Share

Bab 4

Penulis: Lilia
Melihat ekspresi Luis, suatu kenangan pun melintas di benakku.

Lima tahun yang lalu, malam itu turun hujan.

Luis baru mengambil alih perusahaan. Karena kemampuannya kurang memadai, dia diragukan oleh dewan direksi.

Dia duduk di kantor dengan kelelahan.

Ketika aku menemukannya, dia sedang menatap sebuah cincin berlian dengan linglung.

Itu adalah hadiah pertama yang kubelikan untuknya dengan tabunganku.

Aku bertanya dengan pelan, "Ada apa?"

Luis menatapku, tatapannya sangat lembut dan dibaluti dengan rasa bersalah. "Aku sedang memikirkan apakah aku pantas menerima hadiah semahal ini. Ziva, aku mungkin nggak bisa mengambil alih perusahaan ini."

Aku berdiri di belakangnya sambil memijat bahunya dengan lembut.

"Kesuksesan bukan sesuatu yang instan, kamu sudah bekerja keras."

"Ziva." Dia menoleh ke arahku, tatapannya sangat lesu. "Kalau suatu hari aku makin sukses atau mungkin menghadapi badai yang lebih besar dari sekarang, apa kamu akan tetap menemaniku?"

"Pasti." Tanpa ragu-ragu, aku langsung menjawab, "Ke mana pun kamu pergi, aku akan selalu menemanimu."

Saat itu, dia menggenggam erat tanganku, seolah-olah aku adalah berlian paling berharga yang dia miliki.

Namun sekarang, melihat berlian biru yang harganya berkali-kali lipat lebih mahal, Luis menyebutnya hadiah murahan.

"Ziva?" Melihatku melamun, Paula pun kesal. "Kenapa melamun? Cepat serahkan berlian biru itu!"

Aku segera tersadar, semua orang menatap berlian biru di tanganku.

"Serahkan? Kenapa?"

Kapten satpam melangkah maju sambil berkata dengan tegas, "Berlian biru sangat mahal. Meskipun ini bukan apa-apa bagi orang kaya di sini, orang sepertimu nggak akan sanggup membelinya. Dari mana kamu mencurinya?"

"Aku nggak mencuri." Aku mengerutkan kening. "Ini hadiah ulang tahun putraku."

"Hadiah?" Paula mendengus dingin. "Ziva, kalau kamu mau berbohong, setidaknya cari alasan yang meyakinkan. Dilihat dari penampilanmu yang miskin ini, kamu pasti menikah dengan orang miskin sepertimu dan anakmu pun pasti miskin. Siapa yang akan memberikan berlian biru berkualitas langka seperti ini untuk anakmu?"

Satpam itu segera menimpali, "Benar! Pasti curian! Mana mungkin orang miskin sepertimu bisa membeli berlian biru seperti ini?"

Ekspresi kapten satpam menjadi makin serius. "Mencuri barang berharga adalah kejahatan berat! Berdasarkan hukum, kamu akan dijatuhkan hukuman berat."

"Sudah kubilang ini bukan curian!" Aku hampir kehilangan kesabaranku.

"Kalau begitu, buktikan." Akhirnya, Luis berbicara. "Kalau nggak, sebagai wakil Konferensi Bisnis, aku berhak menyerahkanmu pada polisi."

Di tengah momen yang menegangkan ini, tiba-tiba terdengar bunyi "ting" dan pintu lift terbuka.

Seorang anak kecil berlari keluar sambil menangis.

"Ibu! Ibu! Di mana berlianku? Ayah bilang Ibu akan membantuku menemukannya!"

Dia adalah putraku yang berusia tiga tahun, Kris Devon.

Melihatnya datang, aku pun luluh.

"Kris!" Aku berlutut sambil membuka kedua tanganku. "Ibu sudah menemukannya! Di sini."

Orang-orang di sekitar tercengang.

