Usai makan malam dan berbincang dengan Cintya, Eric melangkah menuju kamar Kasih. Ia membuka pintu. Sebelum masuk, ia memandang ranjang, di mana Kasih berbaring membelakanginya.
Eric menghela napas berat melihat kerapuhan Kasih. Ia tahu, saat makan malam tadi, Cintya selalu saja melontarkan kata-kata sindiran, merendahkan Kasih, menghinanya, tanpa mempedulikan perasaannya. Sementara dirinya sendiri, sedikit pun tak berbicara. Ia hanya diam, seakan tak peduli terhadap perlakuan Cintya pada Kasih.
Tadi, Kasih sempat meliriknya, tetapi dengan tak acuh, ia hanya menatap sekilas dan kembali menikmati makan malamnya. Ia menghembuskan napas berat dan melangkah masuk, tanpa mengucapkan sepatah kata pun Eric berbaring di samping Kasih. Matanya memandang langit-langit kamar. Berbagai macam pikiran berkecamuk dalam benaknya. Lalu ia menoleh ke samping, menatap punggung Kasih.
Entah mengapa, saat ini ingin rasanya ia menyentuh Kasih, membawanya ke dalam pelukannya dan menenangkannya. Perasaan itu benar-benar kuat merasuki hatinya.
“Mengapa perasaan ini sangat kuat menekan dadaku?” gumamnya dalam hati.
Eric mengulurkan tangan, hendak merengkuhnya tetapi ia urung melakukannya.
Sementara itu, Kasih yang menyadari kehadiran Eric. Mulai dari suara langkah kaki memasuki kamarnya, aroma tubuhnya, semuanya begitu familiar. Namun, ia memilih tetap diam, membelakangi suaminya. Malam ini, lukanya terlalu dalam, dan ia memilih untuk diam.
Baginya, percuma melawan Cintya, membalas setiap hinaannya, karena hasilnya akan tetap sama. Ia akan selalu menjadi pihak yang disalahkan, dan Eric akan tetap diam, membiarkan Cintya melakukan apa pun yang diinginkannya.
Eric terlalu mencintai wanita itu. Bagi Eric, Cintya adalah satu-satunya wanita yang paling benar di rumah ini. Kasih memejamkan mata. Tanpa terasa, air mata mengalir di kedua pipinya. Isakan tanpa suara itu membuat dadanya terasa sesak. Ia ingin protes, marah, dan berteriak mengatakan, “Mengapa harus aku yang disalahkan!”
Namun, semua itu tak bisa dilakukannya. Ia hanya bisa menekan dadanya dan memendam semuanya. Ia tidak ingin keadaan semakin kacau. Cintya akan semakin membencinya, dan Eric akan semakin menyalahkannya. Hidupnya saat ini bagaikan menginjak pecahan kaca. Setiap langkahnya meninggalkan jejak darah yang tak terlihat.
Kasih tak menyadari, jika sedari tadi Eric memandangnya. Walaupun Kasih tak mengeluarkan suara tangisan, tetapi gerakan pelan di bahunya tak luput dari tatapan mata Eric.
Dari setiap gerakan halus itu, Eric tahu, Kasih sedang menahan suara tangisan agar tak terdengar olehnya. Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyentuh bahu Kasih, hingga wanita itu tersentak kaget.
“Jangan takut, aku tidak akan melakukan apapun padamu,” ucap Eric.
“Maaf, aku hanya terkejut.” Kasih beringsut, berusaha menghindari sentuhan Eric di pundaknya.
Tetapi semakin ia beringsut, tangan Eric semakin menekannya, seolah berkata, “Jangan menjauh.”
Kasih menyusut air mata di pipinya. “Apa yang Pak Eric inginkan?” tanya Kasih.Ia membalikkan tubuh menghadap Eric. Matanya membalas tatapan suaminya, pandangan mereka beradu.
Eric bagai terhempas melihat mata bening Kasih yang sembab bekas air mata. Entah mengapa mata kasih membuatnya benar-benar tak berdaya. Hatinya terasa sakit melihat bekas air mata yang masih tertinggal di mata istri keduanya itu.
“Apa yang aku rasakan ini? Mengapa aku merasa iba dan merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya? Luka di mata itu membuatku sakit dan sangat ingin menghapusnya, serta membuatnya kembali bersinar lagi,” ucap Eric dalam hati.
