Pagi hari, di ruang makan yang mewah, aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Namun, suasana di meja makan jauh dari kehangatan. Kasih duduk dengan tegang, sendok di tangannya sedikit gemetar. Di hadapannya, Cintya menatap dengan senyum penuh kemenangan, sementara Eric duduk di kepala meja, diam seperti biasa, tetapi sorot matanya dingin dan gelap.
Cintya memainkan sendoknya sebelum berkata dengan nada santai namun tajam, "Kasih, kau ingat tujuanmu di rumah ini, kan?"
Kasih tidak menjawab. Matanya menatap penuh kewaspadaan. Cintya menyeringai, lalu melanjutkan dengan suara lebih rendah namun beracun, "Kau bukan hanya istri kedua. Kau di sini untuk melahirkan keturunan Eric.”
Darah Kasih berdesir. Kata-kata itu menusuknya dalam. Ia ingin membantah, tetapi bibirnya terasa kelu.
Eric akhirnya berbicara, suaranya dingin, "Cintya, jangan mulai lagi."
Cintya menoleh ke suaminya, ekspresinya Tak berubah sedikit pun. "Aku hanya mengingatkannya, Sayang. Orang tuamu menginginkan keturunan darimu.”
Eric mengembuskan nafas kasar, jelas tidak menyukai arah pembicaraan ini. "Aku tidak ingin dipaksa melakukan sesuatu yang tidak kuinginkan, Cintya."
Cintya tersenyum tipis, lalu bangkit dari kursinya. Ia berjalan mendekati Eric, membungkuk sedikit, membelai pipi suaminya dengan lembut. "Eric… sayangku… kau tahu aku selalu mendukungmu, kan?" suaranya tegas tetapi mengandung bujukan.
"Aku hanya ingin melihat keluarga kita sempurna. Aku ingin kita memiliki pewaris. Aku ingin anak yang berasal dari darahmu. Kau mencintaiku, kan?"
Eric mengepalkan tangannya, otot di rahangnya menegang. Kasih menahan nafas, menyadari bahwa pria itu sedang berada di persimpangan keputusan.
Cintya menatapnya lekat-lekat, lalu dengan suara pelan tapi penuh kepastian, ia berbisik, "Kamu tahu apa yang harus dilakukan bukan? Buat aku bahagia, sayang."
Keheningan menyelimuti ruangan. Detak jam terdengar begitu jelas. Eric menutup matanya sejenak, lalu membukanya kembali dengan sorot mata yang gelap. Akhirnya, dengan nada berat, ia berkata, "Baiklah. Aku akan melakukan apa yang kamu inginkan."
Kasih menegang di kursinya, menatap Eric dengan mata melebar. "Pak Eric, anda tidak serius, kan?" suaranya hampir berbisik, tetapi penuh keterkejutan dan kesedihan.
Cintya tersenyum penuh kemenangan lalu dia memandang Kasih tatapannya tajam dan mengandung ancaman. "Lakukan tugasmu dengan baik.”
Kasih menghirup udara dan menghembuskannya, kedua tangannya mengepal di bawah meja. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanyanya dalam hati.
Sedangkan Eric hanya menatap kosong ke cangkir kopinya, seolah-olah ia baru saja menandatangani perjanjian yang tidak ia inginkan. Tak lama, Eric mengangkat kepalanya, menatap Cintya dengan sorot mata tajam. "Tinggalkan aku dengan Kasih. Aku ingin berbicara dengannya."
Cintya mendongak, keningnya sedikit berkerut. Tatapan matanya penuh selidik. "Eric.. jangan coba-coba melakukan seuatu yang membuatku tidak menyukainya.”
"Sekarang, Cintya aku hanya perlu bicara dengannya," potong Eric dengan nada tegas.
Cintya mengatupkan bibirnya, ekspresi tidak senangnya jelas terlihat. Namun, ia tidak membantah lebih jauh. Dengan mendengus pelan, ia melirik Kasih sekilas sebelum berbalik dan melangkah keluar dari ruang makan.
Begitu pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Kasih tetap duduk, punggungnya tegang, menanti Eric berbicara.
Eric menghela napas panjang, lalu menatapnya dalam-dalam. "Aku ingin kau tahu satu hal, Kasih," katanya dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan yang menusuk.
Kasih menggigit bibirnya, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Apa itu, Pak Eric?" suaranya lirih, hampir tak terdengar.
"Apa kau benar-benar berpikir aku akan menyentuhmu hanya karena Cintya memintaku melakukannya?"