Anak laki-laki ini baru berusia tiga tahun, tetapi dia mengenakan setelan jas yang dirancang oleh desainer genius, Voni. Selain itu, Voni adalah desainer yang terkenal di kalangan atas.

Awal tahun, setelan jas itu dilelang dengan harga puluhan miliar dan dibeli oleh seorang taipan misterius. Semua orang di sini mengenal setelan itu.

"Ini ... anak ini ...." Kapten satpam terbata-bata.

Paula tiba-tiba melangkah maju dan merebut Kris dari pelukanku.

"Dia pasti adalah pewaris dari keluarga kaya, mana mungkin dia adalah putranya Ziva?"

Kris meronta dan berteriak dalam pelukan Paula, "Ibu! Ibu! Aku mau ibuku!"

"Anak ini pasti diculik!" Paula mengumumkan dengan lantang, "Ziva bukan hanya mencuri, dia juga memperdagangkan anak-anak, khususnya pewaris dari keluarga kaya!"

Suasana di lobi menjadi ricuh.

"Menculik pewaris dari keluarga kaya?"

"Astaga, orang yang lahir dari keluarga miskin memang nggak bisa dipercaya. Bisa-bisanya menculik anak orang kaya untuk meningkatkan statusnya!"

"Pantas dia punya berlian biru, pasti dicuri dari anak ini!"

Kapten satpam segera memerintahkan anak buahnya, "Tangkap dia! Ini kejahatan berat!"

Beberapa satpam melangkah maju, mereka menahan lenganku ke belakang.

Aku mencoba untuk melepaskan diri, tetapi mereka terlalu kuat dan ramai.

"Lepaskan aku!" Aku berteriak dengan marah, "Kris itu putraku!"

"Putramu?" Paula mendengus dingin sambil menatap Kris yang berada di dalam pelukannya. "Keluarga mana yang akan menerima wanita dari keluarga miskin sepertimu? Apalagi mengizinkanmu melahirkan pewaris untuk keluarga mereka? Ziva, kebohonganmu makin konyol."

Kris menangis tersedu-sedu dalam pelukannya. "Ibu! Aku mau ibuku! Kamu wanita jahat! Dasar wanita jahat!"

Melihat anakku begitu menderita, hatiku seolah-olah disayat dengan pisau.

Aku berusaha kuat untuk melawan, tetapi para satpam malah memperkuat genggaman mereka.

"Ziva." Luis menghampiriku, lalu menatapku dengan kecewa. "Aku tahu kamu serakah, tapi aku nggak menyangka kamu akan bertindak sejauh ini."

"Mencuri, menculik, berbohong ... apa lagi yang nggak berani kamu lakukan?"

"Dulu, aku nggak memilihmu adalah pilihan yang tepat. Kamu nggak pantas menjadi nyonya Keluarga Loren."

Dia berkata pada kapten satpam, "Bawa dia pergi dan serahkan pada polisi. Sedangkan anak ini, hubungi semua anggota konferensi ternama, tanyakan siapa yang kehilangan anak mereka."

"Nggak!" Aku menggelengkan kepala berulang kali. "Kris adalah putraku! Kalian nggak boleh bawa dia pergi."

Tepat pada saat ini, pintu lift terbuka.

Seorang pria keluar dengan memancarkan aura yang mencekam.

Tingginya 1,88 meter, dia mengenakan setelan hitam dengan potongan sempurna. Setiap gerak-geriknya memancarkan wibawa yang tidak terkalahkan.

Setiap presdir yang hadir, termasuk Luis, semuanya menundukkan kepala untuk memberi hormat.

Lobi yang sebelumnya berisik pun menjadi sunyi, aku mendengar seseorang berkata dengan pelan, "Konglomerat sudah datang, kita harus tampil baik biar bisa mendapatkan investasinya ...."

Sepasang mata gelap pria itu menyapu sekeliling, pada akhirnya berhenti padaku.

