Cahaya mentari mulai menerobos masuk melalui celah-celah gorden. Aku terperanjat saat menyadari hari sudah berganti pagi. Gegas aku bangun dan duduk di posisiku. Pemandangan pertama yang aku lihat adalah televisi. Ya ampun, aku baru ingat, kalau tadi malam aku tidur di sini bukan di kamarku.
Dari sekian pertengkaran yang terjadi selama ini dengan suamiku-- mas Umar. Baru kali ini aku bisa tidur terpisah. Bukan karena mas Umar mengusirku dari kamar, aku sendiri yang menginginkannya. Ngomong-ngomong soal mas Umar. Aku belum melihat batang hidungnya pagi ini. Ku lirik jam dinding yang terpajang di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Bisa saja mas Umar sudah pergi bekerja tanpa membangunkan aku karena masih marah Tanpa mau ambil pusing, aku memutuskan membereskan bantal, guling serta selimutku dan membawanya ke dalam kamar. Kosong? Kamarku sudah kosong, bahkan tempat tidur masih terlihat rapi. Tidak mungkin mas Umar meninggalkan kamar dalam keadaan rapi, itu bukan kebiasaannya. "Pasti dia tidak pulang tadi malam," Aku sudah bisa menebak itu. Walau ada rasa sakit di sudut hatiku. Tapi aku mencoba bersikap biasa saja. Mungkin ini yang terbaik. Siapa tau setelah ini mas Umar bisa berubah dan memikirkan semuanya. "Dila, buka pintunya!" teriak seseorang dari depan. Mendengar suara panggilan dan ketukan pintu yang keras, aku bergegas meletakkan perlengkapan tidurku di atas kasur, kemudian berlari kecil menuju pintu. "Iya, tunggu sebentar!" sahutku, sambil sibuk mencari kunci cadangan. Begitu pintu terbuka, mama mertuaku sudah berdiri bertolak pinggang membelakangi aku. "Mama," gumamku pelan, namun masih bisa terdengar jelas. Mendengar aku memanggil, mama mertuaku gegas berbalik badan. "Dari mana saja sih kamu Dil? Lama sekali buka pintunya," omel mama mas Umar, melenggang masuk ke dalam rumah tanpa mengucap salam. 'Huh, dasar mertua menyebalkan' sungutku, hanya bisa mengatakan itu dalam hati saja. Aku ikut menyusul mama mas Umar ke dalam. Seperti biasa, mama mas Umar selalu saja berkeliling rumah memperhatikan barang-barang di rumah ini. Entah apa maksudnya, aku juga tidak mengerti. "Umar mana?" tanya mama, berbalik menatapku yang terlihat bingung. 'Umar di mana? Bukannya dia tidak pulang dan menginap di rumah mama?' batinku, mulai merasa ada yang tidak beres. "Kenapa diam saja, Dil? Mama lagi tanya ini. Umar ke mana? Kenapa dia tidak ada?" tanya mama mertuaku mengulangi pertanyaannya. "Sudah kerja Ma," jawabku asal. Semoga saja mas Umar benar-benar sudah kerja, jadi aku tidak jadi berbohong. "Oh kerja, baguslah kalau Umar tidak ada di sini. Kalian berdua kenapa?" Mama mertuaku berjalan melewatiku, lalu duduk di sofa depan televisi. "Maksudnya, kenapa apa Ma?" Kali ini aku bertanya balik. "Kalian berdua bertengkar kan? Kemarin Umar ke rumah minta makan. Memangnya apa kerjaan kamu di rumah sampai suami minta makan ke luar rumah?" tanya mama, menatapku sinis. Pupil mataku melebar mendengar kata-kata mama. Mas Umar bisa-bisanya bilang minta makan, seolah-olah aku tidak menyiapkan makanan apapun di rumah. "Tidak Ma, aku setiap hari masak kok. Mas Umar saja yang tidak mau makan di rumah. Mungkin lagi mau makan di luar," sahutku santai. "Alah, itu hanya alasan kamu saja! Dengar ya Dila, anakku itu kerja dari pagi sampai malam, harusnya kamu itu baik-baik jadi istri. Bukan malah seperti ini. Percuma Umar memberi kamu uang bulanan lima juta, kalau makan minum Umar masih terbengkalai. Uangnya kamu ke mana kan? Beli skincare atau apa?" tuduh mama mas Umar dengan entengnya. Aku yang tadinya bersikap biasa saja, kini mulai tersulut emosi. Kata-kata serta tuduhannya benar-benar membuatku kesal. Kalau saja aku tidak ingat itu mama mas Umar dan mama mertuaku, sudah aku lempar pakai gelas tuh mulut. Seenaknya saja menuduh orang tanpa bukti. "Jangan asal menuduh Ma! Mas Umar memang memberi jatah bulanan lima juta setiap bulannya. Tapi itu tidak murni hanya untuk kebutuhan rumah. Dari uang itu juga dipakai buat bayar cicilan mas Umar dan bayar rumah. Jangankan membeli yang lain atau skincare seperti yang Mama tuduhkan. Buat beli keperluan dapur saja kurang, aku bahkan sampai memakai tabunganku sendiri atau uang kiriman dari mama," sanggahku, aku tidak peduli lagi setelah ini mama mertuaku marah atau apa. "Ya, itu kan urusan kamu. Kamu sebagai ibu rumah tangga harusnya bisa menggunakan uang itu sebaik mungkin. Berapapun uang yang diberikan Umar, harusnya kamu jangan terlalu banyak mengeluh! Masih syukur Umar masih mau memberi kamu uang bulanan, kalau dia menolak kamu mau apa?" sentak mama mas Umar. