Home / Rumah Tangga / Dijatah Lima Juta / Alasan tidak cukup

Share

Alasan tidak cukup

Author: Lia Scorpio
last update Last Updated: 2023-02-01 13:32:58

  Hari sudah mulai petang, tapi Mas Umar masih belum terlihat batang hidungnya. Aku sengaja menunggunya di teras depan kali ini. Entah mengapa aku merasa kesal kalau harus terus-terusan begini. Baru juga menikah dua tahun, sudah banyak saja cobaannya. 

 Lelah menunggu, akhirnya yang ditunggu datang juga. Lampu mobil menyorot ke arah aku yang sedang duduk. Tanpa mau ambil pusing, aku tidak menghiraukan suara klakson mobil yang dibunyikan oleh mas Umar.

 "Dila, buka pagarnya!" teriak mas Umar, kepalanya terlihat keluar dari balik jendela mobil.

 "Mas buka sendiri saja, kakiku sakit!" sahutku.

 Malas sekali membuka pagar untuk suami yang tidak tau menahu sama istri sendiri. Merasa aku abaikan, Mas Umar turun dari dalam mobil dengan wajah kesalnya.

 Mobil sudah terparkir di depan bagas. Melihat mas Umar sudah ada di rumah, aku bersiap masuk. Namun, baru beberapa langkah kakiku berjalan. Mas Umar menahanku.

 "Kamu itu kenapa sih Dil? Semakin ke sini, aku lihat kamu semakin berubah. Apa sih mau kamu?" tanya mas Umar, suaranya terdengar berat kali ini.

 "Bicara di dalam saja! Apa tidak malu membahas masalah rumah tangga di teras begini?" sahutku melenggang masuk meninggalkan Mas Umar yang masih terpaku di tempatnya.

 Aku memilih duduk di depan televisi. Tak lama setelah aku duduk, mas Umar menyusulku, namun ia tidak duduk melainkan masih setia berdiri dengan tangan di pinggang.

 "Jelaskan sekarang!" titah mas Umar.

 Aku mendongak menatap wajah pria yang dua tahun lalu melamarku dengan segala kelembutannya. "Apa yang mau dijelaskan?" tanyaku pura-pura tidak tau.

 Tangan mas Umar mengusap kasar wajahnya mendengar pertanyaanku. "Jelaskan yang di luar tadi! Kenapa kamu berubah? Aku sudah memberikan kamu, apa yang kamu mau. Uang bulanan lebih dari istri teman-temanku di kantor, lalu apalagi?" tanya mas Umar, wajahnya merah menahan marah.

 Cukup sudah aku menahannya kali ini. Kesempatanku untuk menyuarakan suara hati yang selama ini terpendam. Aku beranjak dari tempat duduk, lalu berdiri mensejajarkan posisi dengan mas Umar.

 "Lebih dari mana Mas? Kamu pikir uang lima juta itu cukup buat semuanya?" tanyaku, suaraku sedikit bergetar menahan sesak.

 "Tentu saja cukup. Toh itu nominal yang besar. Masa iya kamu bilang kurang. Banyak-banyak bersyukur Dil!" 

 Mendengar kalimat mas Umar, ingin sekali aku merobek mulutnya itu. Kurang bersyukur apa lagi aku? Dua tahun aku menikah, selama dua tahun itu pula aku menahannya, mencoba bertahan.

 "Iya, aku akui lima juta itu nominal yang besar untuk sebagian orang. Tapi itu hanya nominal Mas. Kamu memberi jatah lima juta satu bulan, kamu kira cukup untuk membayar semuanya? Hanya gara-gara gengsi dan mengikuti saran mama, kamu rela melakukannya dan membuat aku tersiksa. Lima juta untuk semuanya Mas. Bayar cicilan mobil kamu, belum lagi rumah, belum lagi makan dan keperluan rumah satu bulan. Belum lagi motor trail baru kamu itu. Yang ada kurang Mas. Tiga juta hanya untuk mobil Mas, belum lagi cicilan motor trail kamu itu sembilan ratus, belum lagi rumah tujuh ratus, belum lagi listrik, air sudah habis dua ratus ribuan. Sisanya hanya dua ratus ribu untuk sabun mandi, sabun pakaian, lauk, beras, sayur dan lain-lain. Kalau kamu di posisi aku, bagaimana menurut kamu mengatur semuanya?" 

