Share

8. Kejutan di Hari Pernikahan

"Kamu ..? kamu siapa berani-beraninya ikut campur urusanku dengan sepupuku," bentak Azura sambil menunjuk Raka yang berdiri tak jauh dari Kafizah.

 

"Saya temannya," jawab Raka asal, membuat Kafizah memutar bola mata malas.

 

Kafizah pun sadar kalau Raka memang tidak benar-benar ingin melamarnya. Jika Raka memang ada perasaan padanya, maka dia akan bilang dengan tegas pada Azura kalau dia adalah calon istrinya.

 

"Apa-apa sih, Kafizah, kamu hanya gadis cacat," bisik Kafizah dalam hati sambil geleng-geleng.

 

Raka tidak memiliki keberanian untuk mengatakan kalau Kafizah calon istrinya di depan sepupu Kafizah yang angkuh karena dia takut ditolak di tempat dan akan membuatnya malu tujuh turunan. 

 

Apalagi di depan banyak para pelanggan. Bisa-bisa jatuh tingkat kesombongannya kalau dia ditolak di depan umum oleh gadis cacat.

 

Sementara Salsa yang mendengar ucapan Raka juga ikut geleng-geleng kepala.

 

Bagaimana tidak, kemarin dia datang mengaku-ngaku sebagai calon suami bosnya dan sekarang dia mengaku teman Kafizah.

 

"Dasar pria aneh," gumam Salsa sambil geleng-geleng kepala.

 

Azura menatap Raka dari bawah sampai atas dengan tatapan mengejek karena melihat penampilan Raka yang hanya mengenakan kaos oblong berwarna hitam dan celana panjang yang menurutnya murahan.

 

Andaikan dia melihat merek baju yang dikenakan Raka, mungkin dia akan terkena serangan jantung.

 

"Meskipun kamu temannya, tetap saja gak berhak mencampuri urusan kami. Ngerti!"

 

"Kalau saya mau, kenapa?" tantang Raka, "kamu juga tidak berhak merongrong sepupu kamu sendiri, paham!"

 

"Sudah! Sudah! Azura ... aku akan siapkan pesanan bunga seperti yang kamu minta!" Kafizah berusaha melerai perdebatan antara sepupunya dengan Raka.

 

"Kalian berdua sama saja. Kayaknya kalian cocok, deh. Satu cacat satu kismin," ejek Azura menganggap Raka ada kalangan miskin hanya melihat dari tampilannya yang sederhana.

 

Raka menatap Azura dengan tatapan tajam, tetapi gadis itu mendelik dan berlalu dari tempat itu.

 

"Zah! Aku pergi. Jangan lupa siapkan pesanan yang aku minta!" titahnya dan Kafizah mengangguk mengiyakan.

 

"Mobil elit, bayar pesanan bunga sulit," teriak Raka saat Azura hendak masuk ke mobil.

 

Spontan Kafizah mendekat dan membekap mulut Raka dengan tangan kanannya, hingga netra keduanya saling beradu pandang beberapa detik.

 

Ada debaran aneh yang terjadi saat keduanya bersentuhan, seperti ada sengatan listrik yang membuat jantung keduanya bekerja lebih cepat dari biasanya.

 

"Kalian serasi, sih. Si cewek kakinya yang cacat sedangkan cowoknya mulutnya yang cacat," ucapan Azura yang entah sejak kapan ada di hadapannya membuat Kafizah spontan melepas tangannya dari bibir Raka.

 

"Apa kamu bilang." Raka hendak mendekat ke arah Azura, tetapi ditahan oleh Kafizah.

 

"Sudah! Jangan buat keributan di sini!" titah Kafizah sambil melirik pengunjung yang sedang dilayani Salsa. "Nanti pembeli pada kabur."

 

"Kamu yang tadi bilang apa, hah. Mobil itu milik calon suamiku dan bunga yang aku pesan itu milik sepupu sendiri, jadi wajar dong kalau dia kasih cuma-cuma." Azura berpangku tangan menatap Raka dengan sinis .

