Share

Bab 5 - Permohonan Kecil

Sudah lebih dari satu minggu Maura tinggal di kediaman Edward, menjadi seorang pemuas nafsu bagi pria itu. 

Meski begitu, Edward membebaskannya, bahkan pintu apartemen pria itu tak dikunci membuatnya sangat mudah untuk melarikan diri. 

Namun Maura tidak melakukan hal tersebut, kenapa? 

"Aku tidak pernah mengunci pintu itu, aku membebaskanmu pergi kemanapun, bahkan kabur, jika pengawal yang sudah ku pekerjakan untuk mengawasimu menemukanmu dalam pelarianmu, maka bersiaplah kamu akan diantarnya ke rumah bordil itu. Selagi kamu ingin keluar dan mengatakan tujuanmu padanya, dia akan mengantarkanmu,"  Itu adalah kalimat yang Edward katakan padanya sebelum pria itu bekerja. 

Dan tentu saja ucapan Edward tak bisa Maura sepelekan. Ia tak berani menentangnya jika Edward bersungguh-sungguh dalam kalimatnya. 

Setidaknya Edward masih berbaik hati memberikannya kebebasan, Maura jadi lebih sering keluar meski hanya sebatas ke taman yang berada di belakang gedung apartemen Edward. 

Seperti saat ini, kegiatan Maura di sore hari adalah duduk di kursi taman dan mengamati bagaimana anak-anak kecil bermain, dan beberapa orang yang melakukan olahraga sore. 

Maura akan terus duduk di taman itu, sampai akhirnya Edward datang menjemputnya, pria itu selalu tau dia ada di sini. 

Karena semenjak Maura tinggal dengan Edward, dia tak tau harus melakukan apa selagi Edward pergi bekerja, sebelumnya saat masih bersama Deri, sejak pagi setelah ia membuat sarapan untuk sang suami, Maura akan lansung berangkat bekerja dan akan pulang saat malam hari, dia selalu sibuk dan kini saat ia memiliki banyak waktu luang, Maura sungguh bingung apa yang ingin ia lakukan. 

Saat sedang asik melamun, Maura dikejutkan dengan sebuah tangan yang melingkar di lehernya. 

"Aku tau kamu ada di sini," bisikan lembut itu mengalun ke telinganya, dan napas panas Edward hembuskan menggoda rahang Maura yang ia tau begitu sensitif. 

"Tumben sekali kamu pulang cepat hari ini?" tanya Maura menggigit pipi bagian dalamnya ketika Edward dengan terang-terangan mencium lehernya dan meninggalkan tanda memerah di sana. 

"Kita sedang ada di tempat umum," bisik Maura mencengkram erat ujung jas yang Edward kenakan. 

"Kalau begitu ayo kita pulang, sejak tiba di kantor pagi tadi, kamu dan tubuhmu ini tidak pernah hilang dari pikiranku, dan itu mengacaukan seluruh pekerjaanku. Jadi kamu harus tanggung jawab!" bisik Edward di telinga Maura dan memberikan gigitan pelan, sebelum pria itu menarik Maura berdiri dari bangku taman dan membawanya masuk ke dalam gedung apartemennya. 

Saat melintasi pengawal yang ia pekerjakan untuk menjaga Maura, pria itu hanya mengangguk pelan memberi hormat padanya. 

***

Pintu apartemen itu terbuka, Edward yang tak melepaskan bibirnya dari bibir Maura semenjak di lift pun menutup pintu tersebut menggunakan kedua kakinya. 

"Aku sungguh merindukan ini!" desah Edward melepas tautan bibirnya dan mengusap lembut bibir merah alami Maura yang membuka kedua matanya dan menatapnya dengan pandangan sayu, sama seperti dirinya. 

Wanita itu juga sudah dalam pengaruh birahinya. 

"Kalau begitu lakukan," desah Maura membuat dengus geli keluar dari bibir Edward. 

