Share

Bab 3

Penulis: empat2887
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-03 14:14:21

"Susi, sudah diam kamu! Jangan terus membuat masalah," ucap Mas Hamdan yang masih sempat aku dengar.

Aku pun geleng-geleng kepala, saat melihat tingkah laku teman masa kecilku, yang kini sudah banyak berubah. Setelah itu aku pun kembali berjalan meninggalkan tempat pertemuanku dengan Susi dan Mas Hamdan menuju rumah ibuku.

Sesampainya di sana, ternyata Bapak sudah menungguku di kursi yang ada di teras. Aku pun segera memberikan kopi tersebut kepada Bapak, yang memang sedang menungguku.

"Pak, maaf ya lama, tadi Mbak Nina ngajak ngobrol dulu,"

"Iya, Nak, tidak apa-apa. Ya sudah Bapak pamit dulu ya, assalamualaikum,"

"Waalaalaikumsalam," sahutku.

Bapak pun pergi meninggalkanku dan pekarangan rumah untuk pergi ke sawahnya yang lumayan jauh. Bapak berangkat menggunakan motor bututnya, tetapi mesinnya masih bagus sebab Bapak rawat. Motor tersebut katanya dibeli ketika Bapak masih berpacaran dengan Ibu.

Setelah Bapak tidak lagi terlihat, aku pun segera masuk ke dalam rumah, sambil membawa belanjaan yang tadi aku beli dari Mbak Nina.

*****

"Heh Ibu-ibu hati-hati lho kalian, sebab sekarang perempuan penggoda sudah datang. Kita harus menjaga suami-suami kita, supaya tidak tergoda olehnya. Aku saja kemarin sampai berantem dengan suamiku gara-gara dia," teriak Susi saat aku melintas di depan rumahnya.

Kebetulan hari ini aku mau mengantar makanan untuk Ibu dan Bapak, yang sedang  berada di sawah memanen padi. Anak-anakku juga sudah ikut Nenek sama kakeknya ke sawah.

Sawah Ibu yang sedang panen saat ini melewati depan rumah Susi, sehingga mau tidak mau aku harus melihat dia, yang sedang berkumpul dengan Ibu-ibu kepo lainnya. Selain para Ibu-ibu kepo, di sana juga ada teman-temanku yang lain semasa aku kecil.

Entah sedang merundingkan apa mereka itu, atau mungkin juga itu memang kebiasaan mereka selalu berkumpul seperti itu. Aku tidak tahu kebiasaan mereka semua karena aku baru pulang kampung dan sudah lama tidak mudik.

"Susi, maksud kamu perempuan penggoda itu siapa? Apa dia itu si Mira?" tanya Tuti, yang merupakan temanku semasa kecil.

"Ya iyalah, Tuti, siapa lagi?" sahut Susi.

Aku pun terperanjat, saat mendengar namaku di sebut, serta dikabarkan sebagai perempuan penggoda. Aku tersinggung mendengarnya, lalu aku pun menghampiri mereka.

"Apa maksud ucapan  kamu itu, Susi? Kapan aku menggoda suamimu?" tanyaku dengan dada yang sudah bergemuruh.

"Jangan pura-pura tidak tahu, Mira. Bukankah kemarin aku dimarahin Mas Hamdan gara-gara dia membelamu?" Susi malah balik  bertanya kepadaku.

"Kamu jangan asal tuduh ya, Susi. Karena semua yang terjadi kemarin itu, murni karena kesalahan kamu. Makanya suamimu memarahi kamu, bukan karena aku menggoda suami kamu." Aku pun menjelaskan  apa yang terjadi kemarin, supaya Ibu-ibu yang lain tidak salah paham kepadaku.

Aku tidak mau niatku untuk pulang kampungku saat ini, malah namaku menjadi hina dimata masyarakat. Aku pulang kampung karena ingin menengok keluargaku, sekaligus menghilangkan penat yang ada di kepalaku karena terlalu sibuk mencari rupiah. Bukan untuk mencari masalah, apalagi sebagai pengganggu rumah tangga orang.

