"Eh ... Ibu-ibu lihat, ternyata ada orang kota tuh datang ke sini!," ujar Bu Mega memberitahu Ibu-ibu yang lain, kemudian Ibu-ibu pun langsung melirik ke arahku. "Mira, kamu kapan datang dari kota?" tanya Bu Mega, saat aku baru sampai ke warungnya Mbak Nina. Bu Mega si wanita paling kepo di kampungku, selalu ingin tahu tentang kehidupan orang.
"Kemarin sore, Bu," sahutku pendek."Kamu dari kota ke sini naik apa, Mira? Apa naik mobil umum lagi?" tanya Mbak Nina, Kakak sepupuku yang merupakan pemilik warung.Seperti biasa, setiap kali aku pulang ke kampung halamanku, hal pertama yang dipertanyakan adalah, aku pulang kampung naik apa? Semua itu seakan menjadi topik utama untuk diketahui. Walaupun saudara, tetapi Mbak Nina sudah seperti tetangga kepo, yang selalu menilai kehidupanku dengan apa yang aku miliki."Iya, Mbak, aku naik mobil umum. Memangnya kenapa, Mbak?" Aku balik tanya."Mira ... Mira, kapan sih kamu punya mobil sendiri, kok naik umum terus? Apa enaknya coba naik mobil umum? Enakan juga naik mobil sendiri," ujar Mbak Nina meledekku karena aku pulang dengan menggunakan mobil umum."Mbak, kalau semua orang beli kendaraan sendiri, terus bagaimana nasibnya Pak sopir dan keluarganya? Mereka bisa kehilangan mata pencahariannya dong, Mbak, kan kasihan. Anggap saja kita naik mobil umum itu untuk membantu perekonomian para sopir. Jadi mikirnya jangan untuk kehidupan sendiri aja," sahutku dengan santai.Mbak Nina langsung mendelik, saat mendengar penuturanku. Kemudian ia kembali berkata dengan persepsinya."Alah itu sih bisa-bisanya kamu saja, Mira karena kamu nggak punya kendaraan sendiri untuk dibawa pulang kampung. Terus kapan kamu bisa bawa mobil sendiri kalau pulang kampung? Minimal kamu bawa motor lah gitu. Masa iya sih, sampai sekarang setiap kali pulang kampung, kamu masih naik mobil umum terus? Padahal kamu itu sudah lama nggak pulang mudik lho, Mir! Masa sih kamu nggak bisa menyimpan uang buat kredit kendaraan, apa kehidupanmu sesulit itu ya di kota," tanya Mbak Nina lagi masih seperti biasa merendahkan keluargaku hanya karena pulang tidak membawa kendaraan sendiri."Doakan saja ya, Mbak, semoga aku bisa segera membeli kendaraan sendiri seperti Mbak Nina." Akhirnya aku pun mengalah, daripada terus beradu mulut dengan Kakak sepupuku tersebut."Makanya ngapain kamu menikah dengan orang kota, kalau kehidupan kamu lebih susah dari orang kampung? Lebih baik nikah sama orang kampung, mau nengok orang tua juga nggak susah," ujarnya lagi.Dia dan keluarganya memang tidak menyukaiku, apalagi saat mereka tahu, kalau aku menikah dengan orang kota. Tapi mereka selalu menghinaku, sebab aku tidak pernah membawa kendaraan sendiri saat pulang kampung. Mereka selalu bilang percuma menikah dengan orang kota, kalau keluarga suamiku bukanlah keluarga kaya.Padahal aku niat berumah tangga, bukan karena itu. Tetapi karena niat ibadah, serta aku sudah merasa cocok dengan suamiku ini. Kebetulan saat ini aku pulang kampung hanya bertiga dengan kedua anakku, mereka sedang liburan kenaikan kelas. Sedangkan suamiku sedang ada kerja ke luar kota, jadi ia tidak bisa barengan pulang kampung saat ini. Paling kalau kami akan pulang ke kota, baru ia akan menjemput kami."Kamu benar, Nina, memang si Mira ini setiap