Share

Bab 2

Author: empat2887
last update Last Updated: 2023-06-03 14:13:54

"Blagu banget kamu, Mira! Tapi lumayan juga sih, sering-sering saja kaya begini," ucap Bu Mega tidak tahu malu.

"Iya, Mira, sering-sering aja traktir kami," timpal Bu Mala.

"Bisa saja sih, Ibu-ibu, tapi apa untungnya buat aku?" tanyaku lalu pergi.

Aku pun tidak lagi merespon ucapan mereka, yang berisik setelah aku berkata seperti itu. Aku langsung pergi menuju rumah Ibu, yang hanya terhalang sepuluh rumah, dari rumah Mbak Nina tersebut.

*****

"Mira, kapan kamu pulang? Mana nih oleh-oleh Jakartaannya?" tanya Susi teman sekolahku, saat bertemu di jalan sewaktu aku pulang dari warung Mbak Nina.

"Aku nggak bawa oleh-oleh banyak, Sus. Soalnya aku datangnya saja naik angkutan umum, kalau kamu mau datang saja ke rumahku ya!" Aku menjawab pertanyaan Susi.

"Ya ampun, Mira, ternyata kamu ini masih kere saja ya! Pulang masih naik angkutan umum, percuma dong tinggal di kota, kalau kehidupan kamu lebih susah dari orang kampung." Susi mencela ucapanku.

Susi yang merupakan temanku sewaktu kecil juga menghinaku karena aku pulang naik angkutan umum.

"Susi, jaga ucapan kamu! Kok kamu bilang seperti itu sih sama, Mira," ucap seorang pria yang berasal dari arah belakangku.

Susi langsung terdiam, saat ada orang yang menegurnya. Aku pun menoleh ke arah datangnya suara dan ternyata itu adalah Mas Hamdan suaminya Susi. Pantas Susi pun langsung terdiam, saat orang tersebut menegurnya.

Mas Hamdan juga merupakan temanku sewaktu aku kecil, cuma umurnya tiga tahun berada di atasku. Ia merupakan Kakak kelasku, ia juga yang selalu membantuku sewaktu aku mendapat kesulitan di sekolah maupun dimanapun aku berada.

Kami bertiga sahabatan sewaktu kecil dulu, tapi karena ada sedikit permasalahan yang aku juga tidak tahu karena apa? sehingga kami menjadi jauh, tidak seintens dulu.

"Mas Hamdan!" lirihku.

"Mira, apa kabar kamu? Kapan kamu datang?" tanya Mas Hamdan dengan begitu lembut seperti biasanya.

"Kabar aku baik, Mas. Aku datang kemarin sore," sahutku.

Raut wajah Susi langsung merengut, saat mendengar suaminya bertanya kabar kepadaku. Entah kenapa dia seperti itu? Apa mungkin dia cemburu? Padahal Susi juga tahu, kalau aku dan Mas Hamdan sudah dekat sedari kecil.

Apalagi rumahku dengan rumah orang tua Mas Hamdan bertetangga. Bahkan hubungan Mas Hamdan dan Susi bisa menjadi suami istri, itu juga ada campur tanganku. Aku yang mendekatkan mereka berdua. Tetapi ternyata Susi malah bagaikan kacang lupa akan kulitnya padaku.

"Oh, syukurlah. Oh iya, Mir, suami kamu ikut pulang kampung juga kan?" tanyanya lagi.

"Mas Arsya nggak ikut pulang, Mas. Mira pulang kampung hanya bertiga dengan anak-anak, sebab Mas Arsya sedang ada kerjaan ke luar kota." Aku menerangkan sedetail mungkin tentang keadaan aku dan suamiku.

"Mas, kamu apa-apaan sih, kok nanyanya sampai sejauh itu? Apa kamu masih suka ya sama Mira?" tanya Susi dengan nada yang emosi.

Degh!