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan cara berpikir ibu dan anak ini. Dari sini aku bisa menyimpulkan, kenapa mas Umar bisa bersikap seperti, ternyata ada sikap turunan dari ibunya sendiri. "Ah sudahlah, dari pada bicara dengan kamu lama-lama, lebih baik pulang saja. Oh iya, kata Umar kemarin dia baru aja mengasih uang bulanan kan? Mana uangnya, Mama pinjam dulu satu juta!" ujar mama Mas Umar tanpa berdosa meminta uang pemberian anaknya yang kurang itu. Uang itu saja masih kurang, bisa-bisanya mama masih mau meminjamnya lagi satu juta. "Bukannya mas Umar sudah memberi uang bulanan Mama kemarin? Kenapa masih minjam lagi Ma?" Aku memberanikan diri bertanya, terserah nanti reaksi mama mertuaku bagaimana. "Umar memang memberikan uang bulanan kemarin. Tapi itu masih kurang. Cepet mana uangnya! Mama mau bayar arisan berlian ini," desak mama mas Umar. Aku menggelengkan kepalaku. "Maaf Ma, uangnya sudah aku bayarkan ke cicilan mas Umar dan air listrik," sahutku berbohong. "Jadi maksud kamu, kamu sudah tidak ada uang lagi? Kamu gimana sih Dil? Masa baru kemarin uang yang diberikan Umar sudah habis," omel mama, wajahnya merah menahan marah. "Ya mau bagaimana lagi Ma. Sudah jatuh tempo semuanya. Mau kapanpun juga dibayarkan, intinya tetap harus dibayarkan? Mama juga baru kemarin dikasih uang, tapi uangnya juga sudah habis sekarang. Jadi bukan hanya aku saja yang habis, Mama juga," sahutku membela diri. "Berani sekali kamu melawan Mama mertua kamu sendiri Dil? Dasar menantu tak tau diuntung. Kalau tau seperti ini jadinya, lebih baik kamu tidak usah menikah saja dengan Umar. Punya istri tapi perangainya buruk, sama mama mertua sendiri berani," bentak mama mas Umar, kemudian melenggang pergi tanpa pamit. Tubuh merosot begitu saja di atas sofa. Ku usap pelan dada ini. Amarah dan kesal bercampur jadi satu. Kepalaku tiba-tiba saja berdenyut, sakit. Kalau tau seperti ini, bukan hanya mama mas Umar saja yang menyesal sudah punya menantu seperti aku. Aku juga menyesal sudah punya mertua seperti mama mas Umar. Bukannya jadi sosok ibu yang jadi panutan, ini malah bertindak semaunya."Dil, kamu marah sama Mama?" tanya mama, masuk ke dalam kamarku. Setelah kejadian itu, aku memilih mengurung diri di kamar. Bukan karena aku marah, aku hanya masih merasa kesal saja. Terlebih Lila memfitnahku di depan keluarga Firman, ada kedua mertuaku saat itu. Aku menoleh menatap mama. Daru raut wajah mama, terlihat jelas sekali kalau saat ini mama mungkin merasa bersalah. "Tidak Ma, aku tidak marah," jawabku, mencoba tersenyum. Melihat mama mendekat, Firman memutuskan untuk keluar dari kamar, memberi ruang untuk aku dan mama saling bicara. "Boleh Mama duduk di sini?" tanya mama, menunjuk ke arah sampingku. "Boleh Ma, duduk aja!" sahutku, menggeser posisi. "Maafkan Mama, Dil! Semua kekacauan tadi siang terjadi karena Mama. Mama yang salah karena mengundang mereka ke sini. Mama tidak bermaksud seperti itu, Mama hanya ingin menyambung silaturahmi, sekaligus memberi mereka bukti
Emosiku kini mulai membuncah. Aku yang tadinya sudah merasa bisa menerima masukan dari Firman kembali meradang. Ternyata memang sesulit ini berlaku baik pada orang jahat pada kita. Mau seperti apapun baiknya kita, pasti akan selalu saja ada salah di mata yang tidak suka. "Jangan bicara sembarangan kamu La! Untuk apa aku berpura-pura hamil? Kalau kenyataannya begini, mau apa kamu? Memangnya salah, kalau aku benar hamil? Toh, aku punya suami, wajar saja aku bisa hamil seperti ini. Kalau kamu tidak percaya, ikut aku ke kamar dan kita buktikan semuanya!" Tantangku, entah seperti apa wajahku saat ini. "Santai dong Mbak! Aku kan cuma tanya dan memastikan. Kalau memang benar hamil, baguslah kalau begitu. Paling tidak, Mbak tidak dikatakan mandul lagi," cibir Lila, semakin menjadi-jadi. "Asal kamu tau, aku tidak mandul! Apa kurang bukti waktu kita bertemu di klinik kemarin? Kamu juga memeriksakan kandungan kamu kan?" Balasku, kini tatapanku ter
