Share

Bab 4

Author: Juwita Liling
last update Last Updated: 2025-03-01 10:13:11

Jam tujuh malam, setelah makan malam, Kasih masuk ke kamarnya. Tubuhnya lelah, pikirannya kacau setelah seharian menghadapi sikap Eric yang dingin dan menyebalkan. Ia baru saja ingin mengistirahatkan diri ketika ketukan terdengar di pintu.

Dengan enggan Kasih membuka pintu alisnya berkerut. Di sana berdiri Cintya, anggun dalam balutan gaun satin abu-abu keperakan, dengan rambut disanggul rapi dan perhiasan yang memantulkan cahaya lembut lampu koridor. Di sampingnya, berdiri seorang pelayan membawa secangkir teh manis di atas nampan porselen.

Senyum tipis terukir di bibir Cintya. Namun sorot matanya tajam, memindai wajah Kasih seperti sedang membaca buku terbuka.

“Aku tahu hari ini cukup melelahkan untukmu, kupikir secangkir teh akan membantu menenangkanmu,” ucapnya dengan nada datar yang dibalut kelembutan palsu.”

Kasih menatap teh itu dengan keraguan. Sesuatu terasa tidak beres, tapi wajah Cintya tak memberi ruang untuk kecurigaan. Terlalu tenang. Terlalu terlatih.

“Maaf, saya tidak haus,” tolak Kasih sopan, mencoba menutup pintu. Namun, tangan Cintya bergerak cepat menahan daun pintu. Tidak kasar, tapi penuh kendali.

“Kau mungkin lelah, Kasih,” ujarnya, suaranya masih tenang namun tegas.

“Tapi jangan sampai kelelahan membuatmu lupa... bagaimana seharusnya bersikap.”

Matanya menyipit sedikit, seolah sedang memperingatkan tanpa perlu menaikkan nada suara. Sorot matanya cukup untuk membuat darah Kasih berdesir dingin.

Dengan langkah pelan namun pasti, Cintya melangkah masuk ke kamar. Pelayan mengikuti di belakangnya. Pintu tertutup perlahan.

“Apa yang sebenarnya Anda inginkan?” tanya Kasih, suaranya bergetar namun masih mencoba tenang.

Cintya menatapnya lama, lalu menghela napas seolah Kasih adalah anak kecil yang tak tahu diri.

“Kasih... kamu itu seperti bunga liar. Indah, tapi keras kepala.” Ia melangkah ke dekat meja rias, menelusuri permukaannya dengan jari-jari rampingnya.

“Sayangnya, bunga liar pun harus tahu kapan harus tunduk.”

Ia menoleh, tersenyum lembut. “Minumlah. Atau aku akan memanggil seseorang untuk membantumu. Tapi percayalah, itu akan jauh lebih tidak nyaman.”

Kasih menghela nafas, ia tahu jika dirinya tidak akan bisa menang dari Cintya. "Letakkan saja di meja, nanti saya akan meminumnya" katanya pada pelayan.

Namun Cintya mengangkat satu alis dengan anggun. “Tidak, sayang. Aku ingin melihatmu meminumnya... sekarang.”

Dengan tangan gemetar, Kasih mengambil cangkir itu dan menyeruputnya perlahan. Cairan manis itu terasa hangat, tapi ada sesuatu yang asing... terlalu pekat.

“Terima kasih,” ucapnya dengan nafas tak teratur, meletakkan cangkir kembali di atas nampan.

Beberapa detik kemudian, tubuhnya mulai terasa panas. Sensasi aneh menjalar dari tengkuk ke seluruh tubuhnya. Lututnya melemas, dan nafasnya memburu.

Cintya mendekat, memandangi Kasih dengan sorot penuh kepuasan."Bagus," bisiknya lembut.

“Sekarang biarkan tubuhmu bekerja sesuai rencanaku. Kau akan mengingat malam ini... untuk waktu yang sangat lama.”

Kasih mencoba bertahan, meraih apa pun untuk menyeimbangkan diri. Tapi semuanya tampak kabur.

