Semalam, Eric memperlakukannya dengan penuh kelembutan, membuai Kasih dan membawanya terbang ke awang-awang. Sentuhan Eric bukan hanya sekadar nafsu dalam raga, tetapi rasa yang terpendam dalam dada.
Kasih benar-benar terlena, sehingga segala luka dan kemarahannya hilang, tertelan oleh sensasi yang membuatnya tak berdaya dan lemah di bawah kungkungan Eric. Ia benar-benar terhanyut dalam sentuhan Eric. Dan untuk pertama kalinya, Kasih merasa menjadi seorang istri yang benar-benar dicintai oleh suaminya.
Ia memandang wajah tampan Eric yang masih tertidur lelap. Senyum terulas di wajahnya ketika melihat Eric tersenyum, sementara kedua matanya masih terpejam.
“Mengapa Pak Eric tersenyum dalam tidurnya? Apakah dia bermimpi?” tanya Kasih dalam hati.
Kasih menggeleng, seakan tak percaya melihat senyum itu.
“Baru kali ini, aku melihat Pak Eric tersenyum,” gumamnya.
Perlahan Kasih turun dari tempat tidur, membungkuk mengambil pakaiannya di lantai. Ia bergegas mengenakannya dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Tanpa disadari oleh Kasih, gerakannya membuat Eric terbangun. Pria itu diam-diam memperhatikan Kasih, semua yang dilakukannya tak luput dari matanya.
Eric memandang pintu kamar mandi. Suara gemericik air membuatnya tersenyum. Ia ingat kejadian semalam, bagaimana Kasih begitu canggung, kaku, dan tampak malu-malu. Setiap sentuhan dan kecupannya menciptakan semburat merah di pipi Kasih yang mulus.
“Astaga, apakah dia sepolos itu?” ucap Eric.
Ia benar-benar tak habis pikir akan kepolosan istri keduanya. “Bahkan untuk membalas ciumanku saja dia tidak tahu caranya. Benar-benar di luar dugaan.”
Eric mengerutkan kening ketika mengingat perkataan Kasih semalam, sehingga membuatnya sangat penasaran dan bertanya-tanya apa sebenarnya yang terjadi pada istri keduanya itu. Selama bertahun-tahun Kasih bekerja padanya, sedikit pun Eric tidak mengetahui tentang latar belakang kehidupan Kasih.
Eric bangun dan duduk di tepian tempat tidur. Tiba-tiba, ia tertawa kecil mengingat bagaimana Kasih menegang dan terbelalak melihat area sensitifnya. Eric terdiam ketika menyadari dirinya bisa tersenyum dan tertawa. Satu kesadaran timbul dalam hatinya, saat ini, hatinya mulai terbagi, satu ruang telah ditempati oleh Kasih.
“Aku tidak mungkin menghindarinya lagi, ini sudah benar,” ucapnya.
Eric bangkit dari tepi ranjang, mengambil piyamanya yang tergeletak di lantai, ia bergegas mengenakannya. Eric pun melangkah keluar dari kamar menuju kamarnya bersama Cintya.
Di kamar, Eric melihat istri pertamanya telah bangun. Kening Eric berkerut ketika melihat Cintya duduk di sofa, memandangnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.
“Tumben bangun jam segini, biasanya siang?” tanya Eric sambil melangkah menuju walk-in closet, menyiapkan setelan kerja yang akan dipakainya untuk bekerja hari ini.
Itulah yang dilakukan Eric ketika ia terbangun di pagi hari. Ia akan menyiapkan pakaiannya sendiri, sedangkan Cintya biasanya di jam seperti ini masih tertidur pulas di ranjangnya.
Cintya mendengus kesal mendengar pertanyaan Eric. Pagi ini suaminya berubah. Biasanya di pagi hari, dia akan mengucapkan selamat pagi dan mengecup keningnya, meski dirinya masih tertidur. Tetapi pagi ini, Cintya tidak mendapatkannya, dan itu membuatnya merasa dongkol.
“Kamu lupa, Eric, jika hari ini aku sibuk dan harus datang lebih awal mempersiapkan pagelaran busana yang akan dilaksanakan bulan depan,” ucapnya.
