Tangan Kasih masih gemetar saat ini, pernikahan tiba-tiba yang dialaminya seperti mimpi. Dia tidak diberi kesempatan untuk menolak permintaan mereka dan merasa diperlakukan sangat hina. Setelah mendaftarkan pernikahan mereka, Kasih dibawa oleh Eric ke kediamannya.
Langkah kaki mereka bergema di tengah kemewahan yang membisu. Begitu melewati pintu utama, Kasih langsung disambut tatapan tajam Cintya yang duduk anggun di sofa. Mata wanita itu menelusuri tubuh Kasih dari ujung kepala hingga kaki, tajam dan menghina. Senyuman sinis merekah di bibirnya, menyiratkan permusuhan.
“Pengantin baru,” gumamnya pelan, namun cukup jelas. Nada suaranya seolah mengejek, menilai Kasih seperti menilai barang murahan yang tak pantas dipajang di etalase mewah.
Sebelum Kasih bisa menjawab, Eric menghampiri Cintya dan mengecup keningnya. Membuat Kasih berpikir, mengapa memaksanya untuk menikah jika mereka saling mencintai?
“Aku antar Kasih ke kamarnya,” bisik Cintya, suaranya tenang tapi penuh makna.
Tatapan mereka bertemu. Mata Cintya tajam, penuh superioritas yang dibungkus senyum sopan. Eric hanya mengangguk dan pergi, meninggalkan dua wanita dalam keheningan yang tegang.
“Sebagai istri kedua, setidaknya kamu pantas memiliki sebuah kamar,” ucapnya datar.
Mereka berjalan melewati lorong panjang. Di depan sebuah pintu berukir, Cintya berhenti dan membukanya. “Masuklah.”
Ruangan itu mewah, tapi terlihat seperti penjara bagi Kasih, “Semua kebutuhanmu sudah disiapkan,” lanjut Cintya.
“Terima kasih,” ucap Kasih lirih.
Cintya tersenyum kecil. “Tapi jangan pernah berharap diperlakukan istimewa hanya karena statusmu. Tugasmu di rumah ini hanya satu, mengandung dan melahirkan anak untuk Eric.”
Ia melangkah keluar, namun sebelum pintu tertutup, ia menoleh sekali lagi. “Selamat datang di rumah mewah suamiku.”
Kalimat yang diucapkan Cintya tadi membuat Kasih curiga, apa maksud perkataan wanita itu? Sampai sekarang Kasih belum tahu siapa yang menjebaknya untuk tidur dengan Eric, pikirannya kabur dan tidak ada ingatan tersisa mengenai kejadian malam tersebut.
Selain itu, Kasih masih berupaya untuk berbicara lagi dengan Eric, mencoba mendiskusikan posisinya di perusahaan. Dia tidak ingin kehilangan pekerjaan itu karena masih butuh uang untuk menghidupi dirinya sendiri dan adiknya. Bagaimanapun caranya, Kasih tidak boleh dipecat. Ia sudah kehilangan banyak hal.
***
Usai makan malam yang menguras emosi, Kasih kembali ke kamar. Tadi, Kasih harus menghadapi segala macam sindiran halus dari Cintya yang terus diarahkan padanya tanpa henti, bahkan ketika dirinya ingin kembali ke kamar.
Kasih duduk di tepian ranjang, tatapannya kosong menatap ke depan, seolah terperangkap dalam gelap lamunannya sendiri. Ia memikirkan cara bagaimana berbicara dengan Eric yang mungkin sudah menaruh benci padanya. Pria itu pasti mengira Kasih yang menjebaknya.
Pintu terbuka pelan. Eric yang kini mengenakan piyama tidur berdiri di ambang. Kasih langsung bangkit, jantungnya berdegup tak menentu. “Pak Eric…” suaranya tercekat, bergetar nyaris tak terdengar.
Eric melangkah masuk dengan langkah tenang, tapi sorot matanya dingin membekukan, penuh jarak yang tak mudah ditembus. Ia berdiri di dekat Kasih. “Aku ke sini hanya karena permintaan istriku,” ucapnya.
Kalimat itu meluncur tanpa emosi, namun terasa lebih tajam daripada kata-kata penuh kemarahan. Kasih terdiam, merasakan dinginnya jarak yang tak terucap.
Tanpa sepatah kata, Eric membaringkan diri di ranjang. Kasih perlahan mengikuti, membelakangi tubuhnya. Jarak mereka begitu dekat, tapi terasa begitu jauh.
Eric membuka matanya. Ia menatap punggung Kasih dengan keraguan terselubung.
“Haruskah aku menyentuhnya?” pikirnya dalam hening, tapi tangan itu tetap diam.
Malam makin larut, mereka berbagi ranjang dalam diam. Tetapi tidak satupun dari mereka yang bisa terlelap. Kasih masih mengumpulkan keberaniannya untuk sekedar memanggil Eric, takut mengganggu tidur pria itu.