"Kamu jangan mengelak lagi, Mira. Sudah jelas semuanya itu gara-gara kamu," ujar Susi tetap bersikukuh dengan pendiriannya.

"Mungkin si Mira mendekati Mas Hamdan karena hidup Mas Hamdan sudah tajir sekarang. Ia ingin numpang hidup enak sama kamu, Susi. Sebab hidup si Mira bersama suaminya begitu-begitu saja, hidupnya tidak ada perubahan." Tuti menyangkut pautkan semuanya dengan kehidupanku, yang menurut mereka aku dan Mas Arsya hidup susah.

"Terserah kalian mau membicarakan aku apa, tapi aku akan membuktikan kepada kalian, kalau ucapan kalian semuanya itu salah. Kalau apa yang kalian tuduhkan tidak terbukti, maka aku akan meminta pertanggung jawaban kalian semua lebih dari apa yang telah kalian lakukan terhadapku." Aku berkata sambil berlalu pergi.

Aku tidak mau lagi meladeni ucapan mereka. Karena aku ingat, kalau aku mau mengantar makanan untuk kedua orang tua serta anakku di sawah. Aku takut, kalau aku tetap meladeni mereka, keluargaku malah akan kelaparan di sana.

"Hu ... dasar perempuan penggoda, bilang saja kalau kamu itu takut, tetapi kamu tidak mau mengakuinya. Kamu nggak usah bilang tidak, Mira, jika memang kamu sudah menggoda Mas Hamdan." Tuti mengataiku, tetapi aku tidak mau meladeninya lagi.

"Iya, Tuti kamu benar, si Mira itu memang biang kerok di kampung kita sekarang. Kita harus waspada, jangan sampai suami kita diperalat oleh dia. Enak saja mau numpang hidup," teriak Susi.

Aku yakin suaranya sengaja dikeraskan, supaya aku bisa mendengar perkataannya. Aku meredam hatiku yang panas, supaya tidak berontak. Aku tetap berjalan untuk menuju sawah orang tuaku, sebab keluargaku di sana sedang menanti kedatanganku.

Sesampainya di sawah, aku melihat Ibu dan Bapak sedang bekerja. Sedangkan  anak-anakku sedang duduk di saung yang ada disana. Aku pun segera menghampiri anak-anakku, kemudian menyuruh mereka mengajak nenek serta kakeknya makan.

"Bu, kenapa ya, kok setiap aku pulang kampung, semua orang sepertinya tidak ada yang menyukaiku? Bahkan Uak Risma serta Kak Nina tidak pernah berhenti membenciku. Apa karena aku menikah dengan orang kota, sehingga mereka bersikap demikian? Memangnya apa yang salah, jika aku menikah dengan orang kota?" tanyaku kepada Ibu, saat kami sudah selesai makan.

"Tidak ada yang salah, jika kamu mau menikah dengan orang kota, atau dengan orang kampung. Tetapi yang salah itu cara berpikir orang-orang, yang sedari dulu membuli kamu, termasuk Uak dan Kakak sepupumu." Ibu menjawab pertanyaanku.

"Tapi biar begitu, kamu jangan pernah merasa dendam terhadap mereka, biarpun mereka telah begitu menyakitimu. Mereka semua itu sebenarnya iri kepadamu, sebab mereka tidak bisa sepertimu. Kamu itu lebih segalanya dari mereka, makanya dulu banyak pria yang datang untuk melamarmu." Ibu menjelaskan duduk persoalannya, kenapa mereka sejahat itu kepadaku.

Ternyata karena mereka merasa iri terhadapku, sehingga sampai saat ini mereka terus-menerus membuliku.

"Memangnya selain Mbak dan Uakmu, ada lagi orang-orang yang mengganggu kamu lagi, Nak?" tanya Ibu kemudian.