Di ambang pintu walk-in closet, Cintya bersedekap, matanya memandang Eric yang sedang memilih dasi.
“Menyebalkan!” ketus Cintya.
Ia mendengus kesal, melihat Eric menampakkan ketidakacuhannya.
Eric memandang Cintya. “Apa yang kamu katakan?” tanyanya.
Cintya melengos. Ia menahan kekesalannya pada Eric. “Pagi ini kau sangat menyebalkan, Eric! Apakah karena kau sudah melakukan malam panas bersama sekretarismu itu sehingga kau bersikap dingin padaku?”
“Ayolah, Cintya, jangan membuat suasana pagi ini menjadi tidak menyenangkan.” Eric menatap sekilas pada istri pertamanya, lalu ia melangkah keluar dari walk-in closet sambil menenteng pakaiannya. Setelah meletakkannya di kasur, Eric berjalan menuju kamar mandi, meninggalkan Cintya yang kesal dan cemburu pada Kasih.
“Aku harus tetap bertahan sampai wanita itu hamil dan melahirkan anak,” ucapnya sambil mengulas senyum licik di wajah cantiknya.
****
Suasana ruangan makan kali ini tampak berbeda. Perlakuan Eric terhadap Kasih tak sedingin sebelumnya. Sesekali ia melirik Kasih dan mengulas senyum tak terlihat. Sementara Kasih terlihat canggung mengingat percintaannya semalam bersama Eric.
Tadi, sehabis mandi, ia melihat Eric tak berada di kamarnya lagi. Kasih tahu Eric telah kembali ke kamarnya bersama Cintya. Namun, Kasih menyadari bahwa Eric harus bersikap adil. Pipi Kasih merona ketika mengingat perlakuan Eric semalam, kelembutan dan kehangatan saat Eric menyentuhnya masih terasa hingga saat ini.
Namun, berbeda dengan Cintya. Ia tampak semakin kesal dan berusaha menahan amarah serta kecemburuannya. Semua perubahan yang terjadi pada Eric membuatnya semakin cemburu pada Kasih. Baginya, saat ini Kasih adalah ancaman besar, meski ia mengetahui bahwa dirinya lah yang meminta Eric tidur bersama Kasih.
Cintya mengulas senyum sinis di wajahnya. “Kasih, kau masih ingat apa yang aku katakan padamu, kan?” tanyanya.
Kasih menghela napas panjang, lalu menganggukkan pelan. “Saya masih ingat. Semua yang ibu katakan,” jawabnya. Ia mengulas senyum di wajahnya, walaupun itu tidak mudah.
Cintya menatap Kasih seakan memastikan kebenaran ucapannya, lalu ia berkata dengan nada dingin dan penuh penekanan, “Bagus jika kamu masih mengingatnya, Kasih.”
Ia beralih memandang Eric. “Sayang, aku ingin kamu mengantarku hari ini,” ucapnya.
Eric memandang istri pertamanya. Ia merasa aneh, karena biasanya Cintya selalu memakai supir pribadi mereka. Namun, akhirnya Eric mengangguk. Ia bangkit berdiri, lalu menatap wajah Kasih, sebuah tatapan seakan dirinya meminta izin untuk mengantar Cintya.
“Sayang,” rajuk Cintya.
Ia melangkah menghampiri Eric dan bergelayut manja di lengan suaminya itu. Matanya melirik Kasih, seakan memamerkan keleluasaannya menyentuh Eric.
“Aku sudah terlambat,” lanjut Cintya.
Eric memandang sekilas pada Cintya. Ia mengulas senyum kecil dan melangkah keluar dari ruangan makan, meninggalkan Kasih yang masih duduk di kursi menatap kepergian mereka. Di ambang pintu, Cintya menoleh ke arah Kasih dan mengulas senyum penuh kemenangan.
Kasih menghembuskan napas berat melihat senyum itu. Ia tahu, hari ini Cintya bertambah kesal padanya, ia pun melihat kecemburuan di mata Cintya. Tetapi, mengapa Cintya harus cemburu padanya? Bukankah dia sendiri yang menginginkan semua ini terjadi? Pikirnya.
