Share

Bab 6

Author: Juwita Liling
last update Last Updated: 2025-06-03 13:48:29

Semalam, Eric memperlakukannya dengan penuh kelembutan, membuai Kasih dan membawanya terbang ke awang-awang. Sentuhan Eric bukan hanya sekadar nafsu dalam raga, tetapi rasa yang terpendam dalam dada.

Kasih benar-benar terlena, sehingga segala luka dan kemarahannya hilang, tertelan oleh sensasi yang membuatnya tak berdaya dan lemah di bawah kungkungan Eric. Ia benar-benar terhanyut dalam sentuhan Eric. Dan untuk pertama kalinya, Kasih merasa menjadi seorang istri yang benar-benar dicintai oleh suaminya.

Ia memandang wajah tampan Eric yang masih tertidur lelap. Senyum terulas di wajahnya ketika melihat Eric tersenyum, sementara kedua matanya masih terpejam.

“Mengapa Pak Eric tersenyum dalam tidurnya? Apakah dia bermimpi?” tanya Kasih dalam hati.

Kasih menggeleng, seakan tak percaya melihat senyum itu.

“Baru kali ini, aku melihat Pak Eric tersenyum,” gumamnya.

Perlahan Kasih turun dari tempat tidur, membungkuk mengambil pakaiannya di lantai. Ia bergegas mengenakannya dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Tanpa disadari oleh Kasih, gerakannya membuat Eric terbangun. Pria itu diam-diam memperhatikan Kasih, semua yang dilakukannya tak luput dari matanya.

Eric memandang pintu kamar mandi. Suara gemericik air membuatnya tersenyum. Ia ingat kejadian semalam, bagaimana Kasih begitu canggung, kaku, dan tampak malu-malu. Setiap sentuhan dan kecupannya menciptakan semburat merah di pipi Kasih yang mulus.

“Astaga, apakah dia sepolos itu?” ucap Eric.

Ia benar-benar tak habis pikir akan kepolosan istri keduanya. “Bahkan untuk membalas ciumanku saja dia tidak tahu caranya. Benar-benar di luar dugaan.”

Eric mengerutkan kening ketika mengingat perkataan Kasih semalam, sehingga membuatnya sangat penasaran dan bertanya-tanya apa sebenarnya yang terjadi pada istri keduanya itu. Selama bertahun-tahun Kasih bekerja padanya, sedikit pun Eric tidak mengetahui tentang latar belakang kehidupan Kasih.

Eric bangun dan duduk di tepian tempat tidur. Tiba-tiba, ia tertawa kecil mengingat bagaimana Kasih menegang dan terbelalak melihat area sensitifnya. Eric terdiam ketika menyadari dirinya bisa tersenyum dan tertawa. Satu kesadaran timbul dalam hatinya, saat ini, hatinya mulai terbagi, satu ruang telah ditempati oleh Kasih.

“Aku tidak mungkin menghindarinya lagi, ini sudah benar,” ucapnya.

Eric bangkit dari tepi ranjang, mengambil piyamanya yang tergeletak di lantai, ia bergegas mengenakannya. Eric pun melangkah keluar dari kamar menuju kamarnya bersama Cintya.

Di kamar, Eric melihat istri pertamanya telah bangun. Kening Eric berkerut ketika melihat Cintya duduk di sofa, memandangnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.

“Tumben bangun jam segini, biasanya siang?” tanya Eric sambil melangkah menuju walk-in closet, menyiapkan setelan kerja yang akan dipakainya untuk bekerja hari ini.

Itulah yang dilakukan Eric ketika ia terbangun di pagi hari. Ia akan menyiapkan pakaiannya sendiri, sedangkan Cintya biasanya di jam seperti ini masih tertidur pulas di ranjangnya.

Cintya mendengus kesal mendengar pertanyaan Eric. Pagi ini suaminya berubah. Biasanya di pagi hari, dia akan mengucapkan selamat pagi dan mengecup keningnya, meski dirinya masih tertidur. Tetapi pagi ini, Cintya tidak mendapatkannya, dan itu membuatnya merasa dongkol.

