SKL 5
.
Mobil yang dikendarai Bryan berhenti di garasi. Ia keluar dan mengunci dengan aman. Sama seperti yang dilakukan papa dan mamanya. Mereka baru saja tiba di rumah setelah dari rumah Dee.
Bryan masuk dan duduk di sofa ruang keluarga, ia mengusap kepalanya yang terasa berat. Malam terberat yang pernah ia jalani selama hidupnya. Ia pikir Dee beda, tapi nyatanya sama saja seperti mantan-mantannya yang bermain di belakangnya.
Menurut Bryan, seseorang boleh melakukan apa saja, asal tidak merusak harga diri. Karena sejatinya yang dimiliki oleh manusia hanya itu.
"Kok bisa sih kamu nggak tau dari awal kalau Dee itu udah nggak perawan?" tanya sang mama yang ikut memijat pelipisnya.
"Ya mana tau, Ma. Emang sebelum nikah dicobain dulu?" jawabnya ngasal dan kesal.
"Ya minimal kamu tau pergaulannya, Bryan!" sanggah sang papa.
"Pergaulannya ya seperti itu, Pa. Biasa have fun, tapi aku nggak sampai kepikiran kalau Dee bakal sebablas itu. Banyak kok cewek-cewek seksi di bar sana yang enggan disentuh lelaki. Mereka cuma minum dan joget-joget biar kepalanya plong." Bryan menjelaskan.
Winda dan Adrian menghela napas panjang. Kepalanya terasa berdenyut memikirkan nasib Bryan yang tak semulus yang mereka rencanakan.
"Sebagai lelaki, aku ngerasa dikasih sampah, Pa!" sesal lelaki itu.
"Sorry," ucap papanya yang merasa bersalah.
Orangtua Bryan dan orangtua Dee bertemu dalam pertemuan bisnis. Mereka sepakat untuk bekerja sama untuk memperbesar jaringan bisnis kedua perusahaan besar itu. Semakin lama mengenal, semakin dekat dan pembicaraan mereka mengarah ke pernikahan dan kriteria jodoh untuk anak-anak mereka.
Hingga suatu hari mereka kembali melakukan kesepakatan untuk menjodohkan Dee dan Bryan. Dalam satu pertemuan bisnis, kedua orangtua itu sama-sama membawa anak mereka untuk dikenalkan satu sama lain. Apalagi saat itu Dee baru bergabung di perusahaan papanya.
Pertemuan demi pertemuan itu mendapat kecocokan. Dee dan Bryan setuju dan merasa sesuai dengan kriteria masing-masing. Orangtua mereka tak memaksa, tapi lama kelamaan mereka yang saling jatuh cinta dan sepakat untuk menikah.
Penampilan Dee sangat menarik di mata Bryan. Tubuh langsing dengan tinggi yang ideal sangat cocok dengannya. Belum lagi pakaian dan barang-barang yang ia kenakan semakin menambah kesan elegan sebagai wanita berkelas. Dress sebatas paha yang memamerkan kaki jenjangnya, baju yang sedikit terbuka hingga menonjolkan sisi seksi dari seorang Dee. Senyumannya, tutur kata yang melenakan semakin membuat Bryan terbius dan ingin segera menghalalkan.
"No, Pa. It's oke. Bukan salah Papa dan Mama."
Bryan kembali teringat masa-masa berkenalan dengan gadis cantik itu. Namun, bayangan itu kembali dikacaukan oleh kejadian beberapa jam yang lalu.
Hening antara Bryan dan orangtuanya. Terlihat sekali wajah lelah mereka, tapi entah mengapa enggan untuk tidur.
"Selanjutnya apa rencanamu?" tanya sang mama menatap wajah lelah putra tunggalnya.
Bryan menggeleng. "Hanya fokus pada pekerjaan, Ma. Kerja dan kerja." Lelaki itu memaksakan sebuah senyuman.
Winda dan suaminya saling menatap, terlihat sekali rasa putus asa di wajah Bryan. Ia pasti butuh waktu untuk berdamai dengan trauma cintanya.
"Do you love her?" tanya Winda pada Bryan. Ia berharap putranya menjawab dengan jujur. Jangan sampai semua yang ia lakukan tadi malah menimbulkan penyesalan di kemudian hari.