Perlahan, Eric mengangkat tangannya, menyentuh lembut mata bawah Kasih, dan menghapus sisa air mata itu. Sentuhan lembut Eric membuatnya memejamkan kedua matanya. Saat ini, Kasih tak tahu apa yang dirasakannya, ia hanya tak ingin kehilangan momen itu.
Melihat Kasih tak bergeming sedikit pun dan tak menolak sentuhannya, Eric mendekatkan wajahnya, lalu mengecup lembut kedua mata Kasih.
Kelembutan Eric membuat Kasih menegang. Ia tak menyangka Eric bisa memperlakukan dirinya selembut itu. Eric merengkuhnya dan memeluknya dengan penuh kelembutan, seakan ia takut menyakiti Kasih. Dadanya bergetar hebat, getaran yang tak ingin ditepisnya. Saat ini, ia benar-benar merasakan kenyamanan yang tak pernah ia dapatkan, sekalipun itu dari Cintya, istrinya.
“Mengapa bersama Kasih aku menemukan kedamaian? Apa artinya ini? Ia terlihat rapuh dan tak sekuat Cintya, tetapi semakin aku melihat kerapuhannya, semakin ingin aku melindunginya.” Eric menghela napas, lalu mempererat pelukannya.
Merasakan pelukan Eric yang semakin erat, Kasih mundur ke belakang, berusaha melepaskan diri dari pelukan itu. Namun, semakin Kasih berusaha menghindar, pelukan Eric semakin erat. Kasih pun teringat perkataan Cintya. Ia menghembuskan napas beratnya.
“Pak Eric ingin memiliki seorang anak, bukan? Lakukanlah, Pak,” ucapnya.
Saat ini, Kasih berpikir bahwa semakin cepat ia mengandung, maka keadaan akan membaik dan sikap Cintya akan berubah, karena yang diinginkan wanita itu adalah seorang anak untuk Eric.
Mendengar perkataan Kasih, Eric menegang. Tubuhnya kaku, raut wajahnya seketika berubah menjadi datar. Ia merenggang pelukannya, matanya menatap kedalaman mata istri keduanya.
Perubahan Eric itu tak luput dari pandangan Kasih dan membuatnya salah paham. Kasih tak menyadari bahwa karena ucapannya, Eric berubah.
“Lakukanlah, Pak! Bukankah kita sudah pernah melakukannya di malam itu? Walaupun kita berdua tahu, entah mengapa hal itu bisa terjadi,” ucap Kasih.
Eric menghela napas, tatapannya tak lepas dari mata Kasih. “Kenapa kamu mengingatkanku pada malam itu?” tanya Eric.
Ia bangkit dan duduk di atas kasur. Eric berpaling, tak ingin memandang Kasih. Saat ini, ia benar-benar kesal pada wanita itu. Namun, kekesalan itu tak berlangsung lama ketika Eric melihat Kasih bangkit berdiri dan melepaskan satu per satu pakaiannya, sehingga tubuhnya polos hanya meninggalkan pakaian dalam saja.
“Ini yang diinginkan oleh Ibu Cintya, kan?” Kasih mengulas senyum sinis di wajahnya.
Semua ingatan akan perkataan Cintya, dinginnya sikap Eric, dan ketidakpedulian pria itu membuat Kasih kembali meneteskan air mata. Sekuat tenaga ia menahan rasa malunya. Saat ini, ia ingin melupakan segala kekesalannya pada pria yang sedang memandangnya tanpa berkedip
“Kalian menyalahkan aku atas kejadian itu. Saat ini, Anda dan Ibu Cintya membuatku hidup penuh duri. Hinaan yang sering terlontar dari Ibu Cintya membuatku merasa seperti wanita murahan yang sengaja menyodorkan diri pada Anda. Dan Anda…”
Kasih menggantung kalimatnya. Ia menggerakkan tangan di udara seakan menggambarkan sikap Eric padanya, sikap yang menunjukkan bahwa dirinya lah yang bersalah.
“Kalian hanya berpikir tentang reputasi dan harga diri kalian saja, tanpa memikirkan diriku. Aku juga memiliki hidup dan seorang adik yang harus aku pertanggungjawabkan. Anda tahu apa yang sudah aku korbankan?”Kasih menghirup udara dalam-dalam. Rasa sakit di dadanya membuat semua amarahnya meledak dan menyesakkan. Ia tak peduli jika setelah ini Eric akan marah besar. Kasih teringat kejadian tadi siang, ketika Cintya melarangnya menemui adiknya. Wanita itu mencaci dan menghinanya, padahal saat itu Kasih harus menghadiri pertemuan antara orang tua dan guru untuk membahas perkembangan siswa.
