Malam yang canggung berlalu begitu saja, Kasih terbangun lebih dulu dan setelah mandi ia tidak mendapati Eric di kamar. Padahal ia ingin memperjelas mengenai pekerjaannya. Ia tidak tahu, mungkin Eric kembali menemui Cintya. Sebenarnya ia ingin pergi lebih dulu, tapi saat ingin sarapan, pasangan suami istri itu sudah masuk ke ruang makan juga.
Membuat Kasih merasa canggung, terlebih lagi saat Cintya masih menatapnya dengan penuh kebencian. Kasih bisa mengerti mengapa wanita itu membencinya, tapi Kasih sungguh bukan orang yang menjebak bosnya sendiri.
Ruangan makan terasa sunyi. Hanya denting sendok dan tatapan Cintya pada Kasih yang tak berubah, tetap sinis dan angkuh.
"Sepertinya kau sudah bersiap untuk bekerja," ucap Cintya, memecah keheningan.
Kasih tersenyum, membenarkan ucapan Cintya meski ia tidak suka pada nada suara wanita itu. Namun, ia tetap menjawab, "Ya, saya harus tetap bekerja."
Cintya menatapnya. "Untuk apa kamu bekerja? Bukankah semua kebutuhanmu di rumah ini sudah terpenuhi?" tanyanya.
Kasih menghembuskan napas berat. Entah mengapa, setiap kalimat Cintya selalu membuatnya merasa seperti wanita paling hina, dipandang sebelah mata, seolah ia hanyalah benda mati yang tak memiliki perasaan.
"Semua kebutuhan saya di rumah ini memang sudah terpenuhi, tetapi saya masih membutuhkan uang untuk membiayai keperluan saya yang lain, terutama biaya sekolah dan hidup adik saya," jawab Kasih.
Nada suaranya yang jujur hanya memperoleh cibiran dari Cintya. “Ternyata kamu matre juga,” ucapnya.
Cintya menoleh ke Eric yang tenggelam dengan ponselnya. “Eric, jika Kasih bekerja, maka waktunya akan tersita oleh pekerjaan dan itu akan menyulitkannya untuk memiliki anak.”Eric mengangkat wajahnya, melirik sekilas pada Kasih yang telah mengenakan setelan kerja. “Kamu di rumah saja. Aku akan mentransfer uang senilai gajimu setiap bulannya.”
Perkataan Eric yang seakan merendahkannya, membuat Kasih merasa tersinggung. Perlahan ia mengepalkan kedua telapak tangannya.
“Bukankah Pak Eric sendiri yang mengatakan semalam bahwa bekerja ataupun tidak, terserah padaku?”
Eric yang mendengar sanggahan dari Kasih membuat wajahnya seketika mengeras, sorot matanya penuh intimidasi. Ia sangat tidak menyukai orang yang berani membantahnya dan Kasih tahu itu.
“Apapun yang sudah aku katakan mutlak, dan kamu tidak berhak menolaknya,” tegas Eric. Nada suaranya terdengar dingin dan menohok.
Kasih terdiam. Ia hanya bisa menunduk, hatinya mencelos. Perkataan Eric benar-benar membuatnya tak berdaya, tak lagi berani bicara apalagi menatapnya. Sebagai sekretaris pria itu, Kasih sangat mengenal watak Eric. Setiap kalimat yang meluncur dari bibirnya adalah keputusan akhir. Tak ada yang berani membantah dan tak boleh ditolak oleh siapapun.
Tetapi mengapa ucapan dari Cintya mampu merubah Eric dalam sekejap? Untuk apa ia mengatakan terserah, jika harus berubah hanya karena kalimat yang meluncur dari mulut istrinya?
Ia melirik Cintya yang sedang menatapnya, seulas senyum penuh kemenangan tertera di wajahnya yang cantik. Wanita itu tampak sangat menikmati yang terjadi padanya saat ini. Sebuah permainan terselubung dari model papan atas itu.