Saat kami bertatapan, air mata pun menggenang di mataku.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dihina Miskin, Aku Istri Konglomerat   Bab 9

    Aku berkata sambil menggelengkan kepala, "Aku nggak butuh cincin berlianmu.""Kenapa? Berlian ini berkali-kali lipat lebih bagus dari berlian yang kamu berikan padaku dulu, bahkan lebih mahal dan langka dari berlian biru yang kamu pegang hari itu!""Luis, kamu masih ingat malam hujan itu? Kamu bilang cincin berlian kecil yang kuberikan padamu menjadi kekuatanmu untuk terus melangkah." Aku menatapnya dengan iba. "Tapi, setelah lima tahun nggak bertemu, kamu malah menyebutnya hadiah murahan. Kalian seperti dua orang yang berbeda, sebenarnya mana dirimu yang asli? Intinya, kamu sudah banyak berubah.""Aku nggak berubah." Dia menggelengkan kepala dengan putus asa. "Ziva, cintaku padamu nggak pernah berubah!""Cinta?" Aku terkekeh. "Memberikan Paula kapal pesiar dan melamarnya, itu yang dinamakan cinta?""Jelas-jelas, kamu tahu dia licik dan mungkin akan menyakitiku, tapi kamu malah mengabaikan hal ini demi kepentinganmu sendiri dan membiarkannya menghancurkan hidupku, itu yang dinamakan ci

  • Dihina Miskin, Aku Istri Konglomerat   Bab 8

    Sesampai di kamar suite lantai teratas, Randi perlahan-lahan meletakkan Kris yang sudah tertidur di atas kasur, lalu berbalik dan menarikku ke dalam pelukannya.Dia mengelus rambutku sambil bertanya, "Tadi kamu takut?"Aku menggelengkan kepala sambil bersandar di dadanya."Ada kamu di sini, aku nggak takut.""Tapi ...." Nada bicaranya berubah serius. "Paula Santoso ... aku pernah mendengar nama ini."Aku kebingungan. "Kamu pernah bertemu dengannya?""Sayang, bolehkah kamu menceritakan tentang insiden itu?"Sekujur tubuhku bergetar hebat."Aku ...." Suaraku gemetaran. "Aku nggak ingin mengingat kejadian itu.""Aku tahu ini berat bagimu." Randi mengecup dahiku. "Tapi, kalau kita nggak mengatasi mereka, mereka akan mencoba untuk menyakitimu lagi. Aku nggak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi."Di dalam pelukannya yang hangat, aku perlahan-lahan rileks dan mulai mengingat kejadian itu."Hari itu, setelah aku meninggalkan Luis, aku sedang berjalan pulang, tiba-tiba ada beberapa orang

  • Dihina Miskin, Aku Istri Konglomerat   Bab 7

    Paula membelalakkan sepasang mata belonya."Apa kamu bilang? Luis, kamu gila? Aku istrimu! Bagaimana boleh kamu mengkhianatiku?"Luis terkekeh, tetapi suaranya dibaluti dengan suatu emosi."Istri? Paula, kita belum mendaftarkan pernikahan mau pun mengadakan resepsi, bagaimana bisa kamu bilang aku mengkhianatimu?""Luis ...." Suara Paula gemetaran.Luis menyelanya, "Selama ini, kamu tahu aku nggak pernah mencintaimu.""Sedangkan aku terus membohongi diri sendiri, aku mengira waktu akan membuatku melupakan Ziva."Dia menatapku dengan penuh penyesalan."Hingga hari ini, melihatmu bersama orang yang kamu cintai, aku baru mengetahui aku sudah kehilanganmu.""Ziva, aku kehilangan cinta sejati dalam hidupku."Saking marahnya, wajah Paula berkerut hebat."Kamu mengkhianatiku demi dia? Luis, jangan lupa. Tanpa dukungan dari Keluarga Santoso, perusahaanmu nggak akan berkembang!""Beraninya kamu mengkhianatiku, kamu akan menyesal!"Luis menatap Paula, sisa kehangatan di matanya pun hilang."Kamu