Aku merasa kaget, saat mendengar pertanyaan terakhir yang diucapkan Susi. Aku bertanya dalam hati, apa maksud dari ucapan Susi itu? Apa benar Mas Hamdan pernah menyukaiku? Kapan, kok aku tidak tau kalau Mas Hamdan suka padaku? Karena Mas Hamdan tidak pernah mengutarakan apapun tentang isi hatinya padaku, makanya aku merasa kaget saat mendengar perkataan Susi barusan.

"Susi, kamu itu ngomong apaan sih?" tanya Mas Hamdan kepada istrinya.

"Alah, jangan pura-pura tidak tau maksudku kamu, Mas! Kamu masih suka 'kan sama si Mira, makanya kamu kepo ini dan itu?" tanya Susi lagi.

Ia berkata, sambil menunjuk-nunjuk kepadaku, serta dengan matanya yang melotot tajam ke arah suaminya itu. Aku pun merasa tidak enak hati, melihat pasangan suami istri ini bertengkar karena cemburu terhadapku.

"Mas Hamdan, Susi, maaf aku mau permisi pulang! Silahkan kalian bereskan urusannya di rumah kalian saja! Jangan di tengah jalan begini, malu lho dilihat orang." Aku pamit kepada Mas Hamdan dan juga Susi.

"Semua ini juga terjadi karena kamu, Mira. Karena kedatangan kamu ke kampung ini, suamiku jadi berkata kasar kepadaku." Susi berkata sambil menyalahkanku.

"Susi, kamu nggak usah menyalahkan orang lain dalam masalah ini. Aku seperti ini juga karena sifat kamu, yang nggak sopan terhadap Mira tadi. Makanya, kalau kamu tidak mau aku salahkan. Kamu jangan pernah berbuat atau berkata kasar terhadap orang lain. Apalagi Mira ini kan teman kamu dari kecil, masa iya sih kamu malah memusuhinya?" Mas Hamdan menasehati istrinya.

Ia memberitahu letak kesalahan istrinya itu, serta meminta untuk tidak mengulanginya lagi. Aku tambah tidak merasa nyaman berada di tengah-tengah pasangan suami istri yang sedang bertengkar ini. Aku merasa kalau aku adalah penyebab mereka bertengkar, seperti apa yang diucapkan suamiku barusan.

"Mas, Susi, sekali lagi aku minta maaf ya! Aku mau permisi pulang, aku takut anakku pada nyariin." Aku berkata sambil berlalu pergi, meninggalkan kedua insan ini.

Namun baru juga dua langkah aku berjalan, Susi berkata dengan sangat kasar kepadaku, hingga membuat emosiku ikut terpancing juga pada akhirnya.

"Heh, Mira, perempuan j*l*ng! Mau kemana kamu? Enak betul ya kamu, meninggalkan masalah tanpa mau menyelesaikannya. Sini kamu jangan pergi!" teriak Susi, sambil menjabak kerudungku, hingga membuat aku pun kembali berbalik arah.

"Susi, maksud kamu apa bicara seperti itu?" tanyaku, dengan nada bicara yang penuh emosi juga.

Aku merasa tersinggung, dengan apa yang diucapkan Susi. Bisa-bisanya Susi bicara seperti itu kepadaku, apa menurutnya aku tidak akan tersinggung dengan semua ini? Atau mungkin dia memang sengaja mengajakku untuk ribut.

"Mira, jangan kamu ladeni istriku! Silahkan kamu pulang saja, nanti anakmu mencarimu!" Mas Hamdan memerintahkan aku, supaya aku tidak meladeni ucapan istrinya.

"Iya, Mas, tapi aku berharap supaya mulut istrimu dijaga. Tapi kalau masih tetap tidak bisa, akan aku sumpali mulutnya pakai sambel. Seenaknya saja mengatai aku perempuan jalang," protesku.

"Iya, Mira, akan aku usahakan. Permisi ya aku duluan pulang!" Mas Hamdan pamit, sambil menarik paksa tangan istrinya.

Susi pun berontak, ia tidak mau diajak pulang oleh Mas Hamdan Suaminya.

"Mira, awas ya kamu," teriak Susi, disela-sela pemberontakannya tehadap Mas Hamdan.