Kembali Bryan menggeleng. "I don't know, Ma. Mungkin dulu, tapi sekarang aku merasa hambar dan kecewa. Setidaknya itu yang paling mendominasi saat ini."
Winda dan Adrian menarik napas panjang, tak tega melihat Bryan yang begitu terluka.
"Aku harus berdamai dengan keadaan, dan mencari pengganti. Begitu kan, Ma, Pa?" tanya Bryan.
Orangtuanya hanya mengangguk lemah, seperti nada bicara Bryan.
"Udah malam, mari istirahat."
Bryan bangkit dan naik tangga menuju kamar.
.
Di sebuah halte, Dee duduk menunggu entah apa. Karena beberapa bus telah lewat dan ia sama sekali tak memberhentikannya. Gadis itu kebingungan akan menginap di mana malam ini, bingung harus ke mana. Sementara tangannya terus menggenggam ponsel.
Dee membuka koper, ia mengenakan jaket agar tubuhnya tak terlalu terekspos dan memancing penjahat malam mendekatinya.
Ia kembali membuka ponsel, mencoba menghubungi abangnya yang saat ini berada di Jepang untuk urusan pekerjaan.
Beberapa kali ia hubungi, tapi Gilang tak mengangkatnya. Nomornya sedang sibuk seperti tengah berbicara dengan orang lain.
"Halo, Mas. Tolongin aku …," pinta Dee langsung pada inti setelah panggilan tersambung.
"Aku terusir dari rumah dan ditalak di malam pertama. Bahkan malam ini aku nggak tau harus nginap di mana. Tolong, Mas!" Dee mengadu panjang lebar.
"F u c k you, Dee! Bisa-bisanya kau memalukan seperti itu." Gilang memaki. Di sebarang sana ia bahkan merapatkan giginya seraya tangan mengepal seolah Dee ada di hadapannya.
Baru saja ia mendapat telepon dari mama yang menceritakan tentang adiknya itu. Gilang berteriak marah atas kelakuan Dee yang diluar batas. Mama dan papa memerintahkan Gilang untuk tidak lagi berkomunikasi dengan Dee, atau ia akan ikut merasakan akibatnya.
"Mas …," teriak Dee tak percaya dengan tanggapan abangnya.
"Stop call me! Kita bukan lagi keluarga!" pungkas Gilang melalui sambungan telepon.
Sambungan telepon dimatikan, hingga Dee mencoba memanggil kembali. Namun, nomor itu sudah tak bisa dihubungi. Dee mengecek semua nomor keluarganya, semua tak lagi terlihat profil dan tak bisa dihubungi, menandakan nomornya telah diblokir. Termasuk nomor Carissa yang sudah pasti berada di bawah kontrol papa.
Niat hati ingin meminta bantuan pada abangnya, malah mendapatkan caci maki. Kembali air mata menetes di pipi Dee, tak ada lagi arti keluarga dalam hidupnya. Semua orang meninggalkannya di titik ia butuh pegangan.
Di halte itu, ia menggelamkan wajahnya di kedua lututnya. Malam semakin gelap dan ketakutan dalam diri semakin menyulam rasa. Jalanan semakin sepi membuatnya merinding dalam tangisan, diiringi jantung yang terus berdebar ketakutan.
Dee tak menyerah, ia mencoba menghubungi teman-temannya untuk sekadar meminta tempat penginapan.
Leoni, gadis itu tak bisa membantu karena ia sudah menikah dan harus meminta persetujuan suami, sementara suaminya tak mengizinkan.
Vallen, teman semasa kuliah, ia juga tak bisa menolong karena sedang berada di luar negeri.
Bahkan Angel yang seringkali ia traktir makan di kampus dulu, yang sering ia tolong tak bisa membantunya dengan alasan macam-macam.
Bianca sedang ada problem keluarga, anak dari keluarga broken home itu juga tak bisa membantu karena ia sendiri sedang tak berada di rumah, kabur jauh dari rumah.
Dee menghubungi semua teman-teman terdekatnya. Namun, tak ada yang mau menolong. Gadis itu kembali menangis sekerasnya, beradu dengan bisingnya suara kendaraan di jalanan.
"A n j i n g …! Kalian semua a n j i n g!" teriak Dee sekuat tenaga. Ia kecewa dengan semua orang. Dulu ia selalu ada untuk orang lain, tapi di saat ia butuh, tak ada yang mengulurkan tangan.