“Kamu lupa, Eric, jika hari ini aku sibuk dan harus datang lebih awal mempersiapkan pagelaran busana yang akan dilaksanakan bulan depan,” ucapnya.

Di ambang pintu walk-in closet, Cintya bersedekap, matanya memandang Eric yang sedang memilih dasi.

“Menyebalkan!” ketus Cintya.

Ia mendengus kesal, melihat Eric menampakkan ketidakacuhannya.

Eric memandang Cintya. “Apa yang kamu katakan?” tanyanya.

Cintya melengos. Ia menahan kekesalannya pada Eric. “Pagi ini kau sangat menyebalkan, Eric! Apakah karena kau sudah melakukan malam panas bersama sekretarismu itu sehingga kau bersikap dingin padaku?”

“Ayolah, Cintya, jangan membuat suasana pagi ini menjadi tidak menyenangkan.” Eric menatap sekilas pada istri pertamanya, lalu ia melangkah keluar dari walk-in closet sambil menenteng pakaiannya. Setelah meletakkannya di kasur, Eric berjalan menuju kamar mandi, meninggalkan Cintya yang kesal dan cemburu pada Kasih.

“Aku harus tetap bertahan sampai wanita itu hamil dan melahirkan anak,” ucapnya sambil mengulas senyum licik di wajah cantiknya.

****

Suasana ruangan makan kali ini tampak berbeda. Perlakuan Eric terhadap Kasih tak sedingin sebelumnya. Sesekali ia melirik Kasih dan mengulas senyum tak terlihat. Sementara Kasih terlihat canggung mengingat percintaannya semalam bersama Eric.

Tadi, sehabis mandi, ia melihat Eric tak berada di kamarnya lagi. Kasih tahu Eric telah kembali ke kamarnya bersama Cintya. Namun, Kasih menyadari bahwa Eric harus bersikap adil. Pipi Kasih merona ketika mengingat perlakuan Eric semalam, kelembutan dan kehangatan saat Eric menyentuhnya masih terasa hingga saat ini.

Namun, berbeda dengan Cintya. Ia tampak semakin kesal dan berusaha menahan amarah serta kecemburuannya. Semua perubahan yang terjadi pada Eric membuatnya semakin cemburu pada Kasih. Baginya, saat ini Kasih adalah ancaman besar, meski ia mengetahui bahwa dirinya lah yang meminta Eric tidur bersama Kasih.

Cintya mengulas senyum sinis di wajahnya. “Kasih, kau masih ingat apa yang aku katakan padamu, kan?” tanyanya.

Kasih menghela napas panjang, lalu menganggukkan pelan. “Saya masih ingat. Semua yang ibu katakan,” jawabnya. Ia mengulas senyum di wajahnya, walaupun itu tidak mudah.

Cintya menatap Kasih seakan memastikan kebenaran ucapannya, lalu ia berkata dengan nada dingin dan penuh penekanan, “Bagus jika kamu masih mengingatnya, Kasih.”

Ia beralih memandang Eric. “Sayang, aku ingin kamu mengantarku hari ini,” ucapnya.

Eric memandang istri pertamanya. Ia merasa aneh, karena biasanya Cintya selalu memakai supir pribadi mereka. Namun, akhirnya Eric mengangguk. Ia bangkit berdiri, lalu menatap wajah Kasih, sebuah tatapan seakan dirinya meminta izin untuk mengantar Cintya.

“Sayang,” rajuk Cintya.

Ia melangkah menghampiri Eric dan bergelayut manja di lengan suaminya itu. Matanya melirik Kasih, seakan memamerkan keleluasaannya menyentuh Eric.

“Aku sudah terlambat,” lanjut Cintya.

Eric memandang sekilas pada Cintya. Ia mengulas senyum kecil dan melangkah keluar dari ruangan makan, meninggalkan Kasih yang masih duduk di kursi menatap kepergian mereka. Di ambang pintu, Cintya menoleh ke arah Kasih dan mengulas senyum penuh kemenangan.

