Share

Bab. 4 Di Abaikan

"Ah, bukankah dia pria yang kemarin?" batinku saat aku kembali teringat kejadian kemarin

Aku langsung teringat kejadian yang kemari, di mana aku secara tidak sengaja menabarak mobilnya.

Ayah dan ibuku mata mereka mengikuti ke mana arahu melihat. Baik ayah maupun ibu, mereka berdua langsung mengulas senyuman lebar saat pelihan pria yang berdiri di depan pintu kamar itu.

“Kemari, masuklah Azka. Ini dia istrimu, Silvia,” ujar Ayahku kepada pria yang dia panggil Azka.

Aku tersentak kaget mendengarnya. Mataku terbelalak, menatap dengan rasa tidak percaya atas apa yang baru saja di katakan oleh ayahku.

“Di--dia ... su--suamiku?” tanyaku terbata-bata.

“Ya Tuhan ... bagaimana ini bisa pria itu adalah suamiku? Bukankah dia anak dari teman ayahku yang seorang petani? Seingatku ayahnya saja sangat dekil dan kampungan, tapi ini?” batinku seketika berisik dengan berbagai pertanyaan yang bercamuk.

Aku masih tidak menyangka, kalau ternyata pria yang di nikahkan ayah denganku itu adalah pria yang sangat tampan. Dan ternyata, dia tidak seburuk perkiraan ku.

Bahkan dia jauh lebih baik dari dugaan ku, dia sangat tampan, apalagi dia sama sekali tidak terlihat kampungan sama sekali.

Suasana menjadi terasa canggung untukku. Aku memalingkan pandanganku dari pria itu agar tidak melihatnya. Ada perasaan malu, karena aku kembali mengingat bagaimana kami bertemu kemarin.

"Ternyata kau Silvia, gadis yang waktu itu menabrak mobilku. Dan sekarang kau menjadi Istriku." ucapnya begitu datar, tetapi tatapan justru mengamati dari ujung kepala hingga ujung kakiku.

Aku terdiam tidak menjawab. Karena memang benar apa yang di katakan pria itu. Aku hanya berpaling, untuk menghindarinya.

“Jadi, kalian pernah bertemu sebelumnya?” tanya Ayahku yang ikut merasa penasaran.

“Iya, kami bertemu di tempat pengisian bahan bakar kemarin. Dia tidak berhati-hati, jadi dia menabrak mobilku kemarin,” jelas pria itu, yang membuatku kembali meneguk saliviku sendiri sambil meremas tanganku.

Ada perasaan kesal bercampur dengan rasa malu, namun masih tetap aku tahan.

“Ah, jadi begitu. Baiklah, kau maafkan saja Silvia ya. Karena mulai hari ini kalian sudah resmi menjadi suami istri, jadi sebaiknya kalian mulai untuk saling mengenal satu sama lain, agar hubungan kalian dapat berjalan dengan baik ke depannya,” imbuh Ayahku dengan begitu entengnya.

Aku memutar mataku malas, di susul dengan helaan napasku pasrah. Sudut mataku kembali melirik pada pria yang bernama Azka. Azka, dia adalah suamiku.

Sejujurnya aku masih merasa bingung. Apa aku harus menolak? Atau menerima pernikahan ini? Pria itu memang tidak seburuk perkiraan ku sebelumnya, tapi dia sama sekali tidak terlihat ramah. Sedari pertama kalinya kita bertemu, sikapnya masih tetap dingin, begitu juga dengan tatapannya. Rasanya kesal sekali, setiap kali dia menatapku dengan tatapan dingin seperti itu.

“Kalau begitu, nanti kalian turun ya. Karena kita akan makan siang bersama sebagai sebuah keluarga,” pungkas Ayahku dengan ulasan senyum bahagia tergurat di wajahnya.

“Via, bersikaplah dengan baik kepada Azka. Karena kalian sekarang sudah menjadi suami-istri,” pesan Ibuku dengan garis senyum yang sama seperti Ayahku.

Lalu mereka pergi meninggalkan kami berdua di kamarku, menjadikan suasana di kamarku makin terasa canggung. Bahkan, mereka dengan sengaja menutup pintu kamarku rapat-rapat, untuk memberikan kami berdua privasi.

Perasaanku yang terasa beitu canggung, sampai aku sendiri bingung harus bagaimana. Aku pun memutuskan untuk duduk di tepian tempat tidurku, dan bertingkah seolah kehadirannya sama sekali tidak menggangguku.

Meskipun sesekali aku mencuri-curi pandang kepadanya. Padanganku ikut mengamatinya dari atas hingga bawah, tidak satu bagianpun yang luput dari penglihatanku.

Dia sama sekali jauh berbeda dengan ayahnya, bahkan hampir tidak mirip sama sekali. Apa dia sungguh benar putranya pak Dharma? Ah, bisa jadi dia memang lebih mirip dengan ibunya. Siapa tahu, ibunya memang sama cantiknya sepertiku, yang akhirnya melahirkan anak laki-laki setampan dia.

