Karan mengintai dari balik tiang besar. Dapat dipastikan yang berjaga lebih dari 20 orang. Mansion yang cukup besar.
“Entah di mana Ailyn, aku harus mencarinya.” Karan mengendap-endap melewati pot besar di sisi kanan mansion menuju ke arah samping.Dilihatnya pintu dari kayu. “Apa itu jalan menuju ke bagian belakang?” Karan bertanya pada diri sendiri. Jika diperhatikan baik-baik, sisi dekat pintu sangat gelap.Yakin akan berhasil, Karan melompati batu dan berguling di rerumputan bak adegan aksi dalam film.“Hup!” Karan melompat ke balik batu saat melihat penjaga melintas. Sekelebat bayangan penjaga itu kini lenyap.“Aku harus masuk.” Karan membuka sabuk celana, lantas melilitkannya pada tangan. Jika ada serangan mendadak, dia bisa mengantisipasi.Dicobanya membuka pintu yang ternyata tak dikunci. “Mereka sepertinya tahu rencanaku. Tak masalah. Aku akan lebih berhati-hati.”Segera ia memasuki mansion. Ruanga“Karan?” Ailyn mengernyitkan dahi, bingung dengan situasi ini. Ditambah Gandhi muncul dengan dibantu anak buahnya, membuat Ailyn semakin tak paham. “Kau ... memanggil Karan dengan sebutan ‘Nak’? Kalian saling kenal? Atau .... ” Ailyn menurunkan high heel dan memakainya lagi. Pria yang ia pukul dengan high heel pula mendekat. Kini mereka memerhatikan Karan dan Alex bergantian. “Ay, sebenarnya .... “ Karan hendak mendekat, tapi Gandhi berdiri di depannya dengan kaki ditekuk-berdiri dengan satu kaki bertumpu. “Tentu saja aku memanggilnya seperti itu. Dia kan masih muda. Masa iya, aku akan memanggil dia Kakak?” Alex terkekeh, menyembunyikan sebenarnya. Kalau dia mengungkapkan jati diri sekarang, yang ada rencana bisa kacau. Karan malah akan mendapatkan simpati Ailyn, sedangkan dia kian dibenci. “Oh.” Ailyn mengurut dada. Pikirannya tadi sudah negatif. Tak jauh berbeda dengan Ailyn, Karan menghela napas panjang. Aman semen
Mobil yang Karan kendarai berhenti di depan rumah Ailyn yang sepi. Saat memeriksa arloji, ternyata sudah pukul 01.15. “Mampirlah sebentar. Aku akan mengobati lukamu,” kata Ailyn, membuka pintu mobil. “Ayahmu? Dia pasti marah melihat kita pulang bersama.” Karan ikut keluar, bersamaan dengan Jovan sampai. “Dia pasti di tempat judi, jangan risau.” Ailyn melangkah menuju ke pintu, diikuti dua pria tampan di belakangnya. Ailyn membuka pintu yang ternyata tak dikunci. Kepalanya yang berdenyut keras sejak dibawa ke mansion, mendadak terasa sembuh. Bukan karena sudah tak lagi sakit, tapi ketegangan yang ia rasakan sejak tadi membuatnya tak memikirkan sakit lagi. “Duduklah! Aku akan mengambi minuman dan kotak P3K.” Ailyn meletakkan ponsel Karan di atas meja, lantas memasuki dapur. Karan dan Jovan kompak duduk. Keduanya memerhatikan rumah sederhana nan minimalis itu. “Tuan baik-baik saja? Maaf, saya tidak
Ailyn membuka pintu rumah. Sudah tak heran dengan kebiasaan di mana kalau bukan tengah malam, maka ia harus membukakan pintu untuk Mohan pagi-pagi sekali. “Anak sialan! Tak tahu diuntung! Malah memilih pria tak jelas!” Mohan memasuki rumah sambil mengomel. “Aku sudah tak peduli dengan apa yang akan Ayah katakan,” balas Ailyn, memasuki kamar. Dibiarkannya Mohan menuju ke dapur. Pria itu menyingkap tudung saji, lalu berdecak kesal. “Mana makanannya, Ailyn? Kenapa kau tidak masak?” Mohan memekik, membuat Ailyn hanya menggerakkan bibir. “Aku tidak lapar, sekaligus malas memasak,” jawabnya. Beberapa pakaian di dalam lemari diperhatikan. Tak tahu akan ada pemotretan atau tidak, tapi dia bersiap-siap. Mendengar jawaban sang anak, Mohan kian emosi. Kini ia melangkah menuju ke kamar Ailyn. “Tidak lapar, katamu? Kau pikir hanya kau yang butuh makan? Saat kau tidak lapar, kau seenaknya tidak masak, begitu?” “Kalau Aya