Bersambung ...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Susi lowati
ya, sederhana itu bukan berarti tidak mampu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dihina Miskin Saat Pulang Kampung   Bab 55

    "Alhamdulillah, Bu. Aku tidak pernah memberikan foto apapun, walaupun ia pernah memintanya. Beruntung Allah masih melindungiku," sahut Bi Minah."Alhamdulillah kalau begitu," ucapku.Aku terus memberikan arahan kepada Bi Minah, supaya tidak terulang lagi. Aku memberitahu bagaimana trik penipu tersebut, serta memberi sedikit ilmu, bagaimana caranya melihat itu akun asli ataupun bukan. Bi Minah sampai manggut-manggut, saat mendengarkan celotehanku."Bu, jadi Ibu mau ngerjain orang ini?" tanya Bi Minah."Insya Allah Bi, nanti bersama Mas Arsya," sahutku."Iya, Bu, bikin dia kapok ya, Bu," ujar Bi Minah.Ia memintaku, supaya membuat kapok si penipu. Mungkin karena Bi Minah merasa kesal dan juga sakit hati, telah ditipu oleh pria yang dikiranya akan menjadi teman hidupnya tersebut."Iya, Bi, doain supaya berhasil ya, Bi. Nanti kalau berhasil kan lumayan, uang Bibi bisa kembali. Daripada uangnya dipakai buat makan si penipu, mending diberikan kepada orang tua dan adik-adik Bibi," ungkapku.

  • Dihina Miskin Saat Pulang Kampung   Bab 54

    "Mas, kamu setuju nggak kalau aku mau ngerjain penipu itu?" tanyaku meminta izin pada Mas Arsya, sambil berharap agar Mas Arsya mengizinkan aksiku."Maksud kamu, kamu mau ngerjain penipu yang menipu Bi Minah, Dek?" Mas Arsya bertanya balik kepadaku, menanyakan maksudku tersebut."Iya, Mas, kamu setuju nggak? Pokoknya harus sampai uang Bi Minah bisa kembali.Soalnya aku gemes banget, saat mendengar cerita Bi Minah tadi. Aku juga sering sekali melihat, kalau di facebook banyak sekali korban penipuan seperti Bi Minah. Makanya aku berinisiatif untuk mengerjai orang tersebut. Kira-kita kamu mau izinin aku nggak, Mas?" Aku bertanya lagi, sembari menegaskan apa yang menjadi rencanaku. Aku ingin segera tau, Mas Arsya mau mengizinkan aku atau tidak tentang apa yang akan dilakukan oleh aku nanti. Karena prinsipku, aku tidak akan mengerjakan sesuatu apapun tanpa seizin suamiku. Apalagi ini masalah yang bersangkutan dengan uang dan juga laki-laki."Kira-kira kalau kamu mengerjai mereka, kamu ak

  • Dihina Miskin Saat Pulang Kampung   Bab 53

    "Aku baru ngebangunin Bi Minah, Mas. Dia kesiangan, gara-gara main handphone," jawabku."Lho kok bisa, Bi Minah kesiangan karena main handphone?" Mas Arsya bertanya lagi kepadaku, tentang alasan Bi Minah kesiangan.Aku pun menjelaskan kepadanya, kenapa Bi Minah sampai kesiangan. Setelah itu Mas Arsya baru faham, setelah aku menjelaskannya."Bilangin sama Bi Minah, hati-hati berkenalan di media sosial. Karena tidak semua yang memakai media sosial itu profil asli," saran Mas Arsya."Iya, Mas, nanti aku bilangin," sahutkuSetelah itu kami pun makan bersama, selesai makan mereka bersiap untuk berangkat. Kedua anakku pun berangkat diantar Ayahnya, sebab Mas Arsya berangkat pagi. Biar nanti aku tinggal menjemput saja.Selesai mengantar anak serta suamiku, aku kembali masuk ke dalam. Aku langsung ke dapur untuk menyampaikan saran dari suamiku. Sampai ke dapur, aku melihat Bi Minah sedang mencuci bekas makan dan masak tadi. Kemudian aku menghampirinya dan bertanya sedikit, tentang perkenalan

