Setibanya di kantor, suasana langsung berubah tegang. Kasih berusaha berjalan tegak, tapi tatapan dingin Eric yang menusuk dari belakang membuat langkahnya terasa berat, seperti menembus kabut es yang pekat.
Eric melangkah lurus tanpa sedikit pun menoleh padanya, seolah keberadaan Kasih tak lebih dari bayangan tak penting yang menempel di dinding.
Begitu mereka memasuki ruang rapat, semua mata langsung tertuju. Para eksekutif yang sudah menunggu menatap mereka, sebagian dengan rasa ingin tahu, sebagian lagi dengan sikap mencemooh yang terselubung.
Eric duduk di kursinya tanpa basa-basi, lalu menatap Kasih dengan tatapan tajam seperti pisau.
"Duduk di sana. Jangan buat masalah," ucapnya dingin.
Kasih mengepalkan tangan di samping tubuhnya, menahan bara amarah yang mulai menyala di dada. Tapi dia tetap melangkah dan duduk di kursi yang ditunjuk.
Rapat dimulai. Suara Eric mendominasi, tegas dan berwibawa. Setiap katanya seperti titah yang tak bisa dibantah. Semua orang mendengarkan dengan serius.
Kasih mencoba mencatat, tapi jemarinya sedikit gemetar. Tulisannya berantakan, seolah ikut menggambarkan kekacauan emosinya.
"Kasih, mana notulensi rapat minggu lalu?"" suara Eric mendadak membelah keheningan.
Kasih tersentak. "Saya... saya pikir sudah mengirimkannya ke email Anda."
Tatapan Eric menyempit. "Pikir? Kau pikir?!" Ia mengembuskan napas kasar, lalu melemparkan tablet ke meja. Suara benda itu memantul keras di ruang rapat yang sunyi.
"Tak ada file yang masuk. Bahkan urusan sepele seperti ini kau tidak becus?"
Beberapa eksekutif mulai berbisik. Ada yang menyeringai, menikmati momen di mana Kasih dijadikan sasaran.
Kasih menahan napas. "Saya akan mengirimkannya sekarang…"
"Jangan buang waktuku, Itu seharusnya sudah siap sebelum rapat dimulai!" potong Eric tajam.
Kasih menunduk, menahan diri agar tidak meledak. Tapi Eric belum selesai.
"Bagaimana dengan laporan keuangan bulan ini? Jangan bilang kau juga lupa membawanya."
Tubuh Kasih menegang. “Saya tidak lupa mem.. ” Kalimatnya terputus.
Eric menghela napas panjang, seolah kehabisan kesabaran. "Kau tidak hanya ceroboh, tetapi juga tidak bisa berpikir sendiri? Haruskah aku mengajarmuseperti anak kecil?"
Kasih diam. Ia tahu, membela diri hanya akan memperkeruh suasana. Dengan tangan yang dingin dan gemetar, ia menyodorkan file laporan keuangan ke hadapan Eric.
Eric hanya melirik sekilas, lalu membuang pandang. Seolah laporan itu itu tidak pernah ada.
Tawa kecil terdengar dari ujung meja. Para eksekutif menutupi mulut, pura-pura tak melihat, tapi jelas menikmati penghinaan itu.
Kasih mengepalkan tangan di atas meja. Ingin bicara. Ingin membela diri. Tapi lidahnya kelu.
Bukan karena takut. Tapi karena tahu, di ruangan ini, dia sudah divonis bersalah bahkan sebelum diberi kesempatan menjelaskan."Aku tidak butuh sekretaris yang hanya bisa membuat kesalahan," gumam Eric jijik.
Ruangan semakin tegang. Namun, tiba-tiba pintu ruang rapat terbuka. Seorang asisten masuk dengan wajah panik.
"Tuan Eric, ada masalah besar!"
Eric menoleh tajam. "Apa lagi sekarang?"
"File proyek merger kita… hilang."
Ruangan langsung sunyi. Semua wajah berubah panik. "Kasih. Jangan bilang ini juga ulahmu?"" Tatapan Eric membakar.
Kasih membelalakkan mata. "Saya tidak…"
"Sudahlah! Aku sudah menduga ini akan terjadi kalau kau yang mengurusnya," Eric menyandarkan punggungnya ke kursi.
Rapat pun berakhir. Para eksekutif segera keluar, menyisakan Eric dan Kasih. Kasih membereskan catatannya, kepalanya tertunduk. Bekerja di bawah tekanan sudah biasa baginya. Tapi ini... Ini bukan tekanan. Ini penghancuran karakter secara perlahan. Saat ia hendak beranjak, suara dingin itu menghentikannya.
"Jangan pergi dulu."
Kasih menoleh, menatap Eric dengan ekspresi kosong.
Eric menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap tajam.
