Share

Dijodohkan Dengan Petani Tampan
Dijodohkan Dengan Petani Tampan
Penulis: Teteh VSuga93

Bab. 1 Dijodohkan

Suasana hangat di ruang keluarga yang begitu megah, di sertai dengan alunan musik klasik menambahkan hangatnya keluargaku yang sedang bersantai di sore itu.

Aku Silvia Kirana Prayoga, biasa dipanggil dengan sebutan Via. Aku putri satu-satunya dari Aditama Prayoga. Ayahku merupakan pengusaha sukses di bidang property dan konstruksi di Ibu Kota Jakarta. Cabang perusahaannya pun tersebar di beberapa kota besar di Indonesia.

Aku terpaksa menikah dengan pria pilihan ayahku. Dia Azka Dharma Ardiansyah, anak mendiang sahabat ayahku yang merupakan seorang petani di desanya.

* * *

“Ayah mau kamu menikah dengan Azka. Anak sahabat ayah, yaitu pak Dharma,” ucap Ayahku, dan seketika membuatku terkejut.

Dengan mataku terbelalak sempurna menatapnya. Ada rasa tidak percaya dengan apa yang aku dengar darinya.

Karena tidak ada hujan ataupun petir, tiba-tiba saja ayahku menjodohkan aku dengan anak dari sahabatnya. Yang seingatku teman ayah yang bernama pak Dharma itu adalah orang kampung, petani. Dan aku pernah bertemu dengannya sebelumnya, dia sangat kampungan sekali, dekil, dan juga hitam.

Jadi, saat ayahku menyuruhku untuk menikah dengan anak dari sahabatnya itu, jelas aku sangat terkejut mendengarnya. Bagaimana bisa aku harus menikahi anak pak Dharma? Yang hanya seorang petani kampung. Dan sudah jelas, buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Jika ayahnya saja hitam, dekil, dan kampungan, sudah pasti anaknya juga sama seperti ayahnya. Begitu pikirku.

Dan lagi pula, aku masih belum siap untuk melepas masa lajangku. Karena aku masih ingin menikmati hidup bersama teman-temanku. Apalagi ini adalah tahun pertama aku lulus kuliah. Tentu aku tidak ingin terburu-buru untuk menikah tanpa menikmati masa kebebasanku dari rumitnya dunia pendidikan yang selama ini aku jalani.

“Aku tidak bisa ayah. Aku tidak mau menikah dengannya!” tolakku tegas.

Sudah sangat jelas kalau aku akan menolak perjodohan yang di tentukan oleh ayahku. Karena menjadi seorang istri di usiaku yang masih 21 tahun ini, jelas itu sangat bertentangan dengan motto dari kehidupanku selama ini.

“Kau tidak bisa menolak Silvia. Kau harus tetap menikah dengan Azka!” tegas Ayahku bersikeras dengan kehendaknya.

“Ayah, aku mohon. Ayah tidak bisa memaksaku seperti ini. Memaksaku menikahi pria yang bukan pilihanku,” tolakku kembali tak mau kalah sambil memohon ke padanya.

“Kau jangan keras kepala Via! Karena Ayah sudah menentukan hari pernikahan kalian. Dan pernikahan itu akan di langsungkan minggu depan!” seru Ayah kembali menegaskan keputusannya.

Suasana menjadi tegang seketika, saat ayah bersikeras dengan keputusannya. Dan aku bersikeras dengan penolakanku.

Ibuku, Shella Ariani, dia ikut tegang dengan perdebatan aku dengan ayahku. Beberapa kali Ibuku berusaha untuk membuatku tenang, agar aku tidak terlalu membantah keputusan Ayahku. Tetapi aku tetap menolaknya, dan aku justru pergi dari ruangan keluarga tempat di mana kami biasa bercengkerama satu sama lain untuk sekadar menghangat momen-momen keluarga kami, yang memang jarang sekali ada waktu untuk berkumpul bersama-sama.

Tak terasa air mataku luruh begitu saja di sela-sela langkah kakiku yang cepat menaiki anak tangga satu demi satu ke lantai dua rumah kami. Aku memasuki kamarku, lalu aku bantingkan pintu sekeras mungkin untuk menutupnya kembali, hingga menimbulkan suara dentuman keras yang memekik telinga.

Aku langsung membantingkan tubuhku ke atas tempat tidur, lalu menenggelamkan wajahku pada bantal. Dan tangisan ku makin menjadi di dalamnya.

