“Jelaskan semuanya padaku, Ailyn. Kenapa kau bisa terluka? Siapa yang melakukan ini? Om Alex itu?”
Karan memberondong dengan berbagai pertanyaan. Mengingat semalam ia bertengkar dengan ayah tirinya itu, Karan yakin dialah pelakunya.“Banyak sekali pertanyaanmu.” Ailyn menatap sinis. Ia tak memerhatikan Jovan yang sesekali melirik dari kaca spion.“Aku cemas.” Karan menggenggam tangan itu dengan lembut.“Tidak perlu seperti ini.” Aliyn menarik tangannya perlahan.Bisa copot jantungnya kalau tangan itu terus digenggam. Debaran yang ia rasakan terasa menyulitkannya untuk bernapas.“Kemarin saat aku diantar pulang sopirmu, aku melihat banyak daging buah semangka bertaburan, jadi aku mengikutinya.”Ailyn pun menceritakan tentang apa yang terjadi padanya hingga berakhir di rumah sakit dan dijaga Alex. Ia juga tak menyangka ayahnya akan tega melakukan itu.“Makanya, aku ingin segera membantumu. Namun .... “ KAilyn sampai di depan perusahaan. Ia bergegas masuk, melewati beberapa orang yang langsung menatapnya penasaran. “Tuan!” panggilnya saat Geri baru saja keluar. “Kau dari mana? Kok lama sekali? Eh?” Geri terkejut melihat wanita itu dibalut perban. “Kecelakaan, Tuan. Sedikit luka, jangan khawatir.” Ailyn berusaha terlihat kuat. Ia menampilkan senyum termanis. “Ya ampun! Kenapa kau ke sini kalau terluka?” Geri menarik tangannya agar duduk. Hal itu menjadi pusat perhatian para calon model yang menunggu sejak tadi. “Aku tidak selemah itu. Hari ini ada syuting? Aku rasa, tidak bisa kalau seperti ini.” Ailyn meringis. Tentu tidak akan bisa syuting dengan kepala diperban. “Tidak masalah. Tuan Muda juga belum memeriksa para model. Kau istirahat saja sana. Besok baru kerja.” Geri menyentuh dagu Ailyn, memeriksa layaknya dokter. “Tidak!” Ailyn berteriak, membuat Geri terkejut. “Ah, maksudku ... aku tidak mau semakin le
Sesaat suasana sepi menyelimuti. Tak ada yang bicara. Baik Alex ataupun Ailyn, keduanya membisu, sampai Alex memulai pembicaraan lebih dulu. “Bagaimana harimu? Kalau kau tak kabur, pasti sekarang kau sudah istirahat,” kata Alex, melirik dari kaca spion. Sebisa mungkin dia akan bersikap baik. Walau hanya sekadar bicara, ia merasa aneh. Tiba-tiba bicara sopan pada wanita yang sangat diinginkan adalah hal aneh baginya. “Biasa saja,” jawab Ailyn. Ia menoleh ke kanan dan kiri, mengawasi jalanan. Yakin kalau ia menuju ke arah rumahnya, Ailyn menghela napas lega. “Jangan berpikir negatif. Aku benar-benar akan mengantarmu pulang. Oh, ya. Kau ... sungguh punya pacar?” Alex bicara seperti bicara pada anak sendiri. Mencari tahu informasi dengan cara halus adalah rencananya. Ailyn sukar diajak kompromi. Jadi, Alex menggunakan cara lain untuk mengatasinya. “Tentu. Makanya, berhenti mengejarku.” Ailyn ingin sekali memaki, tapi ia m
"Ayo, jangan takut. Kau akan sering datang ke sini setelah kita menikah nanti.” Alex berjalan lebih dulu, membiarkan Ailyn mengikuti dengan langkah ketakutan. Hutan ini belum pernah ia kunjungi. Selain seram karena gelap di beberapa sisi, tempat itu adalah markas besar ketua mafia. “Gandhi!” panggil Alex. Gandhi yang keluar membawa tas besar mendekat. Keduanya saling berbisik-bisik, menambah kecurigaan. “Ayolah, Karan! Aku takut. Kau di mana?” Ponsel yang masih dalam keadaan tersambung, membuat Ailyn masih bisa berkomunikasi dengan Karan. “Aku sudah dekat. Tunggu sebentar lagi. Pokoknya, jangan matikan teleponnya.” Ailyn mengangguk, lalu memasukkan ponsel ke dalam bra. Ia sendiri tak tahu kenapa melakukannya. Alih-alih menyembunyikannya di dalam saku atau tas, malah bra yang jadi pilihan. “Ayo, kau butuh istirahat. Ini sudah malam. Pacarmu mungkin akan terlambat. Bisa jadi dia akan tersesat.” Alex mempersilakannya mas