Pria itu merebahkan tubuh Maura di atas sofa, "baru beberapa hari kita bersetubuh, tapi sepertinya kamu sudah sangat mendamba sentuhanku di tubuhmu ini bukan? Betapa hausnya dirimu?" bisik Edward yang berada di atas Maura, tangan pria itu menyibak rok bagian bawah Maura dan mengusap lembut lembah favoritnya yang masih tertutupi celana dalam wanita itu. 

Maura memejamkan matanya, dia menyadari itu, ia juga berpikir sudah sangat lama sejak Deri menyentuhnya, dan kini setelah ia mendapatkan kenikmatan bersetubuh dari Edward sisi liarnya tak lagi bisa disembunyikan. Maura merasa jijik pada dirinya sendiri dia mengakui itu, namun sentuhan Edward tak bisa dia abaikan begitu saja. 

Saat ini semua rasa benci pada tubuh dan dirinya sendiri meluap begitu saja, namun saat nanti dia tengah sendiri, Maura akan didera penyesalan dan rasa bersalahnya pada Deri suaminya, meski ia sudah dikhianati, namun rupanya Maura masih menyimpan sedikit rasa hormat pada suaminya itu. 

***

Suara denting sendok dan piring meramaikan suasana hening tanpa pembicaraan di ruang makan tersebut. 

Namun nampaknya hanya sosok Edward yang begitu bernafsu memakan makan malamnya, tidak dengan Maura yang sesekali melamun dan hanya mengaduk makanan di atas piringnya. 

Edward melihat itu, dia tau ada yang sedang wanita itu pikirkan.  

"Apa yang sekarang mengganggu pikiranmu?" mulai Edward merasa terganggu dengan raut wajah dan tingkah laku Maura. 

Wanita itu terdiam, seolah berpikir terlebih dahulu haruskah dia memberitahu Edward, namun karena memang wanita itu penasaran alhasil ia memberanikan diri untuk bertanya pada Edward. 

"Suamiku, maksudku apa kamu tau bagaimana kabarnya, setelah dia menjualku? Aku penasaran dengan uang sebanyak itu apa yang ingin dia lakukan, benarkah dia membayar hutangnya atau justru menggunakan uang itu untuk bersenang-senang. Aku hanya penasaran, mungkin kamu tau soal itu," tanya Maura penasaran. 

Edward berhenti menyentuh makanannya, pria itu nampak berpikir sejenak sebelum kemudian menganggukan kepalanya. "Suamimu, sepertinya masih terbaring lemah di rumah sakit sekarang, itu yang aku dengar dari Javier" jawab Edward dengan gaya tenangnya. 

Mendengar hal tersebut, wajah Maura tegang bercampur khawatir. Kedua tangan yang saling tertaut di atas meja itu saling meremas, "ada apa dengannya?" bisiknya takut jika ada hal yang gawat menimpa Deri, meski pria itu telah berlaku jahat padanya, Maura merasa khawatir karena pria itu pernah baik sekali padanya dulu. 

"Tenanglah, dia baik-baik saja mungkin hanya ada beberapa tulangnya yang patah," desis Edward acuh, Edward merasa bahwa Maura mungkin masih mencintai suaminya meski pria buruk itu telah menjualnya ke rumah bordil dan mendapatkan uang  yang begitu banyak. 

"Apa yang terjadi padanya?" cicit Maura pelan. 

Edward mengangguk-anggukan kepalanya, "para debt collector itu memukulinya, semua yang yang dibawa suamimu untuk membayar hutangnya masih dibilang kurang, dan sepertinya saat suami burukmu itu sembuh dari lukanya mereka akan mengoperasi untuk mengambil organ dalam suamimu," angin dingin seolah menerpa tubuh Maura hingga ia merinding dan mual mendengarnya. 

Benarkah itu?

Di satu sisi ia ingin membuat Deri menderita, namun setelah mendengar hal yang akan terjadi pada pria itu mengapa ia jadi tidak tega?

Semua raut wajah Maura terekam jelas di pengelihatan Edward, bagaimana wanita itu yang begitu mengkhawatirkan suaminya. 