Ia terus menangis dan meratapi nasib diri sendiri. Namun, ia teringat grup alumni SMA yang di sana tentu ada nomor teman-temannya. Ia memberanikan diri untuk menghubungi satu persatu, tapi tak ada yang mengangkat teleponnya karena sudah terlalu larut.
Hingga tersisa nomor seorang temannya, Nabila Asyifa menjadi pilihan terakhir untuk ia hubungi karena sadar hubungan mereka tak terlalu baik. Rasa malu Dee masih berkuasa, mengingat ia dulu sering membully gadis itu.
Bola mata Dee membesar, ia tak menyangka Nabila menjawab panggilannya. Padahal sejak lulus SMA, jangankan menelepon, chat saja mereka tidak pernah.
"Halo, Bila … Nabila aku mau minta tolong. Plis help!"
Sambungan terputus tiba-tiba. Dee kembali kecewa. Sementara di seberang sana Nabila terlihat kebingungan dengan ponsel masih di tangan.
.
Baca juga cerbung TAMAT lainnya ya.
Video Pernikahan Papa
Cinta Gadis Burik
Cucu yang Dibedakan
Tetanggaku Suamiku
Seru InsyaAllah ❤️
SKL 34."Saya terima nikah dan kawinnya Deandra Pradipta binti William Pradipta, dengan mas kawin yang telah tersebut tunai." Ustad Fatih mengucapkan kalimat sakral itu dalam satu tarikan napas. Membuat Dee yang duduk di sampingnya menarik napas lega saat semua saksi mengatakan sah."Sah!""Alhamdulillah," seru mereka serentak. Kemudian sejenak Abi membacakan doa keberkahan dalam acara tersebut.Dee tak mengadakan resepsi yang terlalu mewah seperti pernikahanya dengan Bryan beberapa bulan yang lalu. Tak menyewa gedung, dan pelaminan yang megah. Ia hanya meminta pesta sederhana di rumahnya, karena yang ia inginkan bukan lagi kemewahan, melainkan hubungan sah di hadapan Allah dan hambanya.Hanya keluarga besar yang hadir di sana. Keluarga Dee dan keluarga Ustadz Fatih. Tak lupa Nabila dan nenek ikut hadir menyaksikan pernikahan Dee.Dee terlihat cantik dibalut gaun pengantin berwarna putih. Sangat jauh berbeda dengan pernikahan yang dulu dengan gaun seksi menampakkan belahan dada, jug
SKL 33."Bil, aku mau suruh Simbok buat beresin kamar untukmu dulu ya, atau mau di sini?" kata Dee saat ia membereskan beberapa baju yang ia bawa dari rumah Nabila.Nabila mengamati seisi ruangan, dan melihat ranjang king size di tengah ruang yang terlihat sangat empuk."Nggak usah lah, Dee. Biar aku tidur di sini aja. Cuma untuk beberapa hari aja, kan?" tolak Nabila seraya mengelilingi kamar Dee yang ukurannya hampir keseluruhan rumahnya di kampung."Lagian kayaknya kita belum pernah ya tidur sekamar," kekeh Nabila. Sejenak Dee berpikir, benar apa yang dikatakan oleh Nabila. Saat ia datang ke rumah Nabila, ia tidur sendirian karena kamar rumah itu sempit-sempit. Jadi, Nabila mengutamakan kenyamanan Dee dengan kesederhanaan yang ia miliki.Kemudian Dee tersenyum menatapnya, sepertinya akan lebih seru jika setiap waktu bisa bersama Nabila. Bisa diajarkan baca Al-Qur'an lebih fasih, tadarus bersama, bangun salat malam bersama."Iya juga ya," ucap Dee dan melepas jilbabnya.Nabila berj
SKL 32."Nggak, Bil!" bantah Dee."Aku nggak mau pulang ke sana, mereka nggak mau terima aku lagi. Aku diusir, Bil. Kamu nggak tau gimana mama sama papa kalau udah marah, merengek pun di bawah kakinya mereka gak akan luluh." Dee kembali menggeleng dengan kuat saat Nabila memintanya untuk pulang menjemput restu orangtua.Perlahan Nabila mulai bisa berdamai dengan rasa tak terbalas dalam hatinya. Kini malah ia yang menjadi perantara hubungan Dee dan Ustadz Fatih, tentu melalui Abi dan Ummi.Keluarga Ustadz Fatih ingin datang langsung ke rumah orangtua Dee untuk melamar dan memperjelas hari dan tanggal pertunangan mereka dilakukan. Namun, Dee menolak dan tak berani pulang."Aku sudah memikirkan ini, Bil. Makanya aku nggak usah nikah aja, ribet. Nggak sanggup aku terusir untuk keduakali. Susah payah aku berdamai dengan rasa sakit, dan perlahan jadi rindu yang menyakitkan tanpa temu. Tak ada keberanianku untuk kembali ke rumah itu." Dee mengungkapkan isi hatinya."Nggak gitu, Dee. Restu o