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Aku duduk di sebuah kursi di tengah-tengah hiasan yang sudah mama siapkan. Hati ini terasa sangat bahagia, ternyata begini rasanya mengandung dan melaksanakan ritual mandi-mandi tujuh bulanan. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya, apalagi setelah penghinaan dan fitnah masa lalu yang aku dapatkan dari orang paling terdekat di hidupku. 'Dasar mandul! Pantas saja suaminya tidak betah.' 'Gara-gara tidak bisa memberi keturunan, suaminya meninggalkannya.' Kata-kata itu akan terus aku ingat. Bukan aku seorang pendendam, tapi aku akan selalu mengingat setiap kata yang membuatku terpuruk waktu itu. Aku tidak akan bisa lupa. Air mata ini menetes begitu saja, seiring guyuran air pertama membasahi pucuk kepala dan akhirnya jatuh membasahi seluruh tubuh ini. Sensasi dingin namun terasa segar, begitu aku nikmati. "Memang lain ya, pancaran ibu hamil itu beda sekali
Semua keputusan akhirnya berakhir merujuk rumah ibuku di desa. Aku tentu saja dengan senang hati menerimanya. Selain aku merindukan ibu dan saudara laki-lakiku, aku juga merasa nyaman jika acara dilaksanakan di rumah ibu sendiri. Keesokan harinya, aku dan Firman sudah bersiap berangkat menuju desa. Rencana awal untuk membeli bahan makanan kami batalkan. Rasanya tak tega jika harus meminta ibu memasak semuanya. Apalagi ibuku semakin hari bertambah usia. "Gimana Yank?" tanya Firman, menyusulku ke kamar. "Aku sudah siap, ayo pergi!" Dengan cepat aku meraih lengan Firman dan berjalan bergandengan tangan. Banyak sekali yang kami ceritakan selama perjalanan. Bernostalgia masa lalu kami berdua. "Kamu benar-benar serius waktu itu, atau cuma karena kasihan denganku, Yank?" tanyaku, selalu saja bertanya yang tidak jelas. "Jangan mulai Yank! Kenapa sih hobi sekali bertanya seperti itu? pertanyaan kamu ini menjebak tau! Aku jawab ti
Firman menanyakan itu dengan tegas. Mata teduhnya yang sering aku lihat, sekarang menampakkan kilat tajam. "Da-dari Silvi," jawabku sedikit takut. Silvi, adalah temanku dulu saat berkuliah. Sebenarnya bukan teman dekat. Hanya kenal begitu saja, karena aku dan dia juga tidak satu jurusan. Beberapa waktu lalu saat aku dan Firman pergi ke salah satu minimarket, tanpa sengaja aku bertemu dia. Dia menanyakan kabarku, lalu meminta nomor teleponku dengan alasan ingin menjalin tali silaturahmi. "Silvi? Sejak kapan kamu berteman dengan dia?" tanya Firman, ia tampak terkejut. "Berteman akrab sih tidak, cuma kenal begitu saja. Kebetulan dia punya nomor ponselku," jelasku. "Sayang, Silvi itu tidak tau, kalau aku sudah menikah dengan kamu. Lalu, untuk apa dia mengirim foto itu?" ujar Firman, kali ini aku yang terkejut. Memang benar, pernikahan kami diadakan tidak meriah. Yang diundang juga orang-orang dekat saja. Sedang para teman-tem
Setelah pertemuan di klinik, aku jadi malas berpergian ke mana-mana. Aku malas jika harus bertemu dengan mereka. Bukan takut karena akan dihina. Aku hanya tidak mau menambah masalah lagi saja. "Sayang, kamu di rumah aja atau ikut aku?" tanya Firman, ia sudah rapi dengan pakaiannya. Malam minggu seperti ini, Firman jarang sekali berpergian keluar jika tidak bersamaku. Tapi malam ini, ia terpaksa menghadiri reuni bersama teman-teman satu jurusannya dulu saat kuliah. "Aku malas Mas, kamu saja yang pergi!" tolakku. "Memangnya kamu tidak takut?" tanya Firman, ia sengaja menggodaku kali ini. Keningku mengernyit, apa maksudnya bertanya seperti itu? "Takut apa? Takut sendirian di rumah? Biarpun sendirian, tidak akan mungkin ada hantu yang muncul Mas!" sahutku, kemudian terkekeh. "Bukan hantu, Sayangku! Aku kan pergi reuni, kalau reuni kan biasanya bertemu dengan teman-teman lama. Siapa tau diantara teman lama itu ada