LOGINEric keluar dari mobilnya. Wajahnya masih menampakkan kemarahan. Pikirannya tak pernah lepas dari pelaku penjebakan itu. Entah mengapa, tiba-tiba ia merasa kesal pada Cintya.
Ia memandang mansion megahnya, sunyi dan dingin, tak ada kehangatan yang menyambutnya pulang. Ibunya benar, ia memiliki segalanya, tetapi semua yang dimilikinya tak ada artinya. Di balik kemegahan ini, hanya ada kekosongan.
Tiba-tiba, perasaan kesepian menyusup ke dalam relung hatinya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia membenarkan perkataan ibunya tentang kehadiran seorang anak.
Selama ini, Eric menganggap kehadiran Cintya sudah cukup membuatnya bahagia. Ia tidak membutuhkan siapapun lagi, sehingga apapun desakan orang tuanya untuk segera memiliki anak tak pernah didengarkan dan dipandang sebelah mata olehnya.
Ia berpikir, apa yang dilakukan oleh ibunya semata-mata hanya karena tidak menyukai Cintya. Ternyata, selama ini Eric salah.
Cintya, ia tahu, karier istrinya sebagai seorang model sangatlah penting. Tetapi, apakah dia lupa kodratnya sebagai seorang istri? Mengingat sikap dan perlakuan Cintya, Eric mulai merasakan perasaan tidak suka terhadap wanita yang selama lima tahun ini menjadi istrinya.
Perlahan, Eric mengepalkan kedua tangannya. Sebersit kemarahan menyelinap masuk ke dadanya. Mengapa ia baru menyadari sekarang ini? Ia mendengus kesal, mengingat semua sikap dan kelakuan Cintya.
Jika saja Cintya seperti istri lain, mungkin saat ini ia sudah memiliki seorang anak yang menyambutnya pulang dan memanggilnya Papa. Tetapi, Eric tidak menemukan sosok istri yang baik seperti istri lainnya pada diri Cintya. Ia lebih mementingkan kariernya dibandingkan dirinya dan kebahagiaan rumah tangganya.
“Lima tahun,” gumam Eric sinis.
Ia menggeleng, mengingat lima tahun rumah tangganya bersama Cintya. Ia benar-benar tak habis pikir atas dirinya yang begitu mudah mengikuti semua keinginan istrinya. Kesadaran ini membuat kedua matanya terbuka, sehingga membuat pandangannya berubah terhadap wanita yang telah dinikahinya itu.
“Anak.” Gumaman itu meluncur begitu saja dari bibir Eric.
Jantungnya berdetak kencang, detakan irama kerinduan seorang ayah. Tanpa disadarinya, senyum terulas di wajahnya yang tampan. Wajah datar dan dinginnya berubah, melembut, seakan saat ini ia sedang berhadapan dengan sosok mungil yang menyambutnya dan memanggilnya Papa.
Di antara khayalannya, ia tidak sengaja menoleh ke samping. Kasih tengah duduk di pendopo. Pandangan mereka beradu. Wanita itu tampak cantik dengan balutan dress rumah sederhana berwarna biru muda. Rambutnya yang tergerai tertiup angin menambah kesan kecantikan alami dari dirinya.
Bagaikan terhipnotis, Eric terpaku di tempatnya berdiri. Baru kali ini ia benar-benar memperhatikan sekretarisnya itu, dan ternyata Kasih cantik juga. Mata itu, tatapannya terasa teduh, terasa nyaman, membuatnya tak ingin berpaling. Tiba-tiba, perasaan aneh menyusup ke dalam hatinya.
Perasaan yang tak pernah ia rasakan pada wanita lain selain Cintya, wanita satu-satunya yang mampu membuatnya berdesir seperti ini.
Tetapi... Eric mengerutkan keningnya. Ia mencoba merasakan getaran hangat yang membuatnya jatuh cinta pada istrinya.
Tetapi perasaan itu sekarang berbeda, tak lagi seperti dulu. Eric kembali memandang mata Kasih. Untuk kedua kalinya, mata itu membuatnya terpaku, tak mampu berpaling. Tatapan teduh dari Kasih bagaikan magnet yang menariknya untuk masuk. Ia seperti menemukan rumah untuknya pulang.