Alex memasuki rumah dengan pakaian santai. Sejak semalam, tidurnya terganggu. Ia berniat untuk beristirahat di kamar. Ketika pintu kamar dibuka, terlihat Marina tengah merapikan seprai. “Sayang, kau sudah sehat?” Alex bertanya. Marina menoleh, bergumam. Tangannya cekatan merapikan kasur dan meletakkan vas berisi bunga segar di atas nakas. “Mas sudah makan?” tanyanya, membiarkan sang suami mengecup kening. “Sudah. Tadi aku mengantar Gandhi untuk memeriksakan kesehatan, lalu makan di jalan menuju ke sini,” kata Alex. “Loh? Gandhi sakit apa?” Marina duduk di tepi ranjang, membiarkan sang suami mengusap rambutnya dengan mesra. “Kena tembak berandalan, semalam,” jawab Alex. Mustahil dia mengatakan Karan yang sudah menembaknya. Padahal dia sudah melarang semua anak buah untuk melukai anak tirinya karena takut ketahuan Marina, malah Karan yang tega menyakiti. “Tapi, Mas baik-baik saja, kan? Aku khawatir
“Tunggu, jelaskan dulu. Kau ... tidak akan menikahi si tua itu, kan, Ailyn?” Karan mendekat, tapi Mohan mendorongnya pelan. “Karan, aku—“ Ailyn terdiam. Kini ia merutuki dirinya yang sudah ceroboh menyebut nama Karan. “Pergilah. Kau masih muda, jangan mengejar Ailyn. Dia pantas mendapat yang seumuran. Sana, cari wanita muda.” Mohan memerhatikan wajah pria yang menurutnya tak pantas untuk Ailyn. Selain terlalu muda, dia juga tak berharap banyak. “Kau bilang memberiku waktu seminggu, dan itu baru akan berakhir besok malam. Jadi, tunggu aku meminta izin orang tua,” papar Karan. “Aku berubah pikiran. Waktumu habis. Jadi ... silakan pergi.” Mohan tersenyum lebar, bak senyum seorang Joker. “Ayah, aku akui, kami memang hanya teman. Tolonglah, jangan paksa aku menikahi orang yang tak aku inginkan. Hidup kami pasti tak bahagia.” Ailyn menyentuh lengan Mohan. Air matanya kian bertambah laju mengalir. Paling tidak, ia
Ailyn tak bisa memejamkan mata. Andai ditampung, air matanya sudah memenuhi ember besar. Lusa dia akan dinikahkan dengan orang yang tak diinginkan. “Ayah jahat! Kenapa tega padaku? Ibu ... aku rindu ibu. Aku ingin menyusul ibu saja,” ujarnya, masih dengan isak tangis. Sembari menutup kepala dengan bantal, wanita itu membiarkan segala kesedihan menyatu. Mohan sudah dibutakan uang yang Alex janjikan. Drrr ... Drr .... Ailyn mengambil ponsel yang bergetar sejak tadi. Tenaganya bagai dikuras habis. “Hm?” Tanpa memeriksa siapa yang menelepon, diletakkannya benda itu di atas telinga. “Ay, kau baik-baik saja? Aku takut terjadi sesuatu padamu.” Suara Karan terdengar lirih, nyaris tak terdengar apa-apa. “Aku dikunci di kamar.” Ailyn menyeka air mata, mulai membetulkan posisi duduknya agar bersandar. “Aku ... sudah mengatakan pada Papa tentang rencanaku itu.” Karan yang hanya memakai kaos berwarna putih dan cela
Ailyn menoleh kala pintu dibuka. Mohan memasuki kamarnya sembari membawa nampan makanan. “Makanlah! Kau butuh tenaga untuk hidup,” ujarnya. Diletakkannya nampan di dekat Ailyn. Wanita itu tak menghiraukannya. Yang diperhatikan malah pintu yang dibuka. ‘’Kesempatan untuk kabur,' batinnya. Sayang, seolah dapat membaca apa yang terucap di hati Ailyn, Mohan langsung berkata, “Jangan berpikir untuk bisa kabur. Selangkah kakimu keluar dari kamar ini, maka nyawaku taruhannya!” “Bawa saja makanannya, aku tak lapar. Lebih baik kalau aku mati saja biar aku bertemu dengan Ibu,” katanya, menatap jendela. Sejak semalam ia berusaha membuka, tapi tak bisa. Mohan sudah menguncinya dari luar. Kalaupun bisa keluar, Indah akan siap mencegah. Tepat di belakang rumah Ailyn, berdekatan dengan dapur Indah. Akan mudah bagi wanita penggosip itu untuk ikut campur. “Heh! Kau pikir semudah itu bertemu orang yang sudah mati? Kau p
Alex berlari menaiki tangga. Tenaganya yang masih kuat dan tubuhnya yang sehat bugar, memudahkannya bergerak. “Kiran!” panggilnya, cukup lunak. Entah ke mana anaknya berlari, ia tak sempat melihatnya tadi. Takut sampai Kiran memberi tahu Marina, buru-buru ia memasuki kamar. “Kiran, Sayang.” Pandangannya memerhatikan seluruh isi kamar. Tampak Marina memeriksa koper suaminya. “Mas, kenapa kau menyiapkan koper sekarang? Bukannya kau ke Bangladesh lusa?” tanyanya. Alex menelan ludah, perlahan mendekati sang istri yang tampak bingung dan ingin mengetahui segera. “Begini, Sayang. Aku pikir, akan lebih baik kalau aku berangkat hari ini. Lagi pula, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di perjalanan, kan?” Alex mengelus punggung istrinya, mengecup pelan. Harus ekstra hati-hati dalam berbicara, atau semua akan berakhir fatal. “Untuk apa kau ke sana? Mengirim barang lagi? Bukannya kau sering menyuruh