“Seharusnya hari ini aku…” Kasih tak melanjutkan perkataannya, ia hanya terdiam.
Dalam benaknya berkata, “Untuk apa Pak Eric mengetahuinya, toh dia tidak akan peduli.”
Eric yang sedari tadi diam akhirnya bangkit berdiri. Ia melangkah menghampiri Kasih.
“Seharusnya hari ini, apa yang akan kau lakukan?” tanya Eric.
Eric sangat penasaran dengan kelanjutan ucapan Kasih. Ia menatap istri keduanya yang tetap diam, tak menjawab. Kasih hanya berdiri terpaku, kemudian menundukkan kepala menatap lantai.
“Kasih,” ucap Eric dengan nada tegas.
Kasih tak menjawab. Dengan penuh penasaran, Eric menengadahkan wajah Kasih. Jantungnya berdegup kencang saat menatap mata yang berkaca-kaca itu. Refleks, ia mendekatkan wajahnya dan mengecup lembut kedua mata Kasih. Kasih memejamkan mata, merasakan kelembutan Eric yang membuatnya merasa sangat dicintai oleh pria itu.
Namun berbeda dengan Eric, tubuhnya kini menegang. Diamnya Kasih membuat hormon kelelakiannya bergejolak, area sensitifnya pun menggeliat seakan berontak meminta untuk dipuaskan. Sekuat tenaga Eric menahannya, tetapi ia tak kuasa dan akhirnya menyerah pada nafsunya.
Eric duduk berhadapan dengan Bima di ruang kerjanya. Tatapan matanya tajam, tidak berkedip sedikit pun, menyimak setiap detail penjelasan tentang Cindy dan hukuman yang akan dijatuhkan kepada mantan sekretarisnya itu. Wajah CEO perusahaan Wijaya itu masih menyiratkan kekesalan, terlebih setelah mengetahui bahwa kecurigaannya selama ini ternyata benar.“Jadi benar, wanita itu yang menyabotase para pelamar yang datang ke perusahaanku?” tanya Eric, suaranya dingin menusuk.Bima menghela napas panjang. Ia merasa bersalah karena selama ini menganggap kecurigaan Eric hanyalah wujud ketidaksukaan atasannya pada Cindy. Meski begitu, ia tetap berusaha mencari tahu. Sayangnya, Cindy begitu rapi menyembunyikan perbuatannya hingga Bima tidak menyadarinya sejak awal.“Benar dan saya mohon maaf karena telah menganggap kecurigaan Bapak selama ini hanya disebabkan oleh ketidaksukaan Bapak padanya,” jawab Bima pelan.Ia memberanikan diri untuk membalas tatapan tajam mata Eric, meski rasa bersalah teru
“Pa-pak Eric, itu semua tidak benar. Percayalah, semuanya bohong. Ibu Kasih yang merencanakan semuanya,” ucap Cindy dengan suara gemetar.Matanya menatap Eric penuh harap, memohon belas kasihan. Namun harapannya hancur berkeping-keping saat pria itu membalas dengan tatapan dingin dan kejam.Lalu Eric menoleh ke arah Bima, yang sudah berdiri tegap di samping Cindy, menunggu perintah.“Bawa dia pergi. Pastikan tidak ada satu pun perusahaan yang mau menerima dia lagi!” perintah Eric dengan suara dingin.Bima menunduk hormat. “Baik, Pak. Sebentar lagi polisi akan tiba untuk menangkap wanita ini,” ucapnya dengan suara tegas.Tiba-tiba, pintu ballroom terbuka lebar. Sekelompok polisi berseragam masuk dengan langkah cepat dan penuh kewaspadaan. Suasana riuh para tamu berubah mendadak menjadi bisik-bisik panik yang menyebar di seluruh ruangan.“Cindy Rahmawati?” ucap salah seorang polisi dengan nada tegas.Cindy menoleh, kedua matanya terbelalak penuh ketakutan. Wajahnya tiba-tiba berubah puc