Bersambung ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dihina Miskin Saat Pulang Kampung   Bab 55

    "Alhamdulillah, Bu. Aku tidak pernah memberikan foto apapun, walaupun ia pernah memintanya. Beruntung Allah masih melindungiku," sahut Bi Minah."Alhamdulillah kalau begitu," ucapku.Aku terus memberikan arahan kepada Bi Minah, supaya tidak terulang lagi. Aku memberitahu bagaimana trik penipu tersebut, serta memberi sedikit ilmu, bagaimana caranya melihat itu akun asli ataupun bukan. Bi Minah sampai manggut-manggut, saat mendengarkan celotehanku."Bu, jadi Ibu mau ngerjain orang ini?" tanya Bi Minah."Insya Allah Bi, nanti bersama Mas Arsya," sahutku."Iya, Bu, bikin dia kapok ya, Bu," ujar Bi Minah.Ia memintaku, supaya membuat kapok si penipu. Mungkin karena Bi Minah merasa kesal dan juga sakit hati, telah ditipu oleh pria yang dikiranya akan menjadi teman hidupnya tersebut."Iya, Bi, doain supaya berhasil ya, Bi. Nanti kalau berhasil kan lumayan, uang Bibi bisa kembali. Daripada uangnya dipakai buat makan si penipu, mending diberikan kepada orang tua dan adik-adik Bibi," ungkapku.

  • Dihina Miskin Saat Pulang Kampung   Bab 54

    "Mas, kamu setuju nggak kalau aku mau ngerjain penipu itu?" tanyaku meminta izin pada Mas Arsya, sambil berharap agar Mas Arsya mengizinkan aksiku."Maksud kamu, kamu mau ngerjain penipu yang menipu Bi Minah, Dek?" Mas Arsya bertanya balik kepadaku, menanyakan maksudku tersebut."Iya, Mas, kamu setuju nggak? Pokoknya harus sampai uang Bi Minah bisa kembali.Soalnya aku gemes banget, saat mendengar cerita Bi Minah tadi. Aku juga sering sekali melihat, kalau di facebook banyak sekali korban penipuan seperti Bi Minah. Makanya aku berinisiatif untuk mengerjai orang tersebut. Kira-kita kamu mau izinin aku nggak, Mas?" Aku bertanya lagi, sembari menegaskan apa yang menjadi rencanaku. Aku ingin segera tau, Mas Arsya mau mengizinkan aku atau tidak tentang apa yang akan dilakukan oleh aku nanti. Karena prinsipku, aku tidak akan mengerjakan sesuatu apapun tanpa seizin suamiku. Apalagi ini masalah yang bersangkutan dengan uang dan juga laki-laki."Kira-kira kalau kamu mengerjai mereka, kamu ak

  • Dihina Miskin Saat Pulang Kampung   Bab 53

    "Aku baru ngebangunin Bi Minah, Mas. Dia kesiangan, gara-gara main handphone," jawabku."Lho kok bisa, Bi Minah kesiangan karena main handphone?" Mas Arsya bertanya lagi kepadaku, tentang alasan Bi Minah kesiangan.Aku pun menjelaskan kepadanya, kenapa Bi Minah sampai kesiangan. Setelah itu Mas Arsya baru faham, setelah aku menjelaskannya."Bilangin sama Bi Minah, hati-hati berkenalan di media sosial. Karena tidak semua yang memakai media sosial itu profil asli," saran Mas Arsya."Iya, Mas, nanti aku bilangin," sahutkuSetelah itu kami pun makan bersama, selesai makan mereka bersiap untuk berangkat. Kedua anakku pun berangkat diantar Ayahnya, sebab Mas Arsya berangkat pagi. Biar nanti aku tinggal menjemput saja.Selesai mengantar anak serta suamiku, aku kembali masuk ke dalam. Aku langsung ke dapur untuk menyampaikan saran dari suamiku. Sampai ke dapur, aku melihat Bi Minah sedang mencuci bekas makan dan masak tadi. Kemudian aku menghampirinya dan bertanya sedikit, tentang perkenalan

