Share

Bab 2

Author: Felix Harrington
Musim panas di Kota Shein terasa sangat pengap, suhu tinggi tak kunjung mereda selama berhari-hari. Ryan ingin menjaga hubungan baik dengan kliennya, Ivy, tetapi beberapa hari ini dia belum menemukan kesempatan yang tepat.

Ketika dia mulai merasa putus asa, kesempatan itu justru datang. Malam itu, pesanan suplemen kesehatan dari Ivy tiba. Tanpa peduli waktu sudah lewat jam kerja, Ryan tetap mengantarnya malam-malam.

Sesampainya di rumah Ivy, Ryan menekan bel beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Tepat saat itu, sebuah mobil Porsche merah berhenti. Itu adalah mobil milik Ivy.

Ivy turun dengan langkah gontai, jelas sedang mabuk. Setelah membayar sopir pengganti, matanya langsung menangkap Ryan. "Ryan, ngapain kamu di sini?"

"Kak Ivy, barang yang kamu pesan sudah sampai. Aku takut kamu butuh cepat, jadi aku sengaja antar malam-malam." Ryan menyambutnya.

"Aduh, jadi merepotkanmu. Terima kasih ya!" Ivy mengulurkan tangan untuk menerima paket. Aroma parfumnya menyapu Ryan, membuat Ryan sedikit terhanyut.

Ivy menikah muda. Walaupun Peter sudah berusia lebih dari 20 tahun, Ivy baru 40 tahun dan tetap terawat dengan baik. Kulitnya putih mulus, matanya besar, hidungnya mancung, bibir tipisnya berlipstik merah. Auranya benar-benar seperti ratu. Kalau bukan karena usia, kecantikannya jelas tidak tertandingi.

Karena mabuk, langkah Ivy agak terhuyung.

"Kak Ivy, barang ini berat. Biar aku bantu bawain ke dalam." Ryan menawarkan.

"Baiklah." Tangannya penuh dengan kunci dan ponsel, memang agak repot.

Dia membuka pintu vila, memberi isyarat agar Ryan masuk. Di ruang tamu, Ivy menyuruh Ryan meletakkan paket di bawah meja kopi, lalu dia sendiri langsung menjatuhkan tubuh ke sofa.

"Bi Ainur, tolong ambilkan dua gelas air!" seru Ivy. "Bi Ainur? Bi Ainur?"

Ainur adalah asisten rumah tangganya.

"Aduh, aku benar-benar kebanyakan minum!" Ivy tersenyum, mengetuk kepalanya sendiri. "Hari ini aku kasih libur, Bi Ainur pulang kampung."

Seketika, vila besar itu hanya menyisakan mereka berdua. Kalau biasanya, Ryan pasti langsung pamit. Namun, malam ini tidak.

"Kak Ivy, kamu istirahat saja. Biar aku ambilkan air." Ryan berjalan ke dispenser.

"Nggak usah, biar aku ...." Ivy bangkit mencoba menahan, tetapi kepalanya terlalu pusing. Langkah kakinya goyah, tubuhnya justru menabrak Ryan.

Mereka berdua menjadi kikuk. "Maaf ya, aku ...."

"Nggak apa-apa, Kak Ivy. Kamu mabuk, biar aku saja." Ryan menuntunnya kembali ke sofa, lalu menuangkan segelas air.

"Kamu tamu, malah kamu yang repot mengurusku. Benar-benar nggak enak." Ivy menerimanya, pipinya merona.

Bisa dilihat bahwa toleransi alkohol Ivy sangat luar biasa. Dia sudah mabuk, tetapi bicaranya tidak kacau dan kesadarannya masih bagus. Hanya saja, tubuhnya jelas sudah tidak bisa menipu.

Saat minum, air menetes melewati leher putihnya, masuk ke belahan dadanya, membasahi bajunya. Ryan tak kuasa menelan ludah melihatnya.

"Kak Ivy, kamu tinggal sendiri di vila sebesar ini?" tanya Ryan.

Wajah Ivy agak murung. "Ya. Kadang Bi Ainur bermalam, tapi biasanya cuma ada aku."