SKL 31."Saya calon suaminya," ucap Ustadz Fatih dengan tegas. Lalu, ia mendekat pada keduanya yang tampak seperti orang sedang bertengkar.Mendengar itu Danial menatapnya, lalu tersenyum miring meremehkan kalimat lelaki itu. Siapa dia hingga berani mengatakan seperti itu di depannya.Tak menyiakan kesempatan, Dee langsung menarik tangannya dan melepas diri dari cengkeraman tangan Danial. Gadis itu menggosok lengannya yang terasa sedikit perih.Kini Danial kembali menatap Dee, bertanya lewat tatapan mata tentang siapa lelaki dengan peci hitam di kepalanya itu."Siapa dia, Dee?" tanya Danial.Dee hanya diam tak menjawab. "Dee …," panggil Danial meminta jawaban."Dia guruku di pesantren," jawab Dee singkat. Tak perlu menjelaskan banyak hal pada Danial. Pun, Dee tak terlalu percaya diri untuk mengiyakan bahwa Ustadz Fatih adalah calon suaminya.Ia mungkin akan berterimakasih untuk jawaban Ustadz Fatih, karena dengan seperti itu Danial pasti merasa hubungan Dee dan Ustadz Fatih lebih da
SKL 30.Dee menatap lama pada sosok lelaki yang terlibat dalam masa lalu kelamnya. Mendadak hatinya kembali gerimis, karena melihat wajah itu kembali mengingat dosa-dosanya.Danial.Di seberang jalan sana, lelaki itu masih terus menatap Dee. Namun ia lantas menyeberangi jalan karena Dee mulai bangkit dan ingin pergi darinya.Kali ini Danial tak boleh membiarkan Dee pergi lagi, sudah lama ia mencari keberadaan gadis itu sejak kepulangannya dari London untuk urusan bisnis bersama sang papa.Malam itu, ia berangkat tanpa memberitahu Dee yang menurutnya tidak penting dalam hidupnya. Toh, mereka hanya sebatas hubungan tanpa ikatan, dan bersatu hanya untuk membalas dendam pada sang mantan."Dee …!" panggil Danial menghentikan gadis itu."Tunggu!" teriaknya. Sempat ia mendapat makian dari beberapa pengendara motor karena menerobos jalan saat mereka sedang berkendara. Mungkin Danial sudah gi la hingga mau membahayakan nyawa sendiri demi seorang gadis.Dee terus melangkah menuju motornya, ras
SKL 29."Nabila udah makan, Nek?" tanya Dee saat ia keluar dari kamar dan menuju meja makan.Nenek hanya menggeleng. Sejak siang Nabila belum makan, bahkan hari ini ia tak mengajar di pesantren. Nenek sudah mencoba menasehati, dan mengajaknya untuk bercerita tentang apa yang ia rasakan saat ini. Selain itu, nenek hanya diam mengawasi membiarkan cucunya menikmati waktu untuk tenang.Dee langsung menuju kamar Nabila dan mengetuk pintu. Tak ada sahutan dari dalam sana saat ia memberi salam. Ia coba untuk membuka pintu, tapi sepertinya Nabila sengaja mengunci pintunya dari dalam."Bil … makan dulu yuk!" ajak Dee. Namun, tetap tak dihiraukan oleh Nabila."Sudah, Dee. Nanti kalau lapar dia pasti makan," ucap sang nenek.Seperti malam kemarin, saat nenek terjaga karena sesak pipis, ia melihat Nabila duduk di meja makan dan menikmati makannya. Hal itu membuat nenek urung ke kamar mandi, takut Nabila malu karena ketahuan makan diam-diam.Dee tak lagi membujuk, karena nenek juga menyuruhnya ma