Kasih menghembuskan napas berat melihat senyum itu. Ia tahu, hari ini Cintya bertambah kesal padanya, ia pun melihat kecemburuan di mata Cintya. Tetapi, mengapa Cintya harus cemburu padanya? Bukankah dia sendiri yang menginginkan semua ini terjadi? Pikirnya.

"Aku benar-benar bingung dan merasa serba salah menghadapi sikap Ibu Cintya. Apa pun yang kulakukan, selalu saja salah di matanya," gumam Kasih, lirih.

Ia tertawa sumbang sebelum bangkit berdiri dan mulai membereskan sisa sarapan mereka. Tangannya bergerak pelan. Di dalam pikirannya berkecamuk sikap Cintya yang setiap hari berubah dan membuatnya bingung. Kasih tak tahu harus bersikap seperti apa setiap kali berhadapan dengan wanita itu.

Setelah semuanya rapi, ia melangkah keluar menuju taman mansion. Kasih benar-benar merasa lelah dan berharap, di taman, ia bisa mendapatkan ketenangan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 94

    Di ruangan kerja Eric, Kasih duduk di kursi. Ia memandang sekeliling ruangan dengan sorot mata sendu. Ingatannya melayang pada saat suaminya masih berada di ruangan ini. Eric Begitu serius memeriksa semua berkas-berkas perusahaan, sesekali menatap layar laptop, lalu kembali menunduk meneliti dokumen di meja.Kasih menghela napas panjang. Hatinya benar-benar terluka. Jika boleh jujur, saat ini ia tak tahu harus berbuat apa. Namun, ia tak bisa tinggal diam. Pelaku yang membuat suaminya dan Bram terbaring lemah di rumah sakit harus ia temukan.Ia kembali menghembuskan napas berat. Ingatannya melayang pada saat sebelum kecelakaan itu terjadi. Keningnya berkerut ketika mengingat percakapan Eric dengan Bram melalui sambungan ponsel.“Aku yakin ada petunjuk di ponsel suamiku,” gumamnya dengan lirih.Kasih bersandar di kursi. Matanya tertuju pada pintu ruangan CEO ketika terdengar ketukan dari luar.“Masuk!” seru Kasih.Pintu pun terbuka. Masuklah Budiman, direktur perusahaan milik Eric. Pria

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 93

    Degh! Jantung Kasih berdegup tak beraturan mendengar ucapan yang terlontar dari bibir Indira. Ingatannya pun melayang jauh, kembali pada sore hari sebelum kecelakaan Eric. Saat itu, dering telepon dari Bima masih begitu jelas terngiang di telinganya. Begitu panggilan itu berakhir, Eric pun pergi tergesa, seakan ada sesuatu yang begitu penting menantinya.Kasih masih mengingat jelas bagaimana ia sempat menahan langkah suaminya.“Ada apa, Pa?” tanyanya kala itu dengan raut wajah yang dipenuhi dengan kecemasan.Eric hanya menghela napas panjang saat itu, lalu menatapnya sekilas. “Ada urusan penting yang harus Papa selesaikan, dan sekarang Papa harus kembali ke perusahaan,” ucapnya dengan nada tegas.Namun Kasih dapat merasakan ada sesuatu yang berbeda. Sorot mata suaminya seakan menyimpan kecemasan yang tak terucapkan. Telinganya yang peka bahkan sempat menangkap percakapan singkat antara Eric dan asistennya, percakapan yang terdengar samar namun cukup untuk menimbulkan rasa curiga di h

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 92

    Waktu terasa begitu lambat bagi Kasih. Sudah satu minggu Eric tidak membuka matanya. Ia tampak tenggelam dalam buaian mimpi panjang dan enggan kembali ke dunia nyata. Tubuhnya kini terbaring lemah di kamar pasien, diselimuti suara mesin medis yang berdetak monoton.Kasih setia mendampingi suaminya, duduk diam di kursi samping ranjang. Matanya sayu, tampak letih dan kehilangan tidur. Perlahan ia menggenggam tangan Eric yang terasa dingin, suaranya lembut penuh harap ketika berbicara,"Pa, bangunlah. Jangan terus terlelap."Suara Kasih parau, getir terselip di setiap kata saat ia menahan tangis yang ingin tumpah. Dadanya terasa sesak, terhimpit oleh kecemasan dan ketakutan, sementara kesedihan melingkupi setiap sudut hatinya. Wajahnya pucat, matanya redup seolah kehilangan cahaya, dan seluruh dirinya tenggelam dalam duka yang tak bertepi.Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka kasih pun menoleh, di ambang tampak Indira masuk bersama seorang pria yang tidak asing bagi Kasih, Pak Budiman

