Share

Bab 5

Author: Juwita Liling
last update Last Updated: 2025-03-01 10:13:37

Beberapa jam kemudian, Kasih terbangun dengan kepala berat, seolah habis dihantam kenyataan. Ia meringis pelan, menekan pelipis yang berdenyut nyeri. Saat menoleh ke samping, tubuhnya membeku. Eric tertidur tengkurap, sepenuhnya telanjang, hanya selimut yang menutupi sebagian pinggangnya.

Sesak. Dadanya seperti dihimpit beban yang tak kasat mata. Ia menarik napas panjang, mencoba menelan rasa getir yang menyeruak tanpa permisi. Perlahan, ia bangkit dari ranjang, mengumpulkan sisa-sisa harga diri yang tercecer. Ia mengambil pakaiannya, lalu berjalan ke kamar mandi.

Air dingin mengguyur tubuhnya, tapi tak satu tetes pun sanggup menghapus luka yang mengendap dalam jiwa.

Setelah berganti pakaian, Kasih keluar dari kamar dengan langkah ragu. Tapi langkahnya terhenti seketika di ambang pintu. Cintya berdiri di sana, melangkah mendekat dengan anggun dan sikap superior, seperti ratu yang hendak menjatuhkan vonis pada budaknya.

Tatapan matanya menyapu Kasih dari ujung kepala hingga kaki, penuh penilaian dan penghinaan. Senyum tipis menghias bibir merahnya, tapi tak ada kehangatan di sana. Hanya racun manis yang tersembunyi.

"Bagaimana? Sudah menikmati tubuh suamiku?" suaranya lembut, seperti alunan biola, tapi maknanya tajam menusuk bagaikan belati yang diselipkan perlahan ke dalam luka yang belum sembuh. "Nikmat, bukan?"

Kasih terdiam. Tubuhnya kaku, seolah kata-kata itu membekukan darahnya. Ia ingin membalas, ingin berteriak, tapi lidahnya kelu. Rasa malu, amarah, dan luka bercampur jadi satu.

Cintya mendekat, mengangkat dagunya sedikit. Tatapan matanya menusuk seperti duri. "Ingat ini baik-baik, Kasih," ucapnya rendah, nada suaranya berubah.. lebih berat, seperti ancaman terselubung.

"Kau hanya bisa tidur dengan Eric sampai kau hamil. Setelah kau mengandung dan melahirkan, kau tidak akan pernah punya hak atasnya lagi. Eric hanya milikku seorang." Tanpa menunggu reaksi, Cintya berbalik dan pergi dengan langkah elegan. Kepergiannya meninggalkan jejak dingin dan aroma penghinaan di udara.

Kasih tetap terpaku. Dadanya berdegup kencang, bukan karena takut, tetapi karena bara kemarahan mulai menyala. Ia mengepalkan tangan. Hatinya menjerit, tapi wajahnya tetap tenang. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan badai dalam dirinya, lalu berjalan keluar menuju halaman.

Di teras, ia menatap sekeliling yang hening, lalu melangkah menuju kursi taman, berharap angin malam bisa sedikit meredakan pikirannya. Namun langkahnya terhenti ketika suara satpam menyapanya.

“Anda belum tidur, Bu Kasih?”

Kasih menoleh, berusaha tersenyum meski tipis. “Belum, Pak.”

“Mengapa Anda di luar malam-malam begini?” tanya sang satpam, nadanya tulus, sedikit khawatir.

“Saya tidak bisa tidur,” jawab Kasih pendek.

Percakapan ringan pun mengalir, sekadar mengisi kekosongan malam. Tapi dari balkon lantai atas, sepasang mata tajam tengah mengawasinya. Eric, Ia berdiri membeku, mata tajamnya mengunci pada sosok Kasih. Ekspresinya kelam. Amarah bergejolak di balik wajah dinginnya.

“Perempuan pecicilan,” desisnya, rahangnya mengeras.

Dengan langkah cepat dan tegas, Eric turun ke bawah. Tanpa aba-aba, suaranya menggelegar begitu tiba di hadapan Kasih.

“Apa yang kau lakukan di luar malam-malam begini?”

Kasih membuka mulut hendak menjawab.

“Masuk!” bentaknya, memotong tanpa memberi ruang bicara.