Jantung Kasih berdebar keras. Ia menelan ludah, mencoba meredam kegugupan yang merayapi hatinya. "Aku tidak tahu apa yang Anda pikirkan, Pak Eric," jawabnya pelan, berusaha menjaga suaranya tetap stabil meski hatinya terasa sakit.
Eric melangkah mendekat, mengikis jarak di antara mereka hingga Kasih bisa merasakan hembusan napasnya. Aura dinginnya menekan, membuat udara di sekeliling terasa mencekam. Tatapan tajamnya menelusuri wajah Kasih, seolah mencari celah untuk menusukkan kebenaran yang menyakitkan.
"Kau hanya istri siri," suaranya rendah, tetapi sarat dengan ketegasan yang menghunus. "Jangan pernah bermimpi lebih dari itu. Aku mencintai istriku, dan tidak akan pernah ada wanita lain yang bisa menggantikannya."
Setiap kata yang meluncur bagaikan belati yang menancap di hati Kasih, memaksanya menelan kepedihan dalam diam. Kasih menahan napas, tetapi kata-kata berikutnya menampar hatinya lebih keras dari yang ia kira.
"Aku melakukan pernikahan ini hanya karena aku mencintai Cintya. Aku rela melakukan apa pun demi dirinya, bukan demi pernikahanku dan bukan demi dirimu."
Dada Kasih terasa sesak. Ia sudah tahu statusnya, sudah mengingatkan dirinya sendiri berkali-kali. Tapi mendengar kata-kata itu langsung dari Eric membuatnya terasa jauh lebih menyakitkan.
Tangan Kasih mengepal erat, kukunya menekan telapak tangannya hingga terasa perih. Ia menegakkan bahunya, menolak menunjukkan kelemahan di hadapan pria itu. "Aku tahu itu dan anda tidak perlu mengingatkannya.
Kasih menggigit bibirnya, mencoba meredam getaran suaranya. "Aku tidak pernah meminta semua ini, Pak Eric. Aku tidak pernah mau menjadi istri kedua atau terjebak dalam pernikahan ini. Kita berdua tahu apa yang sebenarnya terjadi. Anda jangan cemas aku tahu dan sangat sadar akan posisiku.”
Mata Eric menyipit tajam, rahangnya mengeras. "Bagus! Jika kau sadar posisimu." Lalu Ia mendekat, begitu dekat hingga Kasih bisa merasakan nafas panasnya di wajahnya. “Aku ingatkan jangan melewati batas!” ujarnya pelan tetapi mengandung ancaman.
Jantung Kasih berdebar kencang. Ketakutan dan kemarahan bercampur menjadi satu di dalam dadanya, tetapi lidahnya terasa kelu.
Eric melirik arlojinya sekilas, lalu dia menjauhkan dirinya. "Kita berangkat ke kantor sekarang. Aku tidak punya waktu untuk berdebat lebih lama denganmu." Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar, meninggalkan Kasih yang masih terpaku dengan tangan yang sedikit gemetar.
Beberapa jam kemudian, Kasih terbangun dengan kepala berat, seolah habis dihantam kenyataan. Ia meringis pelan, menekan pelipis yang berdenyut nyeri. Saat menoleh ke samping, tubuhnya membeku. Eric tertidur tengkurap, sepenuhnya telanjang, hanya selimut yang menutupi sebagian pinggangnya.Sesak. Dadanya seperti dihimpit beban yang tak kasat mata. Ia menarik napas panjang, mencoba menelan rasa getir yang menyeruak tanpa permisi. Perlahan, ia bangkit dari ranjang, mengumpulkan sisa-sisa harga diri yang tercecer. Ia mengambil pakaiannya, lalu berjalan ke kamar mandi.Air dingin mengguyur tubuhnya, tapi tak satu tetes pun sanggup menghapus luka yang mengendap dalam jiwa.Setelah berganti pakaian, Kasih keluar dari kamar dengan langkah ragu. Tapi langkahnya terhenti seketika di ambang pintu. Cintya berdiri di sana, melangkah mendekat dengan anggun dan sikap superior, seperti ratu yang hendak menjatuhkan vonis pada budaknya.Tatapan matanya menyapu Kasih dari ujung kepala hingga kaki, penuh
