SKL 6
.
Di sebuah kamar sederhana, seorang gadis tertidur pulas memberi hak tubuhnya yang begitu lelah sejak pagi hingga malam menjelang.
Suara ponsel berdering membangunkan tidurnya. Nabila beringsut duduk dan mengambil ponsel yang terletak di nakas. Gadis itu menguap dan mengucek matanya agar bisa melihat dengan jelas siapa penelepon di tengah malam itu.
Deandra Pradipta SMA. Begitu Nabila menyimpan kontak Dee.
"Halo, Bila … Nabila aku mau minta tolong. Plis help!" teriak Dee begitu Nabila menggeser layar untuk mengangkat telepon.
Nabila sempat tersentak mendengarnya. Lalu, sambungan terputus tiba-tiba dan belum sempat Nabila simpulkan apa yang terjadi.
Nabila terlihat kebingungan dengan sisa kantuk yang bersarang. Ponsel masih ia genggam di tangannya. Pasalnya yang menelepon bukan sahabatnya atau teman dekat, tapi teman yang dulu sangat tidak menyukainya.
Namun, Nabila kembali berpikir tentang satu kalimat yang diucapkan Dee sebelum sambungan terputus. Gadis itu menggeleng pelan, masih memikirkan kemungkinan Dee menghubunginya. Kini mata itu sepenuhnya terbuka, dan mulai berpikir kemungkinan bahwa Dee sedang dalam bahaya.
Nabila kembali mencoba menghubungi nomor Dee lewat telepon seluler. Dari nada bicaranya tampak Dee serius sedang membutuhkan pertolongan, meskipun Nabila sendiri tak tahu mengapa. Setahunya Dee dikabarkan menikah dengan seorang putra pewaris tunggal.
Di sudut halte yang dikelilingi kegelapan itu, Dee kembali harus memaki keadaan. Kuotanya habis tak tahu keadaan sedang darurat. Untuk pertama kali ia berdoa dalam hatinya, semoga Nabila menghubunginya balik entah dengan apa pun caranya.
Ponselnya berdering, tanpa disadari Dee tersenyum merasa lega karena doanya terkabul. Padahal sebelumnya ia bahkan tak sudi berbicara dengan Nabila yang menurutnya norak plus cupu.
"Halo … Bila," panggil Dee. Ia menurunkan ponselnya dan menatap layarnya, begitu takut jika sambungan itu kembali terputus.
"Dee?" tanya Nabila memastikan, meskipun ia beberapa kali sudah melihat profilnya. Ia tak mau percaya begitu saja, karena memang dihubungi oleh Dee adalah sesuatu yang janggal. Atau penipuan, bisa saja terjadi di zaman sekarang.
"Iya, ini aku, Bil." Dee berusaha meyakinkan.
"Tolongin aku," ucap Dee dengan sungkan. Ada rasa malu menghakimi dirinya, baik dengan Nabila hanya saat membutuhkan.
"Bukankah kamu menikah tadi pagi?" tanya Nabila bingung.
"Iya, dan aku ditalak bahkan belum sehari menikah. Aku diusir dari rumah, Bil." Kembali air mata Dee mengalir meski ia coba untuk menahannya. Kalimat Bryan, bentakan mama dan papa yang mengusirnya kembali berputar di kepala.
Nabila terkejut bukan kepalang, bahkan ia yang sedari tadi duduk di kasur kini berdiri dan berjalan mengitari kamar seolah sedang mencari serpihan jawaban dari semua kebingungannya.
"Kenapa, Dee?" tanya Nabila penasaran
Dee diam tak menjawab, hanya isak tangis yang terdengar menyayat. Nabila melihat jam yang ada di dinding kamar, sudah pukul satu pagi hari.
"Oke, lupakan jawabannya. Kamu nggak harus cerita. Sekarang posisimu di mana?" tanya Nabila yang tak mendesak jawaban dari Dee.
"Halte jalanan," jawab Dee.
"Astaghfirullah, Dee. Kamu harus aman dulu. Cari tempat yang aman, hotel murah atau apa."
Dee hanya mengangguk pelan meski Nabila tak melihatnya. Ia ingin datang ke rumah Nabila, tapi gadis itu sudah tidak tinggal di Jakarta sejak orangtuanya meninggal.
"Aku sekarang di kampung nenek, di Surabaya. Nanti aku kirim alamatnya, tapi datang besok aja, soalnya nggak ada bus yang akan ke sini malam-malam begini."
Kembali Dee mengangguk seraya mengusap air matanya.
"Gegas sekarang, Dee. Aku takut ada preman di situ."
"Iya," jawab Dee lesu.