“Pak Eric?” ucap Kasih pelan.
Eric yang mendengarnya hanya bergumam sebagai jawaban. Kasih tahu bahwa jawaban seperti itu adalah pertanda Eric tidak ingin diganggu. Ia sudah bekerja sebagai sekretaris pria itu selama bertahun-tahun dan sangat hafal bagaimana tabiatnya. Jadi Kasih memilih untuk diam dan tidak melanjutkan ucapannya.
“Ada apa?” tanya Eric kemudian saat Kasih terdiam cukup lama.
Kasih mengepalkan tangannya, “Bukan aku yang menjebak Pak Eric,” jawabnya lirih.
Eric mendengus pelan, “Lalu siapa?”
“A-aku..” Pertanyaan itu tidak bisa dijawab oleh Kasih, ia sendiri tidak tahu siapa yang menjebaknya. Ia hanya tiba-tiba terbangun di kamar pribadi pria itu tanpa busana dan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
“Aku akan mencari tahu siapa yang menjebak kita, bisakah Pak Eric memberiku waktu?” tanya Kasih.
Sebenarnya Kasih tahu, tanpa ia meminta ini, Eric sudah pasti mengerahkan bawahannya untuk mencari kebenaran malam itu. Terlebih lagi kejadiannya di kamar pribadi pria itu sendiri, akan mudah baginya untuk mengusut masalah ini. Tapi, Kasih setidaknya perlu untuk membela dirinya sendiri.
“Tidak perlu, aku sudah meminta yang lain untuk menyelidikinya,” jawab Eric singkat.
Kasih tahu itu, hanya saja dia juga perlu meminta kejelasan mengenai pekerjaannya, “Lalu bagaimana dengan pekerjaanku, pak?”
Eric terdiam sejenak sebelum menjawab, “Terserah kamu.”
Kasih membalik tubuhnya cepat, membuatnya langsung berhadapan dengan Eric, ia juga tidak tahu sejak kapan bosnya membalik badan juga. Membuat jarak di antara mereka terkikis. Kasih merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, kalimat yang akan diucapkannya tadi seperti menghilang begitu saja.
Eric bisa merasakan napas Kasih menerpa lehernya, membuatnya bergumam pelan, “Menjauh dariku,” ujarnya dengan nada rendah.
Kasih memaksa tubuhnya untuk mundur dan membelakangi Eric lagi. Memaksa dirinya terlelap dan meninggalkan Eric yang menatapnya tajam dari belakang.
Kasih terkejut. Tangannya gemetar saat menggenggam majalah bisnis di tangannya. Matanya tak henti menelusuri tulisan demi tulisan yang terasa seperti duri menusuk jantungnya.Ia membaca gosip itu berulang kali, berharap ada satu kalimat yang berbeda, satu penjelasan yang meluruskan bahwa berita itu tidak lah benar.Tubuhnya lunglai. Napasnya memburu. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ingin rasanya menjerit, berteriak sekeras-kerasnya pada majalah itu, memprotes bahwa semua yang dituliskan itu hanyalah sebuah kebohongan besar.“Semua ini tidak benar,” ucap Kasih.Ia memejamkan matanya, seakan tak ingin melihat kenyataan yang ada. Saat ini Kasih benar-benar terpukul, bagaimana tidak? Di hadapannya kini terpampang jelas artikel yang menggemparkan.Beberapa surat kabar dan majalah bisnis memberitakan tentang kembalinya cinta lama Eric Wijaya Bersama wanita dari masa lalunya."Tidak mungkin Eric melakukan ini," gumam Kasih, nyaris tak terdengar.Ia berusaha meyakinkan dirinya ba
Sabtu pagi, ruang makan tampak tenang. Kasih baru saja selesai menyiapkan sarapan untuk Nayla dan Revan.Suasana ruang makan yang semula sunyi seketika berubah saat Nayla dan Revan masuk. Tawa kecil Nayla dan celotehan riangnya langsung memenuhi ruangan, menambah hangatnya suasana di pagi hari.Seketika, Nayla termenung. Tatapannya tertuju pada kursi Eric yang kosong. Rasa heran perlahan menggelayuti pikirannya. Ia bertanya-tanya dalam hati, mengapa papanya belum juga bangun? Padahal hari sudah menjelang siang. Biasanya, Papanya selalu lebih dulu terjaga sebelum dirinya membuka mata.Kasih mengulas senyum di wajahnya, seakan mengerti apa yang dipikirkan oleh putrinya."Papa sudah pergi sejak tadi pagi. Ada urusan mendadak yang harus dihadirinya," ucap Kasih lembut.Nayla memang tidak mengetahui bahwa tadi pagi, sebelum ia terbangun, Eric telah berangkat menuju bandara. Dia harus terbang ke kota lain secara mendadak untuk menyelesaikan masalah penting yang berkaitan dengan perusahaanny