Karan mengintai dari balik tiang besar. Dapat dipastikan yang berjaga lebih dari 20 orang. Mansion yang cukup besar. “Entah di mana Ailyn, aku harus mencarinya.” Karan mengendap-endap melewati pot besar di sisi kanan mansion menuju ke arah samping. Dilihatnya pintu dari kayu. “Apa itu jalan menuju ke bagian belakang?” Karan bertanya pada diri sendiri. Jika diperhatikan baik-baik, sisi dekat pintu sangat gelap. Yakin akan berhasil, Karan melompati batu dan berguling di rerumputan bak adegan aksi dalam film. “Hup!” Karan melompat ke balik batu saat melihat penjaga melintas. Sekelebat bayangan penjaga itu kini lenyap. “Aku harus masuk.” Karan membuka sabuk celana, lantas melilitkannya pada tangan. Jika ada serangan mendadak, dia bisa mengantisipasi. Dicobanya membuka pintu yang ternyata tak dikunci. “Mereka sepertinya tahu rencanaku. Tak masalah. Aku akan lebih berhati-hati.” Segera ia memasuki mansion. Ruanga
“Karan?” Ailyn mengernyitkan dahi, bingung dengan situasi ini. Ditambah Gandhi muncul dengan dibantu anak buahnya, membuat Ailyn semakin tak paham. “Kau ... memanggil Karan dengan sebutan ‘Nak’? Kalian saling kenal? Atau .... ” Ailyn menurunkan high heel dan memakainya lagi. Pria yang ia pukul dengan high heel pula mendekat. Kini mereka memerhatikan Karan dan Alex bergantian. “Ay, sebenarnya .... “ Karan hendak mendekat, tapi Gandhi berdiri di depannya dengan kaki ditekuk-berdiri dengan satu kaki bertumpu. “Tentu saja aku memanggilnya seperti itu. Dia kan masih muda. Masa iya, aku akan memanggil dia Kakak?” Alex terkekeh, menyembunyikan sebenarnya. Kalau dia mengungkapkan jati diri sekarang, yang ada rencana bisa kacau. Karan malah akan mendapatkan simpati Ailyn, sedangkan dia kian dibenci. “Oh.” Ailyn mengurut dada. Pikirannya tadi sudah negatif. Tak jauh berbeda dengan Ailyn, Karan menghela napas panjang. Aman semen
Mobil yang Karan kendarai berhenti di depan rumah Ailyn yang sepi. Saat memeriksa arloji, ternyata sudah pukul 01.15. “Mampirlah sebentar. Aku akan mengobati lukamu,” kata Ailyn, membuka pintu mobil. “Ayahmu? Dia pasti marah melihat kita pulang bersama.” Karan ikut keluar, bersamaan dengan Jovan sampai. “Dia pasti di tempat judi, jangan risau.” Ailyn melangkah menuju ke pintu, diikuti dua pria tampan di belakangnya. Ailyn membuka pintu yang ternyata tak dikunci. Kepalanya yang berdenyut keras sejak dibawa ke mansion, mendadak terasa sembuh. Bukan karena sudah tak lagi sakit, tapi ketegangan yang ia rasakan sejak tadi membuatnya tak memikirkan sakit lagi. “Duduklah! Aku akan mengambi minuman dan kotak P3K.” Ailyn meletakkan ponsel Karan di atas meja, lantas memasuki dapur. Karan dan Jovan kompak duduk. Keduanya memerhatikan rumah sederhana nan minimalis itu. “Tuan baik-baik saja? Maaf, saya tidak
Ailyn membuka pintu rumah. Sudah tak heran dengan kebiasaan di mana kalau bukan tengah malam, maka ia harus membukakan pintu untuk Mohan pagi-pagi sekali. “Anak sialan! Tak tahu diuntung! Malah memilih pria tak jelas!” Mohan memasuki rumah sambil mengomel. “Aku sudah tak peduli dengan apa yang akan Ayah katakan,” balas Ailyn, memasuki kamar. Dibiarkannya Mohan menuju ke dapur. Pria itu menyingkap tudung saji, lalu berdecak kesal. “Mana makanannya, Ailyn? Kenapa kau tidak masak?” Mohan memekik, membuat Ailyn hanya menggerakkan bibir. “Aku tidak lapar, sekaligus malas memasak,” jawabnya. Beberapa pakaian di dalam lemari diperhatikan. Tak tahu akan ada pemotretan atau tidak, tapi dia bersiap-siap. Mendengar jawaban sang anak, Mohan kian emosi. Kini ia melangkah menuju ke kamar Ailyn. “Tidak lapar, katamu? Kau pikir hanya kau yang butuh makan? Saat kau tidak lapar, kau seenaknya tidak masak, begitu?” “Kalau Aya
Alex memasuki rumah dengan pakaian santai. Sejak semalam, tidurnya terganggu. Ia berniat untuk beristirahat di kamar. Ketika pintu kamar dibuka, terlihat Marina tengah merapikan seprai. “Sayang, kau sudah sehat?” Alex bertanya. Marina menoleh, bergumam. Tangannya cekatan merapikan kasur dan meletakkan vas berisi bunga segar di atas nakas. “Mas sudah makan?” tanyanya, membiarkan sang suami mengecup kening. “Sudah. Tadi aku mengantar Gandhi untuk memeriksakan kesehatan, lalu makan di jalan menuju ke sini,” kata Alex. “Loh? Gandhi sakit apa?” Marina duduk di tepi ranjang, membiarkan sang suami mengusap rambutnya dengan mesra. “Kena tembak berandalan, semalam,” jawab Alex. Mustahil dia mengatakan Karan yang sudah menembaknya. Padahal dia sudah melarang semua anak buah untuk melukai anak tirinya karena takut ketahuan Marina, malah Karan yang tega menyakiti. “Tapi, Mas baik-baik saja, kan? Aku khawatir