  • Dihina Miskin Saat Pulang Kampung   Bab 52

    "Lupa apa lagi, Dek?" tanya Mas Arsya."Tunggu sebentar, aku akan segera kembali," kataku lagi, sambil membuka pintu mobil.Setelah itu aku pun segera turun dan kembali ke tempat Mbak Nina berada."Mira, kok kamu balik lagi?" tanya Mbak Nina."Iya, Mbak, aku ada yang kelupaan," sahutku.Aku pun segera membuka tas salempang dan merogohnya, kemudian aku segera memberikan dua amplop, yang telah aku siapkan tersebut untuk Uak dan juga Kakak sepupuku. "Ini Uak, Mbak, lumayan untuk tambah-tambah beli temen nasi. Maaf tadi lupa, saking senangnya melihat Mbak Nina sudah ada perubahan," ungkapku, sambil memberikan amplop ke tangan masing-masing."Ya ampun, Mira, aku kira kamu kembali karena ada apa? Ternyata kamu mau berbagi rezeki terhadap kami. Terima kasih ya, Mira, semoga keluargamu ditambahkan lagi rezekinya yang lebih berlimpah lagi." Mbak Nina mendoakanku."Sama-sama, Mbak. Semoga kita semua digampangkan dalam perihal mencari tezeki," sahutku lagi.Setelah itu aku kembali berpamitan ke

  • Dihina Miskin Saat Pulang Kampung   Bab 51

    "Mi-Mira, kamu datang menemuiku? Pasti kamu datang karena mau menertawakan aku ya, sebab sekarang hidup aku sudah hancur begini." Mbak Nina menudingku, kalau aku datang karena mau meledaknya, tetapi ia tetap tidak mau menoleh ke arahku."Mbak, kok kamu ngomongnya seperti itu sih? Aku sama sekali nggak punya pikiran seperti itu, Mbak. Justru aku merasa prihatin melihat dan mendengar Mbak seperti ini," kataku lagi.Setelah mendengar perkataanku barusan, Mbak Nina langsung menoleh kearahku. Kemudian ia menghambur kepelukanku sambil menangis. Aku pun membalas pelukannya, sambil mengusap rambutnya yang berantakan."Mira, maafin aku ya. Mungkin semua ini terjadi karena dulu aku selalu menyakitimu. Ini mungkin karma buatku, Mira. Maafkan aku," ucapnya sambil tersedu."Iya, Mbak, aku sudah memaafkan semuanya kok. Mbak jangan selalu menyalahkan diri sendiri, Mbak juga jangan menyiksa diri sendiri seperti ini. Mbak harus bangkit, tunjukkan sama mantan suami Mbak, kalau Mbak itu wanita yang kuat

  • Dihina Miskin Saat Pulang Kampung   Bab 50

    "Ya ampun, kamu lupa padaku, Mira? Padahal dulu kita sebangku lho, waktu kita sekolah menengah dan berada di kelas lima belas." Ia menerangkan, kalau kami pernah sebangku di kelas lima belas.Calon pengantinnya Mas Hamdan memberitahuku, kalau ternyata dia adalah teman sebangku aku sewaktu di kelas lima belas. Apa benar dia ini Lia, kok wajahnya beda banget ya? Apa karena dia memakai make up, sehingga aku tidak dapat mengenalinya? Tapi kalau bukan Lia, lalu siapa lagi? Karena waktu itu aku hanya sebangku dengan dia."Apa benar kamu itu Lia?" tanyaku."Iya, Mira aku ini Lia. Apa kamu tidak lagi mengenaliku?" tanya wanita itu yang ternyata adalah Lia. "Bukan begitu, Lia. Kamu sekarang beda banget tau, makanya aku tidak mengenali kamu. Maaf ya, bukan maksud aku sombong atau bagaimana? Cuma kamu sekarang perfect banget tau," kataku.Aku langsung memeluknya, saat aku tahu kalau itu adakah Lia. Ternyata Lia tidak melupakan aku, atau mungkin juga wajahku yang tidak banyak perubahan. Tetapi L

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status