"Lalu apa standar wanita yang layak kau jadikan istri?" tanya Pak Rahman menatap Raka, tetapi dengan tangan mengepal dan urat-uratnya yang terlihat jelas.
"Saya mau wanita yang cantik, baik seperti yang ayahku bilang, tentunya saja semua anggota tubuhnya sempurna," papar Raka dengan bangganya.
"Lalu apa salahnya kalau wanita itu cacat?" tanya Pak Rahman lagi dengan nada berat
"Jelas salah. Karena dia tidak bisa apa-apa dan akan menyusahkan. Hidupnya akan selalu bergantung, itu merepotkan sekali." Raka membuang napas kasar
"Lagi pula, saya ini pengusaha yang setiap ada pertemuan pasti akan membawa istriku ke manapun sementara gadis itu ... jangankan membawanya ke mana-mana, melihatnya saja aku tak sudi," celoteh pria itu memancing amarah Pak Rahman.
"Hentikan, Raka!" bentak pak Jupri tidak menyangka putranya akan bicara seperti itu, "ucapanmu sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang pengusaha."
"Pak Rahman! Tolong maafkan putraku." Pak Jupri mengatupkan tangan pada sahabatnya.
Pak Rahman mengangguk sopan. "Bawa dia pulang sebelum aku tidak bisa mengontrol emosiku."
"Ayo pulang!" Pak Jupri menarik Raka keluar dari rumah itu. "Aku pamit pulang, Pak Rahman. Aku harap persahabatan kita tetap terjalin seperti sediakala."
Pak Rahman lagi-lagi mengangguk tanpa sepatah kata pun yang ia lontarkan. Ia hanya menatap kepergian sahabatnya dengan putranya yang sombong itu.
Pria paruh baya itu memijat pelipisnya karena mendadak sakit akibat memikirkan harapannya yang lagi-lagi harus gagal. Ia harus menelan pil pahit yang kesekian kalinya hingga sang putri merasa terluka dan terhina.
Pak Rahman kemudian mendatangi putrinya yang tengah menangis dipelukan Bu Marni.
"Masuklah dan bujuk putrimu! Setelah ini jangan ulangi kesalahan yang sama! Biarkan Kafizah menemukan jodoh dengan sendirinya, yang memang dikirim Allah untuknya."
Bu Marni berlalu ke dapur dan menyeka sudut matanya. Sejujurnya, beliau juga ingin menangis mendengar putrinya dihina, tetapi dia harus kuat demi Kafizah.
Jika dia ikutan meratap, lalu siapa yang akan menguatkan? Harus ada yang berdiri tegap untuk meluruskan yang salah.
Di dalam kamar, Pak Rahman duduk di samping putrinya yang menunduk.
"Kafizah! Maafkan Bapak, Nak! Keegoisan Bapak membuatmu terluka berulangkali." Pak Rahman mengusap kepala Kafizah dengan lembut.
"Bapak tidak salah. Aku yang salah dalam hal ini, aku sudah menjadi anak yang tidak berguna dan selalu bikin malu Bapak dan Ibu," ucap gadis itu sambil menahan buliran kristal yang hendak jatuh dari pelupuk matanya.
Pak Rahman menarik perlahan kepala Kafizah agar menyandar di pundaknya.
"Maafkan, Bapak!"
Hanya itu ucapan yang mampu keluar dari bibir pria paruh baya tersebut.
"Bapak hanya ingin melihat kamu keluar dari traumamu, Nak. Bapak ingin kamu menemukan cinta yang bikin kamu bahagia, bukan cinta yang bikin kamu gelisah, emosi, dan marah." Pria berpeci itu akhirnya membuang napas panjang.
"Bukannya membuatmu terbebas dari trauma yang membelenggumu. Bapak malah membuatmu semakin terpuruk dengan hinaan demi hinaan."
"Mungkin belum waktunya Kafizah bertemu dengan pria yang tepat, Pak," balas Kafizah memilih optimis agar bapaknya tidak ikut bersedih seperti dirinya.
