Share

Bab. 3 Menolak Untuk Menerima

“mengapa rumah begitu sepi? Ke mana ayah dan ibu pergi?” batinku bertanya-tanya.

karena pada saat aku keluar dari kamarku, mendapati keadaan rumah yang begitu sepi tidak seperti biasanya. lalu pandanganku mulai menelusur ke sekeliling untuk mencari keberadaan ayah dan ibuku.

Aku hanya melihat pelayan di rumah kami sedang mengerjakan tugasnya. Lalu aku menghampirinya untuk bertanya.

“Ayah dan ibu ke mana?” tanyaku pada pelayan itu.

“Ah, Nona ... Nona ternyata sudah bangun. Mari Nona, Anda harus segera bersiap,” ajak pelayan itu kepadaku.

Dia bukannya menjawab pertanyaanku, justru malah mengajakku untuk bersiap. Aku mengernyitkan dahiku, tak mengerti mengapa pelayan ini justru mengajakku untuk bersiap. Untuk apa?

“Apa yang kau maksudmu? Untuk apa aku bersiap?” tanyaku bingung.

“Iya Nona, Nona harus segera bersiap. Karena sebentar lagi Tuan dan Nyonya akan pulang bersama dengan suami Nona,” jawabnya sambil tersenyum simpul, disertai anggukan kepala perlahan penuh dengan rasa hormat kepadaku.

“Su--suami?!” aku tersentak kaget mendengar apa yang baru saja di katakan olehnya.

“Mari Nona,” ajaknya kembali dengan begitu ramah.

Lalu aku di giring olehnya untuk kembali memasuki kamar. Beberapa pelayan menyusul masuk ke kamarku, untuk membantuku bersiap-siap. Sesaat aku diam dan menurut saja, karena memang aku masih berusaha mencerna situasinya.

“Apa maksud kalian dengan suamiku?!” tanyaku bingung sambil membentak mereka para pelayan di rumahku.

Aku baru tersadar setelah beberapa saat mencerna perkataan mereka.

“Nona, kau sudah menikah,” jawab salah satu dari pelayan itu.

Dahiku berkerut, aku menatap pelayan itu dengan tatapan yang bergetar. Seketika perasaan tidak karuan mendengar apa yang baru saja di katakan oleh pelayan itu kepadaku.

Aku masih belum dapat kejelasan dengan maksud perkataan para pelayan itu, ibuku justru datang menghampiri kami ke kamar.

“Bu,” lirihku sambil menatapnya yang berjalan mendekat ke arahku.

“Tinggalkan kami berdua,” titah Ibuku pada para pelayan, dengan sudut matanya melirik tipis pada mereka.

“Baik Nyonya,” sahut mereka sambil mengangguk pelan. Lalu satu-per satu dari para pelayan itu keluar dari kamarku.

“Jelaskan kepadaku, apa yang di maksudkan oleh mereka Bu?!” desakku bertanya.

Aku merasakan takut luar biasa, di saat para pelayan itu mengatakan kalau aku sudah menikah. Hal itu tidak akan bisa aku terima. Karena, bagaimana aku bisa menikah tanpa aku tahu? 

“Apa yang dikatakan oleh mereka memang benar. Kau sudah di nikahkan oleh Ayahmu tadi pagi, dan kalian berdua sudah resmi menjadi pasangan suami-istri mulai hari ini,” jawab Ibuku dengan tenang.

Tidak, dia justru sedang berusaha untuk tetap bersikap tenang kepadaku. Matanya bergerak cepat, seolah dia menghindari kontak mata denganku. Dan aku benar-benar sulit untuk merasa percaya dengan apa yang aku dengar itu. Jelas aku tidak akan bisa menerima ini semua.

“Apa?! Bagaimana bisa kalian menikahkan aku tanpa persetujuanku?!” pekikku seketika penuh emosi.

“Silvia, sebaiknya kau tenang Nak ... karena kalian berdua sudah resmi menjadi pasangan suami-istri, jadi kau tidak bisa menolak lagi,” sela Ibuku berusaha untuk membuatku mengerti.

Namun, karena aku sudah tersulut emosi. Tentu saja aku menolak untuk bersikap tenang. Aku harus memprotes, menolak pernikahan ini. Karena pernikahan ini terjadi tidak sesuai kehendakku.

“Aku tidak bisa tenang Bu. Bagaimana bisa kalian berdua melakukan ini kepadaku?” protesku dengan menahan kuat air mataku.