Cintya berbalik, mengambil cangkir teh kedua dari nampan porselen, lalu melirik singkat ke arah pelayan. “Bawa kembali ke dapur,” ucapnya singkat namun tegas, sebelum melangkah anggun menuju ruang kerja Eric.

Langkah tingginya bergaung pelan di koridor yang sunyi. Setibanya di depan pintu, ia membuka tanpa mengetuk. Eric, yang tengah duduk membaca dokumen, hanya menoleh sekilas. “Sayang kamu belum tidur?” tanyanya.

“Belum sayang, aku datang membawakan teh pengantar tidur untukmu, seperti yang kamu sukai.” Cintya meletakkan cangkir di mejanya dengan gerakan penuh ketenangan.

Eric mengambil cangkir itu, namun sebelum teh menyentuh bibirnya, aroma yang sedikit asing menyusup ke dalam penciumannya. Ia mengangkat alis, menatap Cintya yang berdiri di sana dengan ekspresi yang sulit dibaca…senyum manis di wajahnya, tapi sorot matanya penuh teka-teki.

“Teh apa ini? Mengapa rasanya berbeda?” tanyanya.

Cintya mengulas senyum, tidak ada yang berbeda. Teh ini sudah sesuai dengan teh yang biasa kamu minum dan akulah yang membuatnya sendiri,” jawab Cintya. Sambil mengulas senyum manis pada sang suami.

Cintya hanya menautkan jemarinya di depan perut, tubuhnya tegak dan tenang. “Habiskan minumnya, sayang. Aku yakin Kasih sudah menunggu malam ini,” ucapnya dengan nada selembut satin, namun dingin seperti pisau baja.

Lalu, tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan melangkah keluar dari ruangan, membiarkan aroma teh dan ketegangan tertinggal di belakangnya.

Sepeninggal Cintya, Eric menghabiskan teh hangatnya, lalu dia berdiri dari kursi. Teh itu masih hangat di perutnya, tapi ada sesuatu yang berbeda. Dadanya naik turun lebih cepat. Darahnya berdesir, dan tubuhnya terasa ringan, namun terbakar dari dalam. “Apa yang terjadi padaku?” tanyanya sambil melangkah keluar dari ruangan kerjanya menuju kamar Kasih.

Tak lama sampailah Ia dikamar Kasih. Saat Eric mendekat, tubuh Kasih terasa semakin panas. Rasa asing yang menjalar semakin intens, lebih dari sekadar gejolak biasa. Tubuhnya mulai terasa seperti terbakar dari dalam, sangat sulit dikendalikan.

Panasnya semakin mendalam, detak jantungnya semakin dekat, tubuhnya menggeliat tanpa bisa dihentikan. Kasih tidak mengerti mengapa dirinya merespons seperti ini, seolah ada api yang mengalir dalam pembuluh darahnya, membakar rasionalitasnya.

"Pak Eric…" suaranya bergetar, dan ada getaran halus yang tidak bisa ia sembunyikan. Mata Eric semakin gelap, semakin dalam, seolah menariknya ke dalam pusaran yang tak bisa dihindari.

Tangan Eric meraih pinggangnya, menariknya lebih dekat, dan tubuh Kasih merespons tanpa pikir panjang. Ada dorongan yang tak bisa ia kendalikan, suatu kekuatan luar biasa yang membuatnya merasa seperti kehilangan kendali. Seharusnya dia menolaknya, seharusnya dia tahu lebih baik, tapi tubuhnya seakan bergerak sendiri, seolah diprogram untuk merespons setiap sentuhan Eric.

"Jangan…" Kasih mencoba melawan, namun kata-katanya hilang begitu saja ketika bibir Eric menyentuh lehernya. Sensasi itu mengalir seperti api, panas dan membakar, dan tubuhnya menggeliat tanpa bisa dihentikan.

Tangan Kasih yang semula ingin menahan tubuh Eric justru menggenggam bahunya lebih erat, seolah tubuhnya yang tak lagi bisa menahan hasrat yang mengalir deras.