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 91

    Kasih duduk lemah di kursi dingin ruangan ICU, kedua matanya terpaku pada sosok Eric yang terbaring dengan berbagai selang dan alat medis melekat di tubuhnya. Wajah pria itu pucat, napasnya tersengal diiringi bunyi monoton mesin pemantau yang seakan menjadi pengingat betapa rapuh hidupnya saat ini.Air mata Kasih tak terbendung, jatuh membasahi pipinya yang pucat. Tangannya bergetar ketika menyentuh telapak tangan Eric yang terasa dingin, seolah waktu berusaha merenggut hangatnya dengan perlahan.“Pa, dengarlah suara hatiku. Bukalah matamu, aku, Nayla, Ibu, Revan dan anak kita yang berada di rahimku ini menunggumu pa,” bisiknya lirih di antara tangisnya yang tertahan.Di ruangan yang sunyi itu hanya suara mesin yang setia berdenting, menjadi saksi bisu doa seorang istri yang tengah mengandung, berperang antara harapan dan ketakutan.Kasih menundukkan wajahnya di atas tangan Eric, merelakan air matanya jatuh, seakan ingin menyatu dengan darah dan kehidupan yang masih bertahan pada pria

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 90

    Bima menekan pedal gas lebih dalam, mobil melaju kencang di jalanan yang mulai sepi. Mobil asing berwarna gelap itu terus mengikuti di belakang, jaraknya tak kunjung menjauh. Suasana dalam mobil menjadi tegang, napas masing-masing tercekat oleh kekhawatiran.Eric menoleh ke belakang, matanya menatap lurus ke kendaraan yang menguntit mereka.“Sepertinya mobil itu memang sengaja ingin menabrak kita,” ucap Eric, suaranya terdengar datar dan tegang. Tangannya gemetar saat merogoh saku celana untuk mengambil ponsel.Tiba-tiba, dari arah depan, sebuah mobil melesat dengan kecepatan tinggi.“Brak!”Tubuh Bima tersentak, mobilnya terseret liar dan berputar di jalanan. Trotoar mendekat dengan mengerikan. “Brak!” Mobil menghantam sebuah pohon besar. Ban meletup, kaca retak, dan aroma karet terbakar mengepul di udara. Kepala Bima membentur setir, darah terasa panas di dahinya. Eric terhuyung ke dashboard, napasnya tersengal, ponsel terjatuh.Di rumahnya, Kasih yang sedang bersantai tanpa sengaj

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 89

    Eric bergegas keluar dari mobilnya, lalu melangkah masuk ke dalam perusahaannya. Setelah menerima telepon dari Bima tadi, pria itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun langsung meluncur ke kantornya. Kepada Kasih, ia hanya sempat mengatakan bahwa ada urusan mendadak di perusahaan.Di depan pintu perusahaan, Bima sudah menunggunya dengan wajah tegang."Mengapa hal ini bisa terjadi?" tanya Eric dengan suara dingin, tatapannya tajam menusuk Bima. Langkah kakinya cepat, terus melangkah menuju lift tanpa menoleh.Bima menelan ludah. "Menurut mandor proyek, penyuplai bahan bangunan itu memberikan kualitas yang sangat jelek, sehingga bangunan tidak kokoh," jawabnya hati-hati.Eric berhenti tepat di depan lift. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal kuat hingga urat di pergelangan tangannya menonjol. "Seharusnya kamu tahu sejak awal kualitas barang yang masuk ke proyekku. Aku membayarmu untuk mengawasi semuanya, bukan hanya berdiri dan melaporkan setelah masalah besar terjadi!"Bima menundukkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status