"Kamu ada uang?" tanya Nabila. Hatinya merasa pilu mendengar kabar Dee yang sama sekali tak terbayang sebelumnya. Jauh berbeda.
"Ada," Dee mengatakan ada sedikit uang untuk bertahan di Jakarta dan menuju ke rumah Nabila.
Dee berdiri dan kembali mendorong kopernya saat melihat sebuah taksi lewat di depannya. Ia segera menyetop agar tak ketinggalan, karena malam semakin larut.
"Aku udah di taksi, Bil." Dee menutup pintu taksi dengan cepat. Sesekali ia menatap sang sopir dengan penuh kecurigaan karena rasa takut.
"Jangan matiin ponselnya!" perintah Nabila yang seolah memahami keadaan Dee. Ia tahu betul mana pernah gadis itu naik taksi atau angkutan umum lainnya. Ke mana-mana selalu diantar sopir bak ratu yang dikawal.
Dee menarik napas lega, Nabila seolah membaca isi hatinya. Setidaknya berbiacara dengannya tak membuat keadaan dalam taksi terlalu sunyi.
Dee memerintahkan sopir untuk berhenti di sebuah hotel, tangannya sudah memegang pintu ingin membuka. Namun, ia urungkan saat menyadari keadaan diri yang belum beradaptasi. Dee salah, ia merasa masih Dee yang dulu hingga membuat sopir berhenti di sebuah hotel mewah.
"Lanjut, Pak. Di perempatan jalan, hotel sebelah kanan ya."
Dee menyuruh sang sopir untuk melanjutkan perjalanan dan berhenti di hotel sederhana yang bayarannya hanya tiga ratus ribu per malam.
.
"Bro, seriusan lo cerai sama Dee?" tanya salah satu teman kantor Bryan yang menjabat sebagai kepala HRD. Ia mencampakkan sebuah koran yang memuat berita dua keluarga yang sedang hot itu.
Bryan yang sedang menikmati kopi di ruangnya mengangguk dengan pasti.
"Karena?" tanyanya lagi.
"Lo nggak bisa baca ya?" sindir Bryan.
"Ya, bukan itu. Gue nggak percaya aja." Arnold menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Gak nyangka ya. Gue pikir ya elegan banget, cantik banget, ternyata bablas banget juga."
Media berita sedang panas memberitakan kasus perceraian sepasang pengantin yang dianggap sebagai pernikahan paling mewah. Perpaduan kekuatan dua perusahaan besar. Perpaduan pengantin cantik dan tampan yang akan melahirkan anak-anak yang berparas indah dan cerdas. Ternyata semuanya diluar ekspektasi. Di situ tertulis bahwa Dee membohongi Bryan karena tak bisa menjaga kesuciannya dan tak jujur dari awal.
Semua orang heboh menggosipkan itu di sana sini. Bahkan Renita dan William terpaksa harus pulang karena kuping mereka terasa panas mendengar itu.
"Selama ini kami mendidik anak-anak dengan baik, terkadang memang ada hal yang dilakukan di belakang kita yang tidak kita ketahui. Dee sudah menanggung akibat dari perbuatannya, kami mencoretnya dari barisan keluarga Pradipta agar ia tahu akibat dari perbuatannya."
Renita mengklarifikasi dengan tenang saat ditemui awak media.
Tak ada yang bisa mereka lakukan, selain mengelak dan menunggu hingga berita itu perlahan memudar dan hilang dengan sendirinya. Meskipun tetap saja mereka akan dikenang sebagai orangtua yang memiliki anak yang dijandakan di malam pertama.
"Ada yang menghubungi Dee?" tanya William pada anak-anaknya.
Nadine dan Carissa menggeleng.
Jantung Carissa tak henti berdegup, ia takut jika ketahuan memberikan uang untuk Dee. Ia takut jika salah satu satpam memergokinya keluar dari rumah. Namun, ia tetap berusaha tenang agar tak mencurigakan.
"Kalau sampai ada yang menemui atau menghubungi Dee, bersiaplah menuai nasib yang sama." William menatap tajam pada kedua anaknya. Menegaskan bahwa tak ada lagi hubungan antara mereka dan Dee.
