Hari sudah mulai petang, tapi Mas Umar masih belum terlihat batang hidungnya. Aku sengaja menunggunya di teras depan kali ini. Entah mengapa aku merasa kesal kalau harus terus-terusan begini. Baru juga menikah dua tahun, sudah banyak saja cobaannya.
Lelah menunggu, akhirnya yang ditunggu datang juga. Lampu mobil menyorot ke arah aku yang sedang duduk. Tanpa mau ambil pusing, aku tidak menghiraukan suara klakson mobil yang dibunyikan oleh mas Umar. "Dila, buka pagarnya!" teriak mas Umar, kepalanya terlihat keluar dari balik jendela mobil. "Mas buka sendiri saja, kakiku sakit!" sahutku. Malas sekali membuka pagar untuk suami yang tidak tau menahu sama istri sendiri. Merasa aku abaikan, Mas Umar turun dari dalam mobil dengan wajah kesalnya. Mobil sudah terparkir di depan bagas. Melihat mas Umar sudah ada di rumah, aku bersiap masuk. Namun, baru beberapa langkah kakiku berjalan. Mas Umar menahanku. "Kamu itu kenapa sih Dil? Semakin ke sini, aku lihat kamu semakin berubah. Apa sih mau kamu?" tanya mas Umar, suaranya terdengar berat kali ini. "Bicara di dalam saja! Apa tidak malu membahas masalah rumah tangga di teras begini?" sahutku melenggang masuk meninggalkan Mas Umar yang masih terpaku di tempatnya. Aku memilih duduk di depan televisi. Tak lama setelah aku duduk, mas Umar menyusulku, namun ia tidak duduk melainkan masih setia berdiri dengan tangan di pinggang. "Jelaskan sekarang!" titah mas Umar. Aku mendongak menatap wajah pria yang dua tahun lalu melamarku dengan segala kelembutannya. "Apa yang mau dijelaskan?" tanyaku pura-pura tidak tau. Tangan mas Umar mengusap kasar wajahnya mendengar pertanyaanku. "Jelaskan yang di luar tadi! Kenapa kamu berubah? Aku sudah memberikan kamu, apa yang kamu mau. Uang bulanan lebih dari istri teman-temanku di kantor, lalu apalagi?" tanya mas Umar, wajahnya merah menahan marah. Cukup sudah aku menahannya kali ini. Kesempatanku untuk menyuarakan suara hati yang selama ini terpendam. Aku beranjak dari tempat duduk, lalu berdiri mensejajarkan posisi dengan mas Umar. "Lebih dari mana Mas? Kamu pikir uang lima juta itu cukup buat semuanya?" tanyaku, suaraku sedikit bergetar menahan sesak. "Tentu saja cukup. Toh itu nominal yang besar. Masa iya kamu bilang kurang. Banyak-banyak bersyukur Dil!" Mendengar kalimat mas Umar, ingin sekali aku merobek mulutnya itu. Kurang bersyukur apa lagi aku? Dua tahun aku menikah, selama dua tahun itu pula aku menahannya, mencoba bertahan. "Iya, aku akui lima juta itu nominal yang besar untuk sebagian orang. Tapi itu hanya nominal Mas. Kamu memberi jatah lima juta satu bulan, kamu kira cukup untuk membayar semuanya? Hanya gara-gara gengsi dan mengikuti saran mama, kamu rela melakukannya dan membuat aku tersiksa. Lima juta untuk semuanya Mas. Bayar cicilan mobil kamu, belum lagi rumah, belum lagi makan dan keperluan rumah satu bulan. Belum lagi motor trail baru kamu itu. Yang ada kurang Mas. Tiga juta hanya untuk mobil Mas, belum lagi cicilan motor trail kamu itu sembilan ratus, belum lagi rumah tujuh ratus, belum lagi listrik, air sudah habis dua ratus ribuan. Sisanya hanya dua ratus ribu untuk sabun mandi, sabun pakaian, lauk, beras, sayur dan lain-lain. Kalau kamu di posisi aku, bagaimana menurut kamu mengatur semuanya?" Aku mencurahkan semuanya. Sesak rasanya dada ini mengingat semua perlakuan mas Umar yang lebih mementingkan gengsi dan kemauan ibunya. Bukannya aku tidak pandai bersyukur, tapi dihadapkan dengan posisi seperti ini, membuat aku pusing bagaimana mencukupkan semuanya. "Jadi