Masuk
"Aku... kenapa?" gumamnya, nyaris tanpa suara.
Tubuhnya bergerak pelan. Saat ia menoleh ke sisi kiri, ada sosok pria yang sedang tertidur pulas di sampingnya membuatnya terdiam membeku. Dan saat ia menyadari siapa pria itu, matanya membelalak.
Eric Wijaya. Atasannya. Terbaring di sampingnya, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh tegap pria itu.
Dengan tangan gemetar, Kasih menunduk. Matanya menatap tubuhnya sendiri yang juga polos tanpa busana. Nafasnya tercekat dan tangannya gemetar ketakutan.
“Ya Tuhan…” bisiknya nyaris tak terdengar.
“Apa yang sudah terjadi padaku?” Dengan panik, ia menarik selimut lebih erat, menutupi tubuhnya, pikirannya berputar berusaha mengingat apa yang sudah dialaminya, ketakutan mulai meliputi dirinya. Perasaan kacau dan cemas berkecamuk dalam dada.
Di saat bersamaan, tubuh Eric mulai menggeliat. Ia mengerang pelan, suara seraknya menggetarkan keheningan kamar.
Matanya terbuka perlahan. Begitu melihat wajah Kasih, alisnya mengerut. “Kasih?” ucapnya lirih, kebingungan.
“Apa yang kau lakukan di ruang pribadiku?” bentaknya refleks, nada suaranya tajam, namun segera beralih memijat pelipis, wajahnya menegang oleh rasa nyeri yang menikam kepala.
Matanya menyapu ruangan, lalu kembali tertumbuk pada Kasih. Amarah dan kebingungan bercampur tak karuan dalam tatapannya. Saat kasih ingin menjelaskan, mereka terlonjak kaget oleh suara keras.
Brak!
Pintu kamar terbuka dengan hentakan keras.
Tubuh Kasih dan Eric terlonjak kaget. Di ambang pintu berdiri seorang wanita dengan mata penuh amarah. Tatapannya menusuk.
“Ibu Cintya…” bisik Kasih dengan suara gemetar, matanya membulat penuh ketakutan melihat istri atasannya itu.
“Cintya!” seru Eric terkejut melihat istrinya datang.
Cintya melangkah masuk ke dalam, seolah tak tergoyahkan oleh pemandangan di depannya. Ia menatap tidak percaya pada suaminya yang hanya menggunakan handuk untuk menutupi tubuhnya setelah ia mendobrak pintu tadi.
"Aku tidak menyangka kamu dan sekretarismu bermain kotor di belakangku," ucapnya datar.
"Cintya, biarkan aku menjelaskan semuanya" ujar Eric tenang, sembari perlahan mendekat ke arah istrinya
Cintya mengangkat tangannya, “Stop. Jangan mendekatiku, Eric.” Suaranya dingin. Tegas. Tak memberi ruang untuk pembelaan.
Kasih yang melihat itu hanya bisa membeku. Ia ingin berbicara, ingin menjelaskan bahwa ini bukan seperti yang terlihat, Tapi lidahnya kelu. Ketakutan membelenggunya.
Tatapan Cintya kini beralih padanya, menyapu tajam ke arah tubuh Kasih yang meringkuk di balik selimut putih.
“Dasar wanita murahan. Aku pikir kamu sekretaris yang berdedikasi tinggi. Ternyata aku salah besar,” maki Cintya, setiap katanya seperti duri yang menusuk kulit.
Kasih menunduk, bahunya gemetar, bukan hanya karena malu, tapi juga karena takut dan merasa bersalah. Ia sendiri tidak tahu mengapa berakhir di ranjang yang sama dengan atasannya ini.
Ia menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan serpihan keberanian yang tersisa. “Bu Cintya… Ini tidak seperti yang Anda pikirkan. Saya... saya bahkan tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi…” suaranya parau, nyaris berbisik.
Namun, kalimat pembelaan diri itu tak ada artinya. “Kamu pikir aku bodoh?” tanya Cintya dengan tajam.
Eric tetap diam. Wajahnya tegang, tangan terkepal kuat, rahangnya menegang seolah menahan amarah dan rasa bersalah yang bercampur jadi satu. Matanya melirik ke Cintya, kemudian turun ke Kasih yang terisak di ujung ranjang.
