Share

Bab. 5 Di Paksa Ikut Ke Desa

“Ayah, jelaskan kepadaku tentang pria itu, pria yang kau nikahkan denganku,” pintaku pada ayah.

Aku yang langsung menemui ayah dan ibuku untuk bertanya mengenai suamiku. Karena tidak ada salahnya juga, kalau aku harus mengetahui tentangnya.

"Kenapa? Apa kau mulai penasaran kepada suamimu sendiri?" tanya Ayahku balik menyindir, disertai lirikan tipis dari sudut matanya kepadaku.

"Apa aku punya pilihan lain Ayah? Selain dari menerimanya?" tanyaku balik dengan sinis.

Ayahku langsung terkekeh mendengarku, dia berbalik menatapku dalam-dalam.

"Silvia, dia Azka Dharma Ardiasyah. Anak dari sahabat ayah yang sebulan lalu meninggal, kau ingat?"

Ayahku memulai penjelasannya, "Sama seperti ayah, dia juga memegang kuat amanah mendiang ayahnya. Itu sebabnya dia mau menikahimu, tanpa berkomentar apa pun. Dia pria yang sangat baik seperti Dharma ayahnya. Ya ... memang, dia sama sekali tidak mirip Dharma. Dia lebih mirip dengan Nissa ibunya. Dan Ayah tahu, kenapa kamu menolak keras untuk menikah dengannya, karena kamu membayangkan sosok Dharma, kan?"

Aku tercekat dan diam saat ayah mengatakan itu, lalu menunduk sebagai tanda aku mengakuinya.

"Kau tenang saja Via. Sekalipun keluarganya adalah keluarga petani, tidak akan pernah kekurangan sesuatu apa pun, sama halnya kamu dengan di sini. Keluarga Dharma adalah keluarga yang berkecukupan, hanya saja memang bidang bisnis mereka di pertanian. Tidak seperti ayah," lanjutnya kembali seraya mengukir garis senyum yang begitu tulus.

Akhirnya aku kembali mendapatkan sosok Ayahku. Ayah yang selalu memanjakan aku, dan menyayangiku setelah beberapa hari terakhir perdebatan kami karena perjodohan ini.

"Kau tidak perlu khawatir Nak, ayah tidak akan pernah menjodohkan kamu dengan sembarang pria. Kau pikir, aku ini Ayah macam apa, yang akan menikahkan putri kesayangannya dengan sembarang pria?"

Ulasan senyumku semakin meluas saat mendengar apa yang ayahku katakan. Sepertinya memang iya, aku tidak perlu merasa khawatir. Karena selama bersama dengan ayahku, aku disini akan baik-baik saja sekalipun aku bersuamikan pria dingin seperti Azka. Begitu pikirku.

"Cepatlah, sebaiknya kau bersiap. Karena kita akan makan siang bersama sebagai sebuah keluarga baru, sebelum kau pergi," ucap Ayah padaku.

Aku terhenyak mendengarnya "Apa maksudmu Ayah?!" tanyaku kembali memekik saking terkejutnya.

"Iya, karena hari ini adalah hari terakhirmu tinggal di sini. Nanti sore, kau akan ikut tinggal di rumah suamimu di Pangalengan," jawabnya menjelaskan.

"Apa?! Tidak, aku tidak mau ayah! Aku mau tinggal di sini. Aku tidak mau ikut dengannya!" tolak ku memekik keras.

Aku tidak mau, jika harus ikut tinggal di pedesaan dengan suamiku. Entah bagaimana hidupku di sana nanti? Sekalipun suamiku orang yang berkecukupan, tapi tetap saja, yang namanya tinggal di pedesaan itu akan sangat menyulitkan ku.

Di sana aku akan sulit untuk bertemu dengan teman-temanku, shopping ke mall, ke salon, dan bersenang-senang menikmati hidup.

Sementara, kalau aku ikut tinggal di pedesaan, sudah jelas di sana akan sulit aku mendapatkan suasana ramainya kota.

"Kalau dia mau kembali ke desa, maka kembalilah sendiri. Kenapa harus membawaku?" aku terang-terangan kembali membantah Ayahku.

"Karena kau adalah istrinya. Seorang istri harus ikut kemanapun suaminya pergi. Jadi menuruti suami adalah kewajiban Via, dan berhenti membantah!" sergah ayahku kembali menegaskan.

