Aku duduk bersandar di sofa depan televisi. Tubuhku rasanya lelah sekali hari ini. Bagaimana tidak lelah, setelah mama mertuaku pulang. Mas Umar datang dan membawa satu kantong besar pakaian kotor ke rumah.
"Tolong cucikan ya, Dil!" Kata 'tolong' yang aku dengar dari mas Umar, membuat keningku saling bertaut. Enak sekali dia membawa pakaian kotor sebanyak ini ke rumah. Belum lagi aku tau, siapa pemilik pakaian kotor itu. "Nggak mau Mas! Memangnya ini pakaian siapa? Banyak sekali," keluhku. "Itu pakaian mama sama Lila, masa kamu nggak mau sih? Di rumah mama, airnya tidak mengalir, jadi tidak bisa cuci pakaian," jelas mas Umar. Mulutku terbuka lebar. Pakaian mama dan Lila? Bisa-bisanya mas Umar membawa semua pakaian itu ke rumah. Kalaupun air tidak mengalir, kan masih bisa menggunakan air sumur. Di belakang rumah mama juga masih ada sumur yang banyak airnya. Kenapa tidak menggunakan itu saja? Kenapa malah meminta aku mencucinya? Bukannya aku tidak mau, tapi mereka kan masih mampu mengerjakannya sendiri. "Kenapa tidak dibawa ke laundry saja? Oh iya, sumur di belakang juga masih berproduksi, kan?" tanyaku kesal. "Jangan banyak tanya Dil! Kerjakan saja semuanya! Aku juga tidak tau kenapa, mama cuma memintaku membawa pulang ke rumah. Masalah laundry dan sumur, mana aku tau," sahut mas Umar, berlalu pergi setelah meletakkan kantong besar itu. Sambil duduk di sofa aku memijit kaki dan tanganku bergantian. Pegal sekali rasanya harus mengerjakan semuanya sendiri. "Dil, bagi uang dong! Mas mau keluar," ujar mas Umar, tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku. Aku melotot kaget. "Bukannya kamu punya pegangan uang gaji kamu? Kenapa malah minta lagi ke aku?" tanyaku, menatapnya curiga. "Uangku dipinjam mama. Katanya buat bayar listrik dan air. Cepat mana uangnya, aku mau berangkat ini!" desak mas Umar. Hampir saja aku tersedak mendengar alasan mama minjam uang ke mas Umar. Bukannya tadi pagi sekali mama bilang mau bayar arisan berlian? Bisa-bisanya mama bilang ke mas Umar buat bayar air dan listrik. Dasar picik sekali! "Aku tidak memegang uang lagi Mas, kalau mau ada lima ribu di dompet," ujarku. "Yang benar saja kamu Dil, masa iya kami nggak ada uang? Uang kemarin itu ke mana? Lima ribu mana cukup buat beli kopi," omel mas Umar, wajahnya memerah menahan marah. Aku tidak peduli dengan kemarahan mas Umar. Percuma dia sekolah tinggi, tapi mau saja dibodohi ibunya sendiri. Uang yang dia beri saja masih kurang, malah mau memintanya lagi. "Semua uangnya sudah aku bayarkan ke kredit mobil dan motor kamu, sisanya bayar rumah, bayar air, bayar listrik. Tuh sisanya cuma seratus lima puluh buat beli beras, gas, dan lainnya. Mau kamu ambil lagi? Kalau mau ambil saja, tapi nanti kalau kamu lapar, isap aja jempol kamu buat mengganjal lapar, atau pulang ke rumah mama bilang saja minta makan," sahutku, kemudian aku beranjak dari sofa dan berlalu meninggalkan mas Umar. Seolah tidak peka apa arti kata-kataku tadi, mas Umar malah ikut menyusulku ke kamar. "Dil, seratus lima puluh juga tidak apa-apa. Mana uangnya?" Tanpa malu mas Umar menengadahkan telapak tangannya ke arahku. Mataku melotot sempurna. Aku kira dia merasa malu karena sudah memberi uang bulanan kurang, lalu membatalkan niatnya meminta uang. Tapi ternyata aku salah, dia malah semakin menjadi-jadi. "Kamu gila atau apa Mas? Kamu benar-benar mau mengambil uang yang tidak seberapa itu?" tanyaku tidak percaya. "Iya, aku perlu uang itu Dil. Kan tidak lucu kalau aku datang ke acara temanku tanpa membawa sepeser uang pun. Cepat mana uangnya? Nanti kalau tidak aku gunakan juga aku kembalikan lagi," sahut mas Umar, terus mendesak aku memberikannya uang. "Nih ambil! Ingat ya Mas, kalau uang itu habis. Aku tidak bercanda soal kata-kataku tadi. Jangan protes kalau di meja makan hanya ada piring kosong yang tersaji!" ancamku, berharap mas Umar takut. "Kamu tenang saja, aku pergi dulu!" sahut mas Umar, gegas pergi setelah mengambil kunci motor trailnya. Kepalaku berdenyut sakit. Baru satu hari uang itu ada di tangan, sekarang sudah habis tak tersisa. 