Sejak tadi pagi Sandra telah berada di perusahaan Eric. Wanita itu kini duduk di sofa ruangan CEO. Ia mengedarkan pandangannya, menelisik setiap sudut ruangan, menatap kagum pada desain interior yang tampak megah dan elegan. Decak kagum terdengar pelan dari bibirnya yang seksi.Sandra menyilangkan kaki, menopangkan satu kaki ke atas kaki lainnya dengan angkuh. Ia menatap pintu ruangan itu dengan ekspresi kesal. Sudah berkali-kali wanita berpenampilan glamor itu melirik jam tangannya.Kekesalannya bertambah ketika mengingat sesuatu. Bagaimana tidak? Ia telah menemui Eric berkali-kali dengan alasan yang menurutnya masuk akal, tetapi Eric sepertinya terus menghindarinya. Bahkan ketika ia hendak membahas kerja sama antara perusahaan ayahnya dan perusahaan Eric, tetap saja pria itu tampak tak acuh."Menyebalkan," gumam Sandra.Ia mendengus mengingat sikap Eric padanya. Jika tidak langsung pergi menghindarinya, pria itu hanya duduk di kursinya tanpa berbicara sedikit pun, seakan dirinya ada
Kasih duduk di pendopo yang terletak di sudut halaman depan mansion. Ia termenung, membiarkan pikirannya terjebak dalam pusaran pertanyaan tentang pesan misterius itu. Sejak kemarin, ia sangat ingin menanyakannya kepada suaminya, tetapi keraguan terus menghantuinya.Ia menghela napas panjang. Pesan singkat itu benar-benar mengganggu pikirannya. Bagaimana tidak. Isinya begitu jelas. Pengirim pesan itu mengatakan akan merebut kembali Eric.Namun, siapa pengirimnya. Nomor itu asing baginya. Tak ada nama yang muncul di layar ponselnya. Hanya kalimat singkat yang menancap tajam di hatinya. Seoalah pengirim itu sangat mengetahui tentang EricApakah itu dari Cintya.Tidak mungkin,Cintya mengetahui nomor telponnya, sudah lama ia tidak bertemu dengan wanita itu. Kasih menggeleng menepis nama Cintya dari dugaannya. Tapi siapa? Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya.Tak bisa dipungkiri, Kasih diliputi kecemasan. Pesan misterius itu terus menghantui pikirannya, membuat hatinya benar-benar gel
Eric menghadiri perjamuan bisnis bersama Kasih,yang masih belum banyak dikenal oleh publik. Penampilannya elegan, Kasih tampil memukau dalam gaun malam emerald green berbahan satin silk dengan potongan off-shoulder dan belahan samping yang anggun. Rambutnya ditata low bun klasik, dihiasi hair pin berlian kecil di sisi kanan.Wajahnya dirias flawless dengan make-up natural bernuansa peach, matanya menjadi tajam namun lembut, dan bibir nude rose matte. Ia mengenakan choker berlian tipis, anting menjuntai elegan, serta cincin pernikahan yang mencolok di jari manis.Sepatu high heels perak menyempurnakan langkah anggunnya. Aroma floral-musky lembut menambah kesan mewahnya. Penampilannya sangat memikat, membuat Eric benar-benar terkagum-kagum pada istrinya itu. Ia tidak pernah melepaskan pinggang Kasih. Sikap yang membuat banyak tamu terkejut termasuk Sandra.Dengan bangga Eric memperkenalkan Kasih pada para tamu. Sandra menghampiri mereka dengan senyum memikat. . Ia memandang Kasih dari
Suasana ruangan makan tampak ramai dengan celotehan riang Nayla. Sesekali Eric melirik putri kecilnya itu sambil mengulas senyum di wajahnya. Eric begitu bahagia dengan rumah tangganya saat ini, bahkan Nayla sudah memanggilnya Papa. Kebahagiaan yang dulu hanya ada dalam angan-angannya, kini telah ia dapatkan.Eric memandang Revan, adik Kasih. Remaja dengan keterbelakangan mental itu pun kini telah bisa menerima Eric sepenuhnya. Bahkan, Eric tak segan-segan mendatangkan guru pribadi bagi Revan untuk memperdalam kegemarannya dalam melukis, sebagai bentuk penyesalan atas sikapnya di masa lalu.Lalu, ia memandang Kasih yang tengah menyuapi putri kecil mereka. Kini, Kasih tidak lagi seperti saat awal kepulangannya. Setelah berbincang dari hati ke hati, mereka sepakat untuk membuka kembali lembaran baru dalam kehidupan pernikahan mereka.Kasih tampak begitu bahagia. Bagaimana tidak? Eric telah banyak berubah. Ia tak lagi sedingin dulu. Bahkan, Eric telah menikahinya secara resmi di depan al