Di dalam pikirannya, ada sesuatu yang berusaha untuk berontak. Ini bukan dirinya. Ini bukan Kasih yang biasa. Kasih yang berusaha keras menahan perasaan, berusaha untuk tidak terperangkap dalam permainan berbahaya ini. Namun, tubuhnya berkata lain. Setiap inci kulitnya terasa seperti terjalin dalam api yang tak bisa dipadamkan.

Kasih berusaha keras untuk mengingatkan dirinya sendiri, untuk mengendalikan tubuh yang kini bergerak tanpa kendali. Tapi semuanya terlambat.  Kesadarannya telah hilang, seiring dengan setiap detak jantungnya yang semakin cepat, tubuhnya semakin tak bisa melawan hasrat yang menyala-nyala.

Di luar kendali, di luar logika, dia hanya merasakan dorongan itu, dorongan yang membutakan setiap pikiran rasional yang tersisa.

Malam itu, Kasih menyerah pada keinginan tubuhnya, dan segala sesuatu yang menghalangi dorongan itu lenyap begitu saja. Tidak ada yang bisa menghentikan permainan yang telah dimulai. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi setelahnya.

Di kamar lain, Cintya berdiri di balik jendela besar, memandangi pemandangan malam yang gelap. Segelas anggur merah berkilauan di tangannya, namun senyum di bibirnya tidak dapat disembunyikan..

“Lelah… Tapi tidak ada yang bisa menghentikan proses yang telah dimulai. Aku harus melakukanya demi karierku.” gumamnya pada dirinya sendiri.

"Semuanya akan berjalan sesuai rencana. Kasih... kamu hanyalah pion dalam permainan ini. Setelah semua selesai, kamu bukanlah siapa-siapa lagi di rumahku ini. Eric tetap akan menjadi milikku seutuhnya tanpa ada wanita lainnya lagi. Aku, Eric dan anak kami..” Cintya mengulas senyum licik di wajahnya.

“Anak..” gumamnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 5

    Beberapa jam kemudian, Kasih terbangun dengan kepala berat, seolah habis dihantam kenyataan. Ia meringis pelan, menekan pelipis yang berdenyut nyeri. Saat menoleh ke samping, tubuhnya membeku. Eric tertidur tengkurap, sepenuhnya telanjang, hanya selimut yang menutupi sebagian pinggangnya.Sesak. Dadanya seperti dihimpit beban yang tak kasat mata. Ia menarik napas panjang, mencoba menelan rasa getir yang menyeruak tanpa permisi. Perlahan, ia bangkit dari ranjang, mengumpulkan sisa-sisa harga diri yang tercecer. Ia mengambil pakaiannya, lalu berjalan ke kamar mandi.Air dingin mengguyur tubuhnya, tapi tak satu tetes pun sanggup menghapus luka yang mengendap dalam jiwa.Setelah berganti pakaian, Kasih keluar dari kamar dengan langkah ragu. Tapi langkahnya terhenti seketika di ambang pintu. Cintya berdiri di sana, melangkah mendekat dengan anggun dan sikap superior, seperti ratu yang hendak menjatuhkan vonis pada budaknya.Tatapan matanya menyapu Kasih dari ujung kepala hingga kaki, penuh

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 4

    Jam tujuh malam, setelah makan malam, Kasih masuk ke kamarnya. Tubuhnya lelah, pikirannya kacau setelah seharian menghadapi sikap Eric yang dingin dan menyebalkan. Ia baru saja ingin mengistirahatkan diri ketika ketukan terdengar di pintu.Dengan enggan Kasih membuka pintu alisnya berkerut. Di sana berdiri Cintya, anggun dalam balutan gaun satin abu-abu keperakan, dengan rambut disanggul rapi dan perhiasan yang memantulkan cahaya lembut lampu koridor. Di sampingnya, berdiri seorang pelayan membawa secangkir teh manis di atas nampan porselen.Senyum tipis terukir di bibir Cintya. Namun sorot matanya tajam, memindai wajah Kasih seperti sedang membaca buku terbuka.“Aku tahu hari ini cukup melelahkan untukmu, kupikir secangkir teh akan membantu menenangkanmu,” ucapnya dengan nada datar yang dibalut kelembutan palsu.”Kasih menatap teh itu dengan keraguan. Sesuatu terasa tidak beres, tapi wajah Cintya tak memberi ruang untuk kecurigaan. Terlalu tenang. Terlalu terlatih.“Maaf, saya tidak