“Aku tidak bisa menerima pernikahan ini, tidak bisa!” tolakku dengan tegas.

“Kau tidak bisa menolaknya. Karena walau bagaimanapun kalian sudah resmi menikah. Itulah sebabnya, mengapa Ayah langsung menikahkan kalian berdua. Supaya kau tidak bisa bertingkah untuk menolak perjodohan ini!” seru Ayahku yang tiba-tiba saja muncul, lalu menyahuti kami berdua.

“Ayah!” jeritku makin emosi.

Mataku makin berkaca-kaca, karena makin sulit aku menahan air mataku agar tidak luruh begitu saja.

“Ayo, bersiaplah, kita makan siang bersama,” pungkas Ayahku dengan begitu datar, dan dia berlalu pergi begitu saja dari kamarku.

Tubuhku seketika merasa lemas, se iringan dengan kelopak mataku yang juga ikut terkulai.

Aku masih tidak bisa mempercayainya. Bagaimana bisa, ayahku menikahkan aku dengan cara yang seperti ini.

Yang tadinya, aku mengira ayahku akan mengiyakan penolakanku untuk menikah dengan pria pilihannya. tetapi ternyata justru sebaliknya, ayahku justru menjebakku di dalam pernikahan yang tidak aku kehendaki ini.

“Sebaiknya kau bersiaplah Via, jangan buat ayahmu makin marah. Kau tahu sendiri bagaimana ayahmu, jika dia sudah marah, Kan?” desak Ibuku sambil mengusap punggungku, lalu menyusul ayahku pergi dari kamarku.

Aku diam mematung, air mataku sulit aku tahan lagi. Buliran bening mulai luruh membasahi kedua pipiku. Dan aku pun mulai menangis terisak.

Aku terduduk lemas di pinggiran tempat tidur, dan mulai menutup wajahku dengan tanganku, lalu menangis di dalamnya. Dan rasanya aku ingin sekali mengakhiri hidupku saat ini juga.

Tidak pernah sekalipun aku membayangkan, aku bisa menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku kehendaki? Ayah sungguh keterlaluan. Dia mengorbankan putrinya sendiri, hanya demi sebuah janji pada mendiang sahabatnya.

“Aaaaaa....”

Aku mulai berteriak, menjerit histeris, untuk meluapkan semua emosiku. Kutarik selimut yang terlipat rapi di atas tempat tidurku, lalu aku melemparkannya ke sembarang arah. Tidak lupa bantal dan juga gulingku, tidak luput jadi sasaran kemarahanku.

Aku memporak porandakan seluruh isi kamarku dengan luapan amarahku. Hingga puncaknya, aku melemparkan sebuah botol parfum ke arah cermin besar di kamarku hingga pecah.

“Silviaaa!” teriak ayahku memekik penuh emosi.

Matanya membulat sempurna memelototiku, di sertai dengan wajah merah padam, dan rahangnya mengeras menahan gejolak amarah.

“Dengarkan Ayah Via! Tidak ada gunanya kau melakukan semua ini. Karena semuanya sudah terjadi, dan kau tidak akan bisa merubahnya kembali. Jadi, berhentilah bersikap seperti anak kecil, dan berhenti memberontak seperti ini!” sergah Ayah kepadaku dengan raut wajah yang tidak kalah murka dariku.

“Hentikan Via, kau hanya akan menambah kemarahan Ayahmu saja!” tekan Ibu kepadaku yang makin membuatku tertekan untuk menyerah pasrah.

Aku mendengus kesal, dan menatap ayahku dengan tatapan tajam. Sambil berpikir, bagaimana caranya aku bisa terbebas dari semua kegilaan ini? Jelas bagiku, yang terjadi hari ini sangatlah gila.

Baru kemarin malam, ayahku memberitahukan akan menjodohkanku dengan pemuda pilihannya yang seorang petani, dan aku menolaknya.

Dan hanya slang satu hari, ayahku tiba-tiba saja menikahkan aku tanpa persetujuanku.

“Apa ini jebakan pria miskin itu?” batinku seketika menuduh pria miskin yang di jadikan suamiku.

Tatapan tajamku beralih dari ayah, dan tertuju ke arah sosok yang baru saja muncul dari balik pintu kamarku. Sesosok pria yang sepertinya tidak asing bagiku.

“Dia?” batinku sambil menatapnya dengan terkejut.

Aku berusaha mengingat-ingat wajah yang tidak asing itu, lalu berpikir, “ di mana aku pernah melihatnya?” batinku bertanya-tanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status