 

"Oh ... mobil calon suamimu, pantas mobilnya kayak gak asing buatku. Pasti calon suamimu kerjanya hanya sopir karena bebas membawa dan meminjamkan mobil bosnya sesuka hati," tembak Raka membuat Azura berwajah masam.

 

"Jangan asal ngomong kamu, ya. Suamiku itu pemilik perusahaan otomotif terbesar di kota ini. Dia kaya raya, tidak kayak situ yang kismin. Makanya aku bebas memakai mobil mana saja yang aku pengen," kata Azura dengan pongah membuat Raka mengangguk.

 

"Kalau boleh tau, nama calon suamimu siapa? Mana tau aku bertemu dengannya saat hendak membeli mobil nanti," balas Raka memancing.

 

"Kamu mau beli mobil, hahaha." Azura tertawa terbahak membuat Raka menautkan kedua alisnya.

 

"Jangan mimpi! Tapi gak apa-apa, aku kasi tau namanya. Supaya kamu bisa menyesal telah menghina calon istri seorang konglomerat," balas Azura dengan angkuh.

 

"Oh, ya," balas Raka menantang.

 

"Namanya Niko Raditya--pemilik Aksa Otomotif--konglomerat nomor tiga di kota ini," ucap Azura dengan bangganya.

 

Andaikan Raka sedang minum, mungkin dia akan tersendat air mendengar ucapan dari sepupu Kafizah.

 

Sekarang pria itu hanya bisa menahan tawa.

 

"Sepertinya aku mengenal baik calon suamimu itu," balas Raka lagi.

 

"Kamu jangan merasa sok kenal ya. Lihat saja penampilanmu! Mana mungkin Niko mengenal pria kismin sepertimu." Telunjuk Azura mengarah ke wajah Raka yang langsung menatap dirinya yang hanya memakai pakaian biasa, tidak berkelas seperti biasanya.

 

"Kalau kamu tidak percaya, pertemukan aku dengannya! Maka kamu akan percaya kalau aku mengenal Niko!"

 

"No ... no ... no!" Jari telunjuk Azura bergerak ke kanan dan ke kiri di depan wajah Raka. "Aku tahu akal-akalan orang sepertimu. Pasti minta ketemu karena ingin meminta bantuan ini dan itu, oh no."

 

Azura langsung naik ke mobilnya dan melambaikan tangan pada Raka dan Kafizah yang menatap dengan tatapan yang sulit dimengerti.

 

"Sialan sih, Niko, dia ngaku-ngaku sebagai pemilik Aksa otomotif lagi," gumamnya yang masih terdengar jelas di telinga Kafizah.

 

"Kamu ngomong sesuatu?" tanya Kafizah.

 

"Eh ... enggak," elaknya.

 

"Kalau gak ada keperluan di sini sebaiknya kamu pulang sana!" Kafizah mengusir Raka.

 

"Kamu mengusir saya lagi?" tanya pria itu menatap gadis yang belakangan ini mengusik hatinya. "Padahal saya sudah menolong kamu, loh."

 

"Menolong? Menolong apaan?"

 

"Ya ... menyelamatkan kamu dari hinaan sepupumu itu yang mulutnya lemes banget," ujar Raka merasa bangga.

 

"Gak salah? Bukannya selama ini kamu juga selalu menghina aku. Apa bedanya kamu sama sepupuku? Kayaknya sama aja ... sama-sama suka merendahkan orang lain."

 

Kafizah berbalik menuju kursi kasir, sedangkan Raka menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena membenarkan ucapan gadis yang ada di hadapannya.

 

Awalnya ia juga selalu menghina Kafizah karena kondisinya.

 

"Oh ya, terima kasih karena sudah menggantikan tongkat aku yang rusak," ucap Kafizah sekali lagi membuat Raka hanya bisa mengangguk pelan.

 

"Bagaimana dengan jawabanmu?" tanya Raka ingin memastikan

 

"Jawaban apa?" Kafizah balik bertanya dan pura-pura tidak mengerti ke mana arah pembicaraan pria tersebut.