"Sejak kapan sekretaris handal sepertimu jadi begitu ceroboh?"
"Saya sudah bekerja sesuai prosedur. Jika ada kesalahan, saya akan periksa ulang," jawabnya.
Eric menyeringai sinis. "Periksa ulang?” Ia melemparkan dokumen ke meja.
"Laporan keuangan bulan lalu. Ada perbedaan angka. Periksa sekarang!"
Kasih hanya melirik. Ia tahu isi laporan itu. Ia yang menyusunnya, dengan teliti.
"Saya yakin itu benar. Kalau ada perubahan, mungkin terjadi setelah saya menyerahkannya."
Tatapan Eric mengeras. "Jadi kau menyalahkan orang lain?"
Kasih menarik napas panjang. Perdebatan ini tidak akan berakhir. Karena ini bukan tentang laporan. Tapi tentang dirinya.
"Saya akan memeriksa ulang dan memperbaikinya."
Eric mendengus. "Bagus. Setidaknya kau tahu tugasmu."
Kasih mengambil dokumen itu, berbalik menuju pintu.
"Dan satu lagi, Kasih. Jangan berbuat kesalahan lagi."
Kasih menoleh. Tatapannya tak gentar. "Saya tidak pernah membuat kesalahan, Pak Eric." Lalu ia keluar, meninggalkan pria itu dengan hati yang membeku. Tapi di balik pintu tertutup, kedua tangannya mengepal erat.
"Sampai kapan aku harus menanggung kesalahan yang tidak pernah aku lakukan?" Langkah Kasih terdengar nyaring di koridor saat suara tumit stileto mulai mendekat. Aroma parfum mahal menyeruak sebelum suara nyinyir itu menyusul.
"Ck, ck, ck... Lihat siapa yang baru saja keluar dengan wajah kusut," Cintya berdiri dengan senyum licik, mengenakan gaun elegan dan tatapan seperti ratu pesta yang datang melihat pelayannya diusir.
"Sepertinya jadi sekretaris CEO tak semudah yang kau kira, ya? Kau terlihat seperti wanita putus asa."
Kasih menghela napas. "Apakah Anda ingin bertemu dengan Pak Eric?"
Cintya tertawa pelan. "Oh, tentu. Aku selalu punya waktu untuk Eric. Berbeda dengan seseorang… yang hanya menjadi beban."
Kasih mengepalkan tangan, dia tidak membalas perkataan Cintya yang menyakitkan. Dia menghirup udara dan menghembuskannya.
"Sayang sekali, Eric saja tidak pernah menganggapmu berguna,” bisik Cintya, tersenyum sinis
Tepat saat itu, langkah kaki terdengar. Eric muncul di ujung koridor. Cintya langsung berubah. Senyum manis, suara lembut, penuh pesona. "Eric! Kebetulan sekali, aku datang untuk membahas hal penting."
Eric hanya menatap sekilas ke arah Kasih, lalu fokus pada Cintya. Kasih berdiri diam, menunggu... berharap. Tapi seperti biasa, Eric memilih diam.
Cintya menautkan lengannya ke Eric tanpa ragu, lalu melempar pandangan dingin dan penuh kemenangan pada Kasih."Ayo, kita bicara di dalam. Tak perlu buang waktu dengan hal yang tak penting." Pintu pun tertutup. Kasih masih tetap berdiri di sana.
Ia mengembuskan nafas perlahan. Tapi di dalam dadanya, badai terus bergemuruh. "Sampai kapan aku harus bertahan dalam situasi seperti ini?"
