • Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat    41. Layu Sebelum Mekar

    "Tentang Masa laluku yang akan mempengaruhi masa depan kita," balas Raka membuang napas perlahan.Kafizah menatap wajah pria yang duduk tak jauh dari ranjangnya sambil menunduk, Raka terlihat meremas jemarinya salah tingkah. "Jika itu aib, lebih baik jangan pernah katakan padaku, sebaiknya tutup aibmu! Kalau bisa hanya dirimu dan Allah yang tau supaya hubungan kita tetap terjaga."Pria tampan berwajah tegas itu langsung mengangkat wajah menatap mata bulat Kafizah yang menampakkan aura bijak."Ta-tapi--""Itu rahasiamu, wajib kamu tutup rapat dan jangan beri tahu siapa pun termasuk aku. Andai kemudian aibmu terbuka maka itu ujian buat kita ... ya kita. Coba kamu gali dalil dan hadits tentang keharusan seseorang menutupi aib sendiri!"Raka langsung membuka ponsel dan mencari di laman pencarian tentang dalil dan hadits yang Kafizah maksud.Pria tampan itu membaca dengan seksama apa yang tertera di layar ponselnya.Ada dalil dan hadits sahih yang meminta seseorang menutupi aibnya, kemudia

  • Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat    40. Jangan Memulai Hubungan dengan Kebohongan

    "A-aku ...," ucap Kafizah dan Raka bersamaan dengan rasa gugup."Kamu duluan!" Lagi mereka berucap bersamaan sambil memalingkan wajah karena bersemu merah."Ladies first," ujar Raka mempersilakan gadis bermata teduh itu untuk berbicara duluan.Kafizah mengangguk pelan. "Apa kamu tidak mau berpikir-pikir lagi? Maksudnya, kalau kamu hanya terpaksa karena iba padaku, sebaiknya jangan diteruskan! Aku tidak perlu dikasihani."Raka menatap wajah teduh itu beberapa detik lalu menjawab. "Aku serius dengan ucapanku.""Tapi, aku tidak bisa apa-apa. Hanya akan menyusahkanmu saja," balas Kafizah sembari mengulas senyum tipis dan mengingatkan pada Raka bahwa ia pernah berkata demikian, "sekarang aku buntung, semakin memalukan nantinya."Raka memejamkan mata mengingat semua umpatan yang ia lontarkan pada gadis cantik yang bernasib malang tersebut."Percuma cantik tapi cacat, buat apa? Gak ada gunanya.""Dia tidak bisa apa-apa dan akan menyusahkan. Hidupnya akan selalu bergantung, itu merepotkan sek

  • Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat    39. Gelisah

    Kafizah menatap Raka sangat dalam, seolah ingin menembus pikiran pria tersebut. Adakah dia hanya bercanda, atau hanya sedang bersandiwara untuk menyelamatkan dirinya dari hinaan tantenya.Akan tetapi, sekian menit gadis cantik itu menatap, tidak ada gelagat aneh dari Raka. Wajahnya malah menampakkan keseriusan dan ketegasan."Nak Raka! Maaf, pernikahan itu bukan untuk main-main, sebelum itu terjadi kita harus mengurus berkasnya di KUA dan membahas mahar meski kami tidak mungkin meminta berlebihan, tetapi mahar harus ada, Nak. Meski sedikit," sahut Pak Rahman menengahi, supaya Raka tidak mempermainkan pernikahan."Dasar, anak muda jaman sekarang, suka banget mengkhayal sesuatu yang tidak akan terjadi," ejek Bu Reni dengan menyunggingkan bibirnya seperti orang yang terkena penyakit stroke"Kalau yang Anda maksud adalah saya, maaf ... Anda salah sasaran. Saya tidak sedang mengkhayal," balas Raka."Saya juga minta maaf, Bapak Mertua, karena sudah lancang membuat keputusan ini. Tapi alangk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status