“Sayang, dengarkan aku,” katanya dengan suara serak, mencoba meredakan api kemarahan yang sudah membakar di antara mereka.
Namun Cintya hanya tertawa pendek, penuh ejekan yang menusuk hati. “Untuk apa? Mendengar pembelaan yang tidak akan pernah mengubah kenyataan ini?”
Cintya melangkah satu langkah maju, menatap suaminya dengan sorot mata yang penuh kekecewaan yang dalam.
“Semua yang kamu bangun… bisa hancur dalam sekejap hanya karena satu kesalahan kotor seperti ini,” suaranya dingin, tegas, menghantam seperti cambukan.
Matanya berpindah ke Kasih. “Dan kamu, Kasih… apakah kau tidak pernah memikirkan harga diri dan kehormatanmu sebagai seorang wanita? Apa perbuatanmu ini pantas? Kamu rela hancur oleh aib yang kau buat sendiri?”
“Cintya, cukup! Kita akan bicara setelah kamu tenang.” Ucap Eric tegas. Ia butuh waktu untuk mengurai kejadian yang menimpanya tadi malam. Eric sama sekali tidak mengingat apapun.
Eric mengalihkan pandangan ke Kasih, mencoba meredam ketegangan yang memuncak. “Kasih, cepat berpakaian dan keluar dari kamar ini. Aku harus bicara dengan istriku,” ujarnya dingin,.
Kasih menelan ludah, suaranya hampir tak terdengar, serak penuh ketakutan. “Ba… baik, Pak.”
Dengan tangan gemetar, ia memungut pakaian yang berserakan di lantai. Wajahnya semakin pucat, setiap gerakan dipenuhi beban dan rasa malu.
Saat hendak melangkah ke kamar mandi, Kasih terhenti sejenak. Matanya menoleh, penuh penyesalan dan rasa bersalah yang tak terucap. “Ibu Cintya… ma-maafkan saya…” bisiknya nyaris tak terdengar.
Cintya tetap diam, hanya menaikkan sebelah alis dengan dingin. Tatapannya menyiratkan ketidakpercayaan, seolah mempertanyakan bagaimana Kasih masih memiliki keberanian untuk bersuara.
“Kasih,” ujar Eric dengan suara yang tajam, seakan meminta Kasih untuk mempercepat langkahnya.
Kasih terperanjat. Kepalanya tertunduk semakin dalam, ia mengangguk pelan. Tanpa peduli rasa perih yang mengiris area sensitifnya, ia melangkah menuju kamar mandi. Dan keluar dari sana dengan pakaian berantakan.
Sepeninggal Kasih, Eric juga meraih pakaian yang tergeletak di lantai. Sementara Cintya mengamati setiap gerakan Eric dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara kecewa, marah, dan luka yang mendalam.
Setelah selesai berpakaian, Eric duduk di tepian ranjang, menarik nafas panjang. “Duduklah, Cintya,” ucapnya.
Cintya masih diam, menatapnya seolah pria itu adalah makhluk yang tak pantas mendapatkan belas kasihan. Namun akhirnya, dengan langkah pelan dan berat, ia melangkah ke sofa dan duduk, menyilangkan kaki.
“Aku benar-benar tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Aku tidak sadar… ”
“Cukup, Eric! Berhenti berpura-pura!” Suara Cintya tajam, penuh luka yang sudah tak bisa dibendung.
Eric menghela nafas panjang, menahan frustasi ketika istrinya tidak ingin mendengarkan penjelasannya. Ia tahu ini bukan saat yang tepat untuk membela diri. Seketika, wajahnya mengeras, rahangnya menegang. “Cintya, tolong... dengarkan dulu. Aku belum selesai bicara.”
“Aku tahu kamu menginginkan seorang anak, begitu juga keluargamu. Tapi tidak seperti ini! Kasih adalah anak gadis orang tuanya, Eric. Jadi, kamu harus bertanggung jawab padanya!” tegas Cintya, tanpa menggubris perkataan suaminya.
Eric mengerutkan kening. Ia memandang Cintya dengan sorot mata penuh tanya. “Apa maksudmu, Cintya?”
Cintya menggelengkan kepalanya. “Tidak mungkin kamu tidak mengerti maksudku.”