 Aku mencurahkan semuanya. Sesak rasanya dada ini mengingat semua perlakuan mas Umar yang lebih mementingkan gengsi dan kemauan ibunya. Bukannya aku tidak pandai bersyukur, tapi dihadapkan dengan posisi seperti ini, membuat aku pusing bagaimana mencukupkan semuanya.

 "Jadi kamu menyalahkan mama? Asal kamu tau, mobil itu juga buat kamu. Kalau ke mana-mana, kamu juga memakainya," sanggah mas Umar tanpa rasa bersalah.

 "Aku? Sejak kapan aku menikmati mobil kamu itu Mas? Setiap hari libur, kamu selalu saja pulang ke rumah orang tua kamu. Aku tau kamu pergi liburan dengan mama, mbak Nia dan juga Lila. Sedangkan aku hanya di rumah Mas. Kamu tidak mengajakku sama sekali. Kata yang tepat untuk itu, hanya keluarga kamu. Bukan aku!" 

 Aku menatap nyalang ke arah mas Umar yang kini diam seribu bahasa. Aku sudah lelah memendam, selalu saja aku yang disalahkan, sedangkan keluarganya selalu saja benar.

 "Sudahlah Dil, aku pusing. Aku mau istirahat, tidak ada habisnya kalau terus meladeni kamu yang terus-terusan mengeluh," ujar mas Umar, berlalu pergi begitu saja.

  Tanganku terkepal erat. Bisa-bisanya ia mengatakan itu. Aku sebenarnya tidak masalah dijatah berapapun setiap bulannya kalau hanya untuk urusan rumah. Toh, aku bukan tipe wanita yang selalu mementingkan penampilan. Tapi ini, mas Umar memberi jatah malah membuat list dari semua kreditnya. Sebanyak apapun uang yang diberikan, kalau setiap bulannya list kredit selalu bertambah, pasti akan selalu kurang.

 Dengan kesal aku menyusul mas Umar ke kamar. Tanpa menghiraukan mas Umar yang menatapku dengan tatapan bingung. Aku berlalu sambil membawa bantal, guling dan selimutku keluar.

 Biarlah malam ini aku tidur di luar. Dari pada aku tidur di kamar dan melihat wajah tidak berdosa mas Umar, akan membuatku semakin kesal saja nanti.

 Tepat pukul delapan malam, mas Umar keluar dari dalam kamar. Lagi-lagi ia berjalan menuju meja makan. Aku hanya meliriknya sekilas, pasti sebentar lagi dia memanggilku karena melihat menu makanan di meja makan.

 "Dila!" panggil mas Umar.

 Nah, kan. Dia memanggilku juga. Dengan langkah gontai aku berjalan menghampirinya.

 "Ada apa?" tanyaku singkat.

 "Kamu tidak masak buat makan malam? Aku lapar Dil," 

 "Aku malas Mas. Lagi pula makanan di meja makan juga masih banyak, tinggal dipanaskan saja. Bukannya kamu dari rumah mama, sudah pasti di sana makan enak kan?"  sahutku santai.

 Rahang mas Umar mengeras, terlihat jelas ekspresi wajahnya kali ini. "Aku tidak makan di sana. Mama tidak masak, mereka makan di luar. Cepat buatkan aku makanan, aku lapar Dil. Aku tidak mau makan makanan ini!"  

 Aku tersenyum sinis. "Enak dong makan di luar, kenapa tidak ikut sekalian? Aku benar-benar malas masak Mas. Kalau mau aku panaskan makanan ini. Sayangkan kalau makanan sebanyak ini dibuang, yang ada malah mumbazir, kasihan makanannya,"

 "Keterlaluan kamu Dil, aku tidak mau memakannya. Lebih baik aku makan di luar saja. Kamu makan saja sendiri makanan itu!" geram mas Umar, kemudian berlalu dengan kaki yang dihentakkan keras.