Kasih memalingkan wajah ketika merasakan suatu perasaan aneh merasuki relung hatinya. Tidak, ia tidak boleh merasakan apapun pada Eric. Seperti yang dikatakan oleh Cintya, tugasnya di rumah ini hanya untuk mengandung seorang anak. Setelah itu, walaupun ia tidak tahu bagaimana nasibnya kelak, ia akan bertahan sampai Eric sendiri yang menyuruhnya pergi.
“Anak.” Gumam Kasih.
Ia menghela napas, kata anak membuat kasih tanpa menyadari memegang perutnya.“Bagaimana aku akan memiliki seorang anak? Jika tidak terjadi apapun pada kami kecuali malam itu,” ucapnya.
Kasih tersenyum kecut mengingat malam kejadian dirinya bersama Eric. Ia menghembuskan napas berat, kemudian melangkah meninggalkan pendopo ketika mendengar Cintya memanggil Eric. Ia cukup tahu diri untuk tidak mengganggu pasangan suami istri itu.
Setelah Kasih berlalu, Eric mengalihkan pandangannya ke Cintya. Ia menatap istri pertamanya yang berdiri di teras mansion dengan seulas senyum tersungging di wajahnya.
Sore ini, Cintya sangat cantik dengan balutan dress tosca dan rambut yang tertata rapi. Kecantikan itu selalu membuat Eric kagum dan terpesona setiap kali memandangnya. Namun, semua itu kini mulai berbeda, kekaguman itu mulai terkikis, tak seperti dulu lagi. Eric hanya menghela napas dan tak beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri.
Cintya, yang merasakan keanehan sikap Eric, melangkah menghampiri suaminya.
“Pasti gara-gara sekretaris sialan itu. Jika aku tidak ingat ibu Eric yang selalu mendesak kami untuk memiliki seorang anak, aku tidak akan pernah menyetujui pernikahan suamiku dan sekretarisnya itu,” ucapnya, hampir seperti bisikan.Biasanya, setiap kali Cintya menyambut Eric pulang, suaminya itu langsung menghampiri dengan senyum lebar. Eric memeluk dan menciumnya dengan lembut. Namun, sore ini kehangatan itu tidak ia dapatkan.
Tadi, Cintya melihat Eric menatap Kasih yang sedang duduk di pendopo. Rasa cemburu langsung menguasainya, apalagi tatapan Eric pada Kasih tak lagi sedingin biasanya. Bahkan, ia sempat melihat senyum Eric di wajahnya saat menatap Kasih. Cintya mulai merasa ada sesuatu yang berubah; Eric mulai menyukai Kasih, dan itu akan menjadi ancaman besar baginya.
Cintya tidak ingin kehilangan Eric dan juga semua kemewahan yang diberikan oleh suaminya. Walaupun ia seorang model papan atas dengan penghasilan tinggi, baginya itu tidaklah cukup.
Namun, saat ini ia tidak berdaya karena Eric membutuhkan seorang pewaris. Sementara ia sendiri tidak mungkin mengandung dan melahirkan anak, ia tidak ingin karier modelingnya hancur hanya karena bentuk tubuhnya berubah. Apalagi sekarang, ia tengah sibuk mempersiapkan diri untuk pagelaran busana Fashion Week di Perancis.
****
Di kamarnya bersama Cintya, Eric sudah mandi dan berganti pakaian. Ia duduk di sofa bersama istrinya. Dengan lembut, ia merangkul Cintya, lalu menciumi leher jenjangnya. Aroma harum tubuh sang istri menggetarkan hati, menghadirkan sensasi hangat yang membuatnya semakin merindukan sentuhan Cintya.
Cintya menyadarinya, ia menyambut pelukan itu, membiarkan Eric dengan leluasa menyentuhnya. Ia tak mampu menolaknya. Walau bagaimanapun, ia wanita normal yang selalu mendambakan belaian dan kehangatan Eric, yang sekarang sangat jarang mereka lakukan karena kesibukannya sebagai seorang model.
Di saat gairah Cintya bangkit, ia harus menelan kekecewaan ketika Eric berhenti mencumbunya. “Mengapa?” tanya Cintya, ia menatap Eric. Mata indahnya sayu menahan gairah.
“Tidak apa-apa,” jawab Eric, ia membalas tatapan mata Cintya, kemudian beralih memandang bibir istrinya yang merekah menantikan ciuman darinya.
