Share

Bab 5

Author: Juwita Liling
last update Last Updated: 2025-03-01 10:13:37

Usai makan malam dan berbincang dengan Cintya, Eric melangkah menuju kamar Kasih. Ia membuka pintu. Sebelum masuk, ia memandang ranjang, di mana Kasih berbaring membelakanginya.

Eric menghela napas berat melihat kerapuhan Kasih. Ia tahu, saat makan malam tadi, Cintya selalu saja melontarkan kata-kata sindiran, merendahkan Kasih, menghinanya, tanpa mempedulikan perasaannya. Sementara dirinya sendiri, sedikit pun tak berbicara. Ia hanya diam, seakan tak peduli terhadap perlakuan Cintya pada Kasih.

Tadi, Kasih sempat meliriknya, tetapi dengan tak acuh, ia hanya menatap sekilas dan kembali menikmati makan malamnya. Ia menghembuskan napas berat dan melangkah masuk, tanpa mengucapkan sepatah kata pun Eric berbaring di samping Kasih. Matanya memandang langit-langit kamar. Berbagai macam pikiran berkecamuk dalam benaknya. Lalu ia menoleh ke samping, menatap punggung Kasih.

Entah mengapa, saat ini ingin rasanya ia menyentuh Kasih, membawanya ke dalam pelukannya dan  menenangkannya. Perasaan itu benar-benar kuat merasuki hatinya.

“Mengapa perasaan ini sangat kuat menekan dadaku?” gumamnya dalam hati.

Eric mengulurkan tangan, hendak merengkuhnya tetapi ia urung melakukannya.

Sementara itu, Kasih yang menyadari kehadiran Eric. Mulai dari suara langkah kaki memasuki kamarnya, aroma tubuhnya, semuanya begitu familiar. Namun, ia memilih tetap diam, membelakangi suaminya. Malam ini, lukanya terlalu dalam, dan ia memilih untuk diam.

Baginya, percuma melawan Cintya, membalas setiap hinaannya, karena hasilnya akan tetap sama. Ia akan selalu menjadi pihak yang disalahkan, dan Eric akan tetap diam, membiarkan Cintya melakukan apa pun yang diinginkannya.

Eric terlalu mencintai wanita itu. Bagi Eric, Cintya adalah satu-satunya wanita yang paling benar di rumah ini. Kasih memejamkan mata. Tanpa terasa, air mata mengalir di kedua pipinya. Isakan tanpa suara itu membuat dadanya terasa sesak. Ia ingin protes, marah, dan berteriak mengatakan, “Mengapa harus aku yang disalahkan!”

Namun, semua itu tak bisa dilakukannya. Ia hanya bisa menekan dadanya dan memendam semuanya. Ia tidak ingin keadaan semakin kacau. Cintya akan semakin membencinya, dan Eric akan semakin menyalahkannya. Hidupnya saat ini bagaikan menginjak pecahan kaca. Setiap langkahnya meninggalkan jejak darah yang tak terlihat.

Kasih tak menyadari, jika sedari tadi Eric memandangnya. Walaupun Kasih tak mengeluarkan suara tangisan, tetapi gerakan pelan di bahunya tak luput dari tatapan mata Eric.

Dari setiap gerakan halus itu, Eric tahu, Kasih sedang menahan suara tangisan agar tak terdengar olehnya. Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyentuh bahu Kasih, hingga wanita itu tersentak kaget.

“Jangan takut, aku tidak akan melakukan apapun padamu,” ucap Eric.

“Maaf, aku hanya terkejut.” Kasih beringsut, berusaha menghindari sentuhan Eric di pundaknya.

Tetapi semakin ia beringsut, tangan Eric semakin menekannya, seolah berkata, “Jangan menjauh.”

Kasih menyusut air mata di pipinya.

“Apa yang Pak Eric inginkan?” tanya Kasih.

Ia membalikkan tubuh menghadap Eric. Matanya membalas tatapan suaminya, pandangan mereka beradu.

Eric bagai terhempas melihat mata bening Kasih yang sembab bekas air mata. Entah mengapa mata kasih membuatnya benar-benar tak berdaya.  Hatinya terasa sakit melihat bekas air mata yang masih tertinggal di mata istri keduanya itu.

“Apa yang aku rasakan ini? Mengapa aku merasa iba dan merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya? Luka di mata itu membuatku sakit dan sangat ingin menghapusnya, serta membuatnya kembali bersinar lagi,” ucap Eric dalam hati.