  • Dihina Miskin Saat Pulang Kampung   Bab 52

    "Lupa apa lagi, Dek?" tanya Mas Arsya."Tunggu sebentar, aku akan segera kembali," kataku lagi, sambil membuka pintu mobil.Setelah itu aku pun segera turun dan kembali ke tempat Mbak Nina berada."Mira, kok kamu balik lagi?" tanya Mbak Nina."Iya, Mbak, aku ada yang kelupaan," sahutku.Aku pun segera membuka tas salempang dan merogohnya, kemudian aku segera memberikan dua amplop, yang telah aku siapkan tersebut untuk Uak dan juga Kakak sepupuku. "Ini Uak, Mbak, lumayan untuk tambah-tambah beli temen nasi. Maaf tadi lupa, saking senangnya melihat Mbak Nina sudah ada perubahan," ungkapku, sambil memberikan amplop ke tangan masing-masing."Ya ampun, Mira, aku kira kamu kembali karena ada apa? Ternyata kamu mau berbagi rezeki terhadap kami. Terima kasih ya, Mira, semoga keluargamu ditambahkan lagi rezekinya yang lebih berlimpah lagi." Mbak Nina mendoakanku."Sama-sama, Mbak. Semoga kita semua digampangkan dalam perihal mencari tezeki," sahutku lagi.Setelah itu aku kembali berpamitan ke

  • Dihina Miskin Saat Pulang Kampung   Bab 51

    "Mi-Mira, kamu datang menemuiku? Pasti kamu datang karena mau menertawakan aku ya, sebab sekarang hidup aku sudah hancur begini." Mbak Nina menudingku, kalau aku datang karena mau meledaknya, tetapi ia tetap tidak mau menoleh ke arahku."Mbak, kok kamu ngomongnya seperti itu sih? Aku sama sekali nggak punya pikiran seperti itu, Mbak. Justru aku merasa prihatin melihat dan mendengar Mbak seperti ini," kataku lagi.Setelah mendengar perkataanku barusan, Mbak Nina langsung menoleh kearahku. Kemudian ia menghambur kepelukanku sambil menangis. Aku pun membalas pelukannya, sambil mengusap rambutnya yang berantakan."Mira, maafin aku ya. Mungkin semua ini terjadi karena dulu aku selalu menyakitimu. Ini mungkin karma buatku, Mira. Maafkan aku," ucapnya sambil tersedu."Iya, Mbak, aku sudah memaafkan semuanya kok. Mbak jangan selalu menyalahkan diri sendiri, Mbak juga jangan menyiksa diri sendiri seperti ini. Mbak harus bangkit, tunjukkan sama mantan suami Mbak, kalau Mbak itu wanita yang kuat

  • Dihina Miskin Saat Pulang Kampung   Bab 50

    "Ya ampun, kamu lupa padaku, Mira? Padahal dulu kita sebangku lho, waktu kita sekolah menengah dan berada di kelas lima belas." Ia menerangkan, kalau kami pernah sebangku di kelas lima belas.Calon pengantinnya Mas Hamdan memberitahuku, kalau ternyata dia adalah teman sebangku aku sewaktu di kelas lima belas. Apa benar dia ini Lia, kok wajahnya beda banget ya? Apa karena dia memakai make up, sehingga aku tidak dapat mengenalinya? Tapi kalau bukan Lia, lalu siapa lagi? Karena waktu itu aku hanya sebangku dengan dia."Apa benar kamu itu Lia?" tanyaku."Iya, Mira aku ini Lia. Apa kamu tidak lagi mengenaliku?" tanya wanita itu yang ternyata adalah Lia. "Bukan begitu, Lia. Kamu sekarang beda banget tau, makanya aku tidak mengenali kamu. Maaf ya, bukan maksud aku sombong atau bagaimana? Cuma kamu sekarang perfect banget tau," kataku.Aku langsung memeluknya, saat aku tahu kalau itu adakah Lia. Ternyata Lia tidak melupakan aku, atau mungkin juga wajahku yang tidak banyak perubahan. Tetapi L

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status