kamu menyalahkan mama? Asal kamu tau, mobil itu juga buat kamu. Kalau ke mana-mana, kamu juga memakainya," sanggah mas Umar tanpa rasa bersalah. "Aku? Sejak kapan aku menikmati mobil kamu itu Mas? Setiap hari libur, kamu selalu saja pulang ke rumah orang tua kamu. Aku tau kamu pergi liburan dengan mama, mbak Nia dan juga Lila. Sedangkan aku hanya di rumah Mas. Kamu tidak mengajakku sama sekali. Kata yang tepat untuk itu, hanya keluarga kamu. Bukan aku!" Aku menatap nyalang ke arah mas Umar yang kini diam seribu bahasa. Aku sudah lelah memendam, selalu saja aku yang disalahkan, sedangkan keluarganya selalu saja benar. "Sudahlah Dil, aku pusing. Aku mau istirahat, tidak ada habisnya kalau terus meladeni kamu yang terus-terusan mengeluh," ujar mas Umar, berlalu pergi begitu saja. Tanganku terkepal erat. Bisa-bisanya ia mengatakan itu. Aku sebenarnya tidak masalah dijatah berapapun setiap bulannya kalau hanya untuk urusan rumah. Toh, aku bukan tipe wanita yang selalu mementingkan penampilan. Tapi ini, mas Umar memberi jatah malah membuat list dari semua kreditnya. Sebanyak apapun uang yang diberikan, kalau setiap bulannya list kredit selalu bertambah, pasti akan selalu kurang. Dengan kesal aku menyusul mas Umar ke kamar. Tanpa menghiraukan mas Umar yang menatapku dengan tatapan bingung. Aku berlalu sambil membawa bantal, guling dan selimutku keluar. Biarlah malam ini aku tidur di luar. Dari pada aku tidur di kamar dan melihat wajah tidak berdosa mas Umar, akan membuatku semakin kesal saja nanti. Tepat pukul delapan malam, mas Umar keluar dari dalam kamar. Lagi-lagi ia berjalan menuju meja makan. Aku hanya meliriknya sekilas, pasti sebentar lagi dia memanggilku karena melihat menu makanan di meja makan. "Dila!" panggil mas Umar. Nah, kan. Dia memanggilku juga. Dengan langkah gontai aku berjalan menghampirinya. "Ada apa?" tanyaku singkat. "Kamu tidak masak buat makan malam? Aku lapar Dil," "Aku malas Mas. Lagi pula makanan di meja makan juga masih banyak, tinggal dipanaskan saja. Bukannya kamu dari rumah mama, sudah pasti di sana makan enak kan?" sahutku santai. Rahang mas Umar mengeras, terlihat jelas ekspresi wajahnya kali ini. "Aku tidak makan di sana. Mama tidak masak, mereka makan di luar. Cepat buatkan aku makanan, aku lapar Dil. Aku tidak mau makan makanan ini!" Aku tersenyum sinis. "Enak dong makan di luar, kenapa tidak ikut sekalian? Aku benar-benar malas masak Mas. Kalau mau aku panaskan makanan ini. Sayangkan kalau makanan sebanyak ini dibuang, yang ada malah mumbazir, kasihan makanannya," "Keterlaluan kamu Dil, aku tidak mau memakannya. Lebih baik aku makan di luar saja. Kamu makan saja sendiri makanan itu!" geram mas Umar, kemudian berlalu dengan kaki yang dihentakkan keras. Sepeninggal mas Umar, aku membawa semua makanan di atas meja makan ke dapur. Biarkan saja kalau mas Umar mau makan di luar, aku tetap memanaskan makanan ini untuk diriku sendiri. Syukur-syukur masih bisa makan dengan makanan tadi siang, dari pada tidak ada sama sekali.Cahaya mentari mulai menerobos masuk melalui celah-celah gorden. Aku terperanjat saat menyadari hari sudah berganti pagi. Gegas aku bangun dan duduk di posisiku. Pemandangan pertama yang aku lihat adalah televisi. Ya ampun, aku baru ingat, kalau tadi malam aku tidur di sini bukan di kamarku. Dari sekian pertengkaran yang terjadi selama ini dengan suamiku-- mas Umar. Baru kali ini aku bisa tidur terpisah. Bukan karena mas Umar mengusirku dari kamar, aku sendiri yang menginginkannya. Ngomong-ngomong soal mas Umar. Aku belum melihat batang hidungnya pagi ini. Ku lirik jam dinding yang terpajang di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Bisa saja mas Umar sudah pergi bekerja tanpa membangunkan aku karena masih marah Tanpa mau ambil pusing, aku memutuskan membereskan bantal, guling serta selimutku dan membawanya ke dalam kamar. Kosong? Kamarku sudah kosong, bahkan tempat tidur masih terlihat rapi. Tidak mungkin m