Perlahan, Eric mengangkat tangannya, menyentuh lembut mata bawah Kasih, dan menghapus sisa air mata itu. Sentuhan lembut Eric membuatnya memejamkan kedua matanya. Saat ini, Kasih tak tahu apa yang dirasakannya, ia hanya tak ingin kehilangan momen itu.

Melihat Kasih tak bergeming sedikit pun dan tak menolak sentuhannya, Eric mendekatkan wajahnya, lalu mengecup lembut kedua mata Kasih.

Kelembutan Eric membuat Kasih menegang. Ia tak menyangka Eric bisa memperlakukan dirinya selembut itu. Eric merengkuhnya dan memeluknya dengan penuh kelembutan, seakan ia takut menyakiti Kasih. Dadanya bergetar hebat, getaran yang tak ingin ditepisnya. Saat ini, ia benar-benar merasakan kenyamanan yang tak pernah ia dapatkan, sekalipun itu dari Cintya, istrinya.

“Mengapa bersama Kasih aku menemukan kedamaian? Apa artinya ini? Ia terlihat rapuh dan tak sekuat Cintya, tetapi semakin aku melihat kerapuhannya, semakin ingin aku melindunginya.” Eric menghela napas, lalu mempererat pelukannya.

Merasakan pelukan Eric yang semakin erat, Kasih mundur ke belakang, berusaha melepaskan diri dari pelukan itu. Namun, semakin Kasih berusaha menghindar, pelukan Eric semakin erat. Kasih pun teringat perkataan Cintya. Ia menghembuskan napas beratnya.

“Pak Eric ingin memiliki seorang anak, bukan? Lakukanlah, Pak,” ucapnya.

Saat ini, Kasih berpikir bahwa semakin cepat ia mengandung, maka keadaan akan membaik dan sikap Cintya akan berubah, karena yang diinginkan wanita itu adalah seorang anak untuk Eric.

Mendengar perkataan Kasih, Eric menegang. Tubuhnya kaku, raut wajahnya seketika berubah menjadi datar. Ia merenggang pelukannya, matanya menatap kedalaman mata istri keduanya.

Perubahan Eric itu tak luput dari pandangan Kasih dan membuatnya salah paham. Kasih tak menyadari bahwa karena ucapannya, Eric berubah.

“Lakukanlah, Pak! Bukankah kita sudah pernah melakukannya di malam itu? Walaupun kita berdua tahu, entah mengapa hal itu bisa terjadi,” ucap Kasih.

Eric menghela napas, tatapannya tak lepas dari mata Kasih. “Kenapa kamu mengingatkanku pada malam itu?” tanya Eric.

Ia bangkit dan duduk di atas kasur. Eric berpaling, tak ingin memandang Kasih. Saat ini, ia benar-benar kesal pada wanita itu. Namun, kekesalan itu tak berlangsung lama ketika Eric melihat Kasih bangkit berdiri dan melepaskan satu per satu pakaiannya, sehingga tubuhnya polos hanya meninggalkan pakaian dalam saja.

“Ini yang diinginkan oleh Ibu Cintya, kan?” Kasih mengulas senyum sinis di wajahnya.

Semua ingatan akan perkataan Cintya, dinginnya sikap Eric, dan ketidakpedulian pria itu membuat Kasih kembali meneteskan air mata. Sekuat tenaga ia menahan rasa malunya. Saat ini, ia ingin melupakan segala kekesalannya pada pria yang sedang memandangnya tanpa berkedip

“Kalian menyalahkan aku atas kejadian itu. Saat ini, Anda dan Ibu Cintya membuatku hidup penuh duri. Hinaan yang sering terlontar dari Ibu Cintya membuatku merasa seperti wanita murahan yang sengaja menyodorkan diri pada Anda. Dan Anda…”

Kasih menggantung kalimatnya. Ia menggerakkan tangan di udara seakan menggambarkan sikap Eric padanya, sikap yang menunjukkan bahwa dirinya lah yang bersalah.

“Kalian hanya berpikir tentang reputasi dan harga diri kalian saja, tanpa memikirkan diriku. Aku juga memiliki hidup dan seorang adik yang harus aku pertanggungjawabkan. Anda tahu apa yang sudah aku korbankan?”

Kasih menghirup udara dalam-dalam. Rasa sakit di dadanya membuat semua amarahnya meledak dan menyesakkan. Ia tak peduli jika setelah ini Eric akan marah besar. Kasih teringat kejadian tadi siang, ketika Cintya melarangnya menemui adiknya. Wanita itu mencaci dan menghinanya, padahal saat itu Kasih harus menghadiri pertemuan antara orang tua dan guru untuk membahas perkembangan siswa.