 Sepeninggal mas Umar, aku membawa semua makanan di atas meja makan ke dapur. Biarkan saja kalau mas Umar mau makan di luar, aku tetap memanaskan makanan ini untuk diriku sendiri. Syukur-syukur masih bisa makan dengan makanan tadi siang, dari pada tidak ada sama sekali.

  

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Puput Assyfa
ternyata di balik uang 5 jt banyak bgt lubang yg harus ditutup dila, sedangkan bumer malah hidup enk dgn jatah bulanan dr anak tanpa mikir cicilan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dijatah Lima Juta   Melahirkan

     "Dil, kamu marah sama Mama?" tanya mama, masuk ke dalam kamarku. Setelah kejadian itu, aku memilih mengurung diri di kamar. Bukan karena aku marah, aku hanya masih merasa kesal saja. Terlebih Lila memfitnahku di depan keluarga Firman, ada kedua mertuaku saat itu. Aku menoleh menatap mama. Daru raut wajah mama, terlihat jelas sekali kalau saat ini mama mungkin merasa bersalah. "Tidak Ma, aku tidak marah," jawabku, mencoba tersenyum. Melihat mama mendekat, Firman memutuskan untuk keluar dari kamar, memberi ruang untuk aku dan mama saling bicara. "Boleh Mama duduk di sini?" tanya mama, menunjuk ke arah sampingku. "Boleh Ma, duduk aja!" sahutku, menggeser posisi. "Maafkan Mama, Dil! Semua kekacauan tadi siang terjadi karena Mama. Mama yang salah karena mengundang mereka ke sini. Mama tidak bermaksud seperti itu, Mama hanya ingin menyambung silaturahmi, sekaligus memberi mereka bukti

  • Dijatah Lima Juta   Wanita murahan?

     Emosiku kini mulai membuncah. Aku yang tadinya sudah merasa bisa menerima masukan dari Firman kembali meradang. Ternyata memang sesulit ini berlaku baik pada orang jahat pada kita. Mau seperti apapun baiknya kita, pasti akan selalu saja ada salah di mata yang tidak suka. "Jangan bicara sembarangan kamu La! Untuk apa aku berpura-pura hamil? Kalau kenyataannya begini, mau apa kamu? Memangnya salah, kalau aku benar hamil? Toh, aku punya suami, wajar saja aku bisa hamil seperti ini. Kalau kamu tidak percaya, ikut aku ke kamar dan kita buktikan semuanya!" Tantangku, entah seperti apa wajahku saat ini. "Santai dong Mbak! Aku kan cuma tanya dan memastikan. Kalau memang benar hamil, baguslah kalau begitu. Paling tidak, Mbak  tidak dikatakan mandul lagi," cibir Lila, semakin menjadi-jadi. "Asal kamu tau, aku tidak mandul! Apa kurang bukti waktu kita bertemu di klinik kemarin? Kamu juga memeriksakan kandungan kamu kan?" Balasku, kini tatapanku ter

  • Dijatah Lima Juta   Tuduhan Lila

     Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Aku duduk di sebuah kursi di tengah-tengah hiasan yang sudah mama siapkan. Hati ini terasa sangat bahagia, ternyata begini rasanya mengandung dan melaksanakan ritual mandi-mandi tujuh bulanan. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya, apalagi setelah penghinaan dan fitnah masa lalu yang aku dapatkan dari orang paling terdekat di hidupku. 'Dasar mandul! Pantas saja suaminya tidak betah.' 'Gara-gara tidak bisa memberi keturunan, suaminya meninggalkannya.' Kata-kata itu akan terus aku ingat. Bukan aku seorang pendendam, tapi aku akan selalu mengingat setiap kata yang membuatku terpuruk waktu itu. Aku tidak akan bisa lupa. Air mata ini menetes begitu saja, seiring guyuran air pertama membasahi pucuk kepala dan akhirnya jatuh membasahi seluruh  tubuh ini. Sensasi dingin namun terasa segar, begitu aku nikmati. "Memang lain ya, pancaran ibu hamil itu beda sekali