Jam tujuh malam, setelah makan malam, Kasih masuk ke kamarnya. Tubuhnya lelah, pikirannya kacau setelah seharian menghadapi sikap Eric yang dingin dan menyebalkan. Ia baru saja ingin mengistirahatkan diri ketika ketukan terdengar di pintu.Dengan enggan Kasih membuka pintu alisnya berkerut. Di sana berdiri Cintya, anggun dalam balutan gaun satin abu-abu keperakan, dengan rambut disanggul rapi dan perhiasan yang memantulkan cahaya lembut lampu koridor. Di sampingnya, berdiri seorang pelayan membawa secangkir teh manis di atas nampan porselen.Senyum tipis terukir di bibir Cintya. Namun sorot matanya tajam, memindai wajah Kasih seperti sedang membaca buku terbuka.“Aku tahu hari ini cukup melelahkan untukmu, kupikir secangkir teh akan membantu menenangkanmu,” ucapnya dengan nada datar yang dibalut kelembutan palsu.”Kasih menatap teh itu dengan keraguan. Sesuatu terasa tidak beres, tapi wajah Cintya tak memberi ruang untuk kecurigaan. Terlalu tenang. Terlalu terlatih.“Maaf, saya tidak
Setibanya di kantor, suasana langsung berubah tegang. Kasih berusaha berjalan tegak, tapi tatapan dingin Eric yang menusuk dari belakang membuat langkahnya terasa berat, seperti menembus kabut es yang pekat.Eric melangkah lurus tanpa sedikit pun menoleh padanya, seolah keberadaan Kasih tak lebih dari bayangan tak penting yang menempel di dinding.Begitu mereka memasuki ruang rapat, semua mata langsung tertuju. Para eksekutif yang sudah menunggu menatap mereka, sebagian dengan rasa ingin tahu, sebagian lagi dengan sikap mencemooh yang terselubung.Eric duduk di kursinya tanpa basa-basi, lalu menatap Kasih dengan tatapan tajam seperti pisau."Duduk di sana. Jangan buat masalah," ucapnya dingin.Kasih mengepalkan tangan di samping tubuhnya, menahan bara amarah yang mulai menyala di dada. Tapi dia tetap melangkah dan duduk di kursi yang ditunjuk.Rapat dimulai. Suara Eric mendominasi, tegas dan berwibawa. Setiap katanya seperti titah yang tak bisa dibantah. Semua orang mendengarkan denga
Pagi hari, di ruang makan yang mewah, aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Namun, suasana di meja makan jauh dari kehangatan. Kasih duduk dengan tegang, sendok di tangannya sedikit gemetar. Di hadapannya, Cintya menatap dengan senyum penuh kemenangan, sementara Eric duduk di kepala meja, diam seperti biasa, tetapi sorot matanya dingin dan gelap.Cintya memainkan sendoknya sebelum berkata dengan nada santai namun tajam, "Kasih, kau ingat tujuanmu di rumah ini, kan?"Kasih tidak menjawab. Matanya menatap penuh kewaspadaan. Cintya menyeringai, lalu melanjutkan dengan suara lebih rendah namun beracun, "Kau bukan hanya istri kedua. Kau di sini untuk melahirkan keturunan Eric.”Darah Kasih berdesir. Kata-kata itu menusuknya dalam. Ia ingin membantah, tetapi bibirnya terasa kelu.Eric akhirnya berbicara, suaranya dingin, "Cintya, jangan mulai lagi."Cintya menoleh ke suaminya, ekspresinya Tak berubah sedikit pun. "Aku hanya mengingatkannya, Sayang. Orang tuamu menginginkan keturunan
Kasih mengerjapkan matanya, tubuhnya terasa lemas dan kepalanya berat seakan dipukul benda tumpul. Seluruh tubuhnya terasa tak berdaya. Saat pandangannya mulai jelas, dadanya bergemuruh melihat dirinya tak mengenakan apa pun selain selimut yang melilit tubuhnya. Ketakutan menjalar seketika, menyusup ke setiap pori-porinya."Apa yang terjadi?!" bisiknya panik, dadanya naik turun karena nafas yang memburu.Di sampingnya, Eric juga terbangun. Ia mengerutkan kening, kepalanya terasa berat. Pandangannya mengabur sesaat sebelum akhirnya menyadari situasi mereka. Mata tajamnya menyapu ruangan, kemudian beralih ke Kasih yang membeku di tempat tidur."Sial! Kenapa kita…"“BRAK!”Pintu kamar terbanting keras, menghantam dinding hingga menimbulkan bunyi yang menggema di seluruh ruangan. Udara seketika terasa menegang, seolah-olah waktu membeku sejenak.Eric dan Kasih terlonjak, tubuh mereka menegang dalam keterkejutan. Serentak, kepala mereka menoleh ke arah pintu.Di ambang pintu, Cintya berdir