"Apakah kamu bisa menolongnya?" suara permohonan itu terdengar dari bibir Maura, wanita itu meminta dengan takut-takut pada Edward, andai pria itu marah dan menyebutnya lancang. 

Namun Edward tak bereaksi apa-apa, pria itu hanya mengangkat satu alisnya tak percaya bahwa Maura meminta tolong padanya untuk membantu suaminya itu. 

Edward mendengus kecil, "sepertinya kamu masih sangat mencintainya, hingga memintaku untuk menolongnya, padahal perbuatannya padamu sungguh tak bisa dimaafkan."

Maura bergeming, cinta katanya. 

Maura bahkan sudah tidak pernah merasakan rasa itu lagi pada suaminya, semua perasaan yang ia punya untuk Deri hanyalah rasa hormat sebagai istri pada suami. 

Dan ia merasa khawatir karena Deri juga pernah berbuat baik padanya, dan sempat memainkan peran menjadi suami yang begitu ia dambakan pada awal pernikahan mereka. 

kata Cinta?

Maura bahkan tidak pernah tau apa makna cinta yang sebenarnya? Apakah cinta bisa membuatnya gila dan membuatnya kehilangan kedua orangtuanya karena memilih Deri dulu? Jika itu adalah cinta,  sepertinya Maura tidak mau mengalami rasa cinta lagi.

Perasannya pada Deri hanya sebatas hormatnya pada sang suami, jantungnya tidak pernah lagi berdebar kencang karena rindu ingin bertemu sang suami. 

"Aku anggap itu jawaban iya! Dan apa yang harus kamu bayar untuk permintaan tolongmu ini?" tanya Edward menatap lekat ke dalam kedua mata Maura yang perlahan menatap padanya. 

"Kamu tau, ini tidak gratis," ujar Edward lagi, tatapannya begitu dingin seolah membekukan Maura yang duduk kaku di tempatnya. 

"Aku akan bekerja sebagai pelayanmu, memanggilmu Tuan setiap hari, melakukan semua yang kamu suruh, bahkan jika kamu izinkan aku akan bekerja untuk mencicil semua hutangku padamu," ini kali terakhir Maura menolong Deri, setelah semua ini selesai ia akan menceraikan pria itu dan jika memang Edward berbaik hati melepasnya, Maura akaan pulang ke kampung halaman untuk bertemu kedua orangtuanya, meminta maaf pada mereka dan memulai hidup baru dengan sederhana. 

"Menarik, tapi itu saja tidak cukup, pilihan terakhir bagaimana jika diganti dengan kamu yang menyiapkan makan malamku setiap hari?" bibir Edward tertarik membentuk senyum miring. 

Mendengar itu tak memberatkan Maura, dan wanita itu tersenyum lantas mengangguk cepat, namun belum ia berucap setuju, Edward rupanya melanjutkan kalimatnya. 

"Dengan bertelanjang, dan hanya ditutup oleh kain apron yang tipis itu," lanjutnya menunjuk sebuah apron putih yang menggantung di dapur mereka. 

Wajah Maura memerah dan tegang, Edward rupanya ingin mengerjainya. Bagaimana mungkin Maura bisa melakukan itu?

"Semua pilihan itu ada padamu, aku akan menolongnya dengan syarat yang aku sebutkan tadi" 

Edward bangkit dari kursinya, pria itu sudah selesai memakan makan malamnya dan berniat untuk beristirahat di dalam kamarnya. 

"Tunggu! Aku setuju," Maura tak berpikir dua kali, kali ini pun dirinya dan tubuhnya sudah rendah di depan Edward, jadi apa yang harus ia pusingkan?

Setelah semua selesai ia tidak akan bertemu dengan Edward lagi, dan menjauh dari Deri, jadi akan Maura jalani semua kesakitan dan hal yang bahkan tak ia sukai ini. 

"Bagus," senyum Edward mengembang tipis, dengan kedua mata yang menyorot tajam pada Maura. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status