  • Dijatah Lima Juta   Balik kampung

    Semua keputusan akhirnya berakhir merujuk rumah ibuku di desa. Aku tentu saja dengan senang hati menerimanya. Selain aku merindukan ibu dan saudara laki-lakiku, aku juga merasa nyaman jika acara dilaksanakan di rumah ibu sendiri. Keesokan harinya, aku dan Firman sudah bersiap berangkat menuju desa. Rencana awal untuk membeli bahan makanan kami batalkan. Rasanya tak tega jika harus meminta ibu memasak semuanya. Apalagi ibuku semakin hari bertambah usia. "Gimana Yank?" tanya Firman, menyusulku ke kamar. "Aku sudah siap, ayo pergi!" Dengan cepat aku meraih lengan Firman dan berjalan bergandengan tangan. Banyak sekali yang kami ceritakan selama perjalanan. Bernostalgia masa lalu kami berdua. "Kamu benar-benar serius waktu itu, atau cuma karena kasihan denganku, Yank?" tanyaku, selalu saja bertanya yang tidak jelas. "Jangan mulai Yank! Kenapa sih hobi sekali bertanya seperti itu? pertanyaan kamu ini menjebak tau! Aku jawab ti

  • Dijatah Lima Juta   Tujuh Bulan

    Firman menanyakan itu dengan tegas. Mata teduhnya yang sering aku lihat, sekarang menampakkan kilat tajam. "Da-dari Silvi," jawabku sedikit takut. Silvi, adalah temanku dulu saat berkuliah. Sebenarnya bukan teman dekat. Hanya kenal begitu saja, karena aku dan dia juga tidak satu jurusan. Beberapa waktu lalu saat aku dan Firman pergi ke salah satu minimarket, tanpa sengaja aku bertemu dia. Dia menanyakan kabarku, lalu meminta nomor teleponku dengan alasan ingin menjalin tali silaturahmi. "Silvi? Sejak kapan kamu berteman dengan dia?" tanya Firman, ia tampak terkejut. "Berteman akrab sih tidak, cuma kenal begitu saja. Kebetulan dia punya nomor ponselku," jelasku. "Sayang, Silvi itu tidak tau, kalau aku sudah menikah dengan kamu. Lalu, untuk apa dia mengirim foto itu?" ujar Firman, kali ini aku yang terkejut. Memang benar, pernikahan kami diadakan tidak meriah. Yang diundang juga orang-orang dekat saja. Sedang para teman-tem

  • Dijatah Lima Juta   Acara reuni

    Setelah pertemuan di klinik, aku jadi malas berpergian ke mana-mana. Aku malas jika harus bertemu dengan mereka. Bukan takut karena akan dihina. Aku hanya tidak mau menambah masalah lagi saja. "Sayang, kamu di rumah aja atau ikut aku?" tanya Firman, ia sudah rapi dengan pakaiannya. Malam minggu seperti ini, Firman jarang sekali berpergian keluar jika tidak bersamaku. Tapi malam ini, ia terpaksa menghadiri reuni bersama teman-teman satu jurusannya dulu saat kuliah. "Aku malas Mas, kamu saja yang pergi!" tolakku. "Memangnya kamu tidak takut?" tanya Firman, ia sengaja menggodaku kali ini. Keningku mengernyit, apa maksudnya bertanya seperti itu? "Takut apa? Takut sendirian di rumah? Biarpun sendirian, tidak akan mungkin ada hantu yang muncul Mas!" sahutku, kemudian terkekeh. "Bukan hantu, Sayangku! Aku kan pergi reuni, kalau reuni kan biasanya bertemu dengan teman-teman lama. Siapa tau diantara teman lama itu ada

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status