Mungkin tersentuh emosi, ditambah pengaruh alkohol, dia mulai terbuka. "Penampilanku memang selalu glamor, tapi sebenarnya hidupku lebih buruk dari anjing. Kadang aku iri dengan mereka yang bisa hidup sederhana."

....

Ryan tidak menyela, hanya duduk mendengarkan dengan serius. Dia sadar, wanita ini punya latar belakang dan cerita panjang. Dia sangat tertarik. Namun, dia juga bisa mendengar ketidakberdayaan dari nada bicaranya.

Ivy mengelola perusahaan iklan. Karena keluarga punya koneksi, proyek datang bertubi-tubi, uang mengalir dengan mudah. Namun, materi tidak bisa mengisi kekosongan batin.

Suaminya adalah seorang eksekutif besar, jadi sibuk dan jarang pulang. Putranya, Peter, membuka usaha kecil yang setengah hidup setengah mati. Selain datang minta uang, jarang sekali muncul.

Ivy bahkan lupa kapan terakhir kali dia bisa mengobrol santai seperti ini. Apalagi malam-malam, dengan seorang pemuda, di sofanya sendiri.

"Oh ya." Ivy tersenyum miris. "Jangan panggil aku 'Kak' lagi, usiaku sudah pantas dipanggil 'Tante'."

"Maksudmu tante girang?" Ryan tiba-tiba bercanda.

"Hah?" Ivy kaget, lalu tertawa keras. "Hahaha! Aku kira kamu serius."

Saat Ryan mengucapkannya, jantung Ivy sempat berdetak aneh.

"Jujur, menurutku kamu hanya terlihat lebih tua dua atau tiga tahun dariku. Jadi panggil 'Kak' masih cocok banget," ucap Ryan dengan serius.

"Kamu ini pintar merayu juga ya!" Ivy menyibakkan rambutnya, tatapannya menjadi lebih lembut. Hatinya mulai luluh terhadap pemuda yang sebaya dengan putranya. Memang perempuan mana pun susah menolak pujian.

Saat obrolan makin hangat, pintu vila tiba-tiba terbuka. Yang masuk adalah Peter.

"Peter?" Kening Ivy berkerut, jelas tidak senang. "Kenapa nggak tekan bel dulu?"

"Ibu, rumah ini 'kan rumahku juga. Tekan bel buat apa?" keluh Peter sambil melirik Ryan dengan tajam. Api amarahnya langsung menyala.

"Kamu ngapain di rumahku?"

"Buat antar produk perusahaan," jawab Ryan dengan nada datar.

"Kalau sudah selesai, pergi sana!" bentak Peter.

"Peter!" Ivy menegur dengan keras, "Kenapa bicaramu begitu kasar?"

"Ibu, dia itu sales miskin. Kalau kamu kasih dia masuk, nanti keluarga kita bisa jadi sial. Jangan kasih dia masuk lagi. Kalau aku lihat dia, aku bakal langsung hajar!" ancam Peter.

"Diam!" Wajah Ivy yang tadinya hangat langsung muram. Dia menoleh pada Ryan. "Maaf ya, Ryan. Anak ini memang terlalu dimanjakan."

"Nggak apa-apa." Ryan menyembunyikan amarah dengan senyuman lebar. "Kalau begitu, aku pamit dulu."

Begitu Ryan keluar, dari dalam terdengar lagi teriakan Peter. "Ibu, jangan pernah biarkan dia masuk rumah lagi. Kalau nggak, aku nggak akan sungkan-sungkan."

"Kenapa kamu begitu benci Ryan? Kalian kenal?"

"Nggak kenal! Tapi jelas dia bukan orang baik. Ibu, besok langsung komplain saja, biar dia dipecat!"

"Kamu ini kenapa malam-malam menggila sih?"

....

Keesokan paginya, Ryan masih tertidur saat terdengar ketukan pintu keras. Dia mengambil ponsel, baru pukul 6 pagi.

"Siapa?"

"Ryan, ini aku!" Suara Alisha, mantan pacarnya.

"Kamu ngapain ke sini? Pergi sana!"

"Buka dulu pintunya." Alisha terus mengetuk.

"Kita sudah putus. Kalau kamu ganggu terus, aku bakal lapor polisi!" pekik Ryan.