“Aarrh ... apa yang kau pikiran ini Silvia?” gerutuku dalam hati, menepis pikiranku tentang pria yang masih berdiri bagai patung itu.

Dia mengamati setiap sudut ruangan kamarku tanpa berkata apapun.

“Apa kau tidak pegal? Hanya berdiri saja sedari tadi?” tanyaku dengan ketus.

Pandangannya langsung beralih menatapku, dia masih diam tidak menbalas, dan lagi-lagi sikapnya itu justru membuatku kesal. Aku yang terbiasa selalu di perhatikan leh orang-orang di sekitarku, jelas tidak terbiasa dengan sikapnya yang terkesan acuh tak acuh kepadaku.

“Aku akan mandi dulu,” ucapnya yang akhirnya angkat suara.

“Untuk apa?” tanyaku mengernyitkan dahi.

Dia menghela napasnya, lalu menatapku dalam-dalam.

“Ayahmu menyuruhku menikahimu pagi-pagi sekali, bahkan aku tidak di berikan kesempatan untuk mandi sama sekali. Jadi saat ini tubuhku terasa tidak nyaman, dan aku harus segera mandi,” jelasnya di susul kembali dengan menghela napasnya.

Aku langsung mengulum senyum, menahan rasa ingin mentertawakannya. Bagaiman bisa, dia menikahi seorang gadis sepagi itu?

“Ayah, kau benar-benar niat sekali untuk menikahkan kami,”batinku berusaha menahan senyumku agar tidak terlihat.

“Ambilkan pakaianku di bawahnya,” perintahnya padaku dengan santai.

“Apa? Kau menyuruhku?!” tanyaku memekik.

Aku menatap sempurna padanya, sambil menunjuk diriku sendiri.

“Apa kau pikir, aku ini pelayanmu hah?!” pekikku kembali, yang jelas keberatan dengan perintahnya.

“Apa aku ada mengatakan kalau kau ini pelayanku? Aku hanya memintamu untuk mengambilkan pakaianku, karena kau istriku. Apa kau akan membiarkan pakaian dalamku di siapkan oleh pelayan?!”

Perkataannya begitu seenaknya, aku semakin kesal mendengarnya. Dia memang tidak sejelek dan sedekil yag ku bayangkan. Tapi sikapnya jauh lebih menyebalkan dari perkiraanku.

Aku bangkit sambil mendengus kesal. Lalu berteriak memanggil pelayan di rumah kami.

“Ambilkan tas pakaian pria ini di bawah!” perintahku pada pelayan, dengan jariku yang menunjuk pria menyebalkan yang berdiri santai di kamarku.

“Baik Nona,” jawab pelayan itu yang langsung menuruti perintahku.

Lalu dia pun berlalu pergi untuk mengambilkan tas pakaian pria menyebalkan itu.

“Apa hanya aku istrimu, jadi kau bebas memerintahku hah?!”

“ Aku peringatkan ya. Kau tidak bisa menguasaiku, hanya karena aku ini istrimu!” bentakku memperingatkan.

“Lakukan saja semua yang seharusnya, jangan banyak membantah. Kau istriku, dan aku suamimu! Jadi sebaiknya kau menurut saja!” sergahnya penuh penegasan.

“Kau!” berangku semakin tersulut emosi.

Namun lagi-lagi dia bersikap acuh tak acuh kepadaku. Dia berlalu pergi begitu saja menuju kamar mandi.

Aku semakin kesal, dan berpikir kalau kami memang bukanlah pasangan yang cocok. Karena aku yang terbiasa di perhatikan, sama sekali tidak bisa di perlakukan seperti ini olehnya.

Tidak berselang lama pelayanku datang dengan satu tas jinjing di tangan kanannya.

“Letakan saja di sini,” perintahku sambil menunjuk ke atas kasur.

“Baik Nona,” balasnya sambil mengangguk patuh.

Dia berjalan untuk meletakan tas milik pria itu, lalu pergi kembali setelah meletakannya.

Aku memaksa diriku sendiri untuk bangkit, dan membuka isi tas pria itu dengan suasana hatiku yang masih terasa kesal. Aku mengeluarkan satu persatu pakaiannya dari dalam tas. Dan memilih-milih pakaian mana yang harus di kenakan olehnya.

Pria itu tidak membawa banyak pakaian, mungkin karena dia bisa membelinya di sini jika ini kurang. Apalagi dia tidak semiskin dugaanku. Sekalipun ayahnya petani, dia terlihat cukup kaya.

Gerak tanganku seketika berhenti dan diam sejenak untuk berpikir. “Kenapa aku tidak bertanya saja kepada ayah?” batinku.

“Ah, iya ... aku sebaiknya bertanya pada ayahku tentang dia,” tukasku dan langsung pergi keluar kamar untuk menemui ayah dan ibuku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status