Aku duduk bersandar di sofa depan televisi. Tubuhku rasanya lelah sekali hari ini. Bagaimana tidak lelah, setelah mama mertuaku pulang. Mas Umar datang dan membawa satu kantong besar pakaian kotor ke rumah. "Tolong cucikan ya, Dil!" Kata 'tolong' yang aku dengar dari mas Umar, membuat keningku saling bertaut. Enak sekali dia membawa pakaian kotor sebanyak ini ke rumah. Belum lagi aku tau, siapa pemilik pakaian kotor itu. "Nggak mau Mas! Memangnya ini pakaian siapa? Banyak sekali," keluhku. "Itu pakaian mama sama Lila, masa kamu nggak mau sih? Di rumah mama, airnya tidak mengalir, jadi tidak bisa cuci pakaian," jelas mas Umar. Mulutku terbuka lebar. Pakaian mama dan Lila? Bisa-bisanya mas Umar membawa semua pakaian itu ke rumah. Kalaupun air tidak mengalir, kan masih bisa menggunakan air sumur. Di belakang rumah mama juga masih ada sumur yang banyak airnya. Kenapa tidak menggunakan itu saja? Kenapa malah mem
Setelah mendengar dan mencerna semua ceritaku. Mama menatap sayu ke arahku. Aku bisa merasakan perasaan mama saat mengetahui aku begitu tertekan selama ini. "Kamu yang sabar ya, Dil! Hidup berumah tangga memang seperti itu. Berumah tangga tidak semudah kelihatannya. Dibalik kebahagiaan yang terlihat, pasti ada duka yang terpendam. Pernikahan kalian baru dua tahun, masih ada tahun-tahun ke depannya. Semoga saja setelah itu Umar bisa berubah. Usia kalian yang masih labil, pasti akan sulit mengendalikan diri," ujar mama menasehati. Mataku menatap nanar ke arah mama. Aku tau saat ini mama marah, mama kecewa saat putrinya diperlakukan seperti ini. Tapi, mendengar nasihat mama, aku mulai meragukan perasaanku sendiri. "Mama tidak marah aku diperlakukan seperti ini?" tanyaku, menatap lekat netra coklat mama. Mama memalingkan wajahnya, lalu menghembuskan nafas panjang. "Mau semarah apa pun Mama, Mama bisa apa Dil? Mama memang orang
Hari berganti hari, sampai kini mendekati tanggal gajian mas Umar. Setelah pertengkaran malam itu. Hubunganku dengan mas Umar semakin renggang. Entah aku yang terlalu egois karena ingin dimengerti, atau mas Umar yang tidak pernah peka. Aku menjalani hari seperti biasanya. Walaupun tidak ada lagi uang belanja dari jatah bulanan. Aku masih bisa memasak makanan untuk mas Umar. Tentunya itu uang dari hasil kiriman mamaku, dan mas Umar tau itu. "Dil, besok Mas pulangnya telat, kamu tidak usah masak!" ujar mas Umar, sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Aku mengangguk tanda mengiyakan. Hanya obrolan singkat yang mewarnai rumah tangga kami. Tidak ada kemesraan atau kehangatan seperti awal-awal pernikahan. Dan benar saja, sampai tengah malam bahkan hampir dini hari, mas Umar belum juga pulang. Ini bukan kali pertama, sudah sering akhir-akhir ini mas Umar seperti itu. Entah menghindari aku, atau ada urusan lain. "Dil