"Aku butuh bantuanmu. Kumohon, cepat buka pintu!" Suaranya terdengar sangat mendesak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dijaga Gadis-Gadis Berdasi, Dikejar Para Janda Berdaster   Bab 160

    "Benar, sihir!" Ryan menurunkan suaranya. "Sihir Harry Potter! Wuu, wuu, wuu!""Enyah sana!""Siap!"Ryan pun kembali ke kamar dengan riang, bersiap mematikan ponsel dan tidur. Namun, tiba-tiba muncul satu pesan dari nomor tak dikenal.Pesannya singkat saja, hanya satu kalimat.[ Ryan, aku ingin bicara denganmu. ]Ryan tertegun. Orang ini bisa langsung memanggil namanya, berarti pasti seseorang yang dia kenal. Siapa ya?Dia membalas.[ Kamu siapa? ]Beberapa saat kemudian, balasan masuk.[ Saskia. ]....Malam berikutnya, di Bar Starry.Bar ini merupakan salah satu bisnis milik keluarga Kenny. Malam itu, Kenny mengundang Ryan untuk bersenang-senang di bar milik keluarganya, menjanjikan akan memberinya "kenikmatan kelas raja".Sebenarnya Ryan sempat menolak, tetapi karena tak enak hati, akhirnya dia tetap datang.Bar Starry punya suasana yang romantis. Di lantai satu, bartender cantik sibuk membuat berbagai koktail sambil memainkan atraksi api yang berwarna-warni. Orang-orang duduk di m

  • Dijaga Gadis-Gadis Berdasi, Dikejar Para Janda Berdaster   Bab 159

    Zio tertegun sejenak.Detik berikutnya, Ryan berkata, "Eh, aku baru ingat. Kamu 'kan nggak sudi makan di kantin. Ya sudah, nggak usah ikut."Lucya langsung mengerutkan kening. "Ryan!" Dia tidak ingin klien melihat keributan internal di divisinya.Di luar dugaan, Tania justru tertawa karena gaya Ryan yang sedikit usil itu.Zio berkata, "Ryan, cuma makan bareng klien saja, nggak perlu sombong begitu. Nanti juga kamu bakal kena batunya."Ryan tertawa lebar. "Oke, aku tunggu ya! Oh ya, ngomong-ngomong soal makan, tadi kamu bilang mau traktir semua orang, 'kan? Jangan bohong lho! Aku sudah kosongin perut dari siang, nanti malam harus makan dari traktiranmu! Hahaha!"Ryan berjalan keluar dari kantor dengan wajah ceria.Tania tersenyum geli dan berkata dengan nada lembut, "Kamu ini cerewet juga ternyata.""Padahal aslinya aku polos lho," sahut Ryan. "Dia yang sering cari masalah sama aku.""Hahaha!" Tania tertawa lagi. Entah kenapa setiap kali melihat Ryan, dia selalu merasa lucu. Ini seperti

  • Dijaga Gadis-Gadis Berdasi, Dikejar Para Janda Berdaster   Bab 158

    "Karena Bu Tania sudah memercayaiku, aku juga ingin memberi janji. Selama masa kerja sama, kalau ada masalah yang disebabkan oleh kesalahan pihak EPS, aku akan segera turun tangan secara langsung untuk menyelesaikannya.""Selain itu, kalau selama proses kerja sama ada hal yang membuat Bu Tania kurang nyaman, silakan langsung menghubungiku. Aku akan segera mengoordinasikan dan menyelesaikannya.""Semua yang kulakukan ini hanya demi satu tujuan. Sentosa Media sudah memberikan kepercayaan pada EPS, maka kami juga harus layak mendapatkan kepercayaan itu dan memastikan Sentosa Media nggak punya kekhawatiran apa pun di kemudian hari.""Bagus!" Tania bertepuk tangan sambil tersenyum puas.Lucya dan yang lain tertegun. Apa yang baru saja disampaikan Ryan benar-benar seperti penampilan kelas atas dalam dunia penjualan. Dia mampu menangkap inti dari kebutuhan klien dengan sangat tajam, berbicara tepat pada sasaran, dan memberikan rasa aman melalui komitmen yang kuat. Inilah tipe sales yang benar