Eric termenung sejenak, menyadari arah perkataan istrinya. Ia menghembuskan nafas berat. “Aku tidak mungkin menikahi Kasih. Aku mencintaimu, Cintya.”
“Mencintaiku?” Cintya mendengus, memandang mata Eric dengan sorot yang sulit diartikan.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan? Kamu pikir Kasih akan diam saja sebelum keinginannya tercapai? Tidak ada satu perempuan pun yang mau tidur bersama seorang pria tanpa menginginkan sesuatu. Kamu pikir Kasih polos? Satu kata darinya maka kita akan hancur.”
Eric terdiam, merasa bahwa selama ini Kasih bersikap baik dan tidak pernah macam-macam. Itulah mengapa wanita itu bisa bertahan bekerja dengannya.
"Bagaimana jika Kasih membuka mulut? Bagaimana jika semuanya terbongkar? Skandal ini akan menghancurkan segalanya, nama baikku, reputasi keluargaku, dan karier yang selama ini aku bangun dengan susah payah,” ucap Cintya tidak terima.
Sikap istrinya yang agresif ini membuatnya merasa curiga, tapi untuk sekarang akan mengikuti permintaannya dulu, "Aku akan bicara pada Kasih soal ini,” balas Eric pelan.
Eric meraih ponselnya untuk menghubungi asisten pribadinya, meminta untuk melakukan sesuatu tanpa menyadari seringai kemenangan dari wajah istrinya.
Kasih mengulas senyum bahagia di wajahnya, matanya tak lepas memandang wajah Eric yang sudah kembali segar, tatapannya beralih pada Nayla yang duduk di pangkuan papanya. Sejak Eric pulang dari rumah sakit, Nayla tak ingin beranjak dari sisinya, seakan takut kehilangan Eric.”Terima kasih ya Tuhan, Engkau telah mengembalikan kebahagiaan di rumah ini,” gumam Kasih dalam hatinya.Ia mengalihkan pandangannya pada adiknya, Revan, yang duduk di samping Eric. Helaan napas lega terdengar dari bibirnya, melihat Revan yang tak pernah terlihat murung lagi.”Semoga kebahagiaan ini tak direnggut lagi dari kami,” batinnya.Kasih beralih ke ibu mertuanya yang juga sedang memandangnya, tatapan mereka beradu. Indira mengulas senyum lembut di wajahnya, seolah mengucapkan, ”Terima kasih karena kamu sudah menjaga dan melindungi kami semenjak Eric tertidur.”Kasih membalas senyuman itu, tak lama terdengar suara. “Hem!”Serentak Kasih dan Indira menoleh ke arah Eric yang sedang memandang mereka dengan tata
Usai mengunjungi proyek, Kasih langsung menuju rumah sakit. Langkah kakinya terasa berat, seolah setiap jejak menyimpan harapan dan kelelahan yang menumpuk selama beberapa hari terakhir. Bau antiseptik begitu menyengat tercium di hidungnya saat ia melangkah masuk ke lorong ICU, menyambutnya dengan dingin yang menggigit kulit.Kini wanita itu duduk di kursi di samping tempat tidur Eric. Pandangannya tertuju pada wajah pucat suaminya yang tampak tenang di balik selang oksigen. Dada bidang yang dulu selalu hangat memeluknya kini naik turun pelan dengan bantuan alat bantu napas. Matanya beralih menatap selang infus yang menetes perlahan dan layar monitor yang memancarkan cahaya hijau redup, berbunyi dengan ritme monoton namun menenangkan.“Apakah Papa tidak merindukan kami sehingga sangat pulas tertidur?” ucapnya.Kasih menghela napas panjang, rasa lelah dan cemas menyatu membuatnya seperti kehilangan tenaga.“Papa harus bangun! Mama, Nayla, Ibu, dan Revan membutuhkanmu, Pa.”Kasih menggen