Lalu ia menoleh ke satpam, sorot matanya berubah dingin dan menusuk. “Dan kau. Tugasmu menjaga mansion ini, bukan mengobrol dengan istri orang.”

Kata-katanya menampar, menciptakan ketegangan di udara. Satpam itu terdiam, menunduk, tak berani membalas.

Sementara Kasih berdiri mematung. Tangannya mengepal, dada berontak, tapi tatapan Eric seperti tembok tinggi yang sulit dijebol.

Kasih mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, menahan diri agar tidak meledak di tempat. Kata-kata Eric menyakitkan, bahkan diucapkan di depan orang lain tanpa sedikit pun rasa malu. Ia bukan hanya dipermalukan, ia diposisikan seperti barang tak berharga.

Dengan wajah tertunduk, ia melangkah masuk ke dalam, mengikuti langkah Eric yang berjalan cepat di depannya. Tangga demi tangga dilewatinya dengan langkah berat, sementara pikirannya dipenuhi percikan luka.

Setibanya di kamar, Eric membanting pintu dengan keras. Suara itu menggema, menggetarkan dada Kasih. Ia belum sempat bicara ketika Eric berbalik dan menatapnya dengan mata gelap.

“Aku tidak suka kau berkeliaran malam-malam, apalagi dengan pria lain. Mengerti?”

Kasih mengangkat wajahnya, menatap langsung ke mata Eric untuk pertama kalinya malam itu. Di matanya tak lagi ada rasa takut yang tersisa hanya luka dan harga diri yang tercabik. “Satpam itu hanya bertanya kabar. Bukan urusanmu membuat semuanya terlihat kotor.”

Eric terdiam, terkejut dengan keberanian Kasih. Tapi ia segera mengeraskan ekspresinya kembali. “Jangan coba-coba membantahku, Kasih.  Apakah kau lupa jika saat ini kau adalah istriku walaupun hanya di atas kertas. Tetapi kau harus taat padaku! Alangkah kurang ajarnya seorang istri yang pecicilan bersama seorang satpam di malam hari.”

Kata-kata itu seperti cambuk yang mencambuk hati Kasih. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia tak ingin menunjukkan kelemahannya di hadapan pria itu. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang nyaris jatuh. “Istri… Kurang ajar...,” gumamnya.

“Mulai malam ini kau tidak bisa bicara pada pria lain dan…” Eric memandangnya dengan sorot mata tajam. Kalimatnya berhenti di udara.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 5

    Beberapa jam kemudian, Kasih terbangun dengan kepala berat, seolah habis dihantam kenyataan. Ia meringis pelan, menekan pelipis yang berdenyut nyeri. Saat menoleh ke samping, tubuhnya membeku. Eric tertidur tengkurap, sepenuhnya telanjang, hanya selimut yang menutupi sebagian pinggangnya.Sesak. Dadanya seperti dihimpit beban yang tak kasat mata. Ia menarik napas panjang, mencoba menelan rasa getir yang menyeruak tanpa permisi. Perlahan, ia bangkit dari ranjang, mengumpulkan sisa-sisa harga diri yang tercecer. Ia mengambil pakaiannya, lalu berjalan ke kamar mandi.Air dingin mengguyur tubuhnya, tapi tak satu tetes pun sanggup menghapus luka yang mengendap dalam jiwa.Setelah berganti pakaian, Kasih keluar dari kamar dengan langkah ragu. Tapi langkahnya terhenti seketika di ambang pintu. Cintya berdiri di sana, melangkah mendekat dengan anggun dan sikap superior, seperti ratu yang hendak menjatuhkan vonis pada budaknya.Tatapan matanya menyapu Kasih dari ujung kepala hingga kaki, penuh

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 4

    Jam tujuh malam, setelah makan malam, Kasih masuk ke kamarnya. Tubuhnya lelah, pikirannya kacau setelah seharian menghadapi sikap Eric yang dingin dan menyebalkan. Ia baru saja ingin mengistirahatkan diri ketika ketukan terdengar di pintu.Dengan enggan Kasih membuka pintu alisnya berkerut. Di sana berdiri Cintya, anggun dalam balutan gaun satin abu-abu keperakan, dengan rambut disanggul rapi dan perhiasan yang memantulkan cahaya lembut lampu koridor. Di sampingnya, berdiri seorang pelayan membawa secangkir teh manis di atas nampan porselen.Senyum tipis terukir di bibir Cintya. Namun sorot matanya tajam, memindai wajah Kasih seperti sedang membaca buku terbuka.“Aku tahu hari ini cukup melelahkan untukmu, kupikir secangkir teh akan membantu menenangkanmu,” ucapnya dengan nada datar yang dibalut kelembutan palsu.”Kasih menatap teh itu dengan keraguan. Sesuatu terasa tidak beres, tapi wajah Cintya tak memberi ruang untuk kecurigaan. Terlalu tenang. Terlalu terlatih.“Maaf, saya tidak