  • Dijaga Gadis-Gadis Berdasi, Dikejar Para Janda Berdaster   Bab 157

    Zio tahu bahwa semuanya sudah terbongkar. Dengan wajah pasrah, dia berkata, "Bu Lucya, aku salah."Wajah Lucya langsung dipenuhi amarah. Sungguh memalukan. Urusan internal divisinya malah terbongkar di depan klien!Tania berkata, "Bu Lucya, menurut pandanganku, manajer penjualanmu ini baik dari sisi moral, etika profesional, maupun kemampuan pribadi, semuanya bermasalah. Kalau dia yang mewakili EPS untuk menandatangani kontrak, kami nggak akan setuju."Kalimat itu membuat hati Zio langsung tenggelam ke dasar. Sementara Lucya hanya bisa menarik napas panjang. Kerja sama besar yang sudah hampir selesai, malah berantakan begitu saja.Tepat pada saat itu, terdengar ketukan di pintu."Siapa?" tanya Lucya dengan nada jengkel."Aku, Ryan!" Terdengar suara dari luar."Ada apa?" tanya Lucya segera."Aku boleh masuk sebentar untuk bicara?" tanya Ryan balik.Lucya merasa semakin kesal. Dua manajer penjualan ini benar-benar membuat kepalanya pusing. Namun, Tania justru tersenyum tipis dan berucap,

  • Dijaga Gadis-Gadis Berdasi, Dikejar Para Janda Berdaster   Bab 156

    Dalam dunia penjualan, cara untuk mendapatkan klien itu bermacam-macam. Kadang memberikan sedikit hadiah atau suap kecil dianggap hal yang biasa. Tentu saja, dari sisi tim penjualan, itu dianggap wajar. Namun, kalau sampai pihak klien menyadarinya, itu bisa menjadi masalah besar.Klien tidak akan membiarkan orang dari pihak mereka menerima suap, karena itu bisa memengaruhi kerja sama. Kalau hari ini Tania datang dengan membawa alasan suap untuk menghentikan penandatanganan kontrak kerja sama, masalahnya bisa menjadi serius.Lucya langsung menatap tajam ke arah Zio dan membentak, "Zio, apa maksudnya ini?"Zio buru-buru menjawab, "Bu Lucya, aku cuma memberikan klien sepasang kenari hias. Cuma hadiah kecil saja. Nggak bisa disebut sebagai suap, 'kan?"Tania langsung menyela, "Frandy bilang nilainya 36 juta! Nilai segitu bisa disebut hadiah kecil?"Zio langsung terdiam.Lucya tahu jelas, pihak lawan sedang mencari-cari celah. Kalau tidak hati-hati, kerja sama ini bisa gagal total. Karena k

  • Dijaga Gadis-Gadis Berdasi, Dikejar Para Janda Berdaster   Bab 155

    "Pak Frandy? Dia sudah keluar dari tim proyek ini," sahut Taro."Apa?" Zio tertegun. Firasat buruk langsung menyergap hatinya."Pak Zio, kenapa bengong saja? Cepat antar klien ke ruang Bu Lucya. Beliau pasti sebentar lagi kembali," kata Poppy."Oh, oh, baik!" Zio buru-buru berkata, "Silakan lewat sini. Aku antar ke ruang Bu Lucya. Beliau sebenarnya mau turun langsung menjemput kalian, tapi tiba-tiba ada rapat penting. Sebentar lagi juga kembali.""Nggak masalah," jawab Tania dengan senyuman profesional, lalu mengikuti Poppy dan Zio menuju divisi pemasaran.Sementara itu, dari jendela lantai delapan, pemandangan itu terlihat jelas oleh Ryan. Sudut bibirnya perlahan terangkat membentuk senyuman kecil."Bu Tania, lama nggak bertemu. Kamu masih sama seperti dulu, cantik dan berwibawa." Begitu tiba di divisi pemasaran, Lucya juga kebetulan baru saja kembali. Pertemuan kerja sama pun dilakukan di ruang kantornya yang luas.Lucya dan Tania saling berjabat tangan. Dua wanita cantik dan berkari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status