Cindy terbelalak menatap layar yang menayangkan rekaman dirinya yang sedang berjalan mondar-mandir di dalam ruangan. Namun bukan gerak-geriknya yang membuat jantungnya berdegup kencang seolah hendak melompat keluar dari dadanya. Yang membuat tubuhnya gemetar hebat dan diliputi ketakutan adalah suara dalam rekaman itu, suara dirinya sendiri, bergema nyaring memenuhi ballroom hotel.Setiap kalimat yang keluar dari bibirnya, rencana liciknya untuk menjebak Eric agar tidur dengannya, terdengar jelas di telinganya dan semua orang. Di layar, plastik putih berisi bubuk obat perangsang yang akan ia taburkan ke dalam gelas Eric terlihat begitu nyata.“Tidak mungkin,” gumamnya lirih. Ia menggeleng, seakan menolak percaya atas apa yang sedang dialaminya.Dalam sekejap, ballroom itu berubah riuh. Beberapa tamu berdecak kesal, sebagian menutup mulut dengan tangan seolah tak percaya, sementara yang lain memelototi Cindy dengan penuh amarah. Bisik-bisik tajam bercampur teriakan cemooh, membuat udara
Kasih menghela napas panjang. Sedikit pun ia tidak terkejut akan ucapan yang terlontar dari bibir sekretaris Eric itu. Kasih sudah menduga akan kelicikan Cindy yang mengorek masa lalunya untuk digunakan sebagai senjata olehnya agar membuat Kasih malu di hadapan banyak orang.Namun, ia sengaja diam dan hanya memperhatikan Cindy, seolah ia tidak berkutik sedikit pun. ”Aku akan mengikuti permainanmu, Cindy,” gumam Kasih dalam hati.Indira yang mendengarnya sangat terkejut, apalagi nada suara Cindy sangat menghina masa lalu Kasih. Sementara itu, Revan, walaupun ia memiliki keterbelakangan mental, ia pun paham maksud dari Cindy. Matanya menatap wajah kakaknya dengan tatapan cemas.”Kau!” bentak Indira. Matanya tak lepas dari wajah Cindy, kedua tangannya mengepal, napasnya memburu, wajahnya memerah penuh dengan amarah.Suara bentakan Indira yang menggema di ruangan ballroom membuat tamu undangan menoleh ke arahnya dengan tatapan mata penuh tanda tanya, sedangkan Eric yang terkejut bergegas
Cindy melangkah mendekati Nayla yang sedang asyik berceloteh bersama teman-temannya. Matanya memandangi gadis kecil itu dengan sorot yang sulit diartikan.Nayla yang merasa ditatap oleh seseorang, menoleh dan membalas pandangan mata sekretaris papanya itu. Keningnya berkerut. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya mengapa wanita itu memandanginya dengan tatapan yang begitu aneh.Cindy mengulas senyum di wajahnya. “Hai, anak cantik,” sapa Cindy.Kerutan di kening Nayla semakin dalam saat melihat keramahan Cindy dan senyumnya yang terasa aneh.”Mengapa tante Cindy datang kesini?” gumamnya.Nayla tampak jelas tidak menyukai sekretaris Eric itu. Meskipun masih kecil, ia mampu membedakan mana ketulusan dan mana kepura-puraan. Terlebih lagi, ia tahu bahwa selama ini sekretaris papanya itu tidak pernah menunjukkan sikap yang baik.Cindy melangkah semakin dekat. Ia berjongkok, mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan Nayla.“Tante membawa hadiah untukmu,” ucapnya sambil memperlihatkan kado yang dipega
Acara ulang tahun Nayla yang keempat berlangsung dengan sangat meriah di sebuah hotel mewah. Ballroom hotel disulap menjadi kerajaan dongeng penuh keajaiban. Tirai-tirai menjuntai anggun berwarna ungu muda dan emas, dihiasi hiasan mahkota dan lambang kerajaan di setiap sudut. Balon-balon berwarna pastel dan perak menggantung di langit-langit, membentuk lengkungan seperti gerbang istana.Nayla menatap dekorasi ulang tahunnya itu. Anak yang baru saja berusia empat tahun itu mendongakkan wajahnya, menatap kedua orang tuanya, juga Revan dan Omanya yang saat ini tampak sangat bahagia melihat kebahagiaan gadis kecil mereka.“Papa, Mama, terima kasih. Nay sangat bahagia sekali,” ucapnya.Kasih dan Eric menunduk, mata mereka memandang wajah Nayla. Sorot mata pasangan suami istri itu tampak sangat lembut.“Sama-sama, sayang,” ucap mereka bersamaan.Eric mengusap lembut pundak gadis kecilnya itu. “Apakah dekorasi ulang tahunmu ini sudah sesuai dengan keinginanmu?” tanyanya.Nayla mengedarkan pa