Kasih menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. “Entah mengapa aku merasa Ibu Cintya menyembunyikan sesuatu,” pikirnya.
Sejak kemarin ia menaruh rasa curiga, tetapi kasih tak berani mengatakannya. Ia takut salah, apalagi Cintya adalah istri Eric.
Cintya yang menyadari lirikan Kasih, ia menaikkan sebelah alisnya, seolah berkata, "Kamu tidak memiliki kekuatan apa pun atas diri Eric. Hanya aku yang berhak atasnya, dan apa pun yang aku katakan serta inginkan akan selalu dikabulkan."
Namun, Eric yang melihat cara Cintya memandang Kasih, menyipitkan mata. Rasa curiga yang dirasakannya belum benar-benar hilang, ada sesuatu yang disembunyikan oleh Cintya. Dan untuk kesekian kalinya, ia buru-buru menepis perasaan itu dan melangkah keluar, meninggalkan kedua istrinya dalam keheningan.
****
Di perusahaannya Eric duduk di kursi, memandang asisten pribadinya. Jari jemarinya yang kokoh mengetuk-ngetuk meja, menciptakan irama tak beraturan.
“Bagaimana apakah kamu sudah menemukan pelakunya?” tanyanya.
Ia tampak tenang, tetapi di balik ketenangannya itu, tersembunyi suatu amarah yang siap meledak kapan saja.
“Maaf, Pak Eric…”
“Dasar tidak becus! Kau tahu, kata maafmu itu sudah jelas mengatakan jika kau belum menemukannya.” Sebelum asistennya selesai menjawab, Eric sudah memotongnya.
Ia mengusap kasar wajahnya. Nafasnya terasa sesak menahan amarah dalam dada. “Jika bukan karena jebakan, aku tidak mungkin tidur bersama Kasih,” ucapnya.
Selama ia berumah tangga bersama Cintya, Eric selalu setia. Ia tidak pernah ingin dekat dengan wanita mana pun, apalagi sampai menidurinya. Baginya, Cintya adalah satu-satunya wanita yang dicintainya. Jadi, sangat mustahil jika Eric mampu melakukan hal itu bersama sekretarisnya.
Ia bangkit berdiri, menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana panjang. Tatapannya sedikit pun tak berpaling dari wajah Bima, asisten pribadinya yang kini tampak sangat gelisah.
Wajah Bima pucat, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia sangat mengenal karakter atasannya itu. Tetapi, apapun yang terjadi, ia harus mengatakan kecurigaan yang tertuju pada istri Eric, sekalipun nanti ia akan menjadi sasaran empuk kemarahan Eric.
“Pak Eric,” ucapnya. Bima menghembuskan napas pelan, seakan mencoba mengusir rasa takut yang sedari tadi bercokol dalam dirinya.
“Tidak ada satu orang pun yang bisa memasuki perusahaan ini tanpa melewati pengamanan yang sangat ketat, sekalipun itu karyawan perusahaan. Terkecuali mereka yang sangat dekat dengan Bapak.” Setiap kata yang meluncur dari Bima terdengar sangat hati-hati. Ia tidak ingin Eric salah paham.
“Orang yang sangat dekat denganku?” tanya Eric. Keningnya berkerut, sorot matanya tajam, seolah memastikan kebenaran penjelasan asistennya.
“Benar, Pak! CCTV ruangan Bapak di malam itu terhapus dan tak bisa dipulihkan. Pak Eric tahu sendiri, jika kepala keamanan perusahaan hanya mematuhi perintah Pak Eric saja,” jawab Bima.
“Langsung saja, jangan berbelit-belit,” tegas Eric.
Sebelum menjawab, sejenak Bima memandang wajah atasannya. “Saya mencurigai Ibu Cintya, istri Bapak,” katanya dalam satu tarikan nafas.
“Istriku?! Kau tahu apa yang kau katakan, Bima?” Eric berusaha menahan amarah yang hampir saja membludak. Dalam hal ini, ia harus bersikap tenang.