Hampir setengah jam aku di kamar mandi. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar. Tapi, begitu aku keluar keadaan di kamar terlihat sepi. Mas Umar sudah tidak ada di tempatnya lagi. Aku tidak ambil pusing, segera aku memakai pakaian kebangsaan ibu rumah tangga, yaitu daster. Sudah siap dan rapi, aku gegas keluar dari kamar. Terlalu lama mengurung diri di kamar mandi, perutku keroncongan juga. Cacing-cacing di dalam perut sudah berdemo ria meminta isi amunisi. "Ke mana mas Umar? Di kamar tidak ada, di depan televisi dan dapur juga tidak ada," gumamku heran. Merasa penasaran ke mana perginya suamiku itu. Aku memutuskan mencarinya di ruang tamu atau teras rumah. Namun lagi-lagi mas Umar tidak ada. Mobilnya juga sudah tak terlihat lagi. "Paling juga ke rumah ibunya," batinku. Tak mau ambil pusing ke mana perginya mas Umar, aku memutuskan untuk makan. Akhir-akhir ini mas Umar sudah biasa pergi tanpa pamit atau bila
Tanganku terkepal, dada ini rasanya sesak bagai dihantam godam besar. Dengan santainya mas Umar mengatakan itu tanpa memikirkan bagaimana perasaanku. Hanya gara-gara uang jatah bulanan itu, dia tega membuat aku hancur. "Aku tidak setuju, aku tidak mau dimadu. Kalau kamu memang mau melakukan itu, aku lebih baik minta cerai saja," ujarku. Entah dari mana aku mendapatkan keberanian untuk mengucapkan itu. Perceraian memang tidak pernah aku inginkan. Tapi untuk dimadu, aku tidak mau. Sebelum dimadu saja mas Umar tidak pernah adil antara aku dan ibunya. Apalagi ada orang baru lagi. Bisa-bisa aku tersisih. Rahang mas Umar mengeras, wajahnya memerah menahan marah. "Gila kamu Dil! Aku tidak akan menceraikan kamu," Setelah mengatakan itu, mas Umar berlalu pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Badanku merosot begitu saja, terduduk di lantai keramik. Perasaanku sudah campur aduk saat ini. Marah, sedih, kecewa berkecam
Tatapan yang sangat menyebalkan dari mama mertuaku, membuatku kesal. Namun sebisa mungkin aku menahannya. Aku tidak boleh lagi terlihat lemah. Cukup tadi saja aku menangis di depan mereka saat mas Umar menjatuhkan kata talak. Kini tidak lagi. Aku harus terlihat kuat dan tegar, biar bagaimanapun ini juga kemauanku untuk tidak dimadu. "Aku mau pulang Ma, pulang ke tempat asal aku berada," jawabku, dengan mimik wajah sesantai mungkin. "Oh pulang ke habitat awal? Baguslah kalau kamu sadar sendiri. Toh ini juga bukan rumah kamu lagi," ujar mama mertuaku, tersenyum sinis. Aku mengulum senyum mendengar kata-kata mama. Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak saat ini, tapi dengan cepat aku tahan. "Yang dikatakan mama itu benar. Kamu bukan nyonya di rumah ini lagi. Dalam waktu beberapa hari, aku yang akan jadi nyonya di rumah milik mas Umar," sambung Liana dengan bangganya. Kali ini aku tidak bisa lagi menahannya. A
Disepanjang perjalanan menuju rumah mama, air mataku tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi. Sengaja aku memacu motorku pelan dengan kaca helm ditutup. Aku tidak mau orang lain melihat keadaanku yang begitu menyedihkan. Perjalanan yang harusnya aku tempuh selama dua jam, kini malah molor jadi tiga jam perjalanan. Air mata yang tidak berhenti mengalir membuat penglihatan buram, mau tak mau aku memelankan laju motor agar bisa selamat sampai tujuan. Dada ini terasa sesak. Dua tahun yang lalu aku dilamar dan dinikahi. Besar sekali harapanku untuk bisa membangun biduk rumah tangga yang harmonis dengan mas Umar. Tapi sekarang semuanya sudah sirna, kandas sudah angan-anganku. Ternyata benar apa yang dikatakan mama dulu. Membangun rumah tangga memang tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Banyak sekali yang belum aku ketahui, seluk beluknya, cara mempertahankannya dari segala badai yang menerpa. Motorku berhenti tepat di halaman rumah mam