'Lebih baik aku ke rumah mama saja, dari pada di sini. Iya kalau uangnya balik lagi. Kalau nggak? Bisa makan angin aku di sini. Punya suami kelewatan pintar akhirnya bodoh sendiri,' umpatku, gegas aku menyiapkan tas besar dan mengisinya dengan pakaian. Tanpa memberitahu mas Umar lebih dulu, aku langsung pergi ke rumah mamaku dengan menggunakan motor matic pemberian mamaku sewaktu kuliah. "Eh Dila, tumben kamu ke sini sendiri. Umar mana?" tanya mama, menyambutku di teras rumah. Aku berdiri sejenak setelah memarkirkan motorku. Sudah hampir tiga bulan aku tidak ke rumah mama. Rumah yang selalu saja aku rindukan, rumah yang menyimpan sejuta kenangan dari aku kecil sampai beranjak dewasa. Puas memandangi rumah, aku bergegas menghampiri mama. "Mas Umar sedang sibuk Ma, jadi Dila sendiri ke sini. Sudah kangen banget sama mama," jawabku berbohong, lalu memeluk mama erat. Dalam pelukan mama aku terisak. Pelukan hangat mama mampu membuatku merasa nyaman dan melupakan bebanku selama ini. "Kamu nangis Dil?" tanya mama, mengurai pelukan dan menatapku serius. "Hehehe iya Ma, maaf ya Ma," sahutku, tertawa kecil mencoba menyembunyikan semuanya. "Kita masik dulu, baru nanti di dalam cerita!" ujar mama, menuntunku ke dalam rumah. Aku meletakkan barang bawaanku di samping sofa, lalu ikut duduk di samping mama. Beberapa kali aku mencoba menyembunyikan ekspresiku, tapi mama pasti selalu bisa menebaknya. Mungkin ini yang disebut ikatan batin antara ibu dan anak. Sekuat apapun aku menyembunyikan kebenaran tentang rumah tanggaku, mama pasti akan dengan mudah mengetahuinya. "Apa kamu dan Umar ada masalah?" tanya mama, mulai mengintrogasi ku. "Aku tidak ada masalah Ma. Semuanya baik-baik saja," jawabku dengan kepala menunduk. Aku tidak berani mengangkat kepala dan bertatap langsung dengan mama. "Jangan bohong Dil! Mama ini mama kamu, apapun yang kamu sembunyikan, Mama pasti tau. Cerita saja, Mama akan jadi pendengar yang baik!" ujar mama mencoba meyakinkan aku. Aku mengangkat kepalaku, menatap wajah mama mencari kebenaran di sana. Saat aku mulai merasa yakin, aku menghela nafas panjang. Lalu mulai menceritakan semuanya. Semuanya yang berkaitan dengan rumah tangga dan keuanganku selama ini. Mama menutup mulutnya terkejut mendengar ceritaku. Sebenarnya aku tidak bermaksud menceritakan keburukan suami, mertua dan iparku. Buktinya selama dua tahun aku memendamnya sendiri. Tapi kali ini semuanya sudah keterlaluan. Jalan satu-satunya, aku menceritakan semuanya guna meringankan beban pikiran dan hatiku."Dil, kamu marah sama Mama?" tanya mama, masuk ke dalam kamarku. Setelah kejadian itu, aku memilih mengurung diri di kamar. Bukan karena aku marah, aku hanya masih merasa kesal saja. Terlebih Lila memfitnahku di depan keluarga Firman, ada kedua mertuaku saat itu. Aku menoleh menatap mama. Daru raut wajah mama, terlihat jelas sekali kalau saat ini mama mungkin merasa bersalah. "Tidak Ma, aku tidak marah," jawabku, mencoba tersenyum. Melihat mama mendekat, Firman memutuskan untuk keluar dari kamar, memberi ruang untuk aku dan mama saling bicara. "Boleh Mama duduk di sini?" tanya mama, menunjuk ke arah sampingku. "Boleh Ma, duduk aja!" sahutku, menggeser posisi. "Maafkan Mama, Dil! Semua kekacauan tadi siang terjadi karena Mama. Mama yang salah karena mengundang mereka ke sini. Mama tidak bermaksud seperti itu, Mama hanya ingin menyambung silaturahmi, sekaligus memberi mereka bukti
Emosiku kini mulai membuncah. Aku yang tadinya sudah merasa bisa menerima masukan dari Firman kembali meradang. Ternyata memang sesulit ini berlaku baik pada orang jahat pada kita. Mau seperti apapun baiknya kita, pasti akan selalu saja ada salah di mata yang tidak suka. "Jangan bicara sembarangan kamu La! Untuk apa aku berpura-pura hamil? Kalau kenyataannya begini, mau apa kamu? Memangnya salah, kalau aku benar hamil? Toh, aku punya suami, wajar saja aku bisa hamil seperti ini. Kalau kamu tidak percaya, ikut aku ke kamar dan kita buktikan semuanya!" Tantangku, entah seperti apa wajahku saat ini. "Santai dong Mbak! Aku kan cuma tanya dan memastikan. Kalau memang benar hamil, baguslah kalau begitu. Paling tidak, Mbak tidak dikatakan mandul lagi," cibir Lila, semakin menjadi-jadi. "Asal kamu tau, aku tidak mandul! Apa kurang bukti waktu kita bertemu di klinik kemarin? Kamu juga memeriksakan kandungan kamu kan?" Balasku, kini tatapanku ter
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Aku duduk di sebuah kursi di tengah-tengah hiasan yang sudah mama siapkan. Hati ini terasa sangat bahagia, ternyata begini rasanya mengandung dan melaksanakan ritual mandi-mandi tujuh bulanan. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya, apalagi setelah penghinaan dan fitnah masa lalu yang aku dapatkan dari orang paling terdekat di hidupku. 'Dasar mandul! Pantas saja suaminya tidak betah.' 'Gara-gara tidak bisa memberi keturunan, suaminya meninggalkannya.' Kata-kata itu akan terus aku ingat. Bukan aku seorang pendendam, tapi aku akan selalu mengingat setiap kata yang membuatku terpuruk waktu itu. Aku tidak akan bisa lupa. Air mata ini menetes begitu saja, seiring guyuran air pertama membasahi pucuk kepala dan akhirnya jatuh membasahi seluruh tubuh ini. Sensasi dingin namun terasa segar, begitu aku nikmati. "Memang lain ya, pancaran ibu hamil itu beda sekali
Semua keputusan akhirnya berakhir merujuk rumah ibuku di desa. Aku tentu saja dengan senang hati menerimanya. Selain aku merindukan ibu dan saudara laki-lakiku, aku juga merasa nyaman jika acara dilaksanakan di rumah ibu sendiri. Keesokan harinya, aku dan Firman sudah bersiap berangkat menuju desa. Rencana awal untuk membeli bahan makanan kami batalkan. Rasanya tak tega jika harus meminta ibu memasak semuanya. Apalagi ibuku semakin hari bertambah usia. "Gimana Yank?" tanya Firman, menyusulku ke kamar. "Aku sudah siap, ayo pergi!" Dengan cepat aku meraih lengan Firman dan berjalan bergandengan tangan. Banyak sekali yang kami ceritakan selama perjalanan. Bernostalgia masa lalu kami berdua. "Kamu benar-benar serius waktu itu, atau cuma karena kasihan denganku, Yank?" tanyaku, selalu saja bertanya yang tidak jelas. "Jangan mulai Yank! Kenapa sih hobi sekali bertanya seperti itu? pertanyaan kamu ini menjebak tau! Aku jawab ti
Firman menanyakan itu dengan tegas. Mata teduhnya yang sering aku lihat, sekarang menampakkan kilat tajam. "Da-dari Silvi," jawabku sedikit takut. Silvi, adalah temanku dulu saat berkuliah. Sebenarnya bukan teman dekat. Hanya kenal begitu saja, karena aku dan dia juga tidak satu jurusan. Beberapa waktu lalu saat aku dan Firman pergi ke salah satu minimarket, tanpa sengaja aku bertemu dia. Dia menanyakan kabarku, lalu meminta nomor teleponku dengan alasan ingin menjalin tali silaturahmi. "Silvi? Sejak kapan kamu berteman dengan dia?" tanya Firman, ia tampak terkejut. "Berteman akrab sih tidak, cuma kenal begitu saja. Kebetulan dia punya nomor ponselku," jelasku. "Sayang, Silvi itu tidak tau, kalau aku sudah menikah dengan kamu. Lalu, untuk apa dia mengirim foto itu?" ujar Firman, kali ini aku yang terkejut. Memang benar, pernikahan kami diadakan tidak meriah. Yang diundang juga orang-orang dekat saja. Sedang para teman-tem
Setelah pertemuan di klinik, aku jadi malas berpergian ke mana-mana. Aku malas jika harus bertemu dengan mereka. Bukan takut karena akan dihina. Aku hanya tidak mau menambah masalah lagi saja. "Sayang, kamu di rumah aja atau ikut aku?" tanya Firman, ia sudah rapi dengan pakaiannya. Malam minggu seperti ini, Firman jarang sekali berpergian keluar jika tidak bersamaku. Tapi malam ini, ia terpaksa menghadiri reuni bersama teman-teman satu jurusannya dulu saat kuliah. "Aku malas Mas, kamu saja yang pergi!" tolakku. "Memangnya kamu tidak takut?" tanya Firman, ia sengaja menggodaku kali ini. Keningku mengernyit, apa maksudnya bertanya seperti itu? "Takut apa? Takut sendirian di rumah? Biarpun sendirian, tidak akan mungkin ada hantu yang muncul Mas!" sahutku, kemudian terkekeh. "Bukan hantu, Sayangku! Aku kan pergi reuni, kalau reuni kan biasanya bertemu dengan teman-teman lama. Siapa tau diantara teman lama itu ada