“Tidak mungkin istriku melakukan perbuatan kotor,” ucapnya. Eric benar-benar tak percaya kecurigaan asistennya itu.
Namun, cukup membuatnya terdiam. Saat ini, pikiran Eric berkecamuk, ia berusaha mengurai benang kusut kejadian di malam itu dan juga sikap istrinya. Ia menggeleng pelan, masih tak percaya terhadap dugaan Bima.
“Aku ingin kamu menyelidiki lebih dalam lagi dan mengumpulkan semua bukti. Jika perlu, kamu datangkan ahli IT yang bisa memulihkan rekaman yang terhapus.” Akhirnya, Eric memutuskan, meminta asistennya itu untuk menyelidiki Cintya.
Di ruangan kerja Eric, Kasih duduk di kursi. Ia memandang sekeliling ruangan dengan sorot mata sendu. Ingatannya melayang pada saat suaminya masih berada di ruangan ini. Eric Begitu serius memeriksa semua berkas-berkas perusahaan, sesekali menatap layar laptop, lalu kembali menunduk meneliti dokumen di meja.Kasih menghela napas panjang. Hatinya benar-benar terluka. Jika boleh jujur, saat ini ia tak tahu harus berbuat apa. Namun, ia tak bisa tinggal diam. Pelaku yang membuat suaminya dan Bram terbaring lemah di rumah sakit harus ia temukan.Ia kembali menghembuskan napas berat. Ingatannya melayang pada saat sebelum kecelakaan itu terjadi. Keningnya berkerut ketika mengingat percakapan Eric dengan Bram melalui sambungan ponsel.“Aku yakin ada petunjuk di ponsel suamiku,” gumamnya dengan lirih.Kasih bersandar di kursi. Matanya tertuju pada pintu ruangan CEO ketika terdengar ketukan dari luar.“Masuk!” seru Kasih.Pintu pun terbuka. Masuklah Budiman, direktur perusahaan milik Eric. Pria
Degh! Jantung Kasih berdegup tak beraturan mendengar ucapan yang terlontar dari bibir Indira. Ingatannya pun melayang jauh, kembali pada sore hari sebelum kecelakaan Eric. Saat itu, dering telepon dari Bima masih begitu jelas terngiang di telinganya. Begitu panggilan itu berakhir, Eric pun pergi tergesa, seakan ada sesuatu yang begitu penting menantinya.Kasih masih mengingat jelas bagaimana ia sempat menahan langkah suaminya.“Ada apa, Pa?” tanyanya kala itu dengan raut wajah yang dipenuhi dengan kecemasan.Eric hanya menghela napas panjang saat itu, lalu menatapnya sekilas. “Ada urusan penting yang harus Papa selesaikan, dan sekarang Papa harus kembali ke perusahaan,” ucapnya dengan nada tegas.Namun Kasih dapat merasakan ada sesuatu yang berbeda. Sorot mata suaminya seakan menyimpan kecemasan yang tak terucapkan. Telinganya yang peka bahkan sempat menangkap percakapan singkat antara Eric dan asistennya, percakapan yang terdengar samar namun cukup untuk menimbulkan rasa curiga di h
Waktu terasa begitu lambat bagi Kasih. Sudah satu minggu Eric tidak membuka matanya. Ia tampak tenggelam dalam buaian mimpi panjang dan enggan kembali ke dunia nyata. Tubuhnya kini terbaring lemah di kamar pasien, diselimuti suara mesin medis yang berdetak monoton.Kasih setia mendampingi suaminya, duduk diam di kursi samping ranjang. Matanya sayu, tampak letih dan kehilangan tidur. Perlahan ia menggenggam tangan Eric yang terasa dingin, suaranya lembut penuh harap ketika berbicara,"Pa, bangunlah. Jangan terus terlelap."Suara Kasih parau, getir terselip di setiap kata saat ia menahan tangis yang ingin tumpah. Dadanya terasa sesak, terhimpit oleh kecemasan dan ketakutan, sementara kesedihan melingkupi setiap sudut hatinya. Wajahnya pucat, matanya redup seolah kehilangan cahaya, dan seluruh dirinya tenggelam dalam duka yang tak bertepi.Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka kasih pun menoleh, di ambang tampak Indira masuk bersama seorang pria yang tidak asing bagi Kasih, Pak Budiman