“Seharusnya hari ini aku…” Kasih tak melanjutkan perkataannya, ia hanya terdiam.

Dalam benaknya berkata, “Untuk apa Pak Eric mengetahuinya, toh dia tidak akan peduli.”

Eric yang sedari tadi diam akhirnya bangkit berdiri. Ia melangkah menghampiri Kasih.

“Seharusnya hari ini, apa yang akan kau lakukan?” tanya Eric.

Eric sangat penasaran dengan kelanjutan ucapan Kasih. Ia menatap istri keduanya yang tetap diam, tak menjawab. Kasih hanya berdiri terpaku, kemudian menundukkan kepala menatap lantai.

“Kasih,”  ucap Eric dengan nada tegas.

Kasih tak menjawab. Dengan penuh penasaran, Eric menengadahkan wajah Kasih. Jantungnya berdegup kencang saat menatap mata yang berkaca-kaca itu. Refleks, ia mendekatkan wajahnya dan mengecup lembut kedua mata Kasih. Kasih memejamkan mata, merasakan kelembutan Eric yang membuatnya merasa sangat dicintai oleh pria itu.

Namun berbeda dengan Eric, tubuhnya kini menegang. Diamnya Kasih membuat hormon kelelakiannya bergejolak, area sensitifnya pun menggeliat seakan berontak meminta untuk dipuaskan. Sekuat tenaga Eric menahannya, tetapi ia tak kuasa dan akhirnya menyerah pada nafsunya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 94

    Di ruangan kerja Eric, Kasih duduk di kursi. Ia memandang sekeliling ruangan dengan sorot mata sendu. Ingatannya melayang pada saat suaminya masih berada di ruangan ini. Eric Begitu serius memeriksa semua berkas-berkas perusahaan, sesekali menatap layar laptop, lalu kembali menunduk meneliti dokumen di meja.Kasih menghela napas panjang. Hatinya benar-benar terluka. Jika boleh jujur, saat ini ia tak tahu harus berbuat apa. Namun, ia tak bisa tinggal diam. Pelaku yang membuat suaminya dan Bram terbaring lemah di rumah sakit harus ia temukan.Ia kembali menghembuskan napas berat. Ingatannya melayang pada saat sebelum kecelakaan itu terjadi. Keningnya berkerut ketika mengingat percakapan Eric dengan Bram melalui sambungan ponsel.“Aku yakin ada petunjuk di ponsel suamiku,” gumamnya dengan lirih.Kasih bersandar di kursi. Matanya tertuju pada pintu ruangan CEO ketika terdengar ketukan dari luar.“Masuk!” seru Kasih.Pintu pun terbuka. Masuklah Budiman, direktur perusahaan milik Eric. Pria

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 93

    Degh! Jantung Kasih berdegup tak beraturan mendengar ucapan yang terlontar dari bibir Indira. Ingatannya pun melayang jauh, kembali pada sore hari sebelum kecelakaan Eric. Saat itu, dering telepon dari Bima masih begitu jelas terngiang di telinganya. Begitu panggilan itu berakhir, Eric pun pergi tergesa, seakan ada sesuatu yang begitu penting menantinya.Kasih masih mengingat jelas bagaimana ia sempat menahan langkah suaminya.“Ada apa, Pa?” tanyanya kala itu dengan raut wajah yang dipenuhi dengan kecemasan.Eric hanya menghela napas panjang saat itu, lalu menatapnya sekilas. “Ada urusan penting yang harus Papa selesaikan, dan sekarang Papa harus kembali ke perusahaan,” ucapnya dengan nada tegas.Namun Kasih dapat merasakan ada sesuatu yang berbeda. Sorot mata suaminya seakan menyimpan kecemasan yang tak terucapkan. Telinganya yang peka bahkan sempat menangkap percakapan singkat antara Eric dan asistennya, percakapan yang terdengar samar namun cukup untuk menimbulkan rasa curiga di h