"Ya! Kamu benar, Nak. Ada kalanya kenyataan tidak sesuai harapan kita."
"Bapak janji, tidak akan menjodohkan kamu lagi. Tadi terakhir kalinya putri Bapak terluka karena hinaan seorang pria. Sekarang Bapak akan serahkan semua sama yang di Atas, dan akan selalu berdoa dan meminta agar kamu dipertemukan dengan pria yang tepat serta tulus menerimamu apa adanya, Nak."
"Aamiin ya Allah." Kafizah mengusap wajahnya. "Aku berharap hal yang sama, Pak."
Dua insan yang berbeda generasi itu larut dalam kesedihan yang sama.
Pak Rahman tidak menyangka kalau putra sahabatnya ternyata sesombong itu.
Dia tahu betul Pak Jupri pengusaha sukses tapi tidak pernah sombong pada dirinya dan ia pikir anaknya juga memiliki ketulusan yang sama, ternyata tidak demikian.
***
"Sa! Aku ke belakang dulu sebentar, ya." Nurul Kafizah izin ke Salsa-sahabat sekaligus karyawan satu-satunya yang setiap hari membantunya di toko bunga milik orang tua Kafizah yang sekarang dikelola olehnya.
Jika rumah Kafizah berada di jalan Mahkota Indah, maka toko bunga miliknya berada di jalan Mekar Seribu tepat berada di tepi jalan dan perempatan yang salah satu jalurnya menuju ke tempat wisata.
Perjalanan dari rumah ke toko memakan waktu dua puluh menit dengan kendaraan roda dua dan Kafizah biasanya dijemput Salsa kalau Bu Marni tidak sempat menemani putrinya di toko.
Kebetulan hari ini Bu Marni tidak sempat menemani putrinya di toko, jadi Kafizah hanya berdua saja dengan Salsa.
Saat Kafizah ke belakang, tiba-tiba seorang pria tampan datang hendak membeli bunga.
"Mbak! Tolong buketin bunga yang ini, ini, dan ini." Pria itu menunjuk ke aneka bunga yang ia pilih dan menurutnya sangat cantik.
"Baik, Pak," balas Salsa mengangguk sambil mengambil setiap bunga yang ditunjuk pria berhidung mancung itu.
Salsa memanggil Pak karena sebagai bahasa formal apalagi pria itu memakai jas dan usianya Salsa taksir kisaran dua puluh delapan kalau enggak di atasnya.
Setelah Kafizah kembali, pria itu keluar dari toko dan membelakangi Kafizah karena mendadak ponselnya berdering.
"Halo ... iya, Yah. Ini aku lagi di toko bunga sesuai alamat yang Ayah bilang," ucapnya pada orang di seberang sana.
"Sebentar lagi aku selesai membeli bunganya dan Ayah siapkan semuanya di rumah, oke."
"Pemilik toko? Sudah, aku sudah ketemu pemiliknya dan langsung memesan bunga pada pemiliknya langsung," ucap pria itu karena mengira Salsa adalah pemilik toko bunga itu.
"Gak gimana-gimana sih, liat bunganya, pesan ... sudah."
"Serius, Yah. Ini aku beli bunga di toko rekomendasi Ayah di jalan Mekar Seribu. Gak percayaan banget sih," omel pria itu.
Kafizah yang sudah mendaratkan bokongnya di kursi langsung mengangkat wajah saat mendengar suara pria itu karena merasa sangat familiar dengan suaranya.
Gadis cantik itu menatap lamat-lamat punggung pria berjas itu, tetapi ia tidak bisa melihat wajahnya sehingga ia menggeleng pelan.
"Mungkin aku salah dengar atau otakku yang korslet karena memikirkan pria itu," gumamnya, lalu melanjutkan kerjaannya di meja kasir.
Karena keterbatasannya, Nurul Kafizah memilih duduk di kasir dan mengurus keuangan.
Sementara Salsa bertugas melayani pembeli dan membuat karangan bunga. Kadang Kafizah juga membuat karangan bunga jika sedang rame-ramenya pelanggan.