Kasih duduk lemah di kursi dingin ruangan ICU, kedua matanya terpaku pada sosok Eric yang terbaring dengan berbagai selang dan alat medis melekat di tubuhnya. Wajah pria itu pucat, napasnya tersengal diiringi bunyi monoton mesin pemantau yang seakan menjadi pengingat betapa rapuh hidupnya saat ini.Air mata Kasih tak terbendung, jatuh membasahi pipinya yang pucat. Tangannya bergetar ketika menyentuh telapak tangan Eric yang terasa dingin, seolah waktu berusaha merenggut hangatnya dengan perlahan.“Pa, dengarlah suara hatiku. Bukalah matamu, aku, Nayla, Ibu, Revan dan anak kita yang berada di rahimku ini menunggumu pa,” bisiknya lirih di antara tangisnya yang tertahan.Di ruangan yang sunyi itu hanya suara mesin yang setia berdenting, menjadi saksi bisu doa seorang istri yang tengah mengandung, berperang antara harapan dan ketakutan.Kasih menundukkan wajahnya di atas tangan Eric, merelakan air matanya jatuh, seakan ingin menyatu dengan darah dan kehidupan yang masih bertahan pada pria
Bima menekan pedal gas lebih dalam, mobil melaju kencang di jalanan yang mulai sepi. Mobil asing berwarna gelap itu terus mengikuti di belakang, jaraknya tak kunjung menjauh. Suasana dalam mobil menjadi tegang, napas masing-masing tercekat oleh kekhawatiran.Eric menoleh ke belakang, matanya menatap lurus ke kendaraan yang menguntit mereka.“Sepertinya mobil itu memang sengaja ingin menabrak kita,” ucap Eric, suaranya terdengar datar dan tegang. Tangannya gemetar saat merogoh saku celana untuk mengambil ponsel.Tiba-tiba, dari arah depan, sebuah mobil melesat dengan kecepatan tinggi.“Brak!”Tubuh Bima tersentak, mobilnya terseret liar dan berputar di jalanan. Trotoar mendekat dengan mengerikan. “Brak!” Mobil menghantam sebuah pohon besar. Ban meletup, kaca retak, dan aroma karet terbakar mengepul di udara. Kepala Bima membentur setir, darah terasa panas di dahinya. Eric terhuyung ke dashboard, napasnya tersengal, ponsel terjatuh.Di rumahnya, Kasih yang sedang bersantai tanpa sengaj
Eric bergegas keluar dari mobilnya, lalu melangkah masuk ke dalam perusahaannya. Setelah menerima telepon dari Bima tadi, pria itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun langsung meluncur ke kantornya. Kepada Kasih, ia hanya sempat mengatakan bahwa ada urusan mendadak di perusahaan.Di depan pintu perusahaan, Bima sudah menunggunya dengan wajah tegang."Mengapa hal ini bisa terjadi?" tanya Eric dengan suara dingin, tatapannya tajam menusuk Bima. Langkah kakinya cepat, terus melangkah menuju lift tanpa menoleh.Bima menelan ludah. "Menurut mandor proyek, penyuplai bahan bangunan itu memberikan kualitas yang sangat jelek, sehingga bangunan tidak kokoh," jawabnya hati-hati.Eric berhenti tepat di depan lift. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal kuat hingga urat di pergelangan tangannya menonjol. "Seharusnya kamu tahu sejak awal kualitas barang yang masuk ke proyekku. Aku membayarmu untuk mengawasi semuanya, bukan hanya berdiri dan melaporkan setelah masalah besar terjadi!"Bima menundukkan