kali pulang kampung nggak pernah ada perubahannya. Dia dari dulu sampai sekarang, kehidupannya masih tetap begini-begini saja," celetuk Bu Mega."Bener tuh apa kata, Bu Mega. Percuma juga kamu jauh-jauh nikah sama orang kota, Mira, kalau kehidupan kamu ternyata lebih susah dari orang kampung. Mendingan hidup di kampung, setiap saat bisa bertemu sama orang tua kamu. Ini mah sudah hidup jauh, jarang pulang lagi. Tetapi sekalinya datang, nggak pernah ada perubahannya. Hidup kamu itu kalah maju, dengan orang kampung. Teman-teman kamu juga, kehidupannya sudah banyak perubahan, mereka sudah punya ini dan itu. Sedangkan kamu punya apa? Apa yang akan kamu banggakan sama kami," tanya Uak Risma, ibunya Mbak Nina.Uak Risma sama saja dengan Mbak Nina, perkataannya begitu meredahkanku. Padahal Uak Risma merupakan adik ipar dari Bapakku, tetapi baik itu Mbak Nina maupun Uak Risma selalu merendahkanku. Memang benar apa yang dikatakan Uak Risma, kalau aku jarang pulang kampung.Tapi bukan tanpa alasan aku seperti itu, semuanya karena anakku masih pada sekolah, serta aku pun punya usaha yang tidak dapat aku tinggalkan. Karena kemarin-kemarin, aku masih belum punya karyawan untuk menghandle pekerjaanku. Namun, saat ini aku sudah memiliki karyawan yang bisa aku percaya. Jadi aku bisa pulang kampung kapan pun aku mau.Aku juga sebenarnya sudah memiliki kendaraan pribadi, hanya saja dibawa oleh Mas Arsya. Nanti kalau dia sudah beres kerjaannya di luar kota, ia tidak pulang dulu ke Jakarta, tetapi langsung datang ke kampung halamanku."Iya, Uak, aku memang sengaja pulang kampung naik angkutan umum. Karena kebetulan Mas Arsya suamiku sedang keluar kota, jadi mobilnya dibawa pergi sama dia. Memangnya salah ya, jika aku pulang kampung naik angkutan umum? Kok kalian sepertinya aneh banget, aku pulang kampung naik angkutan umum," tanyaku."Alah ... alasan saja kamu, Mira! Bilang saja, kalau kamu itu memang masih kere. Kamu nggak usah beralasan, kalau mobilnya di pakai suami kamu segala," ujar Mbak Nina."Iya, alasan saja si Mira ini, berlagak bilang mobilnya di pakai suaminya lagi. Padahal yang dipakai suaminya itu, hanya mobil kantor," timpal Bu Mega.Ternyata mereka tidak percaya, dengan apa yang aku katakan, kalau aku telah memiliki kendaraan pribadi. Tapi tidak mengapa, terserah mereka mau percaya padaku ataupun tidak. Karena aku juga tidak mengharuskan mereka untuk mempercayaiku.Karena prinsipku dan juga suamiku, apapun yang aku miliki bukan untuk dipamerkan, melainkan untuk dinikmati. Jadi apapun pandangan mereka terhadapku, aku terima saja, mau percaya ataupun tidak itu urusan mereka. Yang terpenting lagi, aku juga tidak menyusahkan mereka."Iya betul tuh, mana mungkin si Mira memililiki mobil. Bisa besar kepala kedua orang tuanya, kalau beneran si Mira punya mobil," timbrung Bu Mala. Ia baru datang tapi sudah ikut ikut campur dengan urusanku."Ya sudah terserah kalian saja, mau percaya padaku ataupun tidak. Oh iya, Mbak, aku kesini mau beli kopi serenteng, teh celup satu kotak, sama gula pasir satu kilo. Tolong bungkus segera ya, soalnya aku ditungguin Bapak. Kopinya mau dibawa Bapak ke sawah," pintaku. "Nih, Mbak, uang untuk belanjaanku. Nggak usah kembali , silakan bagi rata saja kembaliannya untuk jajan