"Karangan bunga yang Anda pesan sudah siap, silakan lakukan pembayaran di kasir!" titah Salsa sambil menunjuk meja kasir di mana Kafizah sedang duduk di sana sambil menunduk dan melamun.
"Oh ... baiklah," ucap pria itu mengikuti langkah Salsa ke meja kasir.
"Kak Nui! Ada yang mau bayar pesanan buket bunga," kata Salsa sambil meletakkan buket itu di depan Kafizah
Salsa memang lebih suka memanggil Kafizah dengan sebutan Kak Nui alias Nurul.
Nurul Kafizah pun langsung mengangkat wajahnya dan seketika netra Kafizah dan pria berjas itu bertemu.
"Kamu ...," ucap Kafizah dan pria itu bersamaan sambil sama-sama menunjuk satu sama lain
dan keduanya pun tampak sangat terkejut.
Siapakah pria itu?
Yuk baca bab selanjutnya ya
Bersambung.
Semenjak kejadian malam itu, Raka tidak pernah lagi meninggalkan Kafizah terlalu lama. Paling lama lima belas menit dan itu hanya saat dia mandi atau hanya buang hajat, salat ia kerjakan di ruang rawat istrinya.Untuk urusan pakaian, semua diantar oleh Bu Liana, ibunya. Sementara makan siang diantar oleh Bu Marni, mertuanya yang setiap hari memasak untuk putrinya. Kadang juga Bu Marni di larang masak oleh besannya karena sudah memesan makanan jadi di restoran.Sementara untun sarapan dan makan malam, Raka hanya memesan lewat online. Begitu terus hingga waktu semakin bergulir dari hari ke hari, Minggu ketemu Minggu dan akhirnya terhitung sudah empat Minggu Kafizah di rumah sakit sebagai seorang istri.Masalah kerjaan, dia hanya memantau lewat CCTV yang tersambung ke laptopnya. Urusan meeting, ia meminta Emil untuk terus mewakili hingga waktu yang belum ditentukan."Maafkan aku, karena selalu merepotkanmu!" kata Kafizah pada suaminya usai salat Isya berjamaah."Kenapa harus minta maaf!
Setelah serangkaian acara pernikahan sederhana Raka dan Kafizah usai. Satu persatu orang-orang pulang termasuk Denis yang harus mengantar penghulu dan rekannya.Emil juga pulang karena harus menghadiri meeting untuk menggantikan Raka di kantor. Pak Jupri dan Bu Liana juga pamit karena tidak ingin mengganggu putra dan menantu barunya.Orang tua Kafizah juga diminta untuk pulang oleh Bu Liana agar kedua pengantin baru tersebut bisa menikmati waktu berduaan. Meski belum bisa melakukan adegan romansa, setidaknya mereka punya waktu untuk lebih mengenal satu sama lain.Sebenarnya ada rasa khawatir jika harus meninggalkan Kafizah, tetapi Bu Liana meyakinkan besannya kalau menantunya akan baik-baik saja karena ada Raka yang akan menemani."Titip, putriku, Nak!" ujar Bu Marni sebelum pulang pada menantunya itu."Iya, Bu. Kafizah aman sama Raka," balas Raka sembari mencium punggung tangan Ibu dan Bapak mertuanya yang menepuk pundaknya pelan.Setelah memberi beberapa nasihat pada kedua pasangan
Ratih yang melihat seorang pria bersimpuh di lantai langsung menyikut pelan Salsa sambil berbisik. "Kak Sa! Bukankah dia pria yang sama dengan pria yang pernah membawakan bunga untuk Kak Fizah?""He,em ... dialah orangnya," jawab Salsa mengangguk pelan, sembari membagikan nasi kotak pada orang-orang yang sedang duduk di ruang tunggu.Suster turut membantu dan bertugas membagikan makanan itu pada setiap kamar rawat pasien, pada dokter yang bertugas dan pada siapa saja yang ada di sana.Pak Jupri memang sengaja memesan ribuan nasi kotak sebagai rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melancarkan niat baiknya tersebut.Anggap saja sebagai sedekah karena amal satu ini tidak akan bikin miskin sama sekali. Justru setiap barang atau makanan yang disedekahkan akan diganti dengan berlipat ganda"Dia ngapain begitu segala?" tanya Ratih lagi."Patah hati kali," bisik Salsa singkat sambil tersenyum dan mengangguk pada orang-orang yang berterima kasih dan mendoakan kebahagiaan untuk pengan