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 92

    Waktu terasa begitu lambat bagi Kasih. Sudah satu minggu Eric tidak membuka matanya. Ia tampak tenggelam dalam buaian mimpi panjang dan enggan kembali ke dunia nyata. Tubuhnya kini terbaring lemah di kamar pasien, diselimuti suara mesin medis yang berdetak monoton.Kasih setia mendampingi suaminya, duduk diam di kursi samping ranjang. Matanya sayu, tampak letih dan kehilangan tidur. Perlahan ia menggenggam tangan Eric yang terasa dingin, suaranya lembut penuh harap ketika berbicara,"Pa, bangunlah. Jangan terus terlelap."Suara Kasih parau, getir terselip di setiap kata saat ia menahan tangis yang ingin tumpah. Dadanya terasa sesak, terhimpit oleh kecemasan dan ketakutan, sementara kesedihan melingkupi setiap sudut hatinya. Wajahnya pucat, matanya redup seolah kehilangan cahaya, dan seluruh dirinya tenggelam dalam duka yang tak bertepi.Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka kasih pun menoleh, di ambang tampak Indira masuk bersama seorang pria yang tidak asing bagi Kasih, Pak Budiman

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 91

    Kasih duduk lemah di kursi dingin ruangan ICU, kedua matanya terpaku pada sosok Eric yang terbaring dengan berbagai selang dan alat medis melekat di tubuhnya. Wajah pria itu pucat, napasnya tersengal diiringi bunyi monoton mesin pemantau yang seakan menjadi pengingat betapa rapuh hidupnya saat ini.Air mata Kasih tak terbendung, jatuh membasahi pipinya yang pucat. Tangannya bergetar ketika menyentuh telapak tangan Eric yang terasa dingin, seolah waktu berusaha merenggut hangatnya dengan perlahan.“Pa, dengarlah suara hatiku. Bukalah matamu, aku, Nayla, Ibu, Revan dan anak kita yang berada di rahimku ini menunggumu pa,” bisiknya lirih di antara tangisnya yang tertahan.Di ruangan yang sunyi itu hanya suara mesin yang setia berdenting, menjadi saksi bisu doa seorang istri yang tengah mengandung, berperang antara harapan dan ketakutan.Kasih menundukkan wajahnya di atas tangan Eric, merelakan air matanya jatuh, seakan ingin menyatu dengan darah dan kehidupan yang masih bertahan pada pria

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 90

    Bima menekan pedal gas lebih dalam, mobil melaju kencang di jalanan yang mulai sepi. Mobil asing berwarna gelap itu terus mengikuti di belakang, jaraknya tak kunjung menjauh. Suasana dalam mobil menjadi tegang, napas masing-masing tercekat oleh kekhawatiran.Eric menoleh ke belakang, matanya menatap lurus ke kendaraan yang menguntit mereka.“Sepertinya mobil itu memang sengaja ingin menabrak kita,” ucap Eric, suaranya terdengar datar dan tegang. Tangannya gemetar saat merogoh saku celana untuk mengambil ponsel.Tiba-tiba, dari arah depan, sebuah mobil melesat dengan kecepatan tinggi.“Brak!”Tubuh Bima tersentak, mobilnya terseret liar dan berputar di jalanan. Trotoar mendekat dengan mengerikan. “Brak!” Mobil menghantam sebuah pohon besar. Ban meletup, kaca retak, dan aroma karet terbakar mengepul di udara. Kepala Bima membentur setir, darah terasa panas di dahinya. Eric terhuyung ke dashboard, napasnya tersengal, ponsel terjatuh.Di rumahnya, Kasih yang sedang bersantai tanpa sengaj

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 89

    Eric bergegas keluar dari mobilnya, lalu melangkah masuk ke dalam perusahaannya. Setelah menerima telepon dari Bima tadi, pria itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun langsung meluncur ke kantornya. Kepada Kasih, ia hanya sempat mengatakan bahwa ada urusan mendadak di perusahaan.Di depan pintu perusahaan, Bima sudah menunggunya dengan wajah tegang."Mengapa hal ini bisa terjadi?" tanya Eric dengan suara dingin, tatapannya tajam menusuk Bima. Langkah kakinya cepat, terus melangkah menuju lift tanpa menoleh.Bima menelan ludah. "Menurut mandor proyek, penyuplai bahan bangunan itu memberikan kualitas yang sangat jelek, sehingga bangunan tidak kokoh," jawabnya hati-hati.Eric berhenti tepat di depan lift. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal kuat hingga urat di pergelangan tangannya menonjol. "Seharusnya kamu tahu sejak awal kualitas barang yang masuk ke proyekku. Aku membayarmu untuk mengawasi semuanya, bukan hanya berdiri dan melaporkan setelah masalah besar terjadi!"Bima menundukkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status