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 3

    Setibanya di kantor, suasana langsung berubah tegang. Kasih berusaha berjalan tegak, tapi tatapan dingin Eric yang menusuk dari belakang membuat langkahnya terasa berat, seperti menembus kabut es yang pekat.Eric melangkah lurus tanpa sedikit pun menoleh padanya, seolah keberadaan Kasih tak lebih dari bayangan tak penting yang menempel di dinding.Begitu mereka memasuki ruang rapat, semua mata langsung tertuju. Para eksekutif yang sudah menunggu menatap mereka, sebagian dengan rasa ingin tahu, sebagian lagi dengan sikap mencemooh yang terselubung.Eric duduk di kursinya tanpa basa-basi, lalu menatap Kasih dengan tatapan tajam seperti pisau."Duduk di sana. Jangan buat masalah," ucapnya dingin.Kasih mengepalkan tangan di samping tubuhnya, menahan bara amarah yang mulai menyala di dada. Tapi dia tetap melangkah dan duduk di kursi yang ditunjuk.Rapat dimulai. Suara Eric mendominasi, tegas dan berwibawa. Setiap katanya seperti titah yang tak bisa dibantah. Semua orang mendengarkan denga

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 2

    Pagi hari, di ruang makan yang mewah, aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Namun, suasana di meja makan jauh dari kehangatan. Kasih duduk dengan tegang, sendok di tangannya sedikit gemetar. Di hadapannya, Cintya menatap dengan senyum penuh kemenangan, sementara Eric duduk di kepala meja, diam seperti biasa, tetapi sorot matanya dingin dan gelap.Cintya memainkan sendoknya sebelum berkata dengan nada santai namun tajam, "Kasih, kau ingat tujuanmu di rumah ini, kan?"Kasih tidak menjawab. Matanya menatap penuh kewaspadaan. Cintya menyeringai, lalu melanjutkan dengan suara lebih rendah namun beracun, "Kau bukan hanya istri kedua. Kau di sini untuk melahirkan keturunan Eric.”Darah Kasih berdesir. Kata-kata itu menusuknya dalam. Ia ingin membantah, tetapi bibirnya terasa kelu.Eric akhirnya berbicara, suaranya dingin, "Cintya, jangan mulai lagi."Cintya menoleh ke suaminya, ekspresinya Tak berubah sedikit pun. "Aku hanya mengingatkannya, Sayang. Orang tuamu menginginkan keturunan

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 1

    Kasih mengerjapkan matanya, tubuhnya terasa lemas dan kepalanya berat seakan dipukul benda tumpul. Seluruh tubuhnya terasa tak berdaya. Saat pandangannya mulai jelas, dadanya bergemuruh melihat dirinya tak mengenakan apa pun selain selimut yang melilit tubuhnya. Ketakutan menjalar seketika, menyusup ke setiap pori-porinya."Apa yang terjadi?!" bisiknya panik, dadanya naik turun karena nafas yang memburu.Di sampingnya, Eric juga terbangun. Ia mengerutkan kening, kepalanya terasa berat. Pandangannya mengabur sesaat sebelum akhirnya menyadari situasi mereka. Mata tajamnya menyapu ruangan, kemudian beralih ke Kasih yang membeku di tempat tidur."Sial! Kenapa kita…"“BRAK!”Pintu kamar terbanting keras, menghantam dinding hingga menimbulkan bunyi yang menggema di seluruh ruangan. Udara seketika terasa menegang, seolah-olah waktu membeku sejenak.Eric dan Kasih terlonjak, tubuh mereka menegang dalam keterkejutan. Serentak, kepala mereka menoleh ke arah pintu.Di ambang pintu, Cintya berdir

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status