"Tentang Masa laluku yang akan mempengaruhi masa depan kita," balas Raka membuang napas perlahan.Kafizah menatap wajah pria yang duduk tak jauh dari ranjangnya sambil menunduk, Raka terlihat meremas jemarinya salah tingkah. "Jika itu aib, lebih baik jangan pernah katakan padaku, sebaiknya tutup aibmu! Kalau bisa hanya dirimu dan Allah yang tau supaya hubungan kita tetap terjaga."Pria tampan berwajah tegas itu langsung mengangkat wajah menatap mata bulat Kafizah yang menampakkan aura bijak."Ta-tapi--""Itu rahasiamu, wajib kamu tutup rapat dan jangan beri tahu siapa pun termasuk aku. Andai kemudian aibmu terbuka maka itu ujian buat kita ... ya kita. Coba kamu gali dalil dan hadits tentang keharusan seseorang menutupi aib sendiri!"Raka langsung membuka ponsel dan mencari di laman pencarian tentang dalil dan hadits yang Kafizah maksud.Pria tampan itu membaca dengan seksama apa yang tertera di layar ponselnya.Ada dalil dan hadits sahih yang meminta seseorang menutupi aibnya, kemudia
"A-aku ...," ucap Kafizah dan Raka bersamaan dengan rasa gugup."Kamu duluan!" Lagi mereka berucap bersamaan sambil memalingkan wajah karena bersemu merah."Ladies first," ujar Raka mempersilakan gadis bermata teduh itu untuk berbicara duluan.Kafizah mengangguk pelan. "Apa kamu tidak mau berpikir-pikir lagi? Maksudnya, kalau kamu hanya terpaksa karena iba padaku, sebaiknya jangan diteruskan! Aku tidak perlu dikasihani."Raka menatap wajah teduh itu beberapa detik lalu menjawab. "Aku serius dengan ucapanku.""Tapi, aku tidak bisa apa-apa. Hanya akan menyusahkanmu saja," balas Kafizah sembari mengulas senyum tipis dan mengingatkan pada Raka bahwa ia pernah berkata demikian, "sekarang aku buntung, semakin memalukan nantinya."Raka memejamkan mata mengingat semua umpatan yang ia lontarkan pada gadis cantik yang bernasib malang tersebut."Percuma cantik tapi cacat, buat apa? Gak ada gunanya.""Dia tidak bisa apa-apa dan akan menyusahkan. Hidupnya akan selalu bergantung, itu merepotkan sek
Kafizah menatap Raka sangat dalam, seolah ingin menembus pikiran pria tersebut. Adakah dia hanya bercanda, atau hanya sedang bersandiwara untuk menyelamatkan dirinya dari hinaan tantenya.Akan tetapi, sekian menit gadis cantik itu menatap, tidak ada gelagat aneh dari Raka. Wajahnya malah menampakkan keseriusan dan ketegasan."Nak Raka! Maaf, pernikahan itu bukan untuk main-main, sebelum itu terjadi kita harus mengurus berkasnya di KUA dan membahas mahar meski kami tidak mungkin meminta berlebihan, tetapi mahar harus ada, Nak. Meski sedikit," sahut Pak Rahman menengahi, supaya Raka tidak mempermainkan pernikahan."Dasar, anak muda jaman sekarang, suka banget mengkhayal sesuatu yang tidak akan terjadi," ejek Bu Reni dengan menyunggingkan bibirnya seperti orang yang terkena penyakit stroke"Kalau yang Anda maksud adalah saya, maaf ... Anda salah sasaran. Saya tidak sedang mengkhayal," balas Raka."Saya juga minta maaf, Bapak Mertua, karena sudah lancang membuat keputusan ini. Tapi alangk