 

"Jawaban untuk lamaranku waktu itu," katanya menjelaskan.

 

"Kamu pura-pura lupa ya? Baik aku ataupun kamu bukannya sudah sama-sama menolak," balas Kafizah mencoba cuek dan tetap fokus pada buku nota hasil penjualannya.

 

"Tapi aku menyesal dan sudah berubah pikiran."

 

"Secepat itu? Dalam waktu kurang dari seminggu dan kamu sudah berubah pikiran?" pertanyaan Kafizah membuat Raka terdiam dan tidak tahu harus bicara apa.

 

"Pernikahan itu sakral bukan untuk dipermainkan apalagi hanya sekedar terpaksa. Pernikahan itu kalau bisa ya ... sekali seumur hidup." Kafizah mengembuskan napas kasar.

 

"Kamu sudah benar menolak perjodohan kita, meski kata-katamu memang menyakitiku. Tapi aku bersyukur karena tidak berjodoh sama kamu."

 

"Kenapa?"

 

"Karena mulutmu lebih lemes dari emak-emak kompleks," ucapan Kafizah membuat wajah Raka merah padam karena malu.

 

Pria itu sadar selama ini terlalu pedas kalau bicara dengan Kafizah. Wajar jika gadis itu menolaknya juga.

 

"Kalau aku berubah, apa kamu akan memberiku kesempatan?" Pertanyaan Raka membuat Kafizah mengerjap lalu menatap netra Raka untuk mencari kejujuran dari ucapannya.

 

Kafizah memalingkan wajah kemudian karena tidak tahan menatap pria itu.

 

"Kenapa diam? Ayo jawab!"

 

"Tidak tahu." Kafizah mengedikkan bahu.

 

"Kok, tidak tahu?"

 

"Kita lihat saja nanti ke depannya kayak gimana, soalnya aku tidak bisa memberi kamu harapan palsu. Jalani saja hidupmu dan aku menjalani hidupku seperti biasanya!"

 

"Kalau kita berjodoh sebenci apa pun kamu terhadapku, maka suatu saat rasa itu akan berubah dengan sendirinya," ucap Kafizah lagi membuat Raka mengangguk dan hendak pergi.

 

Langkah pria itu kembali terhenti kala ia mengingat sesuatu.

 

"Aku mau bicara boleh!" ujarnya kembali membuat Kafizah mengangkat wajah.

 

"Kan tadi sudah bicara."

 

"Apakah kamu sudah memaafkanku?" 

 

"Hem ...," jawab Kafizah hanya dengan dehaman.

 

"Apa itu artinya pintu hatimu untukku terbuka lebar?" tanyanya membuat mata Kafizah membulat sempurna.

 

"Asal kamu tau ya, memaafkan dan melupakan itu beda arti. Mungkin aku memaafkanmu, tapi bukan berarti aku melupakan hinaanmu padaku." 

 

"Oh ... oke, aku paham ... maaf."

 

Hanya itu ucapan terakhir Raka dan setelahnya ia pun pergi hingga gadis cantik itu menatap nanar lalu mengembuskan napas perlahan.

 

Salsa hanya bisa melirik bosnya tanpa berani ikut campur urusan mereka. 

 

Saat memasuki mobilnya, Raka sempat menghubungi seseorang.

 

"Apa benar Niko Raditya--manajer pemasaran akan segera menikah?" tanyanya pada orang yang terhubung dengannya di sambungan telepon.

 

Raka tampak mengangguk berkali-kali sambil menyimak penjelasan orang tersebut.

 

"Aku ingin kamu  melakukan sesuatu untukku! Nanti aku akan jelaskan di kantor," ucapnya lagi lalu mematikan sambungan secara sepihak.

 

"Aku akan memberikan kamu kejutan di hari pernikahanmu, Niko dan Azura Tunggu saja!"

 

Bersambung...

 

Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Nina Herlina
lanjut,bagus
goodnovel comment avatar
Nur Nir
nama lanjutan nya
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status