Cintya menghela napas, ia benar-benar kesal pada Eric tetapi ia berusaha menahan diri. Ia merapikan kembali kancing dress bagian atas yang sempat di buka oleh Eric.
Ia kembali memandang kedalaman mata Eric. Cintya merasakan keganjilan pada mata itu. “Apakah semalam kamu sudah melakukannya pada Kasih?” tanyanya.
Eric hanya diam, tak menanggapinya. Ia hanya merapikan kemejanya. Cintya tak mengetahui bahwa tadi, saat ia mencumbu, tiba-tiba kecurigaan Bima melintas di benaknya, dan sosok Kasih yang duduk di pendopo itu mengusiknya, sehingga memadamkan gairahnya.
Cintya menyipitkan mata atas keterdiaman Eric. Rasa cemburunya terhadap Kasih semakin dalam, tapi ia berusaha menekannya. Tetapi tatapan itu bukan hanya tentang Kasih, ada sesuatu yang disembunyikan suaminya. Ya, Cintya sangat tahu sifat suaminya, apalagi jika itu tentang dirinya. Tak mungkin suaminya berhenti mencumbu hanya karena wanita itu.
“Pasti ada sesuatu selain Kasih,” pikirnya. Semakin dalam Cintya memandang Eric, keganjilan itu kian terasa.
“Apakah mungkin?” Ia menggeleng, berusaha menepis yang menganggu pikirannya.
Kasih mengulas senyum bahagia di wajahnya, matanya tak lepas memandang wajah Eric yang sudah kembali segar, tatapannya beralih pada Nayla yang duduk di pangkuan papanya. Sejak Eric pulang dari rumah sakit, Nayla tak ingin beranjak dari sisinya, seakan takut kehilangan Eric.”Terima kasih ya Tuhan, Engkau telah mengembalikan kebahagiaan di rumah ini,” gumam Kasih dalam hatinya.Ia mengalihkan pandangannya pada adiknya, Revan, yang duduk di samping Eric. Helaan napas lega terdengar dari bibirnya, melihat Revan yang tak pernah terlihat murung lagi.”Semoga kebahagiaan ini tak direnggut lagi dari kami,” batinnya.Kasih beralih ke ibu mertuanya yang juga sedang memandangnya, tatapan mereka beradu. Indira mengulas senyum lembut di wajahnya, seolah mengucapkan, ”Terima kasih karena kamu sudah menjaga dan melindungi kami semenjak Eric tertidur.”Kasih membalas senyuman itu, tak lama terdengar suara. “Hem!”Serentak Kasih dan Indira menoleh ke arah Eric yang sedang memandang mereka dengan tata
Usai mengunjungi proyek, Kasih langsung menuju rumah sakit. Langkah kakinya terasa berat, seolah setiap jejak menyimpan harapan dan kelelahan yang menumpuk selama beberapa hari terakhir. Bau antiseptik begitu menyengat tercium di hidungnya saat ia melangkah masuk ke lorong ICU, menyambutnya dengan dingin yang menggigit kulit.Kini wanita itu duduk di kursi di samping tempat tidur Eric. Pandangannya tertuju pada wajah pucat suaminya yang tampak tenang di balik selang oksigen. Dada bidang yang dulu selalu hangat memeluknya kini naik turun pelan dengan bantuan alat bantu napas. Matanya beralih menatap selang infus yang menetes perlahan dan layar monitor yang memancarkan cahaya hijau redup, berbunyi dengan ritme monoton namun menenangkan.“Apakah Papa tidak merindukan kami sehingga sangat pulas tertidur?” ucapnya.Kasih menghela napas panjang, rasa lelah dan cemas menyatu membuatnya seperti kehilangan tenaga.“Papa harus bangun! Mama, Nayla, Ibu, dan Revan membutuhkanmu, Pa.”Kasih menggen
