Di pantry, Kasih yang tengah membelakangi pintu sambil mengambil peralatan makan, tiba-tiba mendengar suara langkah kaki yang terhenti di ambang. Dari aroma parfum yang mencolok dan menyengat, ia langsung tahu bahwa orang itu adalah Cindy.Perlahan, ia melirik ke belakang, lalu kembali menunduk menatap nampan sambil merapikan piring dan sendok di atasnya. Sebuah senyum sinis terulas di wajah Kasih saat merasakan tatapan tajam Cindy menyapu punggungnya."Aku sudah belajar banyak dari masa laluku. Wanita sepertimu tidak jauh berbeda dari Cintya dan juga Sandra. Tetapi kali ini, aku tidak akan tinggal diam. Sekalipun kau lebih jahat dari mereka, namun aku tidak akan pernah kalah dan tidak akan membiarkan wanita mana pun merusak rumah tanggaku lagi," ucapnya dalam hati.Kasih menghela napas panjang. Ingatan masa lalunya yang masih membekas itu membuatnya berjanji dalam hati bahwa kejadian itu tidak akan pernah terulang lagi."Aku ingin lihat apa yang akan kamu lakukan, Cindy," gumamnya.U
Suasana ruangan makan di pagi hari tampak ramai seperti biasanya oleh celotehan riang Nayla. Putri kecil Eric dan Kasih itu sedang bercerita dengan penuh semangat tentang rencana perayaan ulang tahunnya yang akan digelar dua hari lagi di sebuah ballroom hotel. Dengan mata berbinar, ia menjelaskan detail dekorasi ruangan yang akan dibuat seperti istana ala putri kerajaan dari dunia dongeng, kepada Revan dan Omanya.Sementara itu, Kasih dan Eric hanya duduk memperhatikannya, senyum hangat terpahat di wajah mereka. Kondisi Kasih pagi ini tampak lebih baik, tidak lagi terlalu mencemaskan Eric berkat obat mual yang dikonsumsinya. Rasa mual dan muntah yang biasanya cukup parah kini mereda, membuat Kasih tak lagi terlalu lemas dan masih berselera menyantap sarapan yang diinginkannya.“Sudah waktunya pergi ke sekolah,” ucap Kasih lembut.Sejenak, Nayla menatap wajah sang mama, lalu melirik ke arah jam dinding. “Mama benar!” serunya sambil buru-buru bangkit dari kursinya.Dengan wajah ceria, N
Cindy berdiri di depan pintu apartemen mewah. Tanpa menekan bel, ia langsung memasukkan beberapa kode pada lock box yang tertempel di dinding. Begitu terdengar bunyi klik, pintu pun terbuka, dan dengan langkah ringan ia masuk ke dalam apartemen itu.Di ruangan tamu, langkahnya terhenti. Matanya menatap tajam ke arah pria dan wanita yang tengah asyik bergumul di sofa panjang, tanpa sehelai pakaian pun melekat di tubuh mereka.Ck! Cindy berdecak pelan melihat pemandangan panas di hadapannya. Ia hanya berdiri diam, menatap mereka tanpa sedikit pun merasa terganggu.Desahan dan rintihan kenikmatan dari sepasang insan yang tengah bercinta itu justru membuat ingatan Cindy melayang, kembali pada khayalan liarnya saat di kantor tadi.Ilusi tentang Eric yang menyentuhnya membuat hasrat Cindy kembali menggelora. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan segala gejolak hormon wanitanya yang mulai meronta.Cindy menggeleng, berusaha menepis bayangan itu. “Sial! Melihat mereka, aku malah tidak tahan la
Dengan cepat, Cindy membereskan pekerjaannya. Berkali-kali sekretaris Eric itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia merasa waktu berjalan begitu lambat. Cindy terlihat sangat gelisah, tak seperti biasanya. Dan kegelisahannya itu lebih menyerupai seseorang yang sedang menahan sesuatu seperti dikejar waktu.Tepat pukul 11.30 siang, ketika hendak melangkah keluar dari ruangannya, tanpa sengaja Cindy melihat Bima melintas di depan pintu sambil membawa map cokelat. Langkahnya terhenti. Sejenak ia termenung, seakan menimbang sesuatu. Entah mengapa, Cindy merasa curiga terhadap map yang dibawa oleh asisten Eric itu."Mengapa aku merasa curiga pada map yang dibawa oleh Pak Bima?" tanya Cindy dalam hatinya.Perlahan, ia melangkah menuju pintu ruangan CEO. Sejenak matanya menatap pintu itu lekat-lekat. Rasa penasaran yang begitu besar membuat Cindy ingin mengetahui apa yang dibawa oleh Bima. Ia membuka sedikit pintu itu dengan sangat pelan agar tidak menimbulkan suara. Cindy
Cindy duduk di kursi kerjanya. Tatapannya lurus ke depan, namun benaknya dipenuhi kemarahan yang mendidih. Ia benar-benar kesal. Fakta bahwa Kasih sedang mengandung anak kedua dari Eric seperti menamparnya tanpa ampun. Bayangan wajah Eric yang tadi begitu bahagia, lengkap dengan pelukan hangatnya kepada Kasih, membuat dada Cindy terasa sesak. Kecemburuan itu terus menggerogoti hatinya, membuatnya ingin berteriak."Aku tidak peduli jika wanita itu adalah istri Eric. Ia tidak boleh hamil lagi," gumam Cindy dengan suara rendah yang sarat dengan amarah.Tangannya mengepal di atas meja. Ia merasa seakan tak berdaya, namun pikirannya mulai dipenuhi rencana-rencana kelam yang muncul dari rasa benci dan keinginan memiliki yang tak tersampaikan.Tiba-tiba, seulas senyum muncul di wajahnya. Sebuah senyum yang tak mengandung kebahagiaan, melainkan angan-angan gila yang mulai tumbuh subur di benaknya. Ia membayangkan dirinya sebagai Kasih. Bayangkan jika ia yang sedang mengandung anak dari Eric.
Di ambang pintu, Kasih memandangi Eric yang sedang serius menekuni berkas-berkas pekerjaannya. Begitu fokusnya, hingga pria itu tidak menyadari pintu telah terbuka dan istrinya kini berdiri memandang ke arahnya.Seulas senyum muncul di wajah Kasih. Melihat berbagai ekspresi itu, ia teringat saat masih menjadi sekretaris Eric. Raut wajah pria itu saat bekerja masih sama seperti dulu, tenang dan penuh konsentrasi.Perlahan Kasih melangkah masuk, dengan langkah yang sengaja diperlambat agar tidak menimbulkan suara.Ia berdehem pelan ketika tiba di depan meja kerja Eric.Mendengar suara yang sangat dikenalnya, Eric tersenyum dan mengangkat wajah. Ia menatap Kasih dengan pandangan lembut, penuh kehangatan."Serius sekali, sampai tidak sadar kalau Mama masuk," ucap Kasih sambil tersenyum.Eric bangkit dari kursinya dan segera melangkah menghampiri Kasih. Tanpa berkata apa pun, ia merengkuh tubuh istrinya ke dalam pelukan hangat, seolah ingin memastikan bahwa wanita yang paling dicintainya i