Di ruangan kerja Eric, Kasih duduk di kursi. Ia memandang sekeliling ruangan dengan sorot mata sendu. Ingatannya melayang pada saat suaminya masih berada di ruangan ini. Eric Begitu serius memeriksa semua berkas-berkas perusahaan, sesekali menatap layar laptop, lalu kembali menunduk meneliti dokumen di meja.Kasih menghela napas panjang. Hatinya benar-benar terluka. Jika boleh jujur, saat ini ia tak tahu harus berbuat apa. Namun, ia tak bisa tinggal diam. Pelaku yang membuat suaminya dan Bima terbaring lemah di rumah sakit harus ia temukan.Ia kembali menghembuskan napas berat. Ingatannya melayang pada saat sebelum kecelakaan itu terjadi. Keningnya berkerut ketika mengingat percakapan Eric dengan Bima melalui sambungan ponsel.“Aku yakin ada petunjuk di ponsel suamiku,” gumamnya dengan lirih.Kasih bersandar di kursi. Matanya tertuju pada pintu ruangan CEO ketika terdengar ketukan dari luar.“Masuk!” seru Kasih.Pintu pun terbuka. Masuklah Budiman, direktur perusahaan milik Eric. Pria
Degh! Jantung Kasih berdegup tak beraturan mendengar ucapan yang terlontar dari bibir Indira. Ingatannya pun melayang jauh, kembali pada sore hari sebelum kecelakaan Eric. Saat itu, dering telepon dari Bima masih begitu jelas terngiang di telinganya. Begitu panggilan itu berakhir, Eric pun pergi tergesa, seakan ada sesuatu yang begitu penting menantinya.Kasih masih mengingat jelas bagaimana ia sempat menahan langkah suaminya.“Ada apa, Pa?” tanyanya kala itu dengan raut wajah yang dipenuhi dengan kecemasan.Eric hanya menghela napas panjang saat itu, lalu menatapnya sekilas. “Ada urusan penting yang harus Papa selesaikan, dan sekarang Papa harus kembali ke perusahaan,” ucapnya dengan nada tegas.Namun Kasih dapat merasakan ada sesuatu yang berbeda. Sorot mata suaminya seakan menyimpan kecemasan yang tak terucapkan. Telinganya yang peka bahkan sempat menangkap percakapan singkat antara Eric dan asistennya, percakapan yang terdengar samar namun cukup untuk menimbulkan rasa curiga di h
Waktu terasa begitu lambat bagi Kasih. Sudah satu minggu Eric tidak membuka matanya. Ia tampak tenggelam dalam buaian mimpi panjang dan enggan kembali ke dunia nyata. Tubuhnya kini terbaring lemah di kamar pasien, diselimuti suara mesin medis yang berdetak monoton.Kasih setia mendampingi suaminya, duduk diam di kursi samping ranjang. Matanya sayu, tampak letih dan kehilangan tidur. Perlahan ia menggenggam tangan Eric yang terasa dingin, suaranya lembut penuh harap ketika berbicara,"Pa, bangunlah. Jangan terus terlelap."Suara Kasih parau, getir terselip di setiap kata saat ia menahan tangis yang ingin tumpah. Dadanya terasa sesak, terhimpit oleh kecemasan dan ketakutan, sementara kesedihan melingkupi setiap sudut hatinya. Wajahnya pucat, matanya redup seolah kehilangan cahaya, dan seluruh dirinya tenggelam dalam duka yang tak bertepi.Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka kasih pun menoleh, di ambang tampak Indira masuk bersama seorang pria yang tidak asing bagi Kasih, Pak Budiman
Kasih duduk lemah di kursi dingin ruangan ICU, kedua matanya terpaku pada sosok Eric yang terbaring dengan berbagai selang dan alat medis melekat di tubuhnya. Wajah pria itu pucat, napasnya tersengal diiringi bunyi monoton mesin pemantau yang seakan menjadi pengingat betapa rapuh hidupnya saat ini.Air mata Kasih tak terbendung, jatuh membasahi pipinya yang pucat. Tangannya bergetar ketika menyentuh telapak tangan Eric yang terasa dingin, seolah waktu berusaha merenggut hangatnya dengan perlahan.“Pa, dengarlah suara hatiku. Bukalah matamu, aku, Nayla, Ibu, Revan dan anak kita yang berada di rahimku ini menunggumu pa,” bisiknya lirih di antara tangisnya yang tertahan.Di ruangan yang sunyi itu hanya suara mesin yang setia berdenting, menjadi saksi bisu doa seorang istri yang tengah mengandung, berperang antara harapan dan ketakutan.Kasih menundukkan wajahnya di atas tangan Eric, merelakan air matanya jatuh, seakan ingin menyatu dengan darah dan kehidupan yang masih bertahan pada pria