Di ruangan kerja Eric, Kasih duduk di kursi. Ia memandang sekeliling ruangan dengan sorot mata sendu. Ingatannya melayang pada saat suaminya masih berada di ruangan ini. Eric Begitu serius memeriksa semua berkas-berkas perusahaan, sesekali menatap layar laptop, lalu kembali menunduk meneliti dokumen di meja.Kasih menghela napas panjang. Hatinya benar-benar terluka. Jika boleh jujur, saat ini ia tak tahu harus berbuat apa. Namun, ia tak bisa tinggal diam. Pelaku yang membuat suaminya dan Bima terbaring lemah di rumah sakit harus ia temukan.Ia kembali menghembuskan napas berat. Ingatannya melayang pada saat sebelum kecelakaan itu terjadi. Keningnya berkerut ketika mengingat percakapan Eric dengan Bima melalui sambungan ponsel.“Aku yakin ada petunjuk di ponsel suamiku,” gumamnya dengan lirih.Kasih bersandar di kursi. Matanya tertuju pada pintu ruangan CEO ketika terdengar ketukan dari luar.“Masuk!” seru Kasih.Pintu pun terbuka. Masuklah Budiman, direktur perusahaan milik Eric. Pria
Degh! Jantung Kasih berdegup tak beraturan mendengar ucapan yang terlontar dari bibir Indira. Ingatannya pun melayang jauh, kembali pada sore hari sebelum kecelakaan Eric. Saat itu, dering telepon dari Bima masih begitu jelas terngiang di telinganya. Begitu panggilan itu berakhir, Eric pun pergi tergesa, seakan ada sesuatu yang begitu penting menantinya.Kasih masih mengingat jelas bagaimana ia sempat menahan langkah suaminya.“Ada apa, Pa?” tanyanya kala itu dengan raut wajah yang dipenuhi dengan kecemasan.Eric hanya menghela napas panjang saat itu, lalu menatapnya sekilas. “Ada urusan penting yang harus Papa selesaikan, dan sekarang Papa harus kembali ke perusahaan,” ucapnya dengan nada tegas.Namun Kasih dapat merasakan ada sesuatu yang berbeda. Sorot mata suaminya seakan menyimpan kecemasan yang tak terucapkan. Telinganya yang peka bahkan sempat menangkap percakapan singkat antara Eric dan asistennya, percakapan yang terdengar samar namun cukup untuk menimbulkan rasa curiga di h
Waktu terasa begitu lambat bagi Kasih. Sudah satu minggu Eric tidak membuka matanya. Ia tampak tenggelam dalam buaian mimpi panjang dan enggan kembali ke dunia nyata. Tubuhnya kini terbaring lemah di kamar pasien, diselimuti suara mesin medis yang berdetak monoton.Kasih setia mendampingi suaminya, duduk diam di kursi samping ranjang. Matanya sayu, tampak letih dan kehilangan tidur. Perlahan ia menggenggam tangan Eric yang terasa dingin, suaranya lembut penuh harap ketika berbicara,"Pa, bangunlah. Jangan terus terlelap."Suara Kasih parau, getir terselip di setiap kata saat ia menahan tangis yang ingin tumpah. Dadanya terasa sesak, terhimpit oleh kecemasan dan ketakutan, sementara kesedihan melingkupi setiap sudut hatinya. Wajahnya pucat, matanya redup seolah kehilangan cahaya, dan seluruh dirinya tenggelam dalam duka yang tak bertepi.Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka kasih pun menoleh, di ambang tampak Indira masuk bersama seorang pria yang tidak asing bagi Kasih, Pak Budiman
Kasih duduk lemah di kursi dingin ruangan ICU, kedua matanya terpaku pada sosok Eric yang terbaring dengan berbagai selang dan alat medis melekat di tubuhnya. Wajah pria itu pucat, napasnya tersengal diiringi bunyi monoton mesin pemantau yang seakan menjadi pengingat betapa rapuh hidupnya saat ini.Air mata Kasih tak terbendung, jatuh membasahi pipinya yang pucat. Tangannya bergetar ketika menyentuh telapak tangan Eric yang terasa dingin, seolah waktu berusaha merenggut hangatnya dengan perlahan.“Pa, dengarlah suara hatiku. Bukalah matamu, aku, Nayla, Ibu, Revan dan anak kita yang berada di rahimku ini menunggumu pa,” bisiknya lirih di antara tangisnya yang tertahan.Di ruangan yang sunyi itu hanya suara mesin yang setia berdenting, menjadi saksi bisu doa seorang istri yang tengah mengandung, berperang antara harapan dan ketakutan.Kasih menundukkan wajahnya di atas tangan Eric, merelakan air matanya jatuh, seakan ingin menyatu dengan darah dan kehidupan yang masih bertahan pada pria