"Aku benar-benar bingung dan merasa serba salah menghadapi sikap Ibu Cintya. Apa pun yang kulakukan, selalu saja salah di matanya," gumam Kasih, lirih.
Ia tertawa sumbang sebelum bangkit berdiri dan mulai membereskan sisa sarapan mereka. Tangannya bergerak pelan. Di dalam pikirannya berkecamuk sikap Cintya yang setiap hari berubah dan membuatnya bingung. Kasih tak tahu harus bersikap seperti apa setiap kali berhadapan dengan wanita itu.
Setelah semuanya rapi, ia melangkah keluar menuju taman mansion. Kasih benar-benar merasa lelah dan berharap, di taman, ia bisa mendapatkan ketenangan.
Kasih melangkah masuk ke dalam mansion tanpa menoleh sedikit pun pada Eric, terkesan tergesa-gesa. Ia terus berjalan, seolah suaminya tak ada. Eric menatapnya. Ia merasa aneh dengan sikap Kasih yang tiba-tiba berubah dalam sekejap.Kasih sendiri merasa bingung dengan perubahan sikapnya yang tak menentu. Kadang, ia ingin dimanja oleh Eric, meskipun ia tahu itu adalah hal yang mustahil. Di waktu lain, perasaan sedih datang tiba-tiba dan membuatnya ingin menangis. Namun saat ini, Kasih justru tidak ingin berada di dekat Eric. Wangi parfum Eric yang biasa di pakainya, membuat perutnya mual dan terasa ingin muntah.“Apakah semua ibu hamil seperti itu?" gumam Eric pelan, nyaris tak terdengar. Tatapannya tertuju pada punggung Kasih yang semakin menjauh.Jangan-jangan karena penjual cilok itu," geramnya. Rahangnya mengeras saat Eric teringat pada penjual cilok tadi."Mang cilok sialan," umpatnya.Eric berdecak kesal, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, matanya menyapu sekelili
Suasana ruang periksa dokter itu sunyi. Hanya suara detak jarum jam dan dengungan alat medis yang terdengar samar. Kasih duduk di ranjang periksa, sementara Eric berdiri di sampingnya.Dokter memoleskan gel dingin di perut bagian bawahnya. Kasih dan Eric menatap layar yang tak menampakkan apapun.Beberapa saat kemudian, dokter kandungan perlahan menggerakkan alat USG di atas perut Kasih “Tenang ya, Bu Kasih. Kita lihat dulu," ucapnya dengan nada lembut.Beberapa detik berlalu. Di tengah layar hitam itu, muncullah sebuah lingkaran kecil berwarna abu terang, hampir tak terlihat. Dokter menunjuknya sambil tersenyum. “Ini kantung kehamilannya. Masih sangat muda, sekitar empat minggu. Untuk saat ini, belum terlihat janinnya, ya. Tapi ini tanda awal yang sangat baik,” ucapnya.Kasih mengulas senyum di wajahnya. Ia menatap lingkaran kecil itu dengan mata berbinar. Hatinya dipenuhi haru dan kebahagiaan. Titik kecil itu adalah calon bayinya.Di sanalah ia hidup, dan delapan bulan kemudian, ana
Eric duduk di kursi ruangan kerjanya. Tadi ia sangat kesal melihat wajah Kasih. Di matanya, ekspresi Kasih menunjukkan ketidaksukaan terhadap kehamilannya.“Mengapa aku merasa kesal? Bukankah aku menikahinya karena skandal itu?” ucapnya.Eric menghembuskan napas berat saat teringat bahwa rekaman CCTV yang diserahkan oleh Bagas belum sempat ia lihat.“Astaga... mengapa aku bisa melupakan rekaman itu? Semua ini karena pekerjaanku yang menumpuk,” gerutu Eric sambil mengusap kasar wajahnya. Kekesalannya kini beralih kepada dirinya sendiri.“Sial!” geramnya. Ia lalu bangkit berdiri dari kursi yang didudukinya.Pria yang sedang kesal itu melangkah keluar dari ruang kerjanya. Di ambang pintu, ia tiba-tiba berhenti. Ucapan dokter pribadinya kembali terngiang di kepalanya.“Awal trimester pertama, wanita hamil sangat rentan mengalami keguguran.” Kalimat itu tadi diucapkan oleh dokter padanya.Eric berdecak pelan. “Bagaimanapun juga, Kasih mengandung anakku,” ucapnya.Ia mengurungkan niatnya un