"Ayah!" pekik ku menjerit keras.

"Silvia!" Ayahku berbalik membentak ku, hingga membuatku kembali tersentak.

Air mataku mulai menggenang. Rasa ingin menangis menyeruak begitu saja. Karena lagi-lagi ayah membentak ku.

"Kau harus berhenti membantah! Menurut saja apa susahnya memang?!" sentak Ayahku kembali.

Membuat airmata ku tidak tertahan lagi, hingga akhirnya luruh begitu saja membanjiri wajahku.

Aku yang begitu kesal pada Ayah, langsung bangkit dan pergi meninggalkannya sambil berdecak kesal.

Aku berlarian menuju ke kamarku sambil menangis. Ayah terlalu kejam pada aku putrinya. Dia yang sekejap bersikap baik, tapi juga sekejap sering kali bersikap begitu kejam. Ya, aku harusnya tahu, karena memang sipat ayah yang seperti itu. Dia memang orangnya mudah sekali marah, namun dia ayah yang baik dan penyayang.

Aku memasuki kembali kamarku sambil menangis. Namun, aku justru di kejutkan dengan penampakan Azka yang setengah bertelanjang dada.

"Aaaaaa...."

jeritku melengking saat melihat pemandangan meresahkan itu. Aku langsung saja menutupi wajahku dengan telapak tangan, supaya tidak melihatnya.

"Kenapa kau terkejut seperti itu? Bukankah aku ini suamimu?" tanyanya begitu santai.

"Jelas saja aku terkejut, karena aku tidak terbiasa mendapati seorang pria berada di kamarku!" tampik ku.

"Sudah, berhentilah membuat drama. Sebaiknya kau cepat bersiap, karena kita akan segera pulang ke rumahku!" tukasnya tegas.

"Aku tidak mau! Aku tidak mau ikut. Jika kau mau kembali ke tempatmu, kembali saja sendiri!" tolak ku membantahnya.

"Kau harus ikut! Jangan menolak ku Silvia! Aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni sikap manja mu itu. Karena pekerjaanku menumpuk saat aku tinggal ke sini. Belum lagi, ibuku saat ini menunggu aku jemput!" Dia kembali menegaskan padaku, dan seolah mendominasi ku, kalau dia sama sekali tidak bisa di bantah.

"Apa kau akan terus mendominasi ku seperti ini? Hanya karena aku ini sekarang adalah istrimu?!" bantahku kembali, kali ini seolah aku sedang menantangnya.

Dia terlihat menghela napas kasar, raut wajahnya semakin tegas, dengan rahang yang mengeras menahan gemeretak giginya.

Jelas saat ini dia sedang merasa geram padaku. Namun dia masih berusaha kuat untuk menahannya.

Aku benar-benar tidak bisa di perlakukan seperti ini olehnya. Apalagi di paksa untuk tetap ikut bersamanya. Karena tidak pernah terbayangkan sekalipun aku harus hidup jauh dari orang tuaku selama ini.

Maka dari itu, aku bahkan tidak pernah mau untuk berkuliah di luar negeri. Karena tidak bisa jauh dari keluargaku.

Aku memang terkenal anak mereka yang begitu manja, karena ayah dan ibu selalu memanjakan ku. Meskipun memang, terkadang ayahku sering kali mudah marah. Tapi dia sebenarnya sangat menyayangi aku.

Dan apa ini? Aku justru di pasangkan dengan pria dingin, acuh tak acuh padaku. Di tambah dia berusaha untuk mendominasiku, hanya karena aku ini sudah menjadi istrinya.

"Kau ikut saja denganku. Karena jika tidak, ayahmu sendiri yang akan memaksamu. Kau ingat? Bagiamana kerasnya kau menolak perjodohan kita?" bisiknya menekan ku sambil mendekatkan wajahnya padaku.

"Tapi apa yang ayahmu lakukan? Dia menjadikan kita pasangan suami-istri hanya dengan satu malam. Dan jika kau menolaknya lagi, bisa saja dia mengikatmu sekarang, dan memasukan mu ke dalam bagasi mobilku untuk di bawa oleh ku pulang ke rumah," tekannya kepaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status