  • Dihina Miskin, Aku Istri Konglomerat   Bab 6

    Randi meletakkan Kris yang sudah tertidur di pelukanku, lalu menghadap ke arah lobi.Detik berikutnya, sisi lembutnya menghilang dan digantikan dengan wibawa seorang penguasa bisnis."Sekarang ...." Suaranya tidak kuat, tetapi setiap kata yang diucapkan sangat lantang. "Jelaskan padaku, kenapa istriku diperlakukan seperti pencuri?"Manajer umum hotel keluar dari kerumunan dengan gemetaran, keringat dingin mengalir di keningnya."Pak Randi, ini ... ini salah paham. Kami nggak bermaksud menyinggung Nyonya ....""Salah paham?" Randi mendengus dingin. "Aku melihat kalian bertindak kasar pada istriku.""Ada yang menuduhnya mencuri dan menculik, itu juga salah paham?"Sikap para tamu segera berubah, mereka menyalahkan karyawan hotel."Keterlaluan! Bisa-bisanya kalian nggak sopan sama Nyonya!""Manajemen hotel ini bermasalah!""Pak Randi, kami bisa bersaksi. Para satpam ini yang memfitnah istri Anda!"Mereka yang sebelumnya menertawakanku, kini sikap mereka berubah drastis, mereka takut menyi

  • Dihina Miskin, Aku Istri Konglomerat   Bab 5

    Ketika perhatian semua orang tertuju pada pria itu, Kris memanfaatkan kesempatan ini untuk melepaskan diri dari pelukan Paula. Dia berlari menghampiri pria yang baru muncul itu."Ayah! Ayah!"Kris menerjang ke pelukan pria itu sambil memeluk erat lehernya.Pria itu menggendong Kris dengan satu tangan, lalu mengusap punggungnya dengan lembut sambil berkata, "Nggak apa-apa, ada Ayah di sini."Kemudian, pria itu menatapku dengan tidak tega dan rasa bersalah."Sayang, aku datang terlambat."Akhirnya, aku berhasil melepaskan diri dari beberapa satpam yang menahanku.Para satpam mundur dengan ketakutan sambil menatapku dengan tidak percaya.Aku berdiri dan melangkah ke arah suamiku."Randi."Dia menarikku ke pelukannya, sama sekali tidak peduli dengan penampilanku yang lusuh.Di dalam pelukannya yang hangat dan aman, aku pun merasa lebih tenang."Sayang." Dia mengecup daun telingaku dengan lembut, lalu mengangkat kepalanya untuk melihat sekeliling.Situasi di lobi sangat hening, seolah-olah

  • Dihina Miskin, Aku Istri Konglomerat   Bab 4

    Melihat ekspresi Luis, suatu kenangan pun melintas di benakku.Lima tahun yang lalu, malam itu turun hujan.Luis baru mengambil alih perusahaan. Karena kemampuannya kurang memadai, dia diragukan oleh dewan direksi.Dia duduk di kantor dengan kelelahan.Ketika aku menemukannya, dia sedang menatap sebuah cincin berlian dengan linglung.Itu adalah hadiah pertama yang kubelikan untuknya dengan tabunganku.Aku bertanya dengan pelan, "Ada apa?"Luis menatapku, tatapannya sangat lembut dan dibaluti dengan rasa bersalah. "Aku sedang memikirkan apakah aku pantas menerima hadiah semahal ini. Ziva, aku mungkin nggak bisa mengambil alih perusahaan ini."Aku berdiri di belakangnya sambil memijat bahunya dengan lembut."Kesuksesan bukan sesuatu yang instan, kamu sudah bekerja keras.""Ziva." Dia menoleh ke arahku, tatapannya sangat lesu. "Kalau suatu hari aku makin sukses atau mungkin menghadapi badai yang lebih besar dari sekarang, apa kamu akan tetap menemaniku?""Pasti." Tanpa ragu-ragu, aku lang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status