Ibu-ibu saja."Aku berkata lagi, sambil memberikan dua lembar uang berwarna merah. Mbak Nina pun bengong, saat aku berkata seperti itu dan memberikan uang kepadanya. Lalu aku pun mengambil belanjaanku, yang sudah di masukan ke dalam kantong kresek. Kemudian aku berlalu pergi meninggalkan warung Mbak Nina dan Ibu-ibu kepo.Padahal belanjaanku tidak seberapa, paling hanya sekitar lima puluh ribuan saja. Aku cuma merasa gemas saja, sama mulut lemes mereka yang keterlaluan, makanya aku melakukan semuanya itu.Bersambung ..."Alhamdulillah, Bu. Aku tidak pernah memberikan foto apapun, walaupun ia pernah memintanya. Beruntung Allah masih melindungiku," sahut Bi Minah."Alhamdulillah kalau begitu," ucapku.Aku terus memberikan arahan kepada Bi Minah, supaya tidak terulang lagi. Aku memberitahu bagaimana trik penipu tersebut, serta memberi sedikit ilmu, bagaimana caranya melihat itu akun asli ataupun bukan. Bi Minah sampai manggut-manggut, saat mendengarkan celotehanku."Bu, jadi Ibu mau ngerjain orang ini?" tanya Bi Minah."Insya Allah Bi, nanti bersama Mas Arsya," sahutku."Iya, Bu, bikin dia kapok ya, Bu," ujar Bi Minah.Ia memintaku, supaya membuat kapok si penipu. Mungkin karena Bi Minah merasa kesal dan juga sakit hati, telah ditipu oleh pria yang dikiranya akan menjadi teman hidupnya tersebut."Iya, Bi, doain supaya berhasil ya, Bi. Nanti kalau berhasil kan lumayan, uang Bibi bisa kembali. Daripada uangnya dipakai buat makan si penipu, mending diberikan kepada orang tua dan adik-adik Bibi," ungkapku.
"Mas, kamu setuju nggak kalau aku mau ngerjain penipu itu?" tanyaku meminta izin pada Mas Arsya, sambil berharap agar Mas Arsya mengizinkan aksiku."Maksud kamu, kamu mau ngerjain penipu yang menipu Bi Minah, Dek?" Mas Arsya bertanya balik kepadaku, menanyakan maksudku tersebut."Iya, Mas, kamu setuju nggak? Pokoknya harus sampai uang Bi Minah bisa kembali.Soalnya aku gemes banget, saat mendengar cerita Bi Minah tadi. Aku juga sering sekali melihat, kalau di facebook banyak sekali korban penipuan seperti Bi Minah. Makanya aku berinisiatif untuk mengerjai orang tersebut. Kira-kita kamu mau izinin aku nggak, Mas?" Aku bertanya lagi, sembari menegaskan apa yang menjadi rencanaku. Aku ingin segera tau, Mas Arsya mau mengizinkan aku atau tidak tentang apa yang akan dilakukan oleh aku nanti. Karena prinsipku, aku tidak akan mengerjakan sesuatu apapun tanpa seizin suamiku. Apalagi ini masalah yang bersangkutan dengan uang dan juga laki-laki."Kira-kira kalau kamu mengerjai mereka, kamu ak
"Aku baru ngebangunin Bi Minah, Mas. Dia kesiangan, gara-gara main handphone," jawabku."Lho kok bisa, Bi Minah kesiangan karena main handphone?" Mas Arsya bertanya lagi kepadaku, tentang alasan Bi Minah kesiangan.Aku pun menjelaskan kepadanya, kenapa Bi Minah sampai kesiangan. Setelah itu Mas Arsya baru faham, setelah aku menjelaskannya."Bilangin sama Bi Minah, hati-hati berkenalan di media sosial. Karena tidak semua yang memakai media sosial itu profil asli," saran Mas Arsya."Iya, Mas, nanti aku bilangin," sahutkuSetelah itu kami pun makan bersama, selesai makan mereka bersiap untuk berangkat. Kedua anakku pun berangkat diantar Ayahnya, sebab Mas Arsya berangkat pagi. Biar nanti aku tinggal menjemput saja.Selesai mengantar anak serta suamiku, aku kembali masuk ke dalam. Aku langsung ke dapur untuk menyampaikan saran dari suamiku. Sampai ke dapur, aku melihat Bi Minah sedang mencuci bekas makan dan masak tadi. Kemudian aku menghampirinya dan bertanya sedikit, tentang perkenalan