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 3

    Setibanya di kantor, suasana langsung berubah tegang. Kasih berusaha berjalan tegak, tapi tatapan dingin Eric yang menusuk dari belakang membuat langkahnya terasa berat, seperti menembus kabut es yang pekat.Eric melangkah lurus tanpa sedikit pun menoleh padanya, seolah keberadaan Kasih tak lebih dari bayangan tak penting yang menempel di dinding.Begitu mereka memasuki ruang rapat, semua mata langsung tertuju. Para eksekutif yang sudah menunggu menatap mereka, sebagian dengan rasa ingin tahu, sebagian lagi dengan sikap mencemooh yang terselubung.Eric duduk di kursinya tanpa basa-basi, lalu menatap Kasih dengan tatapan tajam seperti pisau."Duduk di sana. Jangan buat masalah," ucapnya dingin.Kasih mengepalkan tangan di samping tubuhnya, menahan bara amarah yang mulai menyala di dada. Tapi dia tetap melangkah dan duduk di kursi yang ditunjuk.Rapat dimulai. Suara Eric mendominasi, tegas dan berwibawa. Setiap katanya seperti titah yang tak bisa dibantah. Semua orang mendengarkan denga

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 2

    Pagi hari, di ruang makan yang mewah, aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Namun, suasana di meja makan jauh dari kehangatan. Kasih duduk dengan tegang, sendok di tangannya sedikit gemetar. Di hadapannya, Cintya menatap dengan senyum penuh kemenangan, sementara Eric duduk di kepala meja, diam seperti biasa, tetapi sorot matanya dingin dan gelap.Cintya memainkan sendoknya sebelum berkata dengan nada santai namun tajam, "Kasih, kau ingat tujuanmu di rumah ini, kan?"Kasih tidak menjawab. Matanya menatap penuh kewaspadaan. Cintya menyeringai, lalu melanjutkan dengan suara lebih rendah namun beracun, "Kau bukan hanya istri kedua. Kau di sini untuk melahirkan keturunan Eric.”Darah Kasih berdesir. Kata-kata itu menusuknya dalam. Ia ingin membantah, tetapi bibirnya terasa kelu.Eric akhirnya berbicara, suaranya dingin, "Cintya, jangan mulai lagi."Cintya menoleh ke suaminya, ekspresinya Tak berubah sedikit pun. "Aku hanya mengingatkannya, Sayang. Orang tuamu menginginkan keturunan

  • Dijebak Menjadi Istri Kedua CEO   Bab 1

    Kasih mengerjapkan matanya, tubuhnya terasa lemas dan kepalanya berat seakan dipukul benda tumpul. Seluruh tubuhnya terasa tak berdaya. Saat pandangannya mulai jelas, dadanya bergemuruh melihat dirinya tak mengenakan apa pun selain selimut yang melilit tubuhnya. Ketakutan menjalar seketika, menyusup ke setiap pori-porinya."Apa yang terjadi?!" bisiknya panik, dadanya naik turun karena nafas yang memburu.Di sampingnya, Eric juga terbangun. Ia mengerutkan kening, kepalanya terasa berat. Pandangannya mengabur sesaat sebelum akhirnya menyadari situasi mereka. Mata tajamnya menyapu ruangan, kemudian beralih ke Kasih yang membeku di tempat tidur."Sial! Kenapa kita…"“BRAK!”Pintu kamar terbanting keras, menghantam dinding hingga menimbulkan bunyi yang menggema di seluruh ruangan. Udara seketika terasa menegang, seolah-olah waktu membeku sejenak.Eric dan Kasih terlonjak, tubuh mereka menegang dalam keterkejutan. Serentak, kepala mereka menoleh ke arah pintu.Di ambang pintu, Cintya berdir

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status