Beberapa jam kemudian, Kasih terbangun dengan kepala berat, seolah habis dihantam kenyataan. Ia meringis pelan, menekan pelipis yang berdenyut nyeri. Saat menoleh ke samping, tubuhnya membeku. Eric tertidur tengkurap, sepenuhnya telanjang, hanya selimut yang menutupi sebagian pinggangnya.Sesak. Dadanya seperti dihimpit beban yang tak kasat mata. Ia menarik napas panjang, mencoba menelan rasa getir yang menyeruak tanpa permisi. Perlahan, ia bangkit dari ranjang, mengumpulkan sisa-sisa harga diri yang tercecer. Ia mengambil pakaiannya, lalu berjalan ke kamar mandi.Air dingin mengguyur tubuhnya, tapi tak satu tetes pun sanggup menghapus luka yang mengendap dalam jiwa.Setelah berganti pakaian, Kasih keluar dari kamar dengan langkah ragu. Tapi langkahnya terhenti seketika di ambang pintu. Cintya berdiri di sana, melangkah mendekat dengan anggun dan sikap superior, seperti ratu yang hendak menjatuhkan vonis pada budaknya.Tatapan matanya menyapu Kasih dari ujung kepala hingga kaki, penuh
Jam tujuh malam, setelah makan malam, Kasih masuk ke kamarnya. Tubuhnya lelah, pikirannya kacau setelah seharian menghadapi sikap Eric yang dingin dan menyebalkan. Ia baru saja ingin mengistirahatkan diri ketika ketukan terdengar di pintu.Dengan enggan Kasih membuka pintu alisnya berkerut. Di sana berdiri Cintya, anggun dalam balutan gaun satin abu-abu keperakan, dengan rambut disanggul rapi dan perhiasan yang memantulkan cahaya lembut lampu koridor. Di sampingnya, berdiri seorang pelayan membawa secangkir teh manis di atas nampan porselen.Senyum tipis terukir di bibir Cintya. Namun sorot matanya tajam, memindai wajah Kasih seperti sedang membaca buku terbuka.“Aku tahu hari ini cukup melelahkan untukmu, kupikir secangkir teh akan membantu menenangkanmu,” ucapnya dengan nada datar yang dibalut kelembutan palsu.”Kasih menatap teh itu dengan keraguan. Sesuatu terasa tidak beres, tapi wajah Cintya tak memberi ruang untuk kecurigaan. Terlalu tenang. Terlalu terlatih.“Maaf, saya tidak
Setibanya di kantor, suasana langsung berubah tegang. Kasih berusaha berjalan tegak, tapi tatapan dingin Eric yang menusuk dari belakang membuat langkahnya terasa berat, seperti menembus kabut es yang pekat.Eric melangkah lurus tanpa sedikit pun menoleh padanya, seolah keberadaan Kasih tak lebih dari bayangan tak penting yang menempel di dinding.Begitu mereka memasuki ruang rapat, semua mata langsung tertuju. Para eksekutif yang sudah menunggu menatap mereka, sebagian dengan rasa ingin tahu, sebagian lagi dengan sikap mencemooh yang terselubung.Eric duduk di kursinya tanpa basa-basi, lalu menatap Kasih dengan tatapan tajam seperti pisau."Duduk di sana. Jangan buat masalah," ucapnya dingin.Kasih mengepalkan tangan di samping tubuhnya, menahan bara amarah yang mulai menyala di dada. Tapi dia tetap melangkah dan duduk di kursi yang ditunjuk.Rapat dimulai. Suara Eric mendominasi, tegas dan berwibawa. Setiap katanya seperti titah yang tak bisa dibantah. Semua orang mendengarkan denga
Pagi hari, di ruang makan yang mewah, aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Namun, suasana di meja makan jauh dari kehangatan. Kasih duduk dengan tegang, sendok di tangannya sedikit gemetar. Di hadapannya, Cintya menatap dengan senyum penuh kemenangan, sementara Eric duduk di kepala meja, diam seperti biasa, tetapi sorot matanya dingin dan gelap.Cintya memainkan sendoknya sebelum berkata dengan nada santai namun tajam, "Kasih, kau ingat tujuanmu di rumah ini, kan?"Kasih tidak menjawab. Matanya menatap penuh kewaspadaan. Cintya menyeringai, lalu melanjutkan dengan suara lebih rendah namun beracun, "Kau bukan hanya istri kedua. Kau di sini untuk melahirkan keturunan Eric.”Darah Kasih berdesir. Kata-kata itu menusuknya dalam. Ia ingin membantah, tetapi bibirnya terasa kelu.Eric akhirnya berbicara, suaranya dingin, "Cintya, jangan mulai lagi."Cintya menoleh ke suaminya, ekspresinya Tak berubah sedikit pun. "Aku hanya mengingatkannya, Sayang. Orang tuamu menginginkan keturunan
Kasih mengerjapkan matanya, tubuhnya terasa lemas dan kepalanya berat seakan dipukul benda tumpul. Seluruh tubuhnya terasa tak berdaya. Saat pandangannya mulai jelas, dadanya bergemuruh melihat dirinya tak mengenakan apa pun selain selimut yang melilit tubuhnya. Ketakutan menjalar seketika, menyusup ke setiap pori-porinya."Apa yang terjadi?!" bisiknya panik, dadanya naik turun karena nafas yang memburu.Di sampingnya, Eric juga terbangun. Ia mengerutkan kening, kepalanya terasa berat. Pandangannya mengabur sesaat sebelum akhirnya menyadari situasi mereka. Mata tajamnya menyapu ruangan, kemudian beralih ke Kasih yang membeku di tempat tidur."Sial! Kenapa kita…"“BRAK!”Pintu kamar terbanting keras, menghantam dinding hingga menimbulkan bunyi yang menggema di seluruh ruangan. Udara seketika terasa menegang, seolah-olah waktu membeku sejenak.Eric dan Kasih terlonjak, tubuh mereka menegang dalam keterkejutan. Serentak, kepala mereka menoleh ke arah pintu.Di ambang pintu, Cintya berdir