"Lupa apa lagi, Dek?" tanya Mas Arsya."Tunggu sebentar, aku akan segera kembali," kataku lagi, sambil membuka pintu mobil.Setelah itu aku pun segera turun dan kembali ke tempat Mbak Nina berada."Mira, kok kamu balik lagi?" tanya Mbak Nina."Iya, Mbak, aku ada yang kelupaan," sahutku.Aku pun segera membuka tas salempang dan merogohnya, kemudian aku segera memberikan dua amplop, yang telah aku siapkan tersebut untuk Uak dan juga Kakak sepupuku. "Ini Uak, Mbak, lumayan untuk tambah-tambah beli temen nasi. Maaf tadi lupa, saking senangnya melihat Mbak Nina sudah ada perubahan," ungkapku, sambil memberikan amplop ke tangan masing-masing."Ya ampun, Mira, aku kira kamu kembali karena ada apa? Ternyata kamu mau berbagi rezeki terhadap kami. Terima kasih ya, Mira, semoga keluargamu ditambahkan lagi rezekinya yang lebih berlimpah lagi." Mbak Nina mendoakanku."Sama-sama, Mbak. Semoga kita semua digampangkan dalam perihal mencari tezeki," sahutku lagi.Setelah itu aku kembali berpamitan ke
"Mi-Mira, kamu datang menemuiku? Pasti kamu datang karena mau menertawakan aku ya, sebab sekarang hidup aku sudah hancur begini." Mbak Nina menudingku, kalau aku datang karena mau meledaknya, tetapi ia tetap tidak mau menoleh ke arahku."Mbak, kok kamu ngomongnya seperti itu sih? Aku sama sekali nggak punya pikiran seperti itu, Mbak. Justru aku merasa prihatin melihat dan mendengar Mbak seperti ini," kataku lagi.Setelah mendengar perkataanku barusan, Mbak Nina langsung menoleh kearahku. Kemudian ia menghambur kepelukanku sambil menangis. Aku pun membalas pelukannya, sambil mengusap rambutnya yang berantakan."Mira, maafin aku ya. Mungkin semua ini terjadi karena dulu aku selalu menyakitimu. Ini mungkin karma buatku, Mira. Maafkan aku," ucapnya sambil tersedu."Iya, Mbak, aku sudah memaafkan semuanya kok. Mbak jangan selalu menyalahkan diri sendiri, Mbak juga jangan menyiksa diri sendiri seperti ini. Mbak harus bangkit, tunjukkan sama mantan suami Mbak, kalau Mbak itu wanita yang kuat
"Ya ampun, kamu lupa padaku, Mira? Padahal dulu kita sebangku lho, waktu kita sekolah menengah dan berada di kelas lima belas." Ia menerangkan, kalau kami pernah sebangku di kelas lima belas.Calon pengantinnya Mas Hamdan memberitahuku, kalau ternyata dia adalah teman sebangku aku sewaktu di kelas lima belas. Apa benar dia ini Lia, kok wajahnya beda banget ya? Apa karena dia memakai make up, sehingga aku tidak dapat mengenalinya? Tapi kalau bukan Lia, lalu siapa lagi? Karena waktu itu aku hanya sebangku dengan dia."Apa benar kamu itu Lia?" tanyaku."Iya, Mira aku ini Lia. Apa kamu tidak lagi mengenaliku?" tanya wanita itu yang ternyata adalah Lia. "Bukan begitu, Lia. Kamu sekarang beda banget tau, makanya aku tidak mengenali kamu. Maaf ya, bukan maksud aku sombong atau bagaimana? Cuma kamu sekarang perfect banget tau," kataku.Aku langsung memeluknya, saat aku tahu kalau itu adakah Lia. Ternyata Lia tidak melupakan aku, atau mungkin juga wajahku yang tidak banyak perubahan. Tetapi L