“Ting....”

Sebuah bunyi notifikasi di layar ponselku. Dengan cepat aku meraih ponselku dan membaca pesan masuk yang ku dapati. Sejenak aku menghela napasku dengan berat, sambil menyeka air mataku dengan kasar untuk menghentikan isak tangisku.

[Via, besok kita kumpul di tempat biasa. Kau jangan lupa datang ya!]

[Tentu, aku pasti akan datang. Kalau perlu, aku tidak akan kembali lagi ke rumah!]

Baru saja aku membalas pesan dari sahabatku Aretha. Tiba-tiba saja dia langsung balik meneleponku. Dan aku segera menjawab panggilan teleponnya

“Apa yang kau maksud Via? Kau tidak mau kembali ke rumah?” cecarnya kepadaku.

“Hmm ... aku akan dijodohkan ayahku dengan pria pilihannya.”

“Dan kau tahu siapa pria itu? Dia adalah seorang petani kampung. Jelas aku tidak bisa menerimanya,” jelasku pada Aretha.

“Apa kau pernah bertemu dengan pria itu?” tanya Aretha kembali.

“Tidak! Aku tidak pernah bertemu dengannya. Bahkan aku tidak ingin bertemu dengannya,” tukasku.

“Seharusnya, kau coba saja temui dia dahulu. Siapa tahu, dia justru pria yang sangat tampan seperti Farhan,” usulnya berusaha untuk membujukku.

“Memangnya apa yang kau harapkan dari seorang petani kampung Aretha? Seingatku, ayahnya saja kampungan, dekil, hitam, dia sangat menjijikkan. Dan pasti anaknya tidak jauh berbeda dengan ayahnya!” seruku dengan perasaan kesal.

“Baiklah ... terserah kau saja Via,” balasnya pasrah.

* * *

Keesokan hari.

Aku terburu-buru menuruni anak tangga, sebelum terpergok oleh ayahku yang nantinya akan banyak bertanya ke mana aku akan pergi.

“Silvia ... kau mau ke mana?”

Langkah kaki yang baru saja tiba di anak tangga yang terakhir seketika terhenti. “Via mau pergi,” jawabku sambil menoleh pada Ibuku yang berdiri tak jauh dari tangga rumah kami.

“Kau lupa? Kalau hari ini kau harus menemui calon suami mu Via!” seru ibuku mengingatkan aku kembali akan perjodohan yang di tetapkan oleh ayahku.

“Via hanya pergi sebentar Bu, tidak akan lama. Via janji,” balasku berbohong.

“Baiklah, tetapi usahakan nanti sore sudah pulang. Karena Azka dengan Ibunya akan datang ke sini. Dan kau mempersiapkan dirimu dengan baik terlebih dahulu, sebelum kau menemui mereka,” peringat Ibu.

Aku mengangguk cepat untuk mengiyakan. Lalu bergegas pergi agar cepat terbebas dari rumah, supaya bisa menghindari pertemuanku dengan calon suami yang dijodohkan ayah untukku.

Aku mempercepat langkah kakiku menuju tempat mobilku terparkir. Masuk ke dalamnya, lalu mulai menjalankan laju mobil yang aku kemudikan sendiri untuk keluar dari halaman rumah kami.

“Cekit....”

“Braak....”

Aku menabrak mobil di depanku.

Aku yang tidak terlalu fokus pada laju kendaraan yang aku kendarai. Hingga tanpa sengaja, aku justru menabrak mobil yang ada di depanku dia saat kami mengantre di pom bensin untuk mengisi bahan bakar.

“Turun!” seru seorang pria tinggi yang turun dari mobil yang aku tabrak itu.

Aku yang masih terkejut dengan kejadian itu, hanya diam terpaku menatap mobil yang aku tabrak dengan jantungku yang berdegup begitu kencang.

“Ayo, turun!” serunya lagi sambil menggedor kaca mobilku.

Seketika aku terkesiap, dan langsung menoleh ke samping menatap pria itu dengan terkejut.

“I--iya....”

Aku yang merasa panik, bergegas untuk turun keluar dari dalam mobilku. Aku meneguk salivaku sendiri, karena perasaan takut pria yang mobilnya aku tabrak. Takut kalau pria itu akan memarahiku.

"Kenapa kau menabrak mobilku dalam keadaan diam? Apa kau butuh kacamata agar bisa membantu penglihatanmu yang terganggu itu?! Ah, jangan-jangan kau buta warna," protesnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status