"Cintya membuka pintu ruangan pemilik agensi model yang menaunginya. Wajahnya tampak kesal. Bagaimana tidak? Sepanjang perjalanan tadi, Eric hanya diam, seolah keberadaannya tak berarti. Setiap kali Cintya mengajaknya bicara, pria itu hanya meliriknya sekilas atau berdehem saja, tanpa satu pun kata keluar dari mulutnya. Sikap Eric benar-benar membuatnya kesal dan merusak mood-nya."Cintya melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Ia menatap Bagas, pemilik agensi, yang sedang duduk santai di balik mejanya dan menyambutnya dengan senyuman."Sepertinya, pagi ini kamu sedang kesal," ucap Bagas, ia menatap Cintya mencoba menebak suasana hati model kesayangannya itu. Bagas bangkit berdiri, melangkah menghampiri Cintya. Matanya tak lepas dari wajah kesal Cintya.“Pasti gara-gara suamimu itu, kan?” tebaknya sambil bersedekap.Ya, Bagas mengetahui segalanya tentang Cintya. Tak ada satu pun yang tidak diketahuinya, bahkan ia juga tahu alasan di balik pernikahan Eric dengan Kasih. Tanpa bertanya apa
Semalam, Eric memperlakukannya dengan penuh kelembutan, membuai Kasih dan membawanya terbang ke awang-awang. Sentuhan Eric bukan hanya sekadar nafsu dalam raga, tetapi rasa yang terpendam dalam dada.Kasih benar-benar terlena, sehingga segala luka dan kemarahannya hilang, tertelan oleh sensasi yang membuatnya tak berdaya dan lemah di bawah kungkungan Eric. Ia benar-benar terhanyut dalam sentuhan Eric. Dan untuk pertama kalinya, Kasih merasa menjadi seorang istri yang benar-benar dicintai oleh suaminya.Ia memandang wajah tampan Eric yang masih tertidur lelap. Senyum terulas di wajahnya ketika melihat Eric tersenyum, sementara kedua matanya masih terpejam.“Mengapa Pak Eric tersenyum dalam tidurnya? Apakah dia bermimpi?” tanya Kasih dalam hati.Kasih menggeleng, seakan tak percaya melihat senyum itu.“Baru kali ini, aku melihat Pak Eric tersenyum,” gumamnya.Perlahan Kasih turun dari tempat tidur, membungkuk mengambil pakaiannya di lantai. Ia bergegas mengenakannya dan melangkah masuk
Usai makan malam dan berbincang dengan Cintya, Eric melangkah menuju kamar Kasih. Ia membuka pintu. Sebelum masuk, ia memandang ranjang, di mana Kasih berbaring membelakanginya.Eric menghela napas berat melihat kerapuhan Kasih. Ia tahu, saat makan malam tadi, Cintya selalu saja melontarkan kata-kata sindiran, merendahkan Kasih, menghinanya, tanpa mempedulikan perasaannya. Sementara dirinya sendiri, sedikit pun tak berbicara. Ia hanya diam, seakan tak peduli terhadap perlakuan Cintya pada Kasih.Tadi, Kasih sempat meliriknya, tetapi dengan tak acuh, ia hanya menatap sekilas dan kembali menikmati makan malamnya. Ia menghembuskan napas berat dan melangkah masuk, tanpa mengucapkan sepatah kata pun Eric berbaring di samping Kasih. Matanya memandang langit-langit kamar. Berbagai macam pikiran berkecamuk dalam benaknya. Lalu ia menoleh ke samping, menatap punggung Kasih.Entah mengapa, saat ini ingin rasanya ia menyentuh Kasih, membawanya ke dalam pelukannya dan menenangkannya. Perasaan itu