SKL 7.Pukul tujuh pagi, saat matahari yang begitu menantang sudah menembus masuk lewat jendela kamar di hotel. Dee sudah membereskan semua barang-barang dan bersiap untuk melanjutkan tujuan. Sejenak ia membuka ponsel ingin memberitahu Nabila bahwa ia akan berangkat dengan kereta api. Semalam saat Dee tiba di hotel, ia tersenyum malu sekaligus perih melihat notifikasi top up kuota dari Nabila.Gadis itu membulatkan mata dengan dada yang tiba-tiba kembali sesak saat melihat sebuah notifikasi yang memberikan berita tentang perceraiannya. Sesaat Dee kembali duduk di ranjang sederhana itu, demi membaca setiap kalimat yang ditulis oleh pemilik tulisan. Dee menggengam erat ponsel di tangannya dengan merapatkan giginya. Bisa-bisanya Bryan dan keluarga mengumumkan berita perceraian itu beserta sebabnya, yang membuat nama Dee semakin buruk di media. Nama yang dulu dikenal sebagai putri dari pengusaha kaya raya yang selalu tampil elegan, kini malah kebalikannya.Dee mengutuk si penulis berita
SKL 8.Setelah putus dari Aldo, Dee tetap melanjutkan hidupnya seperti biasanya. Ia tak ingin galau berkepanjangan, lebih tepatnya tak terlalu menampakkan di depan orang lain, meski sebenarnya ia sakit hati juga kecewa. Namun, Dee tak pernah menjadi pengikut setia kalimat penggalau cinta.'Aku tak bisa hidup tanpamu.''Nadiku berhenti berdenyut tanpamu.'B u l s h i t! Kalimat-kalimat galau yang menurut Dee tidak masuk akal.Gadis itu tetap kuliah, pulang ke rumah dan keluar di malam hari. Ia bersama teman-temannya kerap mengunjungi klub malam dan minum hingga mabuk. Setelah itu ia tak akan pulang ke rumah, menginformasikan orangtuanya tak bisa pulang karena sudha terlalu larut sebab mengerjakan tugas kuliah. Lalu, ia akan menginap di hotel, atau menginap di kos teman.Orangtuanya tak begitu peduli dengan pergaulannya karena mereka sendiri sibuk dengan perusahaan yang semakin berkembang pesat. Sebab itu, hidup Dee semakin liar.Hari terus berjalan, dan aktivitas Dee masih sama. Siang
SKL 9.Setelah pertemuan itu, Dee dan Danial semakin dekat. Keduanya saling merasa cocok dan bahkan terang-terangan sepakat untuk melakukan misi yang sama. Balas dendam antara hati ke hati. Sasaran mereka adalah Aldo dan Sofia.Setiap pagi sebelum berangkat ke kantor, Danial selalu menyempatkan diri untuk mengantar Dee ke kampus sesuai dengan janjinya. Setiap kali ada waktu, mereka jalan berdua, mengintai ke tempat yang sama dengan Aldo dan pacarnya. Seperti hari itu, Dee dan Danial mengikuti Aldo yang memasuki sebuah restoran mewah saat makan siang. Dee melangkah dengan anggun seraya tangan tetap mengait di lengan Danial. Keduanya terlihat begitu romantis dengan senyum terukir, tangan yang saling menggenggam dan canda tawa saat saling bercerita.Diam-diam Aldo mengamati mereka, hingga gadis depannya itu mengikuti arah Aldo memandang. Terlihatlah seorang Dee di sana tengah mengobrol dengan pacar barunya. "Sayang," panggil gadis itu pada Aldo. Seketika ia merasa cemburu dengan tatap
SKL 10.Dee melihat jam di ponsel sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Ia baru saja turun di stasiun kereta api. Lebih dari sepuluh jam di dalam kereta, dan ia sempat sejenak tertidur karena lelahnya pikiran. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sana ke mari, mencari sesosok yang mungkin sedari tadi menunggunya, tapi ia tak menemukan."Gapapa, Bil. Aku naik taksi aja ya," tolak Dee saat Nabila menawarkan diri untuk menjemputnya di stasiun kereta api.Dilihat dari lokasi yang dikirimkan oleh Nabila, rumahnya tak terlalu jauh dari stasiun tempatnya turun. Mungkin hanya memakan waktu sekitar lima belas atau dua puluh menit dengan menggunakan motor.Nabila tertawa di seberang sana. Menertawakan Dee yang mungkin belum terbiasa dengan kondisi yang sekarang. Yang ada di pikirannya angkutan hanya berupa jenis mobil."Nggak ada taksi di sini, Dee. Kalau pun ada jarang," kata Nabila.Dee mengerutkan kening, sadar diri akan keadaaan. Lantas ia kembali membuka dompet dan melihat uang yang
SKL 11."Aku mau mandi dulu, takut magribnya kelewat," ucap Nabila yang berdiri di pintu kamar Dee. Ia membawa Dee dan barang-barangnya ke sebuah kamar yang akan ditempati gadis itu entah sampai kapan. Tadi pagi Nabila sudah membersihkannya sebelum membuka warung dan mengajar di pondok pesantren.Nabila juga menjelaskan bahwa kamar mandi di rumah itu hanya satu, dan Dee mengerti. Itu artinya setiap akan mandi penghuni rumah harus mengantri."Atau mau salat magrib barengan sama aku dan nenek?" tanya Nabila sebelum beranjak dari kamar itu.Dee diam, tiba-tiba darahnya seolah berhenti mengalir entah sebab apa, ada rasa takut mendengar kata salat. Seumur hidup ia tak pernah mengerjakannya, meskipun ia tak lupa bagaimana panggilan adzan berkumandang, tapi ia selalu mengabaikan. Terkadang saat ia pulang siang hari, sore atau entah kapan yang tetap diabaikan.Gadis itu menelan ludah dengan susah, ia menggaruk bagian belakang kepalanya. Dee tak pernah tahu cara salat, gerakan-gerakannya. Ia
SKL 12."Kamu ingin semua orang punya pemikiran sepertimu," "Sama seperti saat kamu bully aku waktu SMA," tambah Nabila sedikit mengenang masa lalunya."Semua orang harus seperti kamu, yang nggak sama seperti kamu berarti salah. Pemikiran kamu itu ternyata masih bertahan sampe sekarang,"Dee menatap Nabila beberapa saat, terlihat bingung karena temannya ternyata juga ikut menyalahkannya, dan malah menyangkut-pautkan dengan masa lalu. Diakui ia memang sering membully dulu, tapi haruskah dibahas sekarang saat hatinya benar-benar porak poranda?"Kamu masih marah sama aku?" tanya Dee.Nabila menggeleng dengan pasti. Luka itu memang menyakitkan, dan setiap akan tidur Nabila selalu mencoba memaafkan, tapi tetap tak bisa terlupakan."Jadi?" tanya Dee dengan nada lirih. Lebih ke pasrah pada apa pun yang nanti akan dikatakan Nabila. Pasrah karena posisinya sekarang hanya sebagai penumpang, dan ia tak tahu lagi harus ke mana jika Nabila tidak menerimanya.Pasrah karena posisinya memang bersal
SKL 13.Beberapa tahun yang lalu.Dua satpam berdiri dengan sikap tegas di depan gerbang menyambut anak-anak yang masuk ke sekolah, atau para orangtua yang memasuki mobil mewahnya ke pekarangan sekolah yang luas demi mengantarkan anak-anaknya.Sekolah elit, rata-rata perkumpulan anak-anak pengusaha dan pejabat. Hampir tidak ada anak-anak yang berasal dari ekonomi kelas menengah ke bawah yang sekolah di sana.Kecuali Nabila. Nabila Asyifa, nama yang disematkan oleh kedua orangtuanya.Saat para siswa-siswi lain diantarkan oleh orangtuanya naik mobil mewah, ia malah menggunakan angkutan umum. Atau jika ibunya sedang tidak sibuk, maka akan diantarkan naik motor hingga di depan gerbang sekolah. Nabila biasanya datang lebih awal, karena jiwa muda dan labilnya masih merasa minder dengan perbedaan. Perbedaan hidupnya dan anak-anak di sini.Ia bukan anak pindahan, tapi anak yang direkomendasikan SMP-nya untuk mendapatkan beasiswa melanjutkan sekolah di sana. Nabila merasa bahagia karena ia m
SKL 14."Astaghfirullah …," ucap dua orang lelaki yang berdiri di depan pos jaga bersamaan. Beberapa detik yang lalu keduanya sibuk mendengarkan ceramah-ceramah agama dari ponselnya. Lalu, saat mereka melihat ke pagar, seorang gadis dengan cepat melangkah masuk ke pesantren yang pagarnya sedikit terbuka. Keduanya saling menatap dan mengurut dada melihat seorang gadis mengenakan celana hotpants dan kaus ketat yang membungkus bagian depannya, ia menenteng dua plastik besar berisi nasi kotak. Dua orang yang bertugas sebagai satpam itu terheran-heran mengapa gadis itu berani sekali memasuki arena pesantren dengan pakaian seperti itu."Kenapa sih, Pak? Kayak liat setan aja," gerutu Dee yang mendekat, ia tak terima dengan sikap mereka. Sikap yang menunjukkan bahwa Dee begitu tak layak berada di depan mereka."Kamu nggak bisa baca ya, Neng?" tanya salah satu lelaki itu."Baca apaan?" tanya Dee.Telunjuk dua lelaki itu bersamaan menunjukkan sebuah plang bertuliskan kawasan wajib menutup aur