Betapa teganya ibu mertua tidak mengangkat cucianku, sementara dia sendiri tahu bahwa bagiku hanya memiliki sedikit pakaian, dia sendiri juga melarang diri ini untuk memakaikan bayi Rima pospak dengan alasan pemborosan. Kulirik keranjang pakaian, yang tersisa hanya 3 popok kain, ada empat bedong, Aku tidak yakin pakai yang itu akan cukup sampai malam nanti bahkan esok pagi.
Pergi kupandangi cucianku yang tengah melayang di tiup badai dan angin hujan deras dengan hati remuk redam. Mungkin karena aku berlatar belakang yatim piatu miskin sehinggaa ibu mertua sama sekali tidak menghargai keberadaanku. Mungkin aku tidak seperti menantu menantu nya yang lain yang berasal dari keluarga kaya dan kerabat dekatnya. Pernikahan kami nyaris tidak disetujui andai kak Aidil tidak nekat menyatakan keinginannya.Kabarnya suamiku yang anak bungsu hendak dijodohkan dengan seorang bidan, tapi karena kaidah lebih mencintai diri ini maka urung lah mertua bermenantukan seorang petugas kesehatan.Mungkin itulah yang membuat mertua punya sikap kasar dan sentimen negatif kepadaku, selalu begitu, sejak hari pertama diri ini jadi menantu."Jika terus begini aku tidak tahan, aku bisa depresi dan gila, anakku bisa jadi korban sindrom depresi melahirkan. Ingin rasanya aku kembali ke rumah Inaq--nenekku--orang yang sudah membesarkanku dan menggantikan kasih orang tua yang telah diambil Tuhan." Aku menggumam sambil mengusap air mataku.Tadinya, aku hanya pelayan di rumah makan dengan gaji seadanya, sebisa mungkin ku cukupkan uang tersebut untuk kebutuhanku dan nenek, hingga tiba-tiba Kak Aidil datang dalam hidupku untuk menawarkan cintanya. Dia bilang, dia akan membahagiakan ku, dia bilang keluarganya akan menggantikan ruang kosong di dalam hati ini yang merindukan sosok orang tua. Tapi lihat buktinya, bahkan untuk perkara air saja ibu mertua sangat perhitungan.Andai aku kaya, andai aku punya daya dan upaya. Andai berandai-andai, berangan-angan seandainya aku adalah menantu kaya yang hanya pura-pura miskin, tentu akan terkejut sekali ibu mertua dengan kenyataannya dan di hari itulah aku akan balas dendam mengerjai ibu mertua, tapi itu hanya angan-angan dan cerita sinetron, kenyataannya hidupku masih pahit saja sampai sekarang, ya, sampai sekarang.Melihatku terduduk sedih di teras, Kak Aidil yang baru pulang langsung bergegas masuk, dia menghampiriku dan langsung memapahku masuk."Dik, ngapain duduk di sini ketika hujan dan petir, pamali," ucapnya sambil berusaha membangunkanku.Aku yang sejak tadi sudah tak mampu menahan kesedihan langsung menangis tersedu-sedu di bahu suamiku yang berhati lembut. Sejak pertama kali mengenal hingga sekarang tak sekalipun pria itu menyakiti hati atau mengecewakanku. Dia amat baik dan perhatian, tapi, satu hal yang kurang kusukai darinya, ia terlalu menggantungkan hidup dan keputusan pada ibunya.Mungkin nanti, jika wanita tua jahat itu sudah meninggal, mungkin itulah waktunya suamiku mulai mandiri dan aku baru akan merdeka dari tekanan ini."Kenapa menangis Dik?""Aku lelah dan sakit, Mas, cucianku basah," ucapku sambil menahan sesak yang naik dan menusuk tenggorokan.."Astaga ... Ini kenapa berdarah, kamu demam Dik Zahra?" tanyanya melihat kainku yang berwarna merah, suamiku langsung panik terlebih ketika meraba tubuhku yang panas luar biasa."Tadi, aku mencuci di sumur, menimba dan mandi, lalu menggigil dan keluar darah Mas!""Jangan-jangan jahitannya lepas, Dik?""Gak tahu, Kak, yang pasti sakit sekali," ucapku menangis tersedu di bahunya."Ayo masuk dulu, ganti kain dan minum obat," ucapnya lembut."Itu pakaian Rima hanya tinggal tiga biji, gak akan cukup kak," ucapku sedih."Sudah jangan khawatir, nanti Kakak belikan pospak.""Nanti ibu keberatan," ucapku ragu."Tenang, biar nanti aku yang kasih tahu Ibu, kamu tadi timba air ya, kenapa gak minta tambahan dari ibu?""Ibu bilang gak bisa ....""Apa alasannya?" desak suamiku setengah tidak percaya. "Mungkin kamu gak paham apa kata-katanya, Sayang. Apa mungkin ibu melarang kamu ambil air?""Dia bilang tagihan listrik akan membengkak balasku lirih."Seember air tidak cukup Kak, aku harus mandi, masak, mencuci dan lain sebagainya," keluhku dengan air mata berderai, teringat kembali betapa susahnya siang tadi diri ini menggeret air dari sumur yang dalam."Adik kesakitan menarik beratnya timba, belum lagi cuaca sangat panas," ucapku dengan suara parau karena menahan sedu sedan dan sesak dada."Kalau begitu kita akali saja Dik. Nanti kakak beli ember tambahan, dan ketika ibu menyalakan air, Kakak bisa nekat nyuci baju kalian dan mandi, kamu pun mandi.""Tapi ibu bisa curiga, kalau ketahuan semuanya bisa gawat, Kak.""Gak akan ketahuan kalau kita diam-diam aja.""Maaf ya kak, kalo aku ngeluh, perasaannya yang hidupnya serumit ini ... kok hanya aku ya, Kak? Kakak-kakakmu baik baik saja dengan jatah air yah minim.""Mereka kan punya bak mandi yang besar Dik, sementara kita, kamar mandi pun masih setengah rampung, belum ada bak.""Lalu kenapa Ibumu pelit sekali dengan air?""Mungkin maksudnya baik, dia ingin membiasakan kita hidup prihatin. Sudahlah ya, jangan sedih, aku akan pergi menemui ibu untuk bicara," ucapnya mengusap bahuku lalu membantuku berbaring. Setelah Kak Aidil ganti baju, dia keluar dengan senyum lebarnya.Mungkin berselang 5 menit dari kepergian Aidil tiba-tiba aku mendengar suara kegaduhan dari rumah ibu mertua, sayup-sayup kudengar ibunya Kak aidil berteriak dan menghardik anaknya. Kucoba menajamkan pendengaran karena hari masih hujan jadi suaranya tidak begitu jelas."Apa katamu, Pampers? Gayamu ...!" teriak wanita itu dengan lantang. "Ajarkan istrimu untuk tidak terlalu manja, hanya karena perkara air dia sampai mengadu begini padamu. Kau lihat tidak dari semua Kakak dan Kakak iparmu, apakah ada dari mereka yah pernah complain dengan pengaturanku? hanya istrimu saja yang banyak tingkah dan manja. Mentang-mentang baru lahiran. Asal tahu aja ya, semua orang juga lahiran, tapi tidak ada yang semanja dia!"Mendengar itu dadaku rasanya ditusuk-tusuk, air mata ini melelek begitu saja, aku tersinggung dan jiwaku merasa sangat tersakiti, aku ingin keluar dan menjelaskan betapa sakitnya badan ini, tapi itu bukanlah ide yang bagus.Yang kulakukan hanya bisa tersedu sambil mengadu pada Allah.Suamiku kembali ke rumah degan wajah sedih dan kecewa, dari kejauhan dia terlihat gontai sementara ada rasa iba sekaligus sedih juga melihat dia terpaksa bertengkar dengan sang ibu karena aku. Kutunggu diambang pintu dan ketika netranya bersitatap denganku, dia tetap berpura-pura menyungginggakan senyum dan mengangguk, berusaha menenangkanku padahal aku sendiri tahu dia tengah berperang dengan batinnya sendiri.Ingin kucoba mengajaknya pindah dari lingkungan ini tapi aku sendiri paham bahwa kami tidak memiliki uang atau simpanan. Rasanya akan memberatkan sekali kalau dalam kondisi sakit begini harus pindah, bingung memikirkan biaya, belum kebutuhan makan dan biaya lainnya. Kepalaku pusing, terhimpit oleh beban yang rasanya tak bisa kutanggung. Belum lagi rasa iba dan bersalah pada suamiku, rasanya aku telah menjadi istri yang begitu menyusahkannya.Namun bukankah Tuhan tahu persis bahu mana yang harus Dia berikan beban, bukankah manusia diberi ujian sesuai kadar kemampuannya? Apakah
"Bayimu popoknya basah, tolong diganti dek," ucap kak Tina memperlihatkan popok Rima."Oh iya baiklah," jawabku dengan suara parau karena habis menangis."Kamu kenapa, apa kamu habis menangis?""Tidak juga," jawabku pelan. Kakak ipar lalu bangun, memeriksa sudut rumah membuka kamar mandiku. Ingin sekali kucegah dia karena tidak ingin kakaknya Kak Aidil melihat pemandangan yang ada di sana. Ketika pintu kamar mandi berderit dan terbuka langsung saja terlihat pemandangan yang tidak mengenakkan mata tumpukan cucian yang penuh di dalam bak, lalu ada cucian piring di dalam bak lain, dan ember air yang kosong melompong.Sialnya dia melihat sarungku yang bekas darah, lalu kakak iparku nampak syok dan menggeleng pelan."Apa kamu tidak punya air di rumah?""Udah habis Kak Kakak tahulah kalau ibu nifas, kami membutuhkan banyak air bahkan untuk membersihkan diri sendiri pun membutuhkan air berkali-kali hingga bersih," jawabku menunduk."Rumahmu terlihat kotor dan berantakan, kamar mandimu juga
Keesokan harinya, Setelah azan berkumandang terdengar bunyi ketukan air yang jatuh di permukaan ember kosong, menyadari itu, aku dan suami langsung bangun. Bahu membahu kami mengisi air, dia mencuci bajuku dan anak, sementara aku mencuci piring. Dibantunya juga diri ini untuk mandi dengan puas lantas diisinya dua ember besar itu hingga penuh.Hari ini aku merasa sedikit segar, sedikit gembira dan lega, sakit punggung yang kemari nyaris membuatku tak bisa duduk kini terasa lebih lentur dan lega. Sebelum berangkat ke kebun dan Empang ayahnya, Kak Aidil menyiapkan sarapan seadanya, mie sakura dan telur yang terasa nikmat sekali karena disiapkan suami sendiri. Kami makan dari mangkuk yang sama sambil sesekali bercanda dan saling berebut telur."Hati hati di rumah ya, akan kusuruh bibi penjual ikan untuk mengantarkan cakalang asap, jadi kau tidak perlu repot-repot menyiangi ikan dan mengolahnya.""Harus juga kak, dibikin sambal, enak," jawabku."Baiklah, jangan lupa ajak Rina berjemur
Kreeek ....Derit engsel kamar mandi terbuka, mungkin seumur hidup, baru kali ini aku dalam hidup suara pintu terdengar seram sekali. Mungkin ketegangan diri ini yang membuatku gemetar dan tak tahu harus bagaimana.Ibu mertua terlihat memindai suasana kamar mandi dan terkejut melihat ada dua ember besar yang terisi penuh air di sana."Ember baru?""I-iya.""Sejak kapan?""Semalam.""Uang dari mana?""Dicicil, Bu, kata Kak Aidil, biarlah dia mencicil ember agar stok air di rumah tetap ada, jadi saya tidak perlu menimba dan pendarahan lagi."Sebenarnya, jika hanya perkara ember tidak harus jadi pencetus emosi ibu mertua sampai terlihat benci sekali terhadap menantunya, sekali lagi itu hanya ember. Perkara remeh remeh air dan ember."Lancang sekali berani berhutang tanpa bertanya dulu, apa kalian hendak mempermalukanku?!" Wanita itu langsung meradang, diseretnya lenganku ke teras lalu dengan emosi yang amat membuncah wanita itu mencecarku dengan segala makian dan hujatan."Tidak tahu
"Berani sekali kau menghidupkan pompa dalam keadaan sulit air seperti ini, udara panas dan kering, hujan jarang turun dan kau malah menyia-nyiakan air!"teriak Ibu sambil pergi mendekati mesin dan berniat mematikannya."Ibu tidak bisa menyentuhnya, aku benar benar sudah sakit hati dengan ini! Kenapa perkara air saja ibu pelit sekali!" "Ada apa kamu, Aidil?" ujar Kak Yanto kakaknya yang tertua. Kak Yanto adalah kakak bertubuh tinggi dengan kulit gelap, perawakan serta roman mukanya tegas membuat orang takut dan segan ketika berjumpa dengannya."Aku hanya protes kenapa seseorang membatasi air bagi seorang ibu yang baru melahirkan dan membutuhkan lebih banyak untuk bersih bersih dan mencuci!""Apa salahnya berhemat, dari dulu desa kita memang kesulitan air bersih!" Ujar Kak Yanto mendekat."Matikan mesinnya.""Aku tak akan matikan sampai ibu mengizinkan istriku untuk menggunakan air lebih banyak.""Istriku juga pernah melahirkan dan mengalami masa nifas tapi aku tidak membuat kehebohan
Dalam keadaan yang sudah rusuh seperti itu tiba-tiba kak Tina datang dari tempat dia bekerja sebagai guru. Wanita itu dengan segera menepikan motornya dan setengah berlari menghampiri kami."Abah, Ibu apa yang sedang terjadi di sini?!" Seakan punya firasat dia segera berlari dan menghampiriku."Kami sudah memberi pelajaran kepada wanita yang sedang tidak tahu diuntung ini!"ucap Ibu sambil berkacak pinggang dan menunjuk dengan jari telunjuknya.Kakak Tina yang seakan paham apa yang terjadi setelah melihat pekarangan becek dan mesin pompa segera menggendong anakku dan memintaku untuk bangkit."Ayo bangun masuklah ke dalam," suruhnya dengan suara lembut namun penuh penegasan. Kakaknya suamiku. yang nomor dua ini memang satu-satunya yang merupakan PNS dan bersekolah tinggi dalam keluarga mertuaku."Jangan coba untuk melindungi wanita ini! karena kami akan mengusirnya!""Abah, Ibu, tolong tenang ya, malu dilihat orang, dia ini adalah menantu kalian dan ia sedang sakit, saya mohon Abah ...
Aku yang tak kuasa menahan tangisan dan gejolak kesedihan langsung bersimpuh di depan ibu mertua. Memohon di kakinya agar tidak diperlakukan serendah itu."Ibu tidak pantas ibu merendahkan saya seperti ini, saya adalah menantu Ibu," ucapku menangis."Hahah, apa kau merasa takut dan lemah hati?""Tolong maafkan saya," ucapku "Harusnya pikirkan dulu sikapmu sebelum bertindak, kau membuat keluargaku malu, kau menjadikan masyarakat punya topik pembicaraan atas kami semua. Aku ini orang terhormat, bukan rendahan sepertimu," ucapnya sambil mendorong kepalaku. Saking kerasnya dorongan tangan ibu menyodok kepala, gelungan rambut yang kuikat sampai terlepas dan membuat anak rambutku terurai menutupi wajah."Tolong jangan suruh saya buka baju ..." Sungguh miris hati ini sampai memohon seperti itu, aku seperti berada di jaman penjajahan, terhina dan tidak punya pilihan."Baik, kalo tidak mau buka baju," ujarnya sambil melirik suami, dan kedua putranya, berikut juga cucu cucunya yang terdiam.
Mungkin karena melihat kami yang sudah rapi dan berkemas kemas, ibu mertua menjadi risih dan rasa ingin tahunya segera memaksa wanita itu untuk mendatangi pelataran rumah kami. "Heh, mau kemana kalian," ujarnya ketika melihat Kak Aidil menumpuk kardus pakaian dan perlengkapan rumah tangga.Aku yang sibuk mengganti popok Rima hanya acuh tak acuh saja, kuputuskan untuk fokus pada anakku dan membiarkan wanita itu bicara dengan putranya. Kubuka dompet, di mana aku menyisihkan uang belanja untuk keperluan mendadak, ada beberapa lembar dan kurasa akan cukup jika kugunakan uang itu sebagai ongkos dan modal bertahan hidup dua sampai tiga hari."Ibu tanya kamu mau ke mana?!" teriak wanita itu sekali lagi, aku tersentak, tapi tidak bersuara banyak."Mau ke rumah neneknya Zahra, untuk sementara kami akan tinggal di sana sampai istriku sembuh dan bisa mengerjakan tugasnya sendiri," jawab Kak Aidil sambil mengikat kardus."Oh, tidak